JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (5)
-------------------------- o0o --------------------------
Juragan Juanda duduk berdampingan dengan Kepala Kampung Mbah Jarwo di hadapan para tetamu undangannya di sebuah gubuk sederhana. Tempat yang sengaja dibangun di sebuah lahan perkebunan miliknya, tidak berapa jauh dari kediaman mewah orang terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut.
"Terima kasih saya haturkan kepada Bapak-bapak yang telah berkenan menerima undangan saya untuk turut hadir di sini," ujar laki-laki perlente itu mulai membuka percakapan. Sejenak dia melirik dan menepuk lengan tetua kampung di sampingnya, lantas lanjut berkata, "Terutama kepada yang saya hormati Mbah Jarwo atas bantuannya yang sangat berharga."
Juragan Juanda berhenti sesaat sambil menundukkan kepala. Tampak sekali raut sedih menghiasi wajahnya yang masih terlihat gagah di usia menjelang senja.
"Mengenai kejadian semalam yang menimpa kuburan almarhumah anak saya, Sukaesih, saya sangat berharap agar Bapak-bapak bersedia untuk tidak memberitahukan siapa pun terkecuali cukup kita-kita saja di sini yang tahu," imbuh Juragan Juanda dengan suara bergetar. "Keluarga saya, terutama istri saya, hingga saat ini masih belum bisa melupakan kepergian Sukaesih. Tidak perlulah kita membahas lagi kejadian yang sudah-sudah, karena itu teramat menyakitkan kami. Sekarang ditambah lagi dengan … ya, seperti yang telah kita saksikan pagi ini, mungkin bisa Bapak-bapak bayangkan bagaimana perasaan kami, saya, saat ini."
Semua yang hadir menunduk takzim. Seakan turut merasakan kesedihan pihak keluarga bersangkutan.
"Kami paham apa yang Juragan rasakan itu," timpal Mbah Jarwo bermaksud menguatkan hati salah satu warganya tersebut. "Makanya kami juga mengerti dengan keputusan yang Juragan ambil tadi." Tentu saja tentang penolakan Juragan Juanda untuk melaporkan kasus itu pada pihak kepolisian. "Kami akan menghargai apapun keputusan Juragan itu."
Laki-laki perlente itu tersenyum. Ujarnya, "Terima kasih, Mbah." Kemudian dia menatap salah seorang yang hadir di hadapannya. "Mengenai kejadian ini pula, saya pinta tidak perlulah kita berpikir macam-macam, apalagi sampai menyangkutpautkan dengan hal-hal lain. Cukup kita hentikan sampai di sini. Buatlah seolah-olah tidak pernah ada kejadian apapun di kampung kita ini. Kemudian selepas pertemuan ini, yang lain boleh kembali beraktivitas seperti biasa, terkecuali untuk Mbah Jarwo dan Sadam, saya pinta tetaplah di sini. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan nanti."
Mbah Jarwo dan sosok yang bernama Sadam mengangguk-angguk setuju.
Juragan Juanda mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku jasko-nya, kemudian dibagikan sama rata kepada yang hadir di sana. "Ini ada sedikit rezeki buat Bapak-bapak sekalian. Anggap saja sebagai bentuk ucapan terima kasih saya yang lain atas bantuannya tadi. Tapi jangan menganggap ini sebagai suap agar Bapak-bapak menjaga rahasia tadi, ya? Katakanlah, ini sebagai bentuk kerjasama saja. Bagaimana? Bapak-bapak bisa memahami apa yang saya ucapkan, bukan?"
"Kami paham, Juragan!" jawab hadirin serempak.
Selesai membagikan uang, lalu Juragan Juanda mempersilakan semua yang hadir untuk meninggalkan tempat tersebut, terkecuali dua orang yang dipinta tadi.
Usai beberapa langkah menjauh dari gubuk, Uyat berbisik pada Sarkim. "Kira-kira apa yang akan mereka bicarakan di sana, ya, Kim? Apakah—"
"Sudahlah, Pak Uyat," tukas Sarkim mencoba mematahkan pikiran Uyat. "Kita sudah menerima uang tutup mulut dari Juragan Juanda, apa Bapak masih berniat untuk—"
"Kamu ini bagaimana, sih, Sarkim? Saya ini, 'kan, cuman nanya doang. Gak ada maksud saya buat mengkhianati janji kita tadi sama Juragan." Uyat tampak tersinggung.
"Iya, Pak, tapi dengan bertanya-tanya kayak 'gitu tadi, ada peluang bagi Bapak buat mencari-cari tahu. Terus sedikit demi sedikit pasti akan bicara dan bicara. Bagaimana nanti kalau ada yang denger. Bapak bisa jamin rahasia Juragan Juanda akan tetap terjaga?"
"Sok tahu kamu, Kim!" gerutu Uyat. Balas Sarkim disertai kekehannya, "Saya cuman ngingetin, Pak. Inget, lho, di kantong kita ada duit yang cukup buat kita agar gak usah pergi ke kebun untuk beberapa hari. Hhmmm?"
"Terus kalau istri-istri kita nanya, jawabannya apa? Kamu mau berbohong, begitu?" Uyat merengut keki.
"Ya, jawab saja, kita ada rezeki dari Juragan Juanda. Sedekah hasil bumi, zakat, atau bantuan materi keluarga. Gampang, 'kan?"
"Dengan uang sebanyak ini?"
"Kenapa tidak, Pak?" balas Sarkim. "Sudahlah, gak usah nyampuri urusan orang kaya. Saya sendiri masih ngeri ngebayangim sosok mayat Sukaesih tadi. Hiiiyy! Mudah-mudahan saja malam nanti bisa tidur nyenyak."
Uyat menggerutu sendiri. Rasa penasarannya belum juga kunjung hilang. Sejenak dia menoleh ke arah gubuk, tempat dimana ketiga sosok tersisa tadi masih duduk-duduk berkumpul ; Juragan Juanda, Mbah Jarwo, dan Sadam. 'Hhmmm, akan kucari tahu sendiri nanti jawabannya,' gumam laki-laki itu dengan mata menyipit.
Sementara itu di dalam gubuk, usai memastikan tidak ada seorang pun yang berada di sekitar tempat tersebut, Juragan Juanda kembali memulai percakapan.
"Saya sudah mendengar laporan dari Sadam, orang kepercayaan saya,," kata lelaki itu seraya melirik pada sosok yang duduk di sampingnya. "Ada satu tali kain kafan almarhumah anak saya yang hilang, yaitu di bagian leher. Terus kondisi lehernya juga seperti patah dan ada bekas tanah di kain kafan bagian wajah. Entah apakah itu bekas rembesan tanah kuburan atau bisa juga bekas sesuatu yang mengandung tanah, serta sengaja dihantamkan pada bagian itu. Dari jejak kaki dan kondisi mayat, kemungkinan terbesar pelaku biadab itu … aahhh! Saya gak sanggup membayangkannya," ujar Juragan Juanda tiba-tiba tergugu-gugu dalam isak tangisnya.
Mbah Jarwo menepuk-nepuk pundak warganya tersebut. "Bersabarlah, Juragan. Yakinlah bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia laknat itu hidup tenang. Kita doakan yang terbaik buat almarhumah anak Juragan itu, ya."
Juragan Juanda mengangguk-angguk seraya menyeka air matanya. Dia memberi isyarat pada Sadam agar meneruskan hasil laporannya tadi. "Sampaikan semuanya, Dam, seperti yang kamu katakan pada saya sebelumnya," ucapnya lirih.
"Baik, Juragan," balas Sadam, lantas beralih pandang pada Mbah Jarwo. "Mohon maaf, jadi begini, Mbah … setelah saya amati tadi, apapun yang dilakukan oleh pelaku pembongkaran kuburan almarhumah, saya yakin bahwa ada maksud tertentu yang djniatkan olehnya. Eeuummm, maksud saya … mungkin salah satu syarat untuk ritual tertentu dan menjadikan tali kain kafan almarhumah sebagai media atau alat sebagai bahan tertentu."
"Saya gak paham, Dam. Kamu terlalu banyak menggunakan kata 'tertentu'. Apa yang kamu maksud itu hal yang berhubungan dengan dunia mistik?" tanya Mbah Jarwo disertai kening berkerut.
"Tepat sekali, Mbah," ujar Sadam sambil mengacungkan jari jempolnya. "Mungkin lebih tepatnya menjadikan media tali kain kafan itu sebagai jimat."
"Jimat?" Alis tua Mbah Jarwo naik tinggi. "Jimat apa maksudmu?" Sadam melirik pada majikannya, lantas menggeleng-geleng dan menjawab, "Itulah yang saya dan Juragan belum tahu, Mbah. Entah dipakai untuk apa dan tujuannya apa. Kami sendiri masih mencari-cari tahu."
Lama Mbah Jarwo termenung. Berusaha berpikir untuk memecahkan teka-teki tersebut. "Apakah ada kemungkinan jika pelakunya masih warga kampung sini?" gumamnya tidak sadar.
"Bagaimana, Mbah?" tanya Juragan Juanda menyentakkan sosok tua itu. "Eh, apanya yang bagaimana, Juragan?" Mbah Jarwo malah balik bertanya di antara keterkejutannya.
Sadam turut menjelaskan, "Tadi kami denger Mbah berkata pelakunya dari warga kampung kita. Benar begitu, Mbah?"
Laki-laki tua itu terperanjat. "S-saya … eh, itu hanya kemungkinan saja. Bisa juga orang dari luar kampung, 'kan?"
Juragan Juanda menatap tajam Kepala Kampung tersebut, lantas bertanya, "Ada warga sini yang Mbah curigai?"
Jawab Mbah Jarwo gagap, "Oohhh … g-gak ada. S-saya hanya menduga-duga saja, Juragan."
"Hhmmm," deham laki-laki perlente itu seraya mengambil bungkusan plastik hitam yang dia sembunyikan di belakangnya. "Mungkin bisa kita mulai dengan cara mencari tahu benda ini."
"A-apa itu?"
Sadam membuka simpul plastik dan mengeluarkan sebuah lampu kecil dari dalam.
"Lentera?" Bertanya sosok tua itu dengan tatapan tajam, memperhatikan benda yang kini teronggok di hadapannya. Sudah dalam kondisi pecah berkeping-keping di bagian 'songsong' penutup lampu dan tempat menyimpan bahan bakar minyak.
"Mbah Jarwo mengenali siapa pemilik lampu ini?" Juragan Juanda bertanya seraya melirik pada orang kepercayaannya, Sadam. Jawab Mbah Jarwo sembari menggeleng, "Enggak. Saya enggak tahu. Lagipula mungkin banyak yang mempunyai jenis lampu seperti itu, Juragan."
"Bisa jadi, tapi tidak menutup kemungkinan pemiliknya itu salah seorang warga yang tinggal di daerah terpencil, bukan?" ujar Juragan Juanda menduga-duga. "Sayang sekali, rumah warga kampung kita ini … sepertinya sudah memiliki jaringan listrik."
"Apakah itu berarti pelakunya itu warga luar kampung kita, Juragan?" Sadam ikut penasaran.
Laki-laki perlente itu mengangguk-angguk. "Segala kemungkinan bisa saja benar adanya, Sadam, tapi yang ingin saya ketahui motif di balik kejadian ini. Apa yang dia lakukan dengan tali pengikat mayat anak saya itu? Kenapa harus anak saya? Dan yang saya sesalkan adalah kejadiannya tepat di malam Jumat semalam, dimana tadi malam kebetulan tidak ada seorang pun yang mengaji di makam."
"Karena semalam hujan, Juragan," timpal Sadam.
"Saya tahu," balas Juragan Juanda seraya menarik napas dalam-dalam. "Mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur terjadi." Kemudian dia menoleh ke arah Mbah Jarwo yang masih terpaku memandangi pecahan lentera tadi. "Apa yang sedang Mbah pikirkan, Mbah Jarwo?"
Sosok tua itu lekas tersadar. Jawabnya, "Enggak, Juragan. Saya hanya sedang bertanya-tanya saja."
"Tentang apa?"
"Tali pengikat mayat itu."
Juragan Juanda dan Sadam saling berpandangan satu sama lain.
"Menurut Mbah, motifnya kira-kira apa, ya, Mbah?" tanya lelaki perlente itu mencoba menyelidik. Kemudian sosok tetua kampung tersebut menjawab usai melirik sesaat pada Sadam, "Seperti yang Sadam bilang tadi, mungkin tali mayat itu dijadikan jimat. Biasanya, sih, begitu. Tapi jimat buat apa? Pengasihan, penglarisan, atau … kejayaan, mungkin? Ini yang masih belum saya ketahui, Juragan."
"Saya sependapat dengan apa yang Mbah Jarwo ucapkan itu, Juragan," timpal Sadam mengamini.
"Hhmmm, seperti itu?" Juragan Juanda turut berpikir. "Apa bukan karena motif balas dendam, misalkan?"
"Maksud Juragan?" Mbah Jarwo dan Sadam hampir bersamaan mengajukan pertanyaan. Keduanya lantas mendelik bareng.
"Entahlah, saya cuman menduga-duga saja. Benar atau tidak, saya sendiri masih sangsi."
"Apakah yang Juragan maksud itu … Arya, anaknya Kepala Desa itu?" Sadam mencoba menerka. Juragan Juanda menggeleng dan cepat-cepat menanggapi, "Hati-hati, Sadam. Jangan sembarangan menyebut nama kalau belum jelas betul pelakunya. Ini bisa jadi firnah besar. Bahaya."
"Astaghfirullahal'adziim," ucap Sadam seraya mengelus dada. "Maafkan atas kebodohan saya ini, Juragan. Saya hanya—"
"Sudahlah," tukas orang terkaya Kampung Sirnagalih tersebut bermaksud menyudahi perbincangan mereka. "Hari sudah agak siang. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Mudah-mudahan saja orang-orang tadi benar-benar memegang janjinya untuk tidak menyebarkan kejadian pagi ini."
"Semoga saja begitu, Juragan," timpal Mbah Jarwo dan Sadam kembali bersamaan, lantas keduanya pun mendelik, juga secara berbarengan. "Huh!"
Mereka bertiga segera meninggalkan gubuk. Melangkah bersama menyusuri jalanan kecil menuju kediaman masing-masing. Namun tanpa disadari, sejak tadi ada sepasang mata mengintai dari kejauhan. Setelah dipastikan aman, dia lekas keluar dari tempat persembunyiannya, mendekati gubuk, lantas mengambil pecahan lentera yang teronggok ditinggalkan di atas 'bale' berbahan anyaman bambu hitam.
"Hhmmm," deham sosok tersebut diiringi seringainya.
-------------------------- o0o --------------------------
Sementara itu dua hari setelahnya, Basri baru saja menyelesaikan ritual terakhirnya bersama Ki Jarok di sebuah pancuran di dekat rumahnya. Sambil menahan rasa dingin, laki-laki kerempeng itu duduk bersila dengan kedua tangan bersedekap menyatu di depan dada dan mata terpejam rapat, sibuk merapal kalimat-kalimat aneh.
Usai menerima perintah untuk berdiri, Basri segera bangkit terhuyung dalam kondisi telanjang bulat, lantas melangkah mendekati sosok dukun tua tersebut.
"Cepat kenakan pakaianmu!" titah Ki Jarok yang berdiri membelakangi Basri. Tanpa menimpal, lelaki itu cepat-cepat menuruti. "Sudah?" tanya dukun itu setelah beberapa waktu berlalu.
"Sudah, Ki," jawab Basri.
"Hhmmm," deham Ki Jarok seraya membalik badan. "Kauboleh pulang sekarang, Basri."
"Sekarang?"
"Ya. Masih betah kautinggal di sini, hah?!"
Basri gelagapan. Ujarnya kemudian, "Maksud saya bukan itu, Ki, tapi …."
"Apalagi? Masih belum cukup apa yang kuberikan padamu?" Mata tua itu melotot galak, menyeramkan.
"Pakaian saya, Ki," ujar laki-laki kerempeng itu sungkan. "Tidak mungkin saya pulang dengan baju seperti ini. Nanti dikira orang-orang … saya kembaran Aki."
"Kurang ajar kau!"
"Maaf, Ki, saya gak bermaksud menyaingi tampilan Aki, tapi—"
"Itu urusanmu, Basrèng!"
"Basri, Ki. Bukan Basrèng, apalagi Cirèng."
"Suka-suka akulah," ujar Ki Jarok seraya mendelik hebat.
'Hhmmm, tampilan dukun ini cukup sangar, tapi kadang tingkahnya mirip hantu temennya Si Manis Jembatan Penyeberangan. Siapa, ya, namanya? Kalo gak salah … o,iya, Onzy Syahputri. Hiiyy … gelay!' membatin Basri diiringi cengengesannya.
"Apa kau? Ketawa-ketiwi begitu. Ada yang lucu sama akyu?" tanya Ki Jarok 'merengos'.
Cepat-cepat Basri menjawab, "Bukan, Ki. Saya inget masih ada sedikit sisa uang di kantong celana saya yang kotor itu. Sengaja saya sisain buat ongkos pulang. Makanya saya tanyain pakaian saya itu."
"Ambil sendiri di bawah dipan bekas semalaman kautidur di sana!" ujar Ki Jarok dengan nada ketus.
"Oh ... makasih, ya, Ki," ucap Basri kemudian masuk ke dalam rumah gubuk. Sebentar kemudian dia kembali dengan pakaian kotor di tangan. "Saya pulang dulu, ya, Ki."
"Jangan lupa pesan-pesanku, Basri," kata dukun tua itu sambil menyirami tanaman anggrek kesayangannya. "Tiap bulan purnama, kauharus—"
"Iya, Ki. Akan selalu saya ingat pesan-pesan Aki itu, kok."
"Baguslah," timpal Ki Jarok seraya mengibaskan gerai rambut putih panjangnya. "Jadi aku tidak perlu capek-capek menjelaskan kembali."
Basri mendekat, meraih tangan tua dukun tersebut, lantas bersalaman dan mencium takzim.
"Ih!"
"Saya pulang dulu, Ki," ujar laki-laki kerempeng itu berpamitan. "Terima kasih atas semuanya, ya, Ki. Kita ketemu lagi pas bulan purnama mendatang."
"Hhmmm."
Setengah berat hati perlahan-lahan Basri melangkah meninggalkan sosok tua yang selama sepekan ini sering dia temui. Menuruni jalanan terjal di daerah perbukitan, tempat dimana Ki Jarok tinggal. Hampir mirip separuh hutan belantara. Berada di tengah-tengah rimbunan pepohonan yang menjulang tinggi.
Sengaja dia memilih arah berlawanan dengan jalan yang menuju perkampungan Sirnagalih. Khawatir akan bertemu warga sekitar sana dan masih terbayang kengerian pada saat-saat membongkar kuburan kembang kampung tersebut dua malam sebelumnya. Memang lebih jauh, tapi Basri merasa itulah pilihan terbaik untuk saat ini.
'Aku harus mencari pakaian lain untuk menutupi baju aneh ini,' pikir Basri di tengah perjalanan. 'Seenggaknya buat mencegah orang lain supaya enggak menganggapku seperti orang-orang pedalaman itu.'
Maka begitu melewati sebuah perkampungan, diam-diam lelaki itu berniat mencuri pakaian yang sedang dijemur di luar rumah. Walaupun dengan rasa takut dan khawatir kepergok, nyatanya dia berhasil mengambil satu setel, lantas berlari kencang menjauh. Di sebuah tempat tersembunyi, barulah berani mengenakannya.
Menjelang tengah hari, lelaki ini sampai di sebuah daerah pinggiran kota. Merasa perutnya perih minta diisi, kemudian dia mencari-cari warung makan sederhana. Berbekal sisa uang hasil kerja jadi kuli bangunan selama seminggu ini dan sesekali tinggal di gubuknya Ki Jarok, Basri memasuki sebuah warung kecil di pinggir jalan. Cukup memesan semangkuk mi instan, rasanya sudah cukup buat mengganjal rasa lapar hingga pulang nanti.
Namun sebelum itu, tiba-tiba perhatian Basri beralih pada kerumunan orang-orang tidak seberapa jauh dari sana. Hampir semuanya sibuk berhitung menggunakan selembar kertas seadanya dan pulpen di tangan.
'Bandar togel?' Laki-laki kerempeng itu bertanya-tanya. Lantas dia merogoh kantong, mengambil sejumlah uang yang tidak seberapa banyak. Hanya cukup untuk sekali makan dan ongkos pulang naik angkutan umum. 'Bagaimana kalo aku pakai buat masang saja. Sekalian membuktikan keampuhan jimat pemberian Ki Jarok ini. Tapi … kalo gagal tembus, terpaksa aku harus jalan kaki dengan rasa lapar ini. Huh! Bagaimana ini?'
Entah mengapa, Basri seperti mendengar bisikan seseorang. Tidak jelas dari mana berasal, tapi suara itu begitu membekas kuat di dalam benaknya. Deretan angka-angka yang harus dipasang untuk mengadu peruntungan. Walau sedikit ragu, dia pun nekat memasang empat angka sekaligus sebanyak empat lembar.
"Yakin beli sebanyak itu, Bang?" tanya sesosok laki-laki kumal seraya tersenyum mengejek. Basri menjawab dingin, "Namanya juga usaha, Bang. Kalah-menang, ya, biasalah."
"Tapi boleh juga, sih, angkanya, Bang," puji sosok itu seraya mencatatkan deretan angka yang dibeli Basri. "Dapet dari mana? Mimpi semalem, ya? Ha-ha."
Lelaki cungkring itu ikut tertawa hambar. "He-he, cuman tebak-tebakan aja, Bang."
"Tebak-tebakan?" tanya yang lain di antara kerumunan tersebut. "Gua aja yang sering ngoret-ngoret pake primbon roda panah, jarang tembus, Bang. Ha-ha. Lah, elu yakin banget menang?"
"Gak apa-apa. 'Kan, yang rugi saya, bukan situ atau bandar," balas Basri sengit.
"Maaf, Bang. Becanda doangan. Gak usah diambil hati ngapa, sih." Mereka tiba-tiba seperti ketakutan begitu Basri menatap tajam-tajam.
Sambil menunggu pengumuman angka yang keluar sore nanti, Basri memilih duduk-duduk di tempat kosong bersama gerombolan sosok-sosok pemuja dunia perjudian tersebut. Rasa perih karena lapar tidak dia hiraukan hingga tidak sadar beberapa saat kemudian jatuh tertidur kelelahan.
Beberapa jam berlalu, Basri dibangunkan seseorang. "Bang, bangun, Bang!" Dia membuka mata dan mengucek-ngucek sebentar. "Ada apa?"
"Abang yang pasang nomor ini tadi, 'kan?"
Jawab laki-laki kerempeng itu sambil menguap, "Iya. Kenapa?"
"Abang menang tiga angka, Bang!" seru sosok itu seraya melempar senyum.
"Hah, yang bener?"
"Iya, Bang. Ini lihat sendiri!"
"Alhamdu … eh, syukurlah maksud saya," ucap Basri tidak sadar sekaligus senang tiada tara. Dia cepat-cepat bangkit dari rebahannya. Lantas diantar oleh sosok kumal tadi menuju rumah bandar utama menggunakan sepeda motor.
"Lumayan gede, lho, Bang, dapetnya."
"Iya, saya tahu."
"Wah, dapet komisi, dong, saya juga."
Jawab Basri enteng, "Tenang saja. Sekalian kamu antar saya pulang sampe rumah. Saya bayar sekalian ongkosnya, deh."
"Serius, Bang?"
"Iyalah. Kamu pikir saya maen-maen?"
"Wah, asyik. Makasih, nih, Bang."
Sore itu, begitu usai mengambil uang, Basri dan sosok kumal tadi makan-makan dulu di sebuah rumah makan besar. Terpenuhi sudah kini rasa lapar yang sedari tadi menyiksanya. Tinggal pulang dan berpikir mencari alasan jika Lastri bertanya-tanya di rumah nanti.
'Ah, alasan bisa dibikin-bikin,' membatin Basri sepanjang perjalanan. 'Aku bilang saja baru dapet kerjaan di luar kota, bisnis sama temen lama, terus ngasih duit banyak buat istri. Hhmmm, Lastri pasti langsung luluh. He-he.'
"Pulang ke mana, Bang?"
Jawab Basri berseri-seri, "Cijèngkol."
"Oh, lumayan jauh juga, ya?"
"Jalan saja, deh. Pokoknya kamu saya bayar penuh."
"Ashiaaappp!"
Beberapa waktu kemudian, Basri sampai di rumah menjelang petang. Disambut tangisan lirih Lastri. Untunglah semua dapat dikendalikan dengan mudah. Perempuan itu langsung luluh begitu disodori setengah dari jumlah uang yang masih banyak tersisa di tas kecil laki-laki tersebut.
'Ini baru langkah awal kehidupanku sekarang,' gumam Basri begitu tergolek sendirian di kamar tidur. Sementara Lastri sedang pergi ke warung Bariah untuk melunasi utang dan berbelanja buat bekal makan malam nanti. 'Selanjutnya aku harus mendatangi tempat-tempat perjudian lainnya dan menang dengan mudah. He-he. Selamat datang kekayaan.'
Tadinya Basri bernaksud untuk beristirahat sejenak selagi ada waktu sebelum tiba waktu Magrib nanti. Namun sesaat setelah mencoba memejamkan mata, dia seperti mendengar rintihan seseorang di dekatnya. Semula dikira itu adalah Lastri.
"Bang, kembalikan milik saya …."
Laki-laki itu terperanjat bangun. "Bu!" panggilnya sambil menyapu pandangan ke empat penjuru kamar. Tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya. "Siapa tadi?" tanya Basri mulai ketakutan. Tetap hening sebagaimana semula.
'Ah, mungkin cuman halusinasiku belaka,' pikir Basri lantas kembali merebahkan diri dan memejamkan mata.
"Jangan, Bang! Jangan lakukan itu! Kembalikan milik saya, Bang, saya mohon …."
"Astaga! Siapa, sih, itu?" seru Basri kembali seraya bangkit duduk di atas tempat tidur. "Huh, otakku mulai gak waras rupanya. Gara-gara mayat perempuan sialan itu, hidupku jadi gak bisa tenang sekarang!"
Sepi dan kosong.
"Sialan! Aku jadi gak bisa tidur! Berengsek!" gerutu laki-laki itu, lantas duduk sambil mengingat rentetan kejadian saat bersama Ki Jarok di rumah gubuknya itu.
BERSAMBUNG
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (6)-------------------------- o0o --------------------------Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut."Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "Wa'alaikumussalaam, Nak."Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?""Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?""Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (7)-------------------------- o0o --------------------------Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu."Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Han
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (10) --------------------- o0o --------------------- Basri dan kedua anaknya, Aryan dan Maryam, serempak mempercepat langkah sepulang dari musala. Mereka berlari-lari kecil begitu melihat kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita. “Lho ... kok, lampu depan gak dinyalain, Pak?” tanya Aryan seraya menengok ke arah Basri yang berlari di belakang. “Apa Ibu lupa nyalain lampu?” Bukan hanya lampu depan, nyatanya begitu tiba di beranda rumah, hal yang sama pun terjadi di dalamnya. “Bapak sendiri gak tahu, Yan,” jawab lelaki tersebut sembari mengintip celah kain gorden jendela. Pekat menggulita. “Mungkin KWH-nya ngejepret atau Ibu ketiduran,” imbuhnya kembali was-was. Segera memeriksa meteran listrik yang berada tepat di samping atas pintu akses utama keluar-masuk rumah. Normal. Masih dalam kondisi semest
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (11) --------------------- o0o --------------------- Alunan musik dangdut menggema hingar memenuhi ruangan temaram dengan cahaya warna-warni. Basri hanya duduk-duduk menatap layar televisi berukuran besar, ikut berdendang pelan sambil membaca rangkaian lirik lagu yang tersuguh. Sementara dua temannya asyik bernyanyi mengikuti ketukan irama, ditemani dua perempuan pemandu karaoke berpakaian minim dan ketat. Sesekali tangan-tangan mereka bergerilya menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif masing-masing, lantas disambut cekikik nakal dari keempatnya. Belasan lagu sudah mereka lewati, tapi hanya beberapa yang benar-benar diikuti dengan saksama. Sisanya bercampur aktivitas lain sambil menikmati sajian minuman khas beraroma menyengat. Sesaat Basri menatap empat sosok di sampingnya sembari memijit-mijit kening. Sedikit te
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (12) --------------------- o0o --------------------- Menjelang senja hari di sebuah warung makan di pinggiran kota, Basri dan kedua temannya, Juned dan Cemong, duduk-duduk santai usai menikmati santapan makan malam. Ketiga laki-laki tersebut asyik kemasuk memainkan kepulan asap rokok dari mulut sambil berbincang-bincang ringan. “Jadi elu yakin bakal pindah operasi dari kota ini, Bas? Mulai kapan?” tanya Juned di antara bubung asap nikotin terembus dari kedua lubang hidungnya. Yang ditanya celingukan sesaat memperhatikan ruangan sekitar tempat makan, terutama pada beberapa sosok pengunjung lain di dalam sana. Jawab Basri kemudian dengan suara pelan, ”Mungkin secepatnya, Ned.” Dia mengambil kembali sebatang rokok baru begitu yang awal tadi sudah nyaris memendek panas terjepit di jemari. “Keberadaan gua di kota ini
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (13) --------------------- o0o --------------------- Hitam .... Sekeliling memandang semuanya berwarna sama. Pekat membutakan hingga tidak satu pun mampu terlihat, kecuali rasa dingin di sepanjang jejak langkah. Terus bergerak menyusuri bisikan hati, walau tidak tahu ke mana kelak akan berlabuh. Sosok itu tampak kian bingung di antara kehati-hatiannya. Merasa tersesat, tapi yakin bahwa hanya ada satu pilihan untuk memecah kebuntuan, yakni mengayun kaki ke depan secara terus menerus. Samar-samar suara isak pilu terdengar lirih menuntun benak. Di sana, entah di mana letak tepatnya. Masih jauh, tapi terasa kian mendekat. Lantas perlahan-lahan sosok itu pun meraba-raba melalui keyakinan diri, sumber itulah langkah tersebut akan berakhir. “Ayah ....” Sosok tersebut tercekat. Memutar badan
BUAH CINTA BERDARAH Written by David Khanz ---------- o0o ---------- Unti menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Sesekali, isak tangis gadis cantik itu terdengar di antara desiran bayu yang bertiup, membelai lembut panjang rambutnya yang tergerai hingga panggul. Dengan bola mata indah berkaca-kaca, menatap hampa jauh ke depan tanpa tujuan. Seakan tengah berpikir untuk mencari tambatan, dari gelayut perih dalam hati yang masih terasa. Perlahan Unti meraih sisa kain penutup tubuh yang berserak di atas rerumputan. Sebagian sudah koyak direnggut paksa oleh laki-laki bergajul bernama Uwok, sesaat sebelum gadis itu hilang kesadaran dan juga kesucian. Ya, laki-laki durjana itu telah merampas mahkota kebanggaan yang seharusnya Unti persembahkan untuk kekasih pujaan hati, Ocong. Namun apalah daya, kini semuanya telah musnah berganti nestapa. Uwok tiba-tiba datang menghancurkan impian yang selama ini menjadi bunga-bunga kehidupan Unti dan Ocong yang penuh cinta. "Demi langit
JIMAT TALI MAYAT(Cerpen version)Written by David Khanz---------- o0o ----------Saat kutiba di rumah pagi itu, Kesih sudah terlihat bugar. Wajah berseri, segar, dengan rambut basah beraroma wangi."Udah bangun juga, Bang?" tanya perempuan itu dengan balutan handuk masih melilit di setengah badan. "Kok, udah rapih?"Kutatap Kesih tajam. "Tumben kamu juga udah mandi, Dek? Mau ke mana sepagi ini?"Dia tersenyum. Menghampiriku dan bergelayut manja. "Abang ini gimana, sih? Lupa semalaman kita abis ngapain?" katanya genit. Kemudian mengendus tubuhku sesaat. "Abang gak mandi? Udah rapi, kok, masih bau asem?"Semalam? Kita? Aku dan dia? Apa yang kulakukan sepanjang malam bersamanya? Dari kemarin petang tak ada di rumah. Baru pagi ini pulang."Kesih ... kamu?" Kuperhatikan leher perempuan itu penuh bercak merah. Seperti bekas gigitan. Dia mencubit hidung ini, diiringi senyum semringah nan menggoda. Kemudian ujarnya, "Ah, Abang ini paling bisa, deh, bikin aku klepek-klepek. Permainan Abang s
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 31-------------------- o0o --------------------Rasa kecewa karena telah dikhianati oleh kawan sendiri, membuat batin Basri merasa sakit laksana ditancapi ribuan jarum berkarat di paru-paru. Sakit dan akan terus terasa sakit setiap kali menarik nafas. Tidak menyangka bahwa perjalanan hidupnya akan sepahit ini. Kemarin merasa jauh lebih bangga karena genggaman harta dengan mudah di dapat, hari ini justru berbalik perih seperti tengah meregang sekarat.Ingatan akan sosok terkasih di rumah kian membayangi, akan tetapi entah apa yang akan dijawab jika kondisi dirinya seperti ini. Basri enggan kembali sebelum dapat mengembalikan kejayaannya seperti semula.‘Aku harus mendapatkan jimat itu kembali. Apa pun caranya,’ ujarnya bertekad. Karena hanya dengan benda dan caranya selama itulah, kehidupan keluarga akan terus terjamin. ‘Aku tidak mau hidup miskin lagi. Menjadi bahan gunjingan dan hinaan orang-orang sekitar. Bahkan dari pandangan sebelah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 30-------------------- o0o --------------------Di waktu siang hari, Mbah Jarwo pontang-panting keluar-masuk rumah mencari-cari istrinya, Emak Sari. Di dapur tidak ditemukan, di kamar dalam apalagi. Gurat gusar seketika tertampak dari raut wajah tuanya. “Ke mana istriku? Enggak biasanya dia menghilang begitu saja dari rumah,” gumam lelaki tua tersebut sibuk bertanya-tanya sendiri. “Apakah dia ke kebun? Sawah? Ah, rasanya enggak mungkin. Sudah lama istriku itu gak pernah lagi ke sana.”“ ... Atau mungkinkah dia pergi karena perselisihannya denganku tempo hari? Ah, mengapa harus pergi? Tadi pagi dia bersikap biasa-biasa saja. Terus ke mana, dong?”Hampir seharian itu Mbah Jarwo menunggu di depan rumah. Berharap Emak Sari muncul atau pulang. Hingga kemudian deru kendaraan bermotor mengalihkan fokus lelaki tersebut pada asal sumber suara yang ada.Benar saja, Emak Sari pulang ke rumah menaiki kendaraan ojek kampung. Begitu turun, langsung di
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 29-------------------- o0o --------------------Basri menggeliat layaknya cacing kepanasan. Meluruskan sedikit persendian serta urat di tubuhnya yang terasa kaku. Sejenak dia menguap lebar, lantas perlahan-lahan membuka kelopak mata yang masih dirasa berat.‘Sudah pagikah atau ini siang hari?’ Bertanya lelaki bertubuh kurus kering itu begitu merasakan silau menusuk bola mata dari cahaya terang melalui singkapan jendela terbuka.Masih dengan sisa kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, tangannya bergerak-gerak ke samping hendak menyentuh sosok perempuan semalam. Lilis. Kosong. Tidak tersentuh apa pun di sana, terkecuali sprei putih dan selimut yang masih acak-acakan disertai bantal teronggok kesepian.“Lis?”Basri celingukan memutari sudut kamar. Sama. Tidak tampak siapa pun di dalam sana, terkecuali dirinya sendiri. Dengan kening berkerut, lelaki itu bangkit, menyingkap dekapan selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh polosnya.“Lis?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 28---------- o0o ----------“Kita makan dulu ya, Kang,” ujar Lilis sembari menyiapkan pesanan makanan di atas meja kamar. “Habis itu, kita terusin lagi ngobrol-ngobrolnya.”Basri menarik napas dalam-dalam. Rasa penasaran yang sejak tadi tersimpan, untuk sementara terpaksa harus kembali dia jaga. Lantas melirik ke atas meja dimana teronggok bungkusan makanan yang sudah siap dinikmati. ‘Huh, sialan!’ rutuk lelaki itu begitu mengetahui, gerangan menu apa yang tersaji di sana. Ayam goreng. ‘Gua lupa ngasih tahu Lilis, kalo gua gak boleh makan makanan enak-enak.’ Sesaat dia mengelus perut. Lagipula saat itu Basri tidak terlalu merasa lapar. Sajian khusus di bibir jalan menuju tempat kediaman Ki Jarok tadi, rasanya masih cukup mengganjalnya hingga kini.Burung hantu?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 27---------- o0o ----------Rintik hujan masih turun mengepul di udara. Memberi nuansa dingin menyelimuti di sepanjang langkah Basri menuruni terjal jalanan tanah dari lereng Gunung Halimun. Langit sebelah barat kian mengelabu di antara bentangan sempurna sekumpulan awan di sana menutupi sinar mentari penutup hari. Sejenak lelaki itu melirik jam di tangan. Telah menunjukkan waktu hampir pukul lima petang.‘Sialan,’ rutuk Basri memaki-maki sendiri seraya membetulkan letak ransel di punggung. ‘Kalo sampai kemalaman kayak begini, lebih baik aku menunda kepulanganku ke rumah hingga besok hari saja. Sangat riskan rasanya kalo memaksakan pulang selarut sekarang. Huh! Mana hapeku mati lagi.’Jejak sepatunya dipijak kuat-kuat agar tidak sampai jatuh terpeleset di atas jalanan licin. Sesekali matanya
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian 26 ---------- o0o ---------- “Apa?!” Mata tua Mbah Jarwo kembali membelalak kaget usai mendengar penuturan dari Sarkim perihal Asih. Lelaki muda tersebut menatap tajam sosok tetua di depannya dengan perasaan takut. “Iya, Mbah, Ceu Asih pergi dari rumah Juragan Juanda. Dia gak lagi terlihat di sana sejak pagi kemarin,” tutur kembali Sarkim mengulang ceritanya beberapa saat barusan. Mbah Jarwo mendengkus. Ada gurat kesal tertampak dari bias wajah tua tersebut. Lantas berucap seraya entakkan kaki ke tanah, “Aneh ... kenapa si Juanda gak ngasih tahu saya? Biasanya tiap kali ada sesuatu, dia akan segera memanggil buat datang ke rumahnya.” Berkali-kali dia menggeleng seakan belum sepenuhnya memercayai apa yang baru saja diketahui. “Terus ... dari mana kamu tahu kalau si Asih kabur?” “Bukan kabur, Mbah. Tapi
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 25----------------- o0o -----------------Entah sudah yang keberapa kali Basri dipinta untuk terus menuruti permintaan Ratu Galimaya. Bergumul memenuhi hasrat gila perempuan cantik tersebut secara berulang-ulang semalaman penuh. Hampir seluruh persendian lelaki bertubuh kurus itu seperti remuk redam, terkuras habis semua tenaga yang ada, hingga terkapar lelah di atas pembaringan empuk besar beraroma wangi bebungaan. Anehnya, walaupun dalam hati berusaha untuk menolak, tapi entakkan syahwat itu kembali muncul begitu cumbu itu kembali menyentuh area pribadinya.Basri tidak sadar sepenuhnya. Dalam penglihatan lelaki tersebut, Ratu Galimaya adalah istri dia sendiri, Lastri. Otaknya sudah dibekukan sejak meminum isi cawan antik yang diberikan perempuan itu tadi. Bahkan baru saja beberapa saat lalu menuntaskan pergumulan hebat di atas pe