JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (2)
------------------------ o0o ------------------------
Dua hari pada keesokan petangnya, Basri baru kembali pulang ke rumah, disambut Lastri istrinya sambil terisak-isak berkata, "Ke mana saja kamu selama seminggu ini, Pak? Aku mencari-carimu sampai ke rumah orang tuamu. Tapi Abah sama Ambu pun tidak tahu keberadaan kamu. Anak-anak juga, mereka terus-terusan pada nanyain kapan Bapak pulang."
Basri memeluk istrinya seraya tersenyum-senyum penuh makna. "Maafin aku, Bu. Aku—"
"Enak banget kamu pulang-pulang minta maaf sambil senyum-senyum begitu," tukas Lastri marah dan berusaha melepas dekapan suaminya. "Kamu gak tahu bagaimana aku repotnya ngurus anak-anak selama beberapa hari lalu tanpa ada kabar sedikit pun darimu. Apa, sih, yang kamu lakuin, Pak?"
"Iya, aku tahu aku salah, Bu," balas Basri tetap tenang. "Aku pergi juga buat kalian, kok. Habis nyari kerjaan."
"Tapi seenggaknya ngomong dulu atau apa, kek, Pak. Ini pergi maen pergi aja tanpa pamit segala. Aku juga jadi mikir yang enggak-enggak, 'kan?" Walaupun sempat dilanda amarah, tapi kepulangan suaminya tersebut, sedikit mampu membuat perempuan itu lebih tenang. Lastri hanya ingin melampiaskan sesaat kekesalannya belaka.
Kembali Basri memeluk istrinya lebih erat, lantas berucap, "Iya, Bu. Maafin aku, ya? Pokoknya mulai sekarang, kamu tenang saja. Aku sudah dapet kerjaan, kok. Sedikit demi sedikit, kehidupan kita nanti akan berubah. Aku janji."
Beberapa saat mereka saling berpelukan. Sekadar meluluhkan emosi yang tengah melanda perempuan tersebut. Sampai akhirnya usai melepaskan diri, Lastri menatap suaminya dalam-dalam. "Memangnya kamu dapet kerjaan apa, Pak?" tanyanya kemudian. Basri hanya tersenyum. Jawab laki-laki tersebut seraya mengalihkan pandangan, "Adalah, Bu. Bisnis kecil-kecilan sama seorang temen."
Lastri mengerutkan kening. "Siapa?"
Jawab kembali Basri tanpa melihat istrinya, "Temen jauh, Bu. Pasti kamu gak bakal kenal, kok."
"Iya, Pak. Tapi siapa temenmu itu?" Jiwa penasaran Lastri masih mengetuk-ngetuk hatinya. "Mungkin suatu saat aku akan bertemu atau mengenal dia. Apalagi temen bisnismu sendiri, 'kan? Siapa dia dan kerjaannya apa?"
Setelah berpikir beberapa saat, Basri menjawab, "Jarok. Namanya Jarok."
"Jarok?" Lastri berusaha mengingat-ingat. Sepanjang usia pernikahannya dengan Basri, tidak sekalipun dia pernah mendengar nama tersebut.
"Iya. Jarok. Kamu pasti gak kenal dia, 'kan?" Basri memutar tubuhnya dan tersenyum mengejek Lastri. "Kawan lama yang baru saja ketemu dua minggu lalu, terus ngobrol-ngobrol, akhirnya aku diajak kerja bareng sama dia. Begitu ceritanya, Bu." Laki-laki itu berbohong. "Aku gak bisa ngabarin kamu dan anak-anak, soalnya ngedadak diajak sama dia ke tempat bisnisnya itu. Tahu sendiri, 'kan, kalo kita gak punya hape sama sekali."
Alis Lastri semakin terangkat naik. Sebenarnya ingin bertanya lebih jauh tentang pekerjaan yang dimaksud suaminya, tapi untuk sementara dia memilih untuk diam terlebih dahulu. Apalagi memperhatikan raut wajah Basri tampak suntuk kelelahan.
Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang dari kantongnya, lantas diberikan pada Lastri. "Ini untukmu, Bu," kata Basri sebelum beranjak ke kamar tidur untuk beristirahat. "Hasil aku pergi seminggu kemarin."
Lastri memperhatikan lembaran merah yang ada di tangannya. Seakan masih belum percaya, karena selama ini belum pernah memegang uang sebanyak itu. "I-ini uang dari mana, Pak? B-banyak banget," ujar perempuan tersebut terbata-bata.
Basri tersenyum kecut.
"Sudahlah, Bu, gak usah banyak tanya," jawab suaminya. "Sudah kubilang, 'kan, itu hasil bisnisku sama Jarok. Dia ngasih aku pinjeman buat jaga-jaga di rumah."
"Jaga-jaga?"
"Maksudku, buat keperluan sehari-hari di rumah," jawab kembali Basri. "Nanti aku cicil tiap bulan kalo udah beneran kerja."
"Serius, Pak? Kerjamu bukan bisnis yang bukan-bukan, 'kan?" Lastri menyelidik. Laki-laki mendengkus, lantas membalas, "Ya, enggaklah, Bu. Sudah, ya, aku mau istirahat dulu. Capek, nih."
Demi menghindari pertanyaan demi pertanyaan istrinya, Basri bergegas masuk ke kamar. Rasa lelah setelah beberapa hari berada di luar rumah, sungguh membuatnya ingin segera beristirahat untuk beberapa jam ke depan. "Eh, anak-anak ke mana?" tanya suami Lastri itu di ambang pintu kamar.
"Mereka nginep di rumah nenek mereka, Pak?" jawab Lastri.
"Nginep?"
Perempuan itu mengangguk pelan, lalu menjawab lirih, "Ya, Pak. Beberapa hari selama ditinggal kamu, di rumah gak ada yang bisa dimakan, Pak. Terpaksa anak-anak aku ungsikan ke rumah orang tuamu."
"Ya, Tuhan!" desah Basri sedih. "Ya, sudah. Besok siang kita jemput anak-anak di sana."
Lastri kembali mengangguk seraya melihat-lihat uang pemberian suaminya tadi. Ada sepuluh lembar berwarna merah dan beberapa sudah tampak kusam. Begitu Basri masuk kamar, dia mencoba menerawang lembar demi lembar untuk memastikan keasliannya. 'Semua tampak asli,' gumam perempuan tersebut masih diliputi tanda tanya. 'Sebenarnya suamiku itu bisnis apaan, sih? Masa kerja cuma seminggu dapetnya segede ini? Tadi dia bilang hasil pinjem. Mungkin gak, sih, kalo ….'
Lastri cepat-cepat membuang prasangkanya. 'Ah, semoga saja bener adanya, dia bener-bener dapet kerjaan, dan … uang ini pun halal.'
Satu hal yang ada dalam pikiran Lastri, dia ingin segera melunasi utang ke warung terdekat, bekas menutupi kebutuhan dapur keluarganya selama ditinggal Basri serta pinjaman-pinjaman lain.
"Maaf, Mbak Las, saya gak bisa ngasih utangan lagi sama Mbak," kata tukang warung beberapa waktu yang lalu, "soalnya utang-utang yang dulu aja belum dibayar. Sekarang mau ngambil lagi. Ya, kalo mau, Mbak Las bayar setengahnya dulu. Saya juga, 'kan, butuh modal buat usaha saya."
Sebenarnya Lastri sendiri merasa sangat malu harus memohon-mohon seperti itu. Namun mau bagaimana lagi, Basri belum kunjung pulang hampir seminggu ini. Ditambah di rumah sudah tidak punya perbekalan apa-apa lagi.
"Iya, saya paham, kok, Bu," ujar Lastri sedih dan menahan rasa malu. "Tapi saya janji, sepulang suami saya nanti, akan saya bayar, kok."
Pemilik warung yang ternyata seorang wanita tua itu, malah terbengong-bengong heran. "Lho, ke mana emangnya Mas Basri, Mbak?" tanyanya tiba-tiba ingin tahu. Lastri tertunduk sedih. Dengan suara terbata-bata, perempuan itu menjawab juga, "Entahlah, Bu Bariah. Saya sendiri gak tahu ke mana suami saya itu pergi."
"Lho, kenapa bisa begitu?" Bariah makin penasaran, sekaligus iba melihat tetangganya yang satu ini.
Jawab Lastri sembari menyeka linangan air mata, "Pokoknya saya gak tahu, Bu, bapaknya anak-anak pergi begitu saja tanpa pamit sama sekali. Saya jadi bingung."
Wanita tua itu terenyuh. Maka tanpa dipikir panjang lagi dia segera menawarkan dagangannya. "Ya, sudah, Mbak Las. Ambil saja seperlunya Mbak. Tapi inget, ya, kalo suamimu pulang, langsung lunasin."
"Iya, Bu. Saya janji." Lastri merasa semringah, akhirnya Bariah memenuhi juga permohonan kasbonnya. Perempuan tersebut hanya mengambil sedikit. Tidak seperti biasanya. "Ini saja, deh, Bu. Tolong dicatetin, ya."
"Lho, sedikit banget, Mbak. Apa cukup buat Mbak Las dan anak-anak Mbak nanti?" Bariah mengernyit heran. Jawab Lastri lirih, "Cukup, kok, Bu. Ini cuma buat saya sendiri. Anak-anak buat sementara saya ungsikan dulu ke rumah mertua."
"Ya, Allah," ujar wanita tua itu seraya mengusap dada. Dia merasa miris sekali dengan kehidupan keluarga Lastri tersebut. Bagaimana tidak, di antara warga Cijengkol yang miskin, mereka adalah salah satunya. "Mudah-mudahan saja Mas Basri cepetan pulang, ya, Mbak."
"Iya, Bu, semoga saja."
Sebelum Lastri pergi, Bariah kembali mengingatkan, "Tapi mohon maaf, nih, Mbak. Kalo suami Mbak itu sudah pulang, cepetan dilunasin, ya, utang-utangnya. Soalnya saya butuh buat modal dagang. He-he.."
"I-iya, Bu, tentu saja. Pasti akan saya bayarin semua, kok," ucap Lastri berjanji. Padahal sebenarnya dia sendiri masih ragu, apakah sepulang nanti Basri akan membawa uang atau tidak. Itu pun jika benar-benar pulang. Sebagai seorang buruh serabutan, tidak jarang suaminya itu memberikan sejumlah uang alakadarnya. Sisa makan dan pemenuhan semua kebutuhan dia sendiri selama ikut bekerja di luaran.
Namun petang ini terasa lain bagi seorang Lastri. Berbekal lembaran uang pemberian dari suaminya tadi, perempuan itu bergegas menuju warung Bariah.
"Suamimu sudah pulang, Mbak?" tanya wanita tua tersebut begitu menerima pelunasan utang-utang tetangganya itu. Jawab Lastri semringah, "Sudah, Bu. Barusan saja nyampe di rumah. Itu saya lunasin semua bon-bon saya, ya. Sekalian mau belanja buat keperluan makan malam nanti dan besok pagi."
Bariah melirik sejenak pada Lastri sebelum melayani pesanan tetangganya tersebut. Ujar wanita tua itu dengan nada penasaran, "Suami Mbak itu sudah punya kerjaan baru, ya?" Bukan hal wajar jika baru kali ini dia membawa uang sebanyak itu berbelanja di warungnya.
"Gak tahu, Bu," jawab Lastri agak merasa risi ditanya perihal itu. Bahkan sampai saat ini pun, dia sendiri belum mengetahuinya secara jelas. "Katanya, sih, ada temen lama yang ngajak bisnis-bisnis begitulah, Bu. Entahlah, saya sendiri gak paham."
"Bisnis apaan, Mbak?" Bariah mengernyit heran. Sebagai tipe tetangga yang sering kepo dan warungnya kerap dijadikan ajang gibah, tentu saja perihal barunya ini sangat mengusik jiwa keingintahuannya.
"Ya, saya sendiri gak tahu, Bu," jawab Lastri mulai terpancing membocorkan hal tentang keluarganya. "Pokoknya diajak kerja bareng temennya itulah. Saya belum tahu banyak, soalnya Bang Basri keburu mau tidur. Capek katanya."
"Oohhh," desis Bariah dengan bibir membulat keriput. "Maksudnya, kalo Mas Basri punya kerjaan enak, ajak-ajaklah itu si Supri anak saya. Sudah hampir dua bulan ini, kerjaannya cuma 'hardolin' doang. Kesel saya jadinya."
"Hardolin?"
Bariah mendelik kesal, lantas menjawab, "Iya, itu … dahar, modol, dan ulin, Mbak."
"Oohhh."
"Padahal anak laki-laki seusia dia, pantesnya sudah kawin, momong anak, punya kerjaan tetap tapi jangan jadi buruh serabutan …." Tiba-tiba Bariah menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Eh, maksud saya tadi itu seenggaknya punya kerjaan tetaplah. 'Kan, jadi sebel sayanya. Masa segede dia makan saja masih ngikut sama orang tua."
Lastri tidak mau menanggapi ucapan tetangganya yang satu itu. Dia pura-pura membantu mengemas belanjaan ke dalam kantong plastik besar. Bukan hal baru pula jika kondisi suaminya, Basri, selama ini kerap kali dijadikan bahan gunjingan. Maka demi menjaga kerukunan antar warga dan kelancaran utang piutang, perempuan itu memilih untuk diam serta bersabar.
"Totalnya jadi berapa, Bu?" tanya Lastri ingin segera menyudahi obrolan mereka tersebut.
Bariah mengambil kalkulator dan mulai menghitung satu per satu. "Tujuh puluh rebu, Mbak," jawabnya tampak kikuk seraya menyodorkan layar alat penghitung tersebut ke hadapan Lastri.
Tanpa menunggu lama, istri Basri ini segera menyerahkan selembar uang berwana merah sisa pelunasan utangnya tadi. Mata tua Bariah sempat terkesiap begitu Lastri memberikan uang sebesar itu.
'Banyak juga duit si Lastri ini,' membatin wanita tua tersebut. 'Emang kerjaan si Basri apaan, sih? Hhmmm, jadi penasaran. Jangan-jangan dia habis ngepet. Secara, 'kan, seminggu gak pulang, eh … tahu-tahunya bawa duit banyak. Wah, ini kudu diwaspadai. Jangan sampe modal dagang saya ikut hilang mendadak nanti.'
"Ini kembaliannya, Mbak Las," ujar Bariah sembari menyerahkan uang tiga puluh ribu.
"Terima kasih, Bu."
"Eh, tapi …."
"Ya, ada apa, Bu?" Langkah Lastri tertahan begitu hendak bergegas meninggalkan warung tersebut.
"Jangan lupa bilangin sama Mas Basri, ajak-ajak 'gitu anak saya si Supri kerja sama temen suamimu itu," kata Bariah sekaligus ingin memancing tahu pekerjaan apa sebenarnya suami Lastri itu.
Lastri tersenyum kecut. Timpalnya kemudian, "Iya, Bu, nanti saya sampein sama Bang Basri." Lantas cepat-cepat dia meninggalkan warung Bariah dan berharap tidak ada lagi pembicaraan lain mengenai suaminya.
Sepeninggal Lastri, buru-buru Bariah memeriksa laci tempat penyimpanan uang. Memeriksa lembaran duit pemberian tetangganya tadi. Dilihat, diraba, dan diterawang. 'Hhmmm, asli semua. Sama kayak duit pada umumnya. Amit-amit, deh, jangan sampe entar berubah jadi daun-daun kering kayak yang ada di film-film itu. Hiiiyyy!'
Sementara itu kondisi Basri di kamarnya, laki-laki tersebut tidak lantas memejamkan mata begitu merebahkan diri di atas tempat tidur. Dia sibuk mengingat-ingat kejadian saat dirinya baru tersadar di rumah Ki Jarok dua hari lalu. Terbangun dalam keadaan tidak mengenakan sehelai kain apapun, tergolek lemah dengan tubuh penuh taburan berbagai bebungaan.
'Apa yang terjadi padaku?' tanya Basri terheran-heran sambil melihat-lihat dirinya di antara keremangan cahaya lampu kecil di dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba saja dia merasa kedinginan dan menggigil hebat di bawah kepulan asap dari pedupaan. 'Ke mana dukun tua itu?'
Basri pun bangkit, bermaksud hendak turun dari dipan berbahan bambu yang cukup keras dan menyakitkan tersebut.
"Baguslah, akhirnya kaubangun juga, Anak Muda," ujar satu suara milik Ki Jarok dari ambang pintu lain dan cukup gelap. Basri segera menoleh dalam keterkejutan, dan serta merta menutup bagian kelelakiannya dengan kedua telapak tangan. "Lelap juga tidurmu itu, Basri. He-he."
Laki-laki itu menatap tajam sosok tua tersebut, lantas bertanya penuh kekhawatiran, "Apa yang Aki lakuin sama saya? Kenapa saya dalam kondisi telanjang seperti ini?" Diam-diam Basri memeriksa bagian bokongnya. Takut terjadi apa-apa selagi dia pingsan sejak janari tadi. Tidak ada yang aneh maupun rasa sakit di area tersebut.
Kini balas Ki Jarok yang membelalak galak. "Kaupikir apa yang sudah kulakukan padamu, Anak Setan?! Sialan!" rutuk sosok tua itu merasa tersinggung dengan sikap Basri baru saja. "Aku hanya membantu membersihkan tubuhmu dan juga menjauhkanmu dari pengaruh buruk mayat yang telah kauobrak-abrik kuburannya itu. Paham?!"
"I-iya, Ki. M-maafin saya," timpal Basri buru-buru menghaturkan sembah maafnya. Dia ragu untuk lanjut turun dari balai tersebut atau cukup berdiam saja menunggu titah Ki Jarok selanjutnya.
Tiba-tiba dukun tua itu melemparkan lembaran pakaian ke arah Basri. "Pakailah ini dan lekas kenakan sebelum aku muntah melihatmu seperti itu!" sentaknya dengan nada risi.
Cepat-cepat Basri menyambar pakaian tadi dan segera mengenakannya saat itu juga. Agak berbau apek dan cukup kasar bahannya begitu dipakai. Setelan berwarna hitam-hitam mirip model pangsi serta agak besar begitu dicoba.
"Terlalu longgar, Ki," ujar Basri usai membalut utuh tubuh kerempengnya dengan pakaian pemberian Ki Jarok tadi. Tentu saja ucapan laki-laki itu baru saja, membuat mata tua dukun tersebut membelalak galak. Sentaknya menggelegar, "Manusia tidak tahu diri! Sudah kubantu kau, malah sekarang bicara yang tidak-tidak!"
"M-maaf, Ki. B-bukan maksud saya—"
"Diam kau!" imbuh Ki Jarok kembali masih dengan nada marah. "Kautahu pakaian apa yang kuberikan padamu itu, hah?!"
Basri memperhatikan pakaian yang sedang dia kenakan. Hanya baju dan celana pangsi biasa. Tidak ada yang istimewa. Baunya juga seperti bekas disimpan lama dan bercampur aroma kemenyan.
"Tali mayat itu sudah aku satukan di dalam baju itu, Basri!" seru Ki Jarok dengan raut sebal melihat Basri. Spontan laki-laki itu meraba-raba baju di tubuhnya. "Tepat di dalam katok celanamu!"
"Apa?"
Basri langsung memeriksa pangkal celananya. Di sana seperti ada yang mengganjal bulat tertanam di dalam jahitan. "Astaga!" Dia terkaget-kaget. 'Kenapa harus ditaruh di sini, sih? Gak adakah bagian lain yang lebih pantas untuk menyimpan benda sialan ini? Huh!'
"Ha-ha!" Tiba-tiba terdengar gelak Ki Jarok membahana di dalam ruangan pengap dan remang-remang itu. "Kaupasti bertanya-tanya, 'kan? Ha-ha! Sengaja aku taruh di situ, sebagai simbol akan pentingnya kaumenjaga dan merawat benda itu selama kaumiliki."
Basri mengernyit bingung. "Maksud Aki?" tanyanya seraya memperhatikan wajah dukun tua tersebut.
Ki Jarok baru menjawab usai tawanya mereda, "Sama pentingnya dengan organ kelelakianmu itu, Basri. Jika kaulalai memenuhi persyaratan yang kuberikan, maka hidupmu akan berubah sia-sia dan hancur perlahan-lahan. Hik-hik."
"Saya masih belum paham, Ki," ucap Basri makin bingung. "Bisa bicara yang lebih spesifik gak?"
"Lagak lu, Kampret!" umpat dukun tua itu merasa tersinggung. "Dengarkan apa yang kukatakan ini baik-baik …."
Lamunan Basri buyar begitu mendengar Lastri memanggilnya. "Pak, bangun dulu. Sudah mau Magrib, nih," seru perempuan itu sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar.
'Sialan! Perempuan itu mengganggu saja!' gerutu Basri. 'Bisa gak, sih, aku tidur barang sekejap? Huh! Dari tadi aku gak bisa memejamkan mata sedikitpun.'
"Pak, mandi dulu. Sebentar lagi shalat Magrib, lho."
Salat?
Basri terkesiap. Baru teringat kini, itu salah satu hal yang harus dia hindari mulai dua hari lalu atau tepatnya ketika Ki Jarok memberi petuah. " … satu hal yang harus selalu kauingat-ingat, Anak Muda, mulai detik ini jauhi semua ritual yang berbau keagamaan dan keyakinanmu. Karena hal-hal tersebut yang paling dibenci leluhur kami, serta akan membuat kekuatan jimat tali mayat yang kaumiliki sekarang memudar."
Basri terkekeh dalam hati. Tanpa diperintah pun, selama ini dia memang jarang melaksanakan kewajiban sesuai agamanya. Salat? Buat apa? Selama ini tidak pernah mampu mengubah jalan hidup dari dera kemiskinan yang senantiasa menyelimuti keluarga, pikir laki-laki itu.
Lalu bagaimana cara menyiasati perintah Ki Jarok tentang itu dari Lastri? Selama ini, perempuan itu termasuk istri yang taat menjalankan perintah agama. Haruskah dengan cara lama? Berpura-pura ke luar, ke langgar, tapi sebenarnya hanya menumpang nongkrong di pos ronda atau warung kopi bersama kawan-kawan senasib.
"Pak?"
Lastri sudah berada di hadapan suaminya.
"Iya, aku sudah bangun, kok, Bu," ujar Basri berbohong. Padahal sejak tadi belum sekalipun memejamkan mata.
Sejenak perempuan itu memperhatikan baju yang dikenakan Basri. "Sekalian, sini bajunya, Pak. Mau aku rendem dan dicuci besok pagi."
"Jangan, Bu!" seru Basri terkejut. "Eh, maksudnya … biar aku buka di kamar mandi saja, Bu. Ya, Bu, ya?" pinta laki-laki itu memohon. Bukan tentang baju itu, melainkan setelan yang juga dia kenakan di lapisan dalamnya. Basri lupa menanggalkannya sebelum tiduran tadi.
"Kamu ini kenapa, sih, Pak?" Lastri mengernyit heran. "Biasanya juga gak pake malu-malu buka pakaian sendiri di depanku."
"Ehe-he." Basri terkekeh-kekeh sendiri. "Maksudnya bukan begitu, Bu, tapi biar aku taruh saja di belakang biar gak ngerepotin kamu. Begitu, lho. He-he."
"Ada-ada saja kamu ini, Pak," timpal Lastri. "Ya, sudah. Cepetan mandi sana. Habis shalat Magrib nanti, kita makan. Hari ini aku masak menu khusus buat kamu, lho, Pak."
"Masak khusus? Wow, syukurlah. Aku jadi ngedadak lapar, nih, Bu. He-he."
"Makanya, cepetan mandi sana."
"Iya, Bu, iya. Kamu duluan sana ke luar. Aku mau buka pakaian dulu," ujar Basri mencoba meminta Lastri untuk keluar kamar terlebih dahulu. Maksudnya tentu saja hendak menyembunyikan pakaian khusus pemberian Ki Jarok tersebut.
"Dasar Bapak ini," ucap Lastri diiringi ulas senyumnya kemudian. Dia pun segera keluar dan kesempatan ini dipergunakan Basri untuk segera menanggalkan semua pakaiannya. 'Aku taruh di mana, ya? Apakah di dalam lemari? O, tidak! Jangan!' Bertanya-tanya laki-laki tersebut seraya menggulung bulat pangsi khusus pemberian Ki Jarok tersebut. Lantas memutuskan untuk menyembunyikannya di dalam tas kumal yang biasa digunakan kala bepergian mencari penghidupan. Setelah itu bergegas ke kamar mandi, lantas bersiap-siap seperti hendak ke langgar untuk menunaikan ibadah salat Magrib.
Tiba waktu makan malam, mereka berdua duduk menghadapi sajian istimewa yang sebelumnya belum pernah disantap selama ini. Ayam goreng beserta menu lezat lainnya.
"Kamu yang masak semua ini, Bu?" tanya Basri penuh selera. Jawab Lastri, "Iyalah, Pak. 'Kan, khusus buat hari ini. Tapi sayang, ya, anak-anak masih di rumah Abah dan Ambu."
Timpal laki-laki itu kembali, "Sudahlah. Besok siang kita jemput mereka."
Basri mencomot potongan daging ayam di atas piring. Namun saat hendak menyuap ke dalam mulut, tiba-tiba tercium bau amis yang teramat hebat bersemilir di dalam ruangan itu. "Bau apa ini, Bu?" tanyanya mendadak mual dan segera menjauhkan daging dalam genggamannya.
"Ah, gak bau apa-apa, Pak," jawab Lastri seraya mengendus-endus aroma udara di ruangan tersebut. "Malah wangi ayam goreng, kok."
Mata laki-laki bertubuh kerempeng itu tiba-tiba terbelalak kaget saat menengok ke arah depan hadapannya. Sesosok makhluk kaku dengan balutan kain putih kumal berdiri di sana tengah memperhatikan Basri. Hanya terlihat bagian wajah dan itu pun sangat mengerikan. Rusak dan begitu menjijikkan. Sepintas saja, Basri jadi teringat pada sosok ….
'Sukaesih!'
BERSAMBUNG
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (3)--------------------- o0o ---------------------Dua hari setelah ketibaan Basri lalu, suasana di rumah keluarga itu mulai dirasa berubah. Bau busuk menyengat sering tiba-tiba menyeruak memualkan di sekitar ruangan. Gangguan-gangguan kecil kerap diterima Lastri saat hendak menunaikan kewajiban beribadahnya. Entah berupa aliran air mendadak kering ketika bermaksud berwudu atau juga kain mukena sulit ditemukan waktu akan digunakan."Eh, kenapa tanya aku, Bu?" jawab Basri tatkala ditanyai istrinya. "Aku, 'kan, gak pernah pake mukena. Mungkin kamunya saja yang lupa naroh, Bu."Lastri menggaruk-garuk kepalanya, pusing. Berusaha mengingat keras terakhir kali menaruh mukenanya sehabis salat Asar tadi. "Aku biasanya ngegantungin mukena di belakang pintu kamar, Pak," ujar perempuan itu meyakinkan. "Tapi kenapa sekarang pas mau make buat salat Magrib gak ada di sana? Aneh banget." Pikirnya lagi, di rum
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (4)-------------------------- o0o --------------------------Seorang lelaki berlari-lari panik menyusuri jalanan tanah perkampungan yang masih becek. Napasnya terengah-engah disertai bias raut wajah pucat seperti ketakutan. "Tolooonnggg!" teriak sosok yang masih terlihat muda itu disepanjang langkah. Dia berusaha mencari-cari seseorang di sekitarnya. Namun waktu sepagi itu jalanan masih tampak lengang. Belum banyak orang berlalu-lalang untuk memulai beraktivitas."Ada apa, Sarkim?" Seseorang akhirnya menghampiri begitu mendengar teriakan lelaki muda tadi. Dia pun menoleh lega, lantas segera mendekat. "Ada apa? Sepagi ini kamu teriak-teriak minta tolong?" Imbuh sosok tadi kembali bertanya.Sarkim, begitu laki-laki muda itu dipanggil, berhenti seraya mengatur napas. Tidak lantas menjawab, tapi menunjuk-nunjuk sebuah arah di belakangnya tadi. "M-akam Sukaesih … m-makam Sukaesih, Pak," katan
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (5)-------------------------- o0o --------------------------Juragan Juanda duduk berdampingan dengan Kepala Kampung Mbah Jarwo di hadapan para tetamu undangannya di sebuah gubuk sederhana. Tempat yang sengaja dibangun di sebuah lahan perkebunan miliknya, tidak berapa jauh dari kediaman mewah orang terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut."Terima kasih saya haturkan kepada Bapak-bapak yang telah berkenan menerima undangan saya untuk turut hadir di sini," ujar laki-laki perlente itu mulai membuka percakapan. Sejenak dia melirik dan menepuk lengan tetua kampung di sampingnya, lantas lanjut berkata, "Terutama kepada yang saya hormati Mbah Jarwo atas bantuannya yang sangat berharga."Juragan Juanda berhenti sesaat sambil menundukkan kepala. Tampak sekali raut sedih menghiasi wajahnya yang masih terlihat gagah di usia menjelang senja."Mengenai kejadian semalam yang menimpa kuburan almarhumah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (6)-------------------------- o0o --------------------------Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut."Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "Wa'alaikumussalaam, Nak."Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?""Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?""Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (7)-------------------------- o0o --------------------------Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu."Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Han
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (10) --------------------- o0o --------------------- Basri dan kedua anaknya, Aryan dan Maryam, serempak mempercepat langkah sepulang dari musala. Mereka berlari-lari kecil begitu melihat kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita. “Lho ... kok, lampu depan gak dinyalain, Pak?” tanya Aryan seraya menengok ke arah Basri yang berlari di belakang. “Apa Ibu lupa nyalain lampu?” Bukan hanya lampu depan, nyatanya begitu tiba di beranda rumah, hal yang sama pun terjadi di dalamnya. “Bapak sendiri gak tahu, Yan,” jawab lelaki tersebut sembari mengintip celah kain gorden jendela. Pekat menggulita. “Mungkin KWH-nya ngejepret atau Ibu ketiduran,” imbuhnya kembali was-was. Segera memeriksa meteran listrik yang berada tepat di samping atas pintu akses utama keluar-masuk rumah. Normal. Masih dalam kondisi semest
BUAH CINTA BERDARAH Written by David Khanz ---------- o0o ---------- Unti menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Sesekali, isak tangis gadis cantik itu terdengar di antara desiran bayu yang bertiup, membelai lembut panjang rambutnya yang tergerai hingga panggul. Dengan bola mata indah berkaca-kaca, menatap hampa jauh ke depan tanpa tujuan. Seakan tengah berpikir untuk mencari tambatan, dari gelayut perih dalam hati yang masih terasa. Perlahan Unti meraih sisa kain penutup tubuh yang berserak di atas rerumputan. Sebagian sudah koyak direnggut paksa oleh laki-laki bergajul bernama Uwok, sesaat sebelum gadis itu hilang kesadaran dan juga kesucian. Ya, laki-laki durjana itu telah merampas mahkota kebanggaan yang seharusnya Unti persembahkan untuk kekasih pujaan hati, Ocong. Namun apalah daya, kini semuanya telah musnah berganti nestapa. Uwok tiba-tiba datang menghancurkan impian yang selama ini menjadi bunga-bunga kehidupan Unti dan Ocong yang penuh cinta. "Demi langit
JIMAT TALI MAYAT(Cerpen version)Written by David Khanz---------- o0o ----------Saat kutiba di rumah pagi itu, Kesih sudah terlihat bugar. Wajah berseri, segar, dengan rambut basah beraroma wangi."Udah bangun juga, Bang?" tanya perempuan itu dengan balutan handuk masih melilit di setengah badan. "Kok, udah rapih?"Kutatap Kesih tajam. "Tumben kamu juga udah mandi, Dek? Mau ke mana sepagi ini?"Dia tersenyum. Menghampiriku dan bergelayut manja. "Abang ini gimana, sih? Lupa semalaman kita abis ngapain?" katanya genit. Kemudian mengendus tubuhku sesaat. "Abang gak mandi? Udah rapi, kok, masih bau asem?"Semalam? Kita? Aku dan dia? Apa yang kulakukan sepanjang malam bersamanya? Dari kemarin petang tak ada di rumah. Baru pagi ini pulang."Kesih ... kamu?" Kuperhatikan leher perempuan itu penuh bercak merah. Seperti bekas gigitan. Dia mencubit hidung ini, diiringi senyum semringah nan menggoda. Kemudian ujarnya, "Ah, Abang ini paling bisa, deh, bikin aku klepek-klepek. Permainan Abang s
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 31-------------------- o0o --------------------Rasa kecewa karena telah dikhianati oleh kawan sendiri, membuat batin Basri merasa sakit laksana ditancapi ribuan jarum berkarat di paru-paru. Sakit dan akan terus terasa sakit setiap kali menarik nafas. Tidak menyangka bahwa perjalanan hidupnya akan sepahit ini. Kemarin merasa jauh lebih bangga karena genggaman harta dengan mudah di dapat, hari ini justru berbalik perih seperti tengah meregang sekarat.Ingatan akan sosok terkasih di rumah kian membayangi, akan tetapi entah apa yang akan dijawab jika kondisi dirinya seperti ini. Basri enggan kembali sebelum dapat mengembalikan kejayaannya seperti semula.‘Aku harus mendapatkan jimat itu kembali. Apa pun caranya,’ ujarnya bertekad. Karena hanya dengan benda dan caranya selama itulah, kehidupan keluarga akan terus terjamin. ‘Aku tidak mau hidup miskin lagi. Menjadi bahan gunjingan dan hinaan orang-orang sekitar. Bahkan dari pandangan sebelah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 30-------------------- o0o --------------------Di waktu siang hari, Mbah Jarwo pontang-panting keluar-masuk rumah mencari-cari istrinya, Emak Sari. Di dapur tidak ditemukan, di kamar dalam apalagi. Gurat gusar seketika tertampak dari raut wajah tuanya. “Ke mana istriku? Enggak biasanya dia menghilang begitu saja dari rumah,” gumam lelaki tua tersebut sibuk bertanya-tanya sendiri. “Apakah dia ke kebun? Sawah? Ah, rasanya enggak mungkin. Sudah lama istriku itu gak pernah lagi ke sana.”“ ... Atau mungkinkah dia pergi karena perselisihannya denganku tempo hari? Ah, mengapa harus pergi? Tadi pagi dia bersikap biasa-biasa saja. Terus ke mana, dong?”Hampir seharian itu Mbah Jarwo menunggu di depan rumah. Berharap Emak Sari muncul atau pulang. Hingga kemudian deru kendaraan bermotor mengalihkan fokus lelaki tersebut pada asal sumber suara yang ada.Benar saja, Emak Sari pulang ke rumah menaiki kendaraan ojek kampung. Begitu turun, langsung di
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 29-------------------- o0o --------------------Basri menggeliat layaknya cacing kepanasan. Meluruskan sedikit persendian serta urat di tubuhnya yang terasa kaku. Sejenak dia menguap lebar, lantas perlahan-lahan membuka kelopak mata yang masih dirasa berat.‘Sudah pagikah atau ini siang hari?’ Bertanya lelaki bertubuh kurus kering itu begitu merasakan silau menusuk bola mata dari cahaya terang melalui singkapan jendela terbuka.Masih dengan sisa kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, tangannya bergerak-gerak ke samping hendak menyentuh sosok perempuan semalam. Lilis. Kosong. Tidak tersentuh apa pun di sana, terkecuali sprei putih dan selimut yang masih acak-acakan disertai bantal teronggok kesepian.“Lis?”Basri celingukan memutari sudut kamar. Sama. Tidak tampak siapa pun di dalam sana, terkecuali dirinya sendiri. Dengan kening berkerut, lelaki itu bangkit, menyingkap dekapan selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh polosnya.“Lis?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 28---------- o0o ----------“Kita makan dulu ya, Kang,” ujar Lilis sembari menyiapkan pesanan makanan di atas meja kamar. “Habis itu, kita terusin lagi ngobrol-ngobrolnya.”Basri menarik napas dalam-dalam. Rasa penasaran yang sejak tadi tersimpan, untuk sementara terpaksa harus kembali dia jaga. Lantas melirik ke atas meja dimana teronggok bungkusan makanan yang sudah siap dinikmati. ‘Huh, sialan!’ rutuk lelaki itu begitu mengetahui, gerangan menu apa yang tersaji di sana. Ayam goreng. ‘Gua lupa ngasih tahu Lilis, kalo gua gak boleh makan makanan enak-enak.’ Sesaat dia mengelus perut. Lagipula saat itu Basri tidak terlalu merasa lapar. Sajian khusus di bibir jalan menuju tempat kediaman Ki Jarok tadi, rasanya masih cukup mengganjalnya hingga kini.Burung hantu?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 27---------- o0o ----------Rintik hujan masih turun mengepul di udara. Memberi nuansa dingin menyelimuti di sepanjang langkah Basri menuruni terjal jalanan tanah dari lereng Gunung Halimun. Langit sebelah barat kian mengelabu di antara bentangan sempurna sekumpulan awan di sana menutupi sinar mentari penutup hari. Sejenak lelaki itu melirik jam di tangan. Telah menunjukkan waktu hampir pukul lima petang.‘Sialan,’ rutuk Basri memaki-maki sendiri seraya membetulkan letak ransel di punggung. ‘Kalo sampai kemalaman kayak begini, lebih baik aku menunda kepulanganku ke rumah hingga besok hari saja. Sangat riskan rasanya kalo memaksakan pulang selarut sekarang. Huh! Mana hapeku mati lagi.’Jejak sepatunya dipijak kuat-kuat agar tidak sampai jatuh terpeleset di atas jalanan licin. Sesekali matanya
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian 26 ---------- o0o ---------- “Apa?!” Mata tua Mbah Jarwo kembali membelalak kaget usai mendengar penuturan dari Sarkim perihal Asih. Lelaki muda tersebut menatap tajam sosok tetua di depannya dengan perasaan takut. “Iya, Mbah, Ceu Asih pergi dari rumah Juragan Juanda. Dia gak lagi terlihat di sana sejak pagi kemarin,” tutur kembali Sarkim mengulang ceritanya beberapa saat barusan. Mbah Jarwo mendengkus. Ada gurat kesal tertampak dari bias wajah tua tersebut. Lantas berucap seraya entakkan kaki ke tanah, “Aneh ... kenapa si Juanda gak ngasih tahu saya? Biasanya tiap kali ada sesuatu, dia akan segera memanggil buat datang ke rumahnya.” Berkali-kali dia menggeleng seakan belum sepenuhnya memercayai apa yang baru saja diketahui. “Terus ... dari mana kamu tahu kalau si Asih kabur?” “Bukan kabur, Mbah. Tapi
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 25----------------- o0o -----------------Entah sudah yang keberapa kali Basri dipinta untuk terus menuruti permintaan Ratu Galimaya. Bergumul memenuhi hasrat gila perempuan cantik tersebut secara berulang-ulang semalaman penuh. Hampir seluruh persendian lelaki bertubuh kurus itu seperti remuk redam, terkuras habis semua tenaga yang ada, hingga terkapar lelah di atas pembaringan empuk besar beraroma wangi bebungaan. Anehnya, walaupun dalam hati berusaha untuk menolak, tapi entakkan syahwat itu kembali muncul begitu cumbu itu kembali menyentuh area pribadinya.Basri tidak sadar sepenuhnya. Dalam penglihatan lelaki tersebut, Ratu Galimaya adalah istri dia sendiri, Lastri. Otaknya sudah dibekukan sejak meminum isi cawan antik yang diberikan perempuan itu tadi. Bahkan baru saja beberapa saat lalu menuntaskan pergumulan hebat di atas pe