Ini kali ketiga Shaw melongo mengetahui harga ikan yang dikatakan penjual, meningkat dari terakhir kali Shaw membelinya bersama Spencer. Di Zanwan, harga daging yang paling mahal bukanlah kambing, domba, atau bahkan sapi, melainkan daging ikan! Karena daging ini sulit didapat. Bukan karena jumlahnya yang sedikit di laut Zanwan, tetapi karena terbatasnya nelayan.
Bahkan harganya melambung lebih tinggi daripada harga seorang budak di pasar budak, terdengar gila tetapi begitu adanya. Shaw merasa bersyukur karena tidak mengajak Mival. Entah bagaimana perasaan Mival jika mengetahui harganya ketika ia dibeli dari pasar budak lebih murah dari harga ikan. Harga pangan dan sumbernya harus diperhatikan jika kelak Zanwan sudah lebih baik, Shaw mencatat dalam ingatannya.
Setelah bahan makanan yang dicari didapatkan semua, Shaw, Bailey, dan Weizhe bergegas keluar. Sebab tidak nyaman dengan pandangan orang-orang. Bukan hanya para gadis remaja hingga dewasa ya
Shaw dan Bailey tersenyum hangat. Kedua tangan Shaw menggenggam tangan Gracie yang memegang jeruji, dan kedua tangan Bailey memegang tangan Spencer yang juga tengah memegang jeruji."Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kakek dan Nenek tenanglah ...." Shaw menenangkan."Aku juga." Bailey menimpali.Setelah beberapa untai percakapan berikutnya, Shaw dan Bailey pamit. Mereka kembali ke lantai atas dungeon sembari melihat sekitar; mencari seseorang."Mungkin dia sedang bertugas di tempat lain. Kita tanya saja," usul Bailey, mendekati prajurit terdekat dan bertanya."Memang tidak ada," ujar Bailey, kembali dari bertanya pada prajurit. "Anak buah Tuan Dorn yang sedang berjaga hanya tadi yang kita lihat di dekat sel Kakek dan Nenek, selebihnya mereka sedang tidak ada di dungeon," sambungnya."Kita harus mencari ke mana?" Shaw bertanya sembari meneruskan langkahnya menuju pintu utama. Ia merasakan tatapan para tahanan di sel yang berjaj
"Haha ... kau memang gigih, Bailey!" seru Shaw, memuji. Ia melakukan hal yang sama, lalu cepat menyusul Bailey.Seperti yang Bailey katakan. Suara-suara aneh mulai terdengar di se-antero jenggala. Bayang-bayang pohon yang lebih hitam dengan beberapa dahan yang lebih sedikit rantingnya ditambah tingginya pohon menimbulkan bayangan yang tidak menyenangkan untuk dipandang. Posisi kuda melaju cepat memperburuk suasana karena bayang-bayang itu tampak seperti berlari, terlebih bentuknya seperti makhluk hidup yang jelas bukan manusia.Semakin malam, anila berhembus semakin kencang dan kencang. Suara yang dihasilkan dan bergema di se-antero jenggala bukan hanya sebatas nada pendek, tetapi sudah lebih menyerupai nyanyian yang memekikkan telinga; tidak ramah didengar.SRASSHH!Suara anak panah terdengar melesat dari arah jam 4; mengarah ke Bailey."Bailey, menunduk!" Shaw berseru, mengarahkan kudanya ke sisi kanan Bailey dan menangkap anak panah yang m
Shaw berdecak, mengambil satu roti isi dan memberikannya."Makan dulu, baru lanjutkan ocehannya. Agar suaramu lebih merdu didengar," tukas Shaw, mendapat sikutan di lengannya dari sang sosok.Bailey geleng-geleng kepala, kembali ke tempat duduknya. Tobias duduk setelahnya lalu termenung; memikirkan sesuatu."Siapa namamu?" Bailey bertanya, melirik sang sosok seraya meminum tehnya.Sang sosok melirik sebentar, lalu fokus mengunyah roti isi sembari berpikir."Chaka," ucapnya singkat, acuh tak acuh.Shaw mengambil sendok bersih, kemudian menghadap sang sosok yang duduk di samping kanannya.PLETAK!Sendok bersih di tangan Shaw mendarat di pundak sang sosok, dan secara kebetulan mengenai tulangnya. Sang sosok sontak mengaduh, mengusap-usap pundak kirinya."Heh-- ... kau benar-benar garang!""Jangan berbohong!" Shaw menatap tajam.'Berbohong?' Sang sosok memutar bola matanya malas. Chaka memang namanya, nama sa
"Memangnya, sebenarnya apa tujuan kalian?"Fu mengubah duduknya, mencari posisi yang lebih nyaman."Membebaskan Zanwan, tentu saja," sahut Shaw, mengambil satu gelas berisi teh dan meminumnya.Fu mengerutkan keningnya."Membebaskan Zanwan?"Bailey mengangkat tangan kiri dan menempelkan punggung telapak tangan kirinya tersebut ke mulut tepat sebelum menguap. Matanya sedikit berair dan perlahan terpejam tanpa sadar. Namun, dengan segera ia menggelengkan kepala dan membuka mata lebar-lebar."Singkatnya, membawa Zanwan pada kehidupan yang lebih baik," tukas Bailey."Kalian masih bocah. Yakin bisa mencapai itu?"Zanwan adalah desa dengan orang-orang yang penuh misteri. Membawa Zanwan pada kehidupan yang lebih baik tentu tidak lepas dari orang-orangnya. Sebuah tempat yang lebih baik memiliki orang-orang yang bersatu di dalamnya. Lantas, bisakah menyatukan orang-orang Zanwan? Ketika mereka bahkan tidak segan mengambil nyawa dan me
"Kau benar."Dexter sedikit menundukkan kepalanya, menatap ke meja."Tapi ... sepertinya kali ini akan berhasil. Karena alam juga pasti akan membantu."Bexter berhenti membalik halaman. Ia menatap Dexter dan berkata, "Kau merasa ada sesuatu yang tidak beres, Dexter?"Karena bertahun-tahun menghabiskan waktu di kastil dan area sekitarnya, tidak bisa sekadar menjelajah Zanwan, Dexter lebih banyak berdiri di dekat jendela di kamarnya untuk melihat pemandangan jika ia sedang luang. Kebiasaan yang berulang membuatnya seakan memahami perubahan, termasuk perilaku hewan-hewan, tumbuhan, juga nabastala yang setiap hari ia pandangi dan bumi yang ia pijak. Dexter sensitif dengan alam."Aku mulai merasakan gemuruh, beberapa kali selama beberapa waktu terakhir ini. Jika memang tidak ada apa-apa, setidaknya tidak akan sebanyak itu. Mungkin hanya akan satu atau dua kali."Dexter mengangkat kepalanya, menatap penasaran."Apa kau sudah mencari tah
"Ayo, kau melompat dulu."Shaw menyingkir saat penutup lubang kotak sudah terbuka hampir sepenuhnya. Bailey mengambil posisi, lalu melompat dan masuk ke dalam lubang kotak tersebut. Giliran Shaw setelahnya. Penutup dikembalikan ke posisinya semula sebelum mereka merangkak.Hari mulai gelap. Tidak ada apapun yang mereka lihat selain merasakan debu yang sangat tebal di lantai atap rumah Daniel dan ... pengap. Tidak ada cahaya, tidak ada udara segar. Hanya ada udara yang terasa dingin di hidung mereka, seperti tengah bernapas di waktu fajar. Tangan mereka berabal, mencari kotak lain yang menghubungkan mereka ke ruangan di dalam rumah. Mereka merangkak sepelan mungkin dengan sangat hati-hati. Setelah menemukannya, mereka membuka kotak dan melompat turun. Ruang tengah.Shaw berjalan ke dapur, mencari sapu, lap, atau apapun yang bisa ia temukan untuk membersihkan kursi, meja, dan lantai."Sekarang ceritakan," ujar Shaw, menarik satu kursi meja makan yang
Sampai di ruangan di mana sumber suara berasal, Fu berhenti. Ia tidak peduli dengan komentar Shaw dan Bailey terhadapnya, tetapi sejujurnya Fu enggan untuk berinteraksi langsung dengan mereka lagi.Hanya persoalan waktu. Sesuai perjanjian, Fu hanya perlu berada di sekitar Shaw sampai bocah bermata hitam agak sipit itu meraih tujuannya. Setelah itu, Fu bebas, tidak lagi terikat. Namun perbincangan dengan Shaw dan Bailey di timur laut membuat Fu seakan mendapatkan teman berbicara yang sebenarnya ia inginkan, dan itu membimbangkan keteguhan keputusannya yang lalu."Kamar!" Bailey terdengar bersuara lagi.Kamar? Fu mengernyitkan kening."Jika aku sedang di rumah, aku paling sering berada di kamar ... tempat yang membuatku benar-benar merasa bebas."Oh, pertanyaan pertama? Fu merendahkan daksanya dengan sedikit menekuk sikunya.Suara derit kursi terdengar. Bocah bermata cokelat gelap itu bangkit dari duduk, mengarahkan lentera ke sekeliling
"Keningnya sangat dingin, tapi aku merasakan ada sedikit hangat di dalamnya. Kita harus mengeluarkan mereka agar dapat memeriksa denyut nadinya." Fu berujar dengan cemas, melihat ke sana kemari mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengeruk pasir."Kalian tetaplah di sini!" ujar Fu, langsung berdiri setelah sesaat mengedarkan pandangan dan tidak menemukan apapun yang dapat membantu. Ia melesat dan melompat ke atas tebing.Shaw menaruh kotak di tangan, lalu berdiri dan berjalan melihat sekitar. Barangkali ada sebatang ranting atau batu. Bailey ikut berdiri, mencari ke sisi lain.Dalam seperempat gelas sesapan kopi, Fu kembali dengan 3 buah kayu yang cukup lebar, yang ia temukan di jenggala. Ia memberikan 2 dari kayu tersebut pada Shaw dan Bailey lalu mulai mengeruk.Ketiganya menggunakan tangan mereka untuk membantu menyingkirkan pasir-pasir. Mereka mengeruk satu per satu orang agar lebih cepat dikeluarkan.Tak mengindahkan tangan dan kuku
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang