Sampai di ruangan di mana sumber suara berasal, Fu berhenti. Ia tidak peduli dengan komentar Shaw dan Bailey terhadapnya.“Kamar!” Bailey terdengar bersuara lagi.Kamar? Fu mengernyit.“Kalau aku sedang di rumah, aku paling sering berada di kamar. Tempat yang membuatku benar-benar merasa bebas.”Oh, pertanyaan pertama? Fu merendahkan badan dengan sedikit menekuk sikunya.Suara derit kursi terdengar. Bocah bermata cokelat gelap itu bangkit dari duduk, mengarahkan lentera ke sekeliling. Ia mulai berjalan, mencari-cari ruangan yang dituju.Shaw bangkit, menunjukkan jalan.“Ini kamarnya,” ucap Shaw, membuka pintu kayu yang berhadapan dengan dapur.Layaknya lantai dan benda lain, debu tebal menyelimuti knop pintu dan seisi ruangan.“Sekarang pertanyaan kedua,” kata Bailey setibanya ia di kamar.“Dia tinggi dan semua orang berada di bawahnya.”Bailey mendongakkan kepala seraya mengangkat lentera lebih tinggi.“Biru, kokoh, tinggi, dan indah, tapi yang di atas sini tidak ada yang berwarna bir
“Keningnya sangat dingin, tapi aku merasakan ada sedikit hangat di dalamnya. Kita harus mengeluarkan mereka supaya bisa memeriksa denyut nadinya dengan lebih baik!” Cemas Fu berujar. Matanya melihat ke sana kemari.“Kalian tetaplah di sini!” ujar Fu lagi, langsung berdiri, melesat, dan melompat ke atas tebing.Shaw menaruh kotak di tangan, berjalan mengamati sekitar, barangkali ada sebatang ranting atau batu. Bailey ikut berdiri, mencari ke sisi lain.Dalam seperempat gelas sesapan kopi, Fu kembali dengan tiga batang kayu cukup lebar yang ia temukan di hutan. Ia memberikan dua dari kayu tersebut pada Shaw dan Bailey, lalu mulai mengeruk.Ketiganya menggunakan tangan mereka untuk membantu menyingkirkan pasir-pasir. Mereka mengeruk satu per satu orang agar lebih cepat dikeluarkan.Tidak mengindahkan tangan dan kuku-kuku yang dipenuhi pasir, Fu mengecek leher dan tangan Joe setelah merebahkan Joe dalam posisi tengkurap sebab pasir yang menyelimuti punggung Joe berwarna merah dan tercium a
Lentera Shaw taruh di meja. Shaw duduk di lantai, mengecilkan nyala api di dalam lentera hingga penerangannya sangat temaram.Shaw mencondongkan badan ke depan, menatap Fu dan Bailey dengan serius.“Mereka lebih dari lima orang,” bisik Shaw.Saat Shaw menyalurkan hakinya ke seantero rumah melalui kaki, getaran dari gelombang bumi lebih jelas terasa. Suhu hangat dari tubuh tersalur ke alas kaki sosok di luar, lalu bersentuhan dengan bumi yang suhunya lebih netral.Hantaman kembali terdengar, menyebar di beberapa titik lain. Pintu depan, pintu dan jendela dapur, jendela kamar.“Aku masih belum bisa merasakan hakinya. Siapa pun mereka, pastilah para terlatih. Kita tidak bisa menghadapinya, harus meminta bantuan,” ujar Fu, berbisik.Namun, pada siapa? Fu tidak mungkin meminta bantuan orang-orang dari kelompoknya.Hantaman makin keras. Suaranya sudah terdengar seperti ledakan. Shaw menggeleng pelan, tidak yakin berapa lama mereka dapat bertahan.“Mereka mungkin mencari Joe dan dua orang itu
Embusan angin di luar rumah Spencer makin kencang. Dedaunan di pohon-pohon bergoyang menari. Kilatan cahaya terang mewarnai pertarungan anak buah Bexter dengan orang-orang berpakaian hitam bersimbol naga hibrid.Di tengah kecamuk itu, sekumpulan prajurit lain datang dari berbagai arah, menembus dinding haki berwarna seiras pelangi dan masuk ke dalam pertempuran. Mereka membantu anak buah Bexter yang tersudut sebab kalah jumlah dan kekuatan.Bola-bola haki hitam besar dilayangkan oleh para pemilik simbol naga hibrid, ditahan dengan haki perisai oleh sebagian anak buah Bexter dan Ascal sedangkan sebagian yang lain menghantamnya dengan bola-bola haki putih. Benturan dari kedua haki bak kumpulan udara tersebut menimbulkan dentuman nyaring nan memekakkan telinga. Angin pun makin kencang. Jika saja rumah tidak dilapisi haki oleh Shaw, sudah pasti rumah tersebut akan porak-poranda.Beberapa pemilik simbol naga hibrid mengambil celah untuk membobol rumah Spencer dengan terus menghantamnya meng
Ketika kabar menghilangnya tiga alumni sampai ke telinga dan tahu bahwa salah satu dari tiga alumni tersebut adalah Joe, Fu menjadi resah. Ia sangat tidak tenang.Di waktu-waktu luang saat menjalankan tugasnya mengawasi Shaw, Fu menggunakan sebagian besar waktu tersebut untuk mencari Joe.Kini, Joe telah ia temukan. Fu ingin Joe selamat. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada Joe.“Dia punya seorang adik laki-laki yang tinggal di akademi. Satu-satunya anggota keluarga yang dia punya dan sangat dia lindungi. Tolong pertemukan mereka dan jangan sampai adiknya berada di luar untuk sementara waktu atau orang-orang bersimbol naga hibrid akan menggunakan adiknya untuk mendapatkan Joe kembali,” kata Fu lagi.Ini adalah satu dari sekian hal yang sangat menyebalkan bagi Fu. Orang-orang yang menjadi anak buah, pelayan, atau budak, akan memberikan data semua anggota keluarga yang dimiliki kepada tuan mereka. Hal ini kerap kali digunakan jika mereka melakukan pemberontakan atau semaca
“Untuk sementara, kalian tinggal di sini. Semua materi pelajaran akan diberikan dan kebutuhan kalian akan diantar pelayan. Jangan pergi ke luar mansion sebelum diizinkan, ya.”Tidak banyak yang dapat Bexter katakan. Ia belum pandai menghadapi anak kecil, pun merasa tingkat kepahaman serta daya serap dirinya dengan ketiga remaja dan anak kecil di depannya tersebut berbeda. Ia hanya berharap mereka setidaknya akan mematuhi.“Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kami akan mendengarkan,” sahut remaja laki-laki yang paling tinggi, diikuti anggukan tiga orang yang datang bersamanya, lantas mereka masuk ke paviliun.Bexter berbalik usai keempatnya masuk dan pintu ditutup, kemudian pergi menuju dungeon. Di taman, ia melihat Zander yang sedang berpatroli keliling mansion bersama Ryson. Bexter melambaikan tangan dan menghampiri mereka.“Tuan Larson.” Zander dan Ryson menyapa seraya sedikit membungkukkan kepala.“Tuan Hunt sudah pulang?”“Sudah, Tuan. Tadi pulang bersama Tuan Muda.” Za
Fu masih tertidur nyenyak. Bocah mata-mata itu tampak begitu pulas, kentara benar-benar kelelahan atau lama tidak tidur di tempat yang nyaman.Shaw tidak sampai hati membangunkan, tetapi juga teringat akan permintaan Fu sebelum tidur dan itu mendorongnya pada kebimbangan. Tidak ingin pusing, Shaw memutuskan untuk berolahraga sejenak dan membersihkan diri. Baru setelahnya kembali ke kamar.“Fu .... Ayo, bangun.”Burung yang berkicau di luaran makin banyak. Shaw mengusap-usap lengan Fu karena bocah mata-mata itu tidak kunjung membuka mata hanya dengan panggilan.Fu merespon. Tangan Shaw yang cukup sejuk karena sehabis mandi bagai sentuhan salju di kulit Fu.Mata Fu bergerak, terbuka perlahan. Untuk beberapa saat, Fu tidak lantas menyahut. Ia hanya mengerjap dan menatap langit-langit kamar.“Sudah pagi, ya?” tanya Fu dengan suara kecil.“Belum. Hari masih gelap. Ayo, bangun ... kuajari kau memasak sesuatu.”Shaw beranjak dari tempat tidur, membuka pintu lebar-lebar, dan pergi ke dapur. Be
“Akan kupastikan kau menggenggam yang seharusnya kau miliki. Kau akan mendapatkan keadilanmu, Shaw. Takkan kubiarkan siapa pun melukaimu selama aku masih hidup.” Weizhe membatin dalam bungkamnya mulut.Shaw memang masih kecil. Namun, Weizhe tahu, pengaruh yang dimiliki bocah itu jauh lebih besar dari yang dapat dijangkau orang.Tidak seorang pun mengerti tentang betapa berbahayanya seorang Shaw. Kehadirannya di Zanwan telah menimbulkan desas-desus tanpa suara di antara para petinggi desa, terlebih sejak mereka melihat dengan mata kepala sendiri rupa Shaw hari itu di balairung.Weizhe memahami betul garis merah yang terikat pada Shaw dan ia bertekad pada diri sendiri, ia akan berada di sana kapan pun ia dibutuhkan.Bagi Weizhe, dunia terasa makin suram tiap harinya. Rahasia masa depan yang coba ia singkap justru makin jauh. Weizhe telah menghabiskan waktu yang sangat lama di Zanwan. Kini, ia merasa waktu singgahnya akan segera berakhir bersamaan dengan tercapainya impian Shaw.Lembayung
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.
“Kau mendengarnya?” Otto bertanya dengan wajah memucat. Suaranya amat pelan sampai nyaris tidak terdengar.Milo mengangguk kecil dalam gerakan patah-patah dan sarat keraguan. Ekspresi pada wajahnya tidak jauh berbeda.Kepala mereka kemudian bergerak bersamaan, berpaling tatap ke baris terdepan, lalu mereka melihat Bailey beranjak dari duduknya, pergi keluar.“Apa Tuan Muda mendengar pembicaraan kita?” Milo bertanya dalam suara lebih rendah, serupa bisik-bisik yang mungkin saja akan hanyut terbawa angin.Otto menggeleng. Bukan jawaban meyakinkan, hanya harapan bahwa itu adalah kenyataan yang terjadi.“Kalau benar, semesta mungkin tidak akan berpihak pada kita setelah ini,” kata Otto.Cemas menyerang Otto. Kalau Bailey benar mendengar pembicaraan mereka, apakah kali ini Bailey akan tersinggung? Kesal? Emosi dan apa pun yang lebih buruk?“Kurasa kita sebaiknya bergegas?” Milo melirik Otto.“Itu keputusan paling baik.” Otto berdiri.Milo memasukkan buku catatan yang baru sebentar ia baca
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber