JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (4)
-------------------------- o0o --------------------------
Seorang lelaki berlari-lari panik menyusuri jalanan tanah perkampungan yang masih becek. Napasnya terengah-engah disertai bias raut wajah pucat seperti ketakutan. "Tolooonnggg!" teriak sosok yang masih terlihat muda itu disepanjang langkah. Dia berusaha mencari-cari seseorang di sekitarnya. Namun waktu sepagi itu jalanan masih tampak lengang. Belum banyak orang berlalu-lalang untuk memulai beraktivitas.
"Ada apa, Sarkim?" Seseorang akhirnya menghampiri begitu mendengar teriakan lelaki muda tadi. Dia pun menoleh lega, lantas segera mendekat. "Ada apa? Sepagi ini kamu teriak-teriak minta tolong?" Imbuh sosok tadi kembali bertanya.
Sarkim, begitu laki-laki muda itu dipanggil, berhenti seraya mengatur napas. Tidak lantas menjawab, tapi menunjuk-nunjuk sebuah arah di belakangnya tadi. "M-akam Sukaesih … m-makam Sukaesih, Pak," katanya terpatah-patah.
"Iya," balas sosok di depannya terheran-heran. "Ada apa dengan makam Esih? Ngomong yang bener, Sarkim!"
Sarkim menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Jawab laki-laki itu masih terengah-engah, "Makam Sukaesih, Pak Uyat, ada yang membongkar."
"Apa?" seru Uyat tidak kalah terkejut. "Astaghfirullah … kapan?"
"Saya sendiri gak tahu, Pak, tapi … barusan saya lewat komplek kuburan, dan ngelihat kuburan Sukaesih dalam keadaan porak poranda," jawab Sarkim masih terlihat pucat pasi.
"Ya, Allah!" pekik Uyat langsung timbul rasa khawatir dan takut. Sesaat dia termenung, lantas lanjut berkata, "Baik, sekarang kita lapor dulu sama Kepala Kampung, sebelum ada banyak orang berdatangan ke sana."
"Apa gak sebaiknya Pak Uyat berjaga-jaga saja di sekitar makam? Biar saya yang—"
Tukas Uyat dengan cepat, "T-tidak, Sarkim. S-saya tidak … eh, sebaiknya kita cepat-cepat ke rumah Ketua Kampung saja. Ya, kita berdua."
"T-tapi …."
"Ayolah! Cepat, Sarkim!" desak Uyat terlihat bingung. Laki-laki ini ragu untuk mengambil langkah. Rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti, memaksanya buat memilih melapor bersama-sama.
"B-baik, Pak," balas sosok muda itu akhirnya.
Kemudian kedua laki-laki itu pun bergegas menuju rumah Kepala Kampung Sirnagalih. Berlari-lari dan beberapa kali hampir terpeleset jatuh.
"Ada apa kalian berdua sepagi ini?" tanya Kepala Kampung setiba Sarkim dan Uyat di rumahnya. "Gak lihat, saya lagi enak-enaknya ngopi?"
Kedua laki-laki itu saling melempar pandang. Sejenak mereka melirik ke arah gelas kopi dan rebus ubi jalar di atas meja di samping tempat duduk Kepala Kampung. Tanpa diberi aba-aba, jakun keduanya turun-naik menelan air liur.
"Kim, kamu yang ngomong, deh," pinta Uyat ragu-ragu untuk memulai berbicara. Balas Sarkim bertanya heran, "Kenapa saya, Pak? Saya—"
"Bukannya kamu yang pertama kali melihat …." Uyat berhenti berucap, lantas melirik pada Kepala Kampung. " … kuburannya si Kesih," bisiknya ke dekat telinga Sarkim.
Kepala Kampung mengernyit. "Ada apa, sih, sebenarnya? Kenapa malah berbisik-bisik?"
Uyat menyikut lengan Sarkim agar segera melapor. "Cepetan ngomong, Kim," perintahnya masih dengan suara pelan.
"I-iya, Pak," ujar laki-laki muda itu dengan sisa rasa ketakutan semenjak menyaksikan kondisi kuburan Sukaesih beberapa saat lalu. "A-anu, Mbah Jarwo. S-saya … eh, i-itu … itu …."
"Bicara yang jelas, Sarkim," seru Kepala Kampung yang dipanggil Mbah Jarwo itu bangkit dari duduknya. "Ada apa sebenarnya, hhmm?"
Sarkim menoleh sejenak pada Uyat, lantas lanjut berkata, "I-itu … kuburan Sukaesih … ada yang membongkar, Mbah."
"Apa?" Mbah Jarwo tersentak kaget. "Yang bener kamu bicara, Sarkim!"
"B-betul, Mbah," jawab laki-laki muda itu gagap. "S-saya lihat sendiri dengan mata kepala saya sendiri."
"Kapan terakhir kali kamu lihat?" Mbah Jarwo penasaran. Jawab kembali Sarkim, "B-barusan … eh, maksud saya … tadi waktu saya lewat kompleks kuburan kampung. Kuburan itu sudah acak-acakan."
"Astaghfirullahal'adziim!" seru Mbah Jarwo makin terkejut. Dia sampai menutupi muka saking paniknya. "Sekarang juga … kamu, Uyat, cepat beritahu Juragan Juanda tentang ini," titah sosok tua itu, "sementara saya dan Sarkim akan ke kuburan Sukaesih untuk berjaga-jaga."
Uyat langsung mengiakan. "Baik, Mbah," ujarnya tanpa ba-bi-bu.
"Ayo, Sarkim, kamu ikut saya ke sana," ajak Mbah Jarwo seraya meraih pundak laki-laki muda tersebut.
"Iya, Mbah."
Belum banyak langkah diayun, sekonyong-konyong istri Mbah Jarwo muncul dari dalam rumah. "Mau ke mana, Pak?" tanya perempuan tua tersebut.
Mbah Jarwo, Sarkim, dan Uyat serempak menghentikan langkah serta menoleh bersamaan. "Kamu tunggu saja di rumah, Bu. Aku ada urusan dulu dengan warga," jawab sosok tua yang selalu mengenakan ikat kepala batik itu. "Terus kopi dan rebus ubi ini?" tanya kembali istrinya. Laki-laki tua tersebut melirik pada Sarkim dan Uyat. Keduanya terlihat tengah sama-sama menelan ludah untuk kedua kalinya.
"Simpan saja ke dalam, Bu," jawab Mbah Jarwo sembari menyeringai masam, "nanti akan aku lanjut begitu urusanku selesai." Dia tidak ingin istrinya ikut panik jika sampai mengetahui kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih tadi.
"Ya, sudah kalau begitu, Pak."
Mbah Jarwo menoleh pada Uyat dengan tatapan keras. "Kenapa kamu masih di sini, Uyat? Bukannya saya sudah suruh kamu pergi ke rumah Juragan Juanda?"
"O, iya, Mbah. Maaf," ujar Uyat cepat-cepat pamit dari hadapan sosok Kepala Kampung tersebut.
Mbah Jarwo berdecak kesal.
"Kenapa si Tua Bodoh itu selalu saja gak pernah bisa di andalkan? Huh!" gerutunya seraya menggeleng-geleng. Kemudian lekas mengajak Sarkim untuk melanjutkan langkah mereka yang terhenti tadi.
Waktu itu mentari masih malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Hanya sediikit menyisakan biasnya di langit-langit berwarna kekuningan. Saat dimana orang-orang masih betah mempersiapkan diri di rumah sebelum melakukan aktivitas.
Mbah Jarwo dan Sarkim berjalan terseok-seok menuju area pekuburan kampung. Memotong jalan yang tidak biasa dilalui, melewati perkebunan yang masih lembab, agar lebih cepat dan dekat dengan lokasi tujuan.
"Kamu yakin kalau makam yang dibongkar itu milik almarhumah Sukaesih?" Bertanya sosok tua itu di tengah perjalanan. Jawab Sarkim yang berjalan tepat di belakang Mbah Jarwo, "Tentu saja saya yakin, Mbah." Hati-hati dia berjaga-jaga agar Kepala Kampung tersebut tidak sampai terpeleset atau jatuh. "Beberapa malam yang lalu, saya sempat ikut mengaji di depan kuburan Kesih."
"Hhmmm," deham Mbah Jarwo seraya berpikir. "Kasihan sekali nasib gadis itu. Sudah hidupnya menderita, kini ketenangannya pun terusik. Entah apa maksud yang dilakukan oleh manusia laknat itu pada jasad Kesih. Eh, ngomong-ngomong apa kamu sudah periksa kondisi mayatnya, Kim?"
Laki-laki muda itu menggeleng.
"Sarkim!" panggil Mbah Jarwo karena tidak kunjung mendengar jawaban dari sosok yang ada di belakangnya tersebut.
"Eh, enggak, Mbah," jawab Sarkim.
"Apa maksudmu dengan kata 'enggak' itu, heh?!" tanya Mbah Jarwo seraya menoleh sejenak. "Bukannya tadi kamu katakan melihat dengan mata kepala kamu sendiri? Bagaimana ini, huh?"
Jawab kembali laki-laki muda itu, "M-maksud saya … cuma melihat sekilas kondisi kuburannnya, Mbah, t-tapi gak berani sampai memeriksa … mayatnya."
"Hhhmmm."
"Soalnya tadi masih agak gelap, Mbah," Sarkim berkilah. "S-saya takut."
Mbah Jarwo tidak membalas ucapan Sarkim. Dia terus berjalan tertatih-tatih begitu melewati jalanan menanjak dan licin. Napas tuanya sesekali terdengar berdenging seperti sesak. Sampai kemudian setelah beberapa waktu berlalu ….
"Astaghfirullahal'adziim!" seru laki-laki tua itu begitu tiba di depan kuburan Sukaesih. "Manusia atau makhluk apa yang tega berbuat seperti ini! Biadab!"
Sarkim ikut melongok untuk melihat isi makam yang porak peranda dengan perasaan takut. Tampak kondisi jasad kembang kampung itu tergolek dengan posisi mengenaskan. Bagian kepala miring terarah ke dalam ceruk kuburan, sementara sebatas pundak ke bawah justru tergeser ke luar.
"A-pa yang harus kita lakukan sekarang, Mbah?" tanya Sarkim sambil menutup hidung rapat-rapat. Beberapa kali dia menahan lonjakan rasa mual yang menyesakkan dada. Jawah Kepala Kampung tersebut di antara kecamuk pikirannya, "Kita tunggu sampai Juragan Juanda datang nanti, Kim." Laki-laki muda itu menunjuk ke dalam dasar makam, lantas berkata, "Tapi kondisi leher mayatnya seperti—"
"Saya tahu, Sarkim," tukas Mbah Jarwo, "makanya kita tidak boleh bertindak gegabah sebelum semuanya jelas. Paham kamu?"
"I-iya, Mbah. S-saya … hhoeeekkk!"
Sosok tua itu mendelik. "Sialan! Kamu malah muntah di dekat saya. Huh!" rutuknya dengan seringai jijik menghiasi raut wajahnya. Padahal dia sendiri dari tadi berusaha menahan hal yang sama, begitu aroma dari dalam kuburan mulai menyeruak.
"Maaf, Mbah, s-saya … sudah gak tahan … hooeekkk!" Sarkim kembali mengeluarkan stok isi lambungnya sampai terbatuk-batuk.
"Jauh-jauh kamu dari sini, Sarkim!" sentak Mbah Jarwo turut merasakan mual hebat seketika. "Hooeekkk! Aaahh!"
Mereka segera menjauh dari lubang makam dan mencari udara segar untuk sekadar melonggarkan pernapasan. Bau busuk itu masih juga samar-samar mengikuti terbawa embusan angin pagi.
Tidak berapa lama, seorang lelaki perlente tiba bersama sosok-sosok lain mengikuti dari belakang. Wajahnya tampak keruh disertai aroma murka yang terpancar dari kedua bola mata.
"Juragan! Syukurlah, akhirnya Anda datang juga!" seru Mbah Jarwo begitu mengenali sosok yang baru datang tersebut.
"Apa yang terjadi dengan kuburan anak saya, Mbah?" tanya Juragan Juanda sambil melihat-lihat seisi makam. Jawab Kepala Kampung Sirnagalih itu kemudian, "Saya belum bisa memastikan lebih jauh, Juragan. Sejak tadi hanya berjaga-jaga saja dari kemungkinan hal yang tidak diinginkan. Saya belum berani bertindak apa-apa."
Juragan Juanda mendeham, "Hhmmm." Tanya laki-laki itu kemudian, "Siapa yang pertama kali melihat kuburan anak saya ini?"
"Sarkim, Juragan," jawab Mbah Jarwo seraya menunjuk sosok muda di sampingnya. Sarkim mengacungkan jari telunjuk dan turut berkata dengan suara gemetar, "I-iya, saya sendiri, Juragan."
Sorot mata Juragan Juanda kian menajam. "Kapan kamu menemukan kondisi kuburan ini dalam keadaan seperti ini, Sarkim?"
Sarkim melirik sejenak pada Uyat yang berdiri di antara orang-orang bawaan Juragan Juanda, kemudian menjawab terpatah-patah ketakutan, "P-pagi tadi, Juragan. Persis sepagi tadi. S-saya langsung lari untuk memberitahu warga dan bertemu dengan Pak Uyat di tengah jalan. Lalu kami berdua melapor pada—"
Tukas Mbah Jarwo seketika, "Iya, Juragan. Mereka langsung datang melapor pada saya. Terus saya suruh Uyat memberitahu Anda saat itu juga. Sementara saya dan Sarkim bergegas ke sini untuk berjaga-jaga."
Juragan Juanda berpikir sejenak. "Berapa banyak orang yang tahu perihal pembongkaran makam anak saya ini?" tanyanya kembali pada Mbah Jarwo dan Sarkim.
Sosok tua Kepala Kampung itu menoleh pada Sarkim. "Siapa saja yang kamu beritahu, Kim?"
Jawab Sarkim ketakutan, "Hanya Pak Uyat dan Mbah saja."
"Kamu yakin?" Juragan Juanda ingin meyakinkan.
"I-iya, Juragan. Tentu saja saya yakin sekali," jawab Sarkim seraya melirik pada Uyat. "Benar, 'kan, Pak Uyat?" tanyanya meminta penegasan.
Juragan Juanda beserta yang hadir di sana, serentak menoleh ke arah sosok yang sama. Jawab Uyat disertai detak jantung berdebar-debar hebat, "Iya, Juragan. Saya pikir juga begitu."
Laki-laki perlente itu menarik napas lega, lantas berujar pelan, "Aahhh, syukurlah."
Semua yang ada di sana ikut turut merasa lega.
"Lalu, apa yang akan Anda lakukan dengan kuburan almarhumah Sukaesih ini, Juragan?" Bertanya Mbah Jarwo. "Apakah enggak kita laporkan saja dulu ke pihak berwajib?"
"Tidak usah, Mbah," jawab Juragan Juanda. "Sebaiknya jangan sampai ada yang tahu mengenai ini."
"Lho, kenapa, Juragan? Bukannya ini termasuk tindak kriminal? Kita harus mengusut kejadian ini dan mencari pelaku—"
"Jangan ceramahi saya, Mbah!" seru Juragan Juanda menyentak. "Saya tahu itu! Tapi saya tidak ingin kasus ini sampai merebak ke luar kampung!"
"Maafkan saya kalau begitu, Juragan," ucap Mbah Jarwo sambil menundukkan kepala. "Saya hanya mencoba—"
"Keluarga saya masih berduka, Mbah," tukas laki-laki perlente itu dingin. "Saya tidak ingin istri saya ikut terbebani kembali nanti. Cukuplah kisah anak kami, Sukaesih, berhenti sampai di sini. Biarkan dia tertidur nyenyak sepanjang waktu."
"Saya paham, Juragan," ucap Kepala Kampung tersebut memilih untuk mengalah, walau sebenarnya dia ingin sekali mengetahui pelaku pembongkaran kuburan warganya ini.
Kemudian Juragan Juanda Wiratadiredja memerintahkan orang-orang yang dia bawa tadi untuk segera menimbun kembali lubang makam Sukaesih. "Lakukan secepatnya sebelum ada yang melihat keberadaan kita di sini!"
"Baik, Juragan!" jawab mereka serempak. Kemudian semuanya segera turun ke dalam makam dengan cangkul tergenggam erat di tangan. Satu dari orang-orang tersebut dibisiki oleh Juragan Juanda sebelum melakukan tugas. Sosok itu kemudian mengangguk-angguk, lantas ikut bergabung dengan yang lain. Sisanya berdiri mengelilingi tepian kuburan termasuk Mbah Jarwo, Uyat, dan Sarkim.
"Setelah pekerjaan ini selesai, kita berkumpul di saung di kebun saya. Semuanya, tanpa terkecuali," ujar Juragan Juanda seraya melirik pada Mbah Jarwo dan kedua lelaki di sampingnya, Uyat serta Sarkim. "Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kalian semua," imbuhnya diikuti anggukan sosok-sosok tersebut.
Sarkim dan Uyat saling berpandangan. Bisik salah satunya sambil memperhatikan proses pengurukan kembali kuburan Sukaesih, "Juragan mau ngomong apa, ya, Pak? Apa dia akan menuntut saya?"
"Menuntut apa? Memangnya kamu salah apa, Kim?"
"Saya sendiri gak tahu," ujar Sarkim diliputi berbagai pertanyaan dan rasa khawatir. "Tapi saya takut, mungkin saja dia mencurigai saya yang melakukan pembongkaran kuburan anaknya ini."
"Hhmmm, kamu melakukannya?"
"Tentu saja enggaklah, Pak," tandas Sarkim. "Bagaimana mungkin saya melakukan hal sebodoh ini. Lagipula, buat apa? Sukaesih mati secara tidak wajar, Pak. Bunuh diri. Saya malah takut arwahnya dia bakal gentayangan."
"Ssttt, jaga ucapanmu, Kim," ujar Uyat mengingatkan. "Nanti kalau kedengeran sama Juragan Juanda, dia akan tersinggung, lho."
Cepat-cepat Sarkim menutup mulut dengan telapak tangannya. Dia melirik sejenak pada sosok terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut. Tampak Juragan Juanda tengah fokus memperhatikan pesuruhnya yang sedang merapikan kembali kuburan Sukaesih.
"Aku masih heran, Pak," imbuh lelaki muda tersebut beberapa saat kemudian. Uyat menoleh dan bertanya, "Heran apalagi, Kim?"
"Juragan Juanda …."
Uyat ikut menoleh sejenak ke arah laki-laki perlente tadi. "Kenapa dengan dia, Kim?"
Sarkim berpikir sesaat sebelum menjawab. "Kenapa dia gak ingin kejadian ini dilaporkan pada polisi? Apa dia gak ingin tahu juga siapa pelakunya, ditangkap, atau—"
"Ssttt, bukannya tadi dia sudah memberikan alasannya? Kamu juga dengar, 'kan?"
"Huh, itu cuma alasan dia saja, Pak," ujar Sarkim diiringi seringai kecutnya. "Saya yakin, dia mempunyai rencana lain."
Mbah Jarwo menoleh mendengar kedua laki-laki itu berbisik-bisik samar. "Heh, apa yang sedang kalian bicarakan?"
Sarkim dan Uyat terperanjat.
"Eh, enggak, Mbah," jawab Uyat setengah berbisik. "Kami cuma mengira-ngira kejadian ini." Kepala Kampung itu mendelik galak, lantas berujar, "Jangan bicara yang bukan-bukan, Uyat-Sarkim! Kita belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Biarkan saja Juragan Juanda membereskan masalah ini dengan caranya sendiri. Ingat itu!"
"I-iya, M-mbah," jawab keduanya serempak.
Juragan Juanda menoleh sebentar, memperhatikan ketiganya dengan bias sorot mata tajam. Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir sosok tersebut. Lantas kembali memperhatikan para pekerjanya. Sudah hampir selesai menjelang pagi menyingsing.
-------------------------- o0o --------------------------
Sementara itu di warung 'gosip' Bariah, sekumpulan ibu-ibu tengah berkerumun memilih belanjaan.
"Eh, Mpok Leha," ujar Bariah seraya merapikan dagangan pada salah seorang pelanggan di warungnya. "Tahu gak, itu si Mbak Lastri kemaren ngedadak punya duit banyak, lho."
"Lah, emang kenapa, Bu?" tanya sosok bernama Leha tadi sambil menyernyit heran. "Baguslah dia punya duit banyak. Jadi gak bakalan ngutang lagi, dong. Hi-hi."
"Mpok Leha nyindir saya?" Seseorang menimpali di sampingnya diiringi cibiran sebal bibir merah tidak rata.
Leha mengikik diikuti oleh Bariah dan dua ibu-ibu lainnya. "Ya, enggaklah, Tèh Iim," jawabnya usai tawanya reda. "Kita, 'kan, lagi ngomongin si Lastri. Bukan Tèh Iim. Ih, perasa banget, sih."
"Huh, kirain nyindir-nyindir saya," ucap Iim tersinggung. "Lagian saya, mah, kalo ngutang juga gak sampe berbulan-bulan, tuh, kayak si Lastri. Begitu salaki saya gajihan, langsung saya bayar. Iya, 'kan, Bu Bariah?"
"Iya … iya, Tèh Iim. Tenang aja kenapa, sih?" jawab Bariah sambil lirik-lirikan pada ketiga langganannya yang lain.
Ibu-ibu yang lain ikut bersuara, "Eh, terus masalah Mbak Lastri itu 'gimana, Bu? Emang dia punya duit dari mana, ya? Bukannya Mas Basri suaminya itu udah semingguan ini gak pulang-pulang?"
Bariah melihat-lihat sekeliling sebentar sebelum menjawab. "Justru itu, Mbak Welas-Mbak Yani," katanya pada dua pelanggan lainnya, "begitu lakinya si Mbak Lastri itu pulang, semua utang-utangnya dibayar lunas. Terus saya sempet lihat di dompetnya, masih ada banyak, lho, uangnya."
Yani menimpali sambil mencibir, "Yakin itu duit, Bu? Paling juga isinya KTP sama kertas utangan. Iya gak, Ibu-ibu? Hi-hi."
Welas pun ikut berkata, "Eh, tapi iso dadi iku memang beneran duit, lho, Mbak Yan. Ya, kalo ndak, mana mungkin Bu Bariah mau nerimo iku duite Mbak Las. Iyo ndak, Bu-ibu?"
Mereka mengamini ucapan Welas diiringi anggukan.
Bariah kembali mengompori, "Iya, sih, emang duit beneran, kok. Tapi saya jadi heran saja, kira-kira Mas Basri itu kerjanya apa, ya? Seminggu ngilang, kok, bisa punya duit sebanyak itu? Biasanya juga kalo bayar utang sama saya, paling setengahnya doang. Abis ntuh kasbon lagi."
"Masa, sih, Bu?" tanya Leha penasaran diikuti lirikan ibu-ibu yang lain.
"Iya, beneran, Mpok," jawab kembali Bariah. "Terus, pas saya tanyain kemaren sama si Mbak Las tentang kerjaannya Mas Basri, dia jawab enggak tahu. Aneh, 'kan? Masa, sih, ada bini sampe gak tahu kerjaan lakinya? Kayak lagi nutup-nutupin 'gitulah kalo saya perhatiin kemaren itu, Bu-ibu."
Keempat pelanggan warung Bariah serentak saling berpandangan.
"Jangan-jangan …." Mata Yani membulat besar. Disambar tanya oleh Leha penasaran, "Jangan-jangan kenapa, Mbak?"
Yani melambaikan tangan menyuruh ketiga ibu-ibu lain mendekat, diikuti Bariah seraya menyorongkan badan di antara tatanan dagangan ke depan kerumunan, lantas menjawab berbisik, "Mas Basri itu jadi begal motor, Bu-ibu."
"Tahu dari mana, Mbak?" tanya Welas sambil menahan napas begitu napas mulut Yani mengembus ke lubang hidungnya.
Jawab Yani kembali, "Bisa jadi, 'kan? Coba saja pikir, deh, kerjaan apa yang bisa dapetin duit banyak cuma dalam waktu seminggu. Kecuali … ya, itu tadi. Ngerampok, ngebegal, atau juga …."
"Apalagi?" Bariah tambah penasaran.
"Jadi laki piaraan tante-tante kaya," imbuh Yani disambut cibiran keempat rekan-rekan gibahannya. "Ya, buat menuhin nafsu ranjang orang-orang kaya yang kesepian begitulah, Ibu-ibu."
Leha membalas, "Kalo yang terakhir itu, sih, kayaknya gak mungkin, deh, Mbak. Orang si Basri itu gak cakep. Mana item, kerempeng, jelek, miskin lagi. Hhmmm, mana ada, sih, tante-tante kaya yang mau sama dia. Saya aja kadang suka enek ngelihatnya."
"Eehhh, tapi ojo kleru, lho, Mpok Leha," ucap Welas menyangkal. "Ono, toh, perempuan-perempuan kaya raya di sana yang ndak mandang fisik wong lanang. Sing penting, 'teronge' yang besar, panjang, dan kuat di ranjang. Hi-hi."
"Bener pisan èta téh, Mbak Welas," tandas Iim sambil cekikikan. "Kasèp juga buat naon kalo loyo, mah. Baru aja nyelup sekali, langsung ngabura. Hi-hi."
"Ngabura iku opo toh, Tèh Iim?"
Iim tertawa-tawa sebelum menjawab, "Ngabura itu … keluar cairan sesuatu, Mbak Welas. Siga pancuran kental 'gitulah. Hi-hi."
"Ih, Tèh Iim jorseu! Hi-hi!" balas Bariah dengan wajah mendadak merona. Maklum sudah beberapa tahun 'menganggur' semenjak ditinggal suaminya meninggal dunia. "Eh, kalo emang bener si Basri itu begal motor, saya gak jadi, deh, nyuruh si Supri buat ikut kerja ama dia. Nanti malah jadi gak bener anak saya. Apalagi kata si Mbak Las, suaminya itu punya bisnis sama temennya. Coba pikir, bisnisnya dia gak tahu apa. Gaje banget, 'kan? Ih!"
Ujar Leha turut menduga-duga, "Bisa jadi juga si Basri itu ngepet, Bu."
"Ngepet? Jadi babi jejadian 'gitu, Mpok?"
"Ho'oh semacam itulah, Bu," jawab Leha. "Si Basri yang jadi babinya, terus temennya itu bagian jagain lilinnya. 'Ngkali aja bisnis mereka itu kayak begituanlah."
"Ih, serem!" seru ibu-ibu itu.
Percakapan tiba-tiba berhenti, begitu dari kejauhan terlihat Lastri sedang berjalan ke arah warung.
"Sssttt, ada Mbak Lastri datang," bisik Bariah.
"Wah, gawat!" ujar Leha terkejut. "Inget, ya, jangan sampai dia tersinggung atau nanti kita bakal jadi tumbal babi ngepetnya."
BERSAMBUNG
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (5)-------------------------- o0o --------------------------Juragan Juanda duduk berdampingan dengan Kepala Kampung Mbah Jarwo di hadapan para tetamu undangannya di sebuah gubuk sederhana. Tempat yang sengaja dibangun di sebuah lahan perkebunan miliknya, tidak berapa jauh dari kediaman mewah orang terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut."Terima kasih saya haturkan kepada Bapak-bapak yang telah berkenan menerima undangan saya untuk turut hadir di sini," ujar laki-laki perlente itu mulai membuka percakapan. Sejenak dia melirik dan menepuk lengan tetua kampung di sampingnya, lantas lanjut berkata, "Terutama kepada yang saya hormati Mbah Jarwo atas bantuannya yang sangat berharga."Juragan Juanda berhenti sesaat sambil menundukkan kepala. Tampak sekali raut sedih menghiasi wajahnya yang masih terlihat gagah di usia menjelang senja."Mengenai kejadian semalam yang menimpa kuburan almarhumah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (6)-------------------------- o0o --------------------------Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut."Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "Wa'alaikumussalaam, Nak."Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?""Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?""Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (7)-------------------------- o0o --------------------------Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu."Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Han
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (10) --------------------- o0o --------------------- Basri dan kedua anaknya, Aryan dan Maryam, serempak mempercepat langkah sepulang dari musala. Mereka berlari-lari kecil begitu melihat kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita. “Lho ... kok, lampu depan gak dinyalain, Pak?” tanya Aryan seraya menengok ke arah Basri yang berlari di belakang. “Apa Ibu lupa nyalain lampu?” Bukan hanya lampu depan, nyatanya begitu tiba di beranda rumah, hal yang sama pun terjadi di dalamnya. “Bapak sendiri gak tahu, Yan,” jawab lelaki tersebut sembari mengintip celah kain gorden jendela. Pekat menggulita. “Mungkin KWH-nya ngejepret atau Ibu ketiduran,” imbuhnya kembali was-was. Segera memeriksa meteran listrik yang berada tepat di samping atas pintu akses utama keluar-masuk rumah. Normal. Masih dalam kondisi semest
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (11) --------------------- o0o --------------------- Alunan musik dangdut menggema hingar memenuhi ruangan temaram dengan cahaya warna-warni. Basri hanya duduk-duduk menatap layar televisi berukuran besar, ikut berdendang pelan sambil membaca rangkaian lirik lagu yang tersuguh. Sementara dua temannya asyik bernyanyi mengikuti ketukan irama, ditemani dua perempuan pemandu karaoke berpakaian minim dan ketat. Sesekali tangan-tangan mereka bergerilya menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif masing-masing, lantas disambut cekikik nakal dari keempatnya. Belasan lagu sudah mereka lewati, tapi hanya beberapa yang benar-benar diikuti dengan saksama. Sisanya bercampur aktivitas lain sambil menikmati sajian minuman khas beraroma menyengat. Sesaat Basri menatap empat sosok di sampingnya sembari memijit-mijit kening. Sedikit te
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (12) --------------------- o0o --------------------- Menjelang senja hari di sebuah warung makan di pinggiran kota, Basri dan kedua temannya, Juned dan Cemong, duduk-duduk santai usai menikmati santapan makan malam. Ketiga laki-laki tersebut asyik kemasuk memainkan kepulan asap rokok dari mulut sambil berbincang-bincang ringan. “Jadi elu yakin bakal pindah operasi dari kota ini, Bas? Mulai kapan?” tanya Juned di antara bubung asap nikotin terembus dari kedua lubang hidungnya. Yang ditanya celingukan sesaat memperhatikan ruangan sekitar tempat makan, terutama pada beberapa sosok pengunjung lain di dalam sana. Jawab Basri kemudian dengan suara pelan, ”Mungkin secepatnya, Ned.” Dia mengambil kembali sebatang rokok baru begitu yang awal tadi sudah nyaris memendek panas terjepit di jemari. “Keberadaan gua di kota ini
BUAH CINTA BERDARAH Written by David Khanz ---------- o0o ---------- Unti menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Sesekali, isak tangis gadis cantik itu terdengar di antara desiran bayu yang bertiup, membelai lembut panjang rambutnya yang tergerai hingga panggul. Dengan bola mata indah berkaca-kaca, menatap hampa jauh ke depan tanpa tujuan. Seakan tengah berpikir untuk mencari tambatan, dari gelayut perih dalam hati yang masih terasa. Perlahan Unti meraih sisa kain penutup tubuh yang berserak di atas rerumputan. Sebagian sudah koyak direnggut paksa oleh laki-laki bergajul bernama Uwok, sesaat sebelum gadis itu hilang kesadaran dan juga kesucian. Ya, laki-laki durjana itu telah merampas mahkota kebanggaan yang seharusnya Unti persembahkan untuk kekasih pujaan hati, Ocong. Namun apalah daya, kini semuanya telah musnah berganti nestapa. Uwok tiba-tiba datang menghancurkan impian yang selama ini menjadi bunga-bunga kehidupan Unti dan Ocong yang penuh cinta. "Demi langit
JIMAT TALI MAYAT(Cerpen version)Written by David Khanz---------- o0o ----------Saat kutiba di rumah pagi itu, Kesih sudah terlihat bugar. Wajah berseri, segar, dengan rambut basah beraroma wangi."Udah bangun juga, Bang?" tanya perempuan itu dengan balutan handuk masih melilit di setengah badan. "Kok, udah rapih?"Kutatap Kesih tajam. "Tumben kamu juga udah mandi, Dek? Mau ke mana sepagi ini?"Dia tersenyum. Menghampiriku dan bergelayut manja. "Abang ini gimana, sih? Lupa semalaman kita abis ngapain?" katanya genit. Kemudian mengendus tubuhku sesaat. "Abang gak mandi? Udah rapi, kok, masih bau asem?"Semalam? Kita? Aku dan dia? Apa yang kulakukan sepanjang malam bersamanya? Dari kemarin petang tak ada di rumah. Baru pagi ini pulang."Kesih ... kamu?" Kuperhatikan leher perempuan itu penuh bercak merah. Seperti bekas gigitan. Dia mencubit hidung ini, diiringi senyum semringah nan menggoda. Kemudian ujarnya, "Ah, Abang ini paling bisa, deh, bikin aku klepek-klepek. Permainan Abang s
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 31-------------------- o0o --------------------Rasa kecewa karena telah dikhianati oleh kawan sendiri, membuat batin Basri merasa sakit laksana ditancapi ribuan jarum berkarat di paru-paru. Sakit dan akan terus terasa sakit setiap kali menarik nafas. Tidak menyangka bahwa perjalanan hidupnya akan sepahit ini. Kemarin merasa jauh lebih bangga karena genggaman harta dengan mudah di dapat, hari ini justru berbalik perih seperti tengah meregang sekarat.Ingatan akan sosok terkasih di rumah kian membayangi, akan tetapi entah apa yang akan dijawab jika kondisi dirinya seperti ini. Basri enggan kembali sebelum dapat mengembalikan kejayaannya seperti semula.‘Aku harus mendapatkan jimat itu kembali. Apa pun caranya,’ ujarnya bertekad. Karena hanya dengan benda dan caranya selama itulah, kehidupan keluarga akan terus terjamin. ‘Aku tidak mau hidup miskin lagi. Menjadi bahan gunjingan dan hinaan orang-orang sekitar. Bahkan dari pandangan sebelah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 30-------------------- o0o --------------------Di waktu siang hari, Mbah Jarwo pontang-panting keluar-masuk rumah mencari-cari istrinya, Emak Sari. Di dapur tidak ditemukan, di kamar dalam apalagi. Gurat gusar seketika tertampak dari raut wajah tuanya. “Ke mana istriku? Enggak biasanya dia menghilang begitu saja dari rumah,” gumam lelaki tua tersebut sibuk bertanya-tanya sendiri. “Apakah dia ke kebun? Sawah? Ah, rasanya enggak mungkin. Sudah lama istriku itu gak pernah lagi ke sana.”“ ... Atau mungkinkah dia pergi karena perselisihannya denganku tempo hari? Ah, mengapa harus pergi? Tadi pagi dia bersikap biasa-biasa saja. Terus ke mana, dong?”Hampir seharian itu Mbah Jarwo menunggu di depan rumah. Berharap Emak Sari muncul atau pulang. Hingga kemudian deru kendaraan bermotor mengalihkan fokus lelaki tersebut pada asal sumber suara yang ada.Benar saja, Emak Sari pulang ke rumah menaiki kendaraan ojek kampung. Begitu turun, langsung di
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 29-------------------- o0o --------------------Basri menggeliat layaknya cacing kepanasan. Meluruskan sedikit persendian serta urat di tubuhnya yang terasa kaku. Sejenak dia menguap lebar, lantas perlahan-lahan membuka kelopak mata yang masih dirasa berat.‘Sudah pagikah atau ini siang hari?’ Bertanya lelaki bertubuh kurus kering itu begitu merasakan silau menusuk bola mata dari cahaya terang melalui singkapan jendela terbuka.Masih dengan sisa kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, tangannya bergerak-gerak ke samping hendak menyentuh sosok perempuan semalam. Lilis. Kosong. Tidak tersentuh apa pun di sana, terkecuali sprei putih dan selimut yang masih acak-acakan disertai bantal teronggok kesepian.“Lis?”Basri celingukan memutari sudut kamar. Sama. Tidak tampak siapa pun di dalam sana, terkecuali dirinya sendiri. Dengan kening berkerut, lelaki itu bangkit, menyingkap dekapan selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh polosnya.“Lis?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 28---------- o0o ----------“Kita makan dulu ya, Kang,” ujar Lilis sembari menyiapkan pesanan makanan di atas meja kamar. “Habis itu, kita terusin lagi ngobrol-ngobrolnya.”Basri menarik napas dalam-dalam. Rasa penasaran yang sejak tadi tersimpan, untuk sementara terpaksa harus kembali dia jaga. Lantas melirik ke atas meja dimana teronggok bungkusan makanan yang sudah siap dinikmati. ‘Huh, sialan!’ rutuk lelaki itu begitu mengetahui, gerangan menu apa yang tersaji di sana. Ayam goreng. ‘Gua lupa ngasih tahu Lilis, kalo gua gak boleh makan makanan enak-enak.’ Sesaat dia mengelus perut. Lagipula saat itu Basri tidak terlalu merasa lapar. Sajian khusus di bibir jalan menuju tempat kediaman Ki Jarok tadi, rasanya masih cukup mengganjalnya hingga kini.Burung hantu?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 27---------- o0o ----------Rintik hujan masih turun mengepul di udara. Memberi nuansa dingin menyelimuti di sepanjang langkah Basri menuruni terjal jalanan tanah dari lereng Gunung Halimun. Langit sebelah barat kian mengelabu di antara bentangan sempurna sekumpulan awan di sana menutupi sinar mentari penutup hari. Sejenak lelaki itu melirik jam di tangan. Telah menunjukkan waktu hampir pukul lima petang.‘Sialan,’ rutuk Basri memaki-maki sendiri seraya membetulkan letak ransel di punggung. ‘Kalo sampai kemalaman kayak begini, lebih baik aku menunda kepulanganku ke rumah hingga besok hari saja. Sangat riskan rasanya kalo memaksakan pulang selarut sekarang. Huh! Mana hapeku mati lagi.’Jejak sepatunya dipijak kuat-kuat agar tidak sampai jatuh terpeleset di atas jalanan licin. Sesekali matanya
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian 26 ---------- o0o ---------- “Apa?!” Mata tua Mbah Jarwo kembali membelalak kaget usai mendengar penuturan dari Sarkim perihal Asih. Lelaki muda tersebut menatap tajam sosok tetua di depannya dengan perasaan takut. “Iya, Mbah, Ceu Asih pergi dari rumah Juragan Juanda. Dia gak lagi terlihat di sana sejak pagi kemarin,” tutur kembali Sarkim mengulang ceritanya beberapa saat barusan. Mbah Jarwo mendengkus. Ada gurat kesal tertampak dari bias wajah tua tersebut. Lantas berucap seraya entakkan kaki ke tanah, “Aneh ... kenapa si Juanda gak ngasih tahu saya? Biasanya tiap kali ada sesuatu, dia akan segera memanggil buat datang ke rumahnya.” Berkali-kali dia menggeleng seakan belum sepenuhnya memercayai apa yang baru saja diketahui. “Terus ... dari mana kamu tahu kalau si Asih kabur?” “Bukan kabur, Mbah. Tapi
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 25----------------- o0o -----------------Entah sudah yang keberapa kali Basri dipinta untuk terus menuruti permintaan Ratu Galimaya. Bergumul memenuhi hasrat gila perempuan cantik tersebut secara berulang-ulang semalaman penuh. Hampir seluruh persendian lelaki bertubuh kurus itu seperti remuk redam, terkuras habis semua tenaga yang ada, hingga terkapar lelah di atas pembaringan empuk besar beraroma wangi bebungaan. Anehnya, walaupun dalam hati berusaha untuk menolak, tapi entakkan syahwat itu kembali muncul begitu cumbu itu kembali menyentuh area pribadinya.Basri tidak sadar sepenuhnya. Dalam penglihatan lelaki tersebut, Ratu Galimaya adalah istri dia sendiri, Lastri. Otaknya sudah dibekukan sejak meminum isi cawan antik yang diberikan perempuan itu tadi. Bahkan baru saja beberapa saat lalu menuntaskan pergumulan hebat di atas pe