"Untuk sementara, kalian tinggal di sini. Semua materi pelajaran akan diberikan dan kebutuhan kalian akan diantar pelayan. Jangan pergi ke luar mansion sebelum diizinkan."
Tidak banyak yang dapat Bexter katakan. Ia belum pandai menghadapi anak kecil, pun merasa tingkat kepahaman serta daya serap dirinya dengan ketiga remaja dan anak kecil di depannya tersebut berbeda. Ia hanya berharap mereka setidaknya akan mematuhi.
"Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kami akan mendengarkan," sahut remaja laki-laki yang paling tinggi, diikuti anggukan 3 orang yang datang bersamanya, lantas mereka masuk ke paviliun.
Bexter berbalik usai keempatnya masuk dan pintu ditutup, kemudian berjalan ke arah dungeon. Di taman, ia melihat Zander yang sedang berpatroli keliling mansion bersama Ryson. Bexter melambaikan tangan dan berjalan ke arah mereka.
"Tuan Larson." Zander dan Ryson menyapa seraya sedikit membungkukkan kepala.
"Tuan Hunt sudah pul
Fu masih tertidur nyenyak. Bocah mata-mata itu tampak begitu pulas, seolah benar-benar kelelahan atau lama tidak tidur di tempat yang nyaman.Shaw tidak sampai hati membangunkan, tetapi juga teringat akan permintaan Fu sebelum tidur, dan itu membuatnya bimbang. Tidak ingin pusing, Shaw memutuskan untuk berolahraga sejenak dan membersihkan diri. Baru setelahnya kembali ke kamar."Fu .... Ayo, bangun."Burung yang berkicau di luaran semakin banyak. Shaw mengusap-usap lengan Fu, karena bocah mata-mata itu tak kunjung membuka mata hanya dengan panggilan.Fu merespon. Tangan Shaw yang cukup sejuk karena sehabis mandi bagai sentuhan salju di kulit Fu. Dingin dan dingin.Mata Fu bergerak, kemudian terbuka perlahan. Untuk beberapa saat, Fu tak lantas menyahut. Ia hanya mengerjapkan mata dan menatap langit-langit kamar."Sudah pagi, ya?" tanya Fu dengan suara kecil."Belum. Hari masih gelap. Ayo, bangun ... kuajari kau memasak sesuatu."
‘Akan kupastikan kau menggenggam yang seharusnya kau miliki. Kau akan mendapatkan keadilanmu, Shaw. Takkan kubiarkan siapa pun melukaimu selama aku masih hidup,’ batinnya bersuara dengan teguh lagi penuh tekad.Shaw memang masih kecil. Namun Weizhe tahu, pengaruh yang dimiliki bocah itu jauh lebih besar dari yang dapat dijangkau orang.Tak seorang pun mengerti tentang betapa berbahayanya seorang Shaw. Kehadirannya di Zanwan telah menimbulkan desas-desus tanpa suara di antara para petinggi desa, terlebih sejak mereka melihat dengan mata kepala sendiri rupa Shaw hari itu, kala Shaw melepas penutup wajahnya di balairung.Weizhe memahami betul garis merah yang terikat pada Shaw. Dan ia bertekad pada dirinya sendiri, bahwa ia akan berada di sana kapan pun ia dibutuhkan.Baginya, buana terasa semakin suram setiap harinya. Jamanika masa depan yang coba ia singkap justru semakin jauh. Weizhe telah menghabiskan waktu yang sangat lama di Zanwan. Kini, i
Mival sempat lupa jika Shaw tidak memiliki banyak waktu karena berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. Bukan hanya waktu untuk Mival yang menjadi korban, tetapi juga waktu untuk diri Shaw sendiri. Mival sadar, tidak seharusnya Ia merajuk dan bersedih atas hal itu. Seharusnya Ia mendukung dan menyemangati, karena impian Shaw menyangkut kehidupan orang-orang di seantero Zanwan."Perkembangan anak itu semakin pesat," gumam Shaw, memandang Mival yang masuk ke dalam paviliun Bexter.Shaw menarik tali kekang, berniat membawa kuda ke kandang agar sang kuda tidak membuat ulah selagi dirinya bertemu Bailey."Biar aku saja."Wilton merebut tali kekang kuda dari Shaw, mencegah bocah itu untuk membawa kuda ke kandang yang berada di area belakang mansion. Ini memang tugasnya."Terima kasih! Aku masuk dulu, ya?" sahut Shaw. Wilton mengangguk dan pergi sembari menarik tali kekang kuda.Prajurit yang berjaga di depan pintu utama masuk ke dalam, kemudian
Pintu yang tidak ditutup terdengar diketuk. Myriam berdiri di sana dan menundukkan kepala sesaat ketika Ascal, Bailey dan Shaw menoleh."Makan malam sudah siap, Tuan," ujar Myriam. Ascal mengangguk dan bangkit.Shaw menjadi canggung. Ia tidak ikut makan dan memilih kembali ke kamar Bailey."Duduk." Suara Ascal menghentikan langkah Shaw."Ayo, Shaw." Giliran Bailey yang berbicara. Senyum hangat terukir menghias parasnya.Shaw ragu. Ia benar-benar merasa canggung."Aku akan menunggu di kamar saja," ucap Shaw seraya tersenyum lebar."Duduk."Ascal kembali bersuara, membuat Shaw kembali berhenti. Suaranya terdengar lebih tegas kali ini."...."Shaw menelan ludah. Ia menggigit sedikit bibir bawahnya dan menggangguk pelan."Baiklah," sahutnya, menurut.Tiba-tiba, Shaw ingat dengan bingkisan pemberian Weizhe. Ia pun meneruskan langkah ke kamar Bailey untuk mengambil bingkisan yang ada di dalam tas. Tepat sa
Para pekerja digiring keluar gua dengan tangan terikat di belakang oleh prajurit pasukan elit. Begitu pun para petugas, akan tetapi mereka dipisahkan dari para pekerja.Sebagian prajurit pasukan elit lain bergerak menyita seluruh peralatan dan benda-benda lain yang dianggap perlu untuk diperiksa tanpa terkecuali. Sisanya membawa para petugas yang sudah tidak bernyawa.Eduardo melirik ke atas, tepat ke arah Shaw dan yang lain. Ia menundukkan kepalanya sekilas ketika menatap Ascal, dan menyunggingkan senyum saat matanya bersirobok dengan Shaw dan Bailey. Tidak lama. Ia lantas keluar setelah para prajurit keluar, diikuti Alton.Jenggala di luar gua yang tadinya sepi kini dipenuhi manusia. Eduardo mengangkat tangannya, menyalurkan haki ke tubuh para petugas dan pekerja untuk menandai mereka. Ini dilakukan agar para petugas dan pekerja tersebut tidak bisa melarikan diri. Selepasnya, para petugas tersebut digiring kembali ke desa, menyusul pasukan elite yang membawa p
Dexter, Cerys dan Emilie duduk di teras depan paviliun, menunggu Bexter dan yang lain pulang. Mival tidak ikut. Anak itu sudah terlelap di kamarnya.Atas bujukan Bailey, malam ini Shaw menginap di kamar Bailey. Ascal mengizinkan dan Bailey sangat senang. Ia terlalu senang sampai bercerita dengan riang di kasurnya. Namun keceriaan di wajah Bailey sirna ketika ia mengingat ibunya. Bailey menjadi diam dan hanya menghirup napas panjang. Shaw di sampingnya ikut diam, memberikan waktu sampai Bailey bicara lagi."Ibuku masih belum lepas dari kesedihannya," tutur Bailey dengan suara lirih.Shaw tertegun, tetapi mengerti. Ia lantas berpikir dan berpikir.Ibu Bailey butuh sesuatu agar dapat tersenyum lagi. Sebuah kejutan mungkin bagus. Tapi, pertanyaannya adalah, sesuatu itu apa?"Oh!"Mendapat sebuah ide, Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya."Aku punya ide untuk membuat ibumu tersenyum lagi!" ujar Shaw seraya tersenyum cerah.
Ada 10 pelayan --termasuk di antaranya 3 asisten chef-- yang akan membantu mengurus sarapan keluarga Bailey serta para pekerja pagi ini. Mereka berjalan sambil berbincang hangat dengan beberapa di antaranya menggosip. Langkah riang mereka terhenti di ambang pintu dapur ketika mata mereka menangkap sosok Bailey dan Shaw."...."Dexter yang baru datang menaikkan alisnya melihat para pelayan bergeming. Ia lantas mendekat. Pelayan yang melihat kedatangannya memberi jalan, membiarkan Edvard masuk ke dapur lebih dulu."Tuan Muda?! Shaw!?" Suara Dexter cukup nyaring. Chef muda itu terkejut dan terkejut.Mendengar nama mereka dipanggil, Shaw yang sedang menghitung mangkuk bubur jahe dan Bailey yang sedang menata kue pie apel ke piring-piring sontak mengangkat kepala."Selamat pagi!" ucap Shaw dan Bailey bersamaan. Keduanya kemudian kembali fokus pada pekerjaan masing-masing."...."Dexter mengerjapkan mata. Ia melamun selama sepersekian detik
"Iya, sayang." Suara Jill terdengar serak. "Masuklah."Jill menyibak selimut dan bangkit untuk duduk. Tangan kanannya meremas kepala yang mendadak pusing hingga keningnya berkerut dan matanya terpejam erat.Bailey masuk, merendahkan daksanya di samping Jill. Mimik wajahnya menampilkan kekhawatiran yang dalam."Bu, Ibu kenapa?" tanya Bailey. Jill tersenyum sembari mengusap-usap kepalanya."Ibu hanya sedikit pusing karena terlalu lama berbaring," kata Jill. Matanya kemudian tertuju pada kedua tangan Bailey yang memegang nampan. "Apa itu? Aromanya enak sekali.""Ah, ini kue pie apel dan bubur jahe!" jawab Bailey, meletakkan nampannya di kasur. "Ibu mau mencobanya?"Mata Jill berbinar. Ia mengangguk cepat dengan senyum yang lebih mengembang. Bailey duduk, mengambil 1 potong kue pie apel dan menyuapi Jill.Shaw berdiri di luar pintu. Ia tidak berani masuk sebab belum diizinkan. Senyumnya merekah melihat wajah Jill yang berseri dan Bailey y
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang