‘Akan kupastikan kau menggenggam yang seharusnya kau miliki. Kau akan mendapatkan keadilanmu, Shaw. Takkan kubiarkan siapa pun melukaimu selama aku masih hidup,’ batinnya bersuara dengan teguh lagi penuh tekad.
Shaw memang masih kecil. Namun Weizhe tahu, pengaruh yang dimiliki bocah itu jauh lebih besar dari yang dapat dijangkau orang.
Tak seorang pun mengerti tentang betapa berbahayanya seorang Shaw. Kehadirannya di Zanwan telah menimbulkan desas-desus tanpa suara di antara para petinggi desa, terlebih sejak mereka melihat dengan mata kepala sendiri rupa Shaw hari itu, kala Shaw melepas penutup wajahnya di balairung.
Weizhe memahami betul garis merah yang terikat pada Shaw. Dan ia bertekad pada dirinya sendiri, bahwa ia akan berada di sana kapan pun ia dibutuhkan.
Baginya, buana terasa semakin suram setiap harinya. Jamanika masa depan yang coba ia singkap justru semakin jauh. Weizhe telah menghabiskan waktu yang sangat lama di Zanwan. Kini, i
Mival sempat lupa jika Shaw tidak memiliki banyak waktu karena berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. Bukan hanya waktu untuk Mival yang menjadi korban, tetapi juga waktu untuk diri Shaw sendiri. Mival sadar, tidak seharusnya Ia merajuk dan bersedih atas hal itu. Seharusnya Ia mendukung dan menyemangati, karena impian Shaw menyangkut kehidupan orang-orang di seantero Zanwan."Perkembangan anak itu semakin pesat," gumam Shaw, memandang Mival yang masuk ke dalam paviliun Bexter.Shaw menarik tali kekang, berniat membawa kuda ke kandang agar sang kuda tidak membuat ulah selagi dirinya bertemu Bailey."Biar aku saja."Wilton merebut tali kekang kuda dari Shaw, mencegah bocah itu untuk membawa kuda ke kandang yang berada di area belakang mansion. Ini memang tugasnya."Terima kasih! Aku masuk dulu, ya?" sahut Shaw. Wilton mengangguk dan pergi sembari menarik tali kekang kuda.Prajurit yang berjaga di depan pintu utama masuk ke dalam, kemudian
Pintu yang tidak ditutup terdengar diketuk. Myriam berdiri di sana dan menundukkan kepala sesaat ketika Ascal, Bailey dan Shaw menoleh."Makan malam sudah siap, Tuan," ujar Myriam. Ascal mengangguk dan bangkit.Shaw menjadi canggung. Ia tidak ikut makan dan memilih kembali ke kamar Bailey."Duduk." Suara Ascal menghentikan langkah Shaw."Ayo, Shaw." Giliran Bailey yang berbicara. Senyum hangat terukir menghias parasnya.Shaw ragu. Ia benar-benar merasa canggung."Aku akan menunggu di kamar saja," ucap Shaw seraya tersenyum lebar."Duduk."Ascal kembali bersuara, membuat Shaw kembali berhenti. Suaranya terdengar lebih tegas kali ini."...."Shaw menelan ludah. Ia menggigit sedikit bibir bawahnya dan menggangguk pelan."Baiklah," sahutnya, menurut.Tiba-tiba, Shaw ingat dengan bingkisan pemberian Weizhe. Ia pun meneruskan langkah ke kamar Bailey untuk mengambil bingkisan yang ada di dalam tas. Tepat sa
Para pekerja digiring keluar gua dengan tangan terikat di belakang oleh prajurit pasukan elit. Begitu pun para petugas, akan tetapi mereka dipisahkan dari para pekerja.Sebagian prajurit pasukan elit lain bergerak menyita seluruh peralatan dan benda-benda lain yang dianggap perlu untuk diperiksa tanpa terkecuali. Sisanya membawa para petugas yang sudah tidak bernyawa.Eduardo melirik ke atas, tepat ke arah Shaw dan yang lain. Ia menundukkan kepalanya sekilas ketika menatap Ascal, dan menyunggingkan senyum saat matanya bersirobok dengan Shaw dan Bailey. Tidak lama. Ia lantas keluar setelah para prajurit keluar, diikuti Alton.Jenggala di luar gua yang tadinya sepi kini dipenuhi manusia. Eduardo mengangkat tangannya, menyalurkan haki ke tubuh para petugas dan pekerja untuk menandai mereka. Ini dilakukan agar para petugas dan pekerja tersebut tidak bisa melarikan diri. Selepasnya, para petugas tersebut digiring kembali ke desa, menyusul pasukan elite yang membawa p
Dexter, Cerys dan Emilie duduk di teras depan paviliun, menunggu Bexter dan yang lain pulang. Mival tidak ikut. Anak itu sudah terlelap di kamarnya.Atas bujukan Bailey, malam ini Shaw menginap di kamar Bailey. Ascal mengizinkan dan Bailey sangat senang. Ia terlalu senang sampai bercerita dengan riang di kasurnya. Namun keceriaan di wajah Bailey sirna ketika ia mengingat ibunya. Bailey menjadi diam dan hanya menghirup napas panjang. Shaw di sampingnya ikut diam, memberikan waktu sampai Bailey bicara lagi."Ibuku masih belum lepas dari kesedihannya," tutur Bailey dengan suara lirih.Shaw tertegun, tetapi mengerti. Ia lantas berpikir dan berpikir.Ibu Bailey butuh sesuatu agar dapat tersenyum lagi. Sebuah kejutan mungkin bagus. Tapi, pertanyaannya adalah, sesuatu itu apa?"Oh!"Mendapat sebuah ide, Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya."Aku punya ide untuk membuat ibumu tersenyum lagi!" ujar Shaw seraya tersenyum cerah.
Ada 10 pelayan --termasuk di antaranya 3 asisten chef-- yang akan membantu mengurus sarapan keluarga Bailey serta para pekerja pagi ini. Mereka berjalan sambil berbincang hangat dengan beberapa di antaranya menggosip. Langkah riang mereka terhenti di ambang pintu dapur ketika mata mereka menangkap sosok Bailey dan Shaw."...."Dexter yang baru datang menaikkan alisnya melihat para pelayan bergeming. Ia lantas mendekat. Pelayan yang melihat kedatangannya memberi jalan, membiarkan Edvard masuk ke dapur lebih dulu."Tuan Muda?! Shaw!?" Suara Dexter cukup nyaring. Chef muda itu terkejut dan terkejut.Mendengar nama mereka dipanggil, Shaw yang sedang menghitung mangkuk bubur jahe dan Bailey yang sedang menata kue pie apel ke piring-piring sontak mengangkat kepala."Selamat pagi!" ucap Shaw dan Bailey bersamaan. Keduanya kemudian kembali fokus pada pekerjaan masing-masing."...."Dexter mengerjapkan mata. Ia melamun selama sepersekian detik
"Iya, sayang." Suara Jill terdengar serak. "Masuklah."Jill menyibak selimut dan bangkit untuk duduk. Tangan kanannya meremas kepala yang mendadak pusing hingga keningnya berkerut dan matanya terpejam erat.Bailey masuk, merendahkan daksanya di samping Jill. Mimik wajahnya menampilkan kekhawatiran yang dalam."Bu, Ibu kenapa?" tanya Bailey. Jill tersenyum sembari mengusap-usap kepalanya."Ibu hanya sedikit pusing karena terlalu lama berbaring," kata Jill. Matanya kemudian tertuju pada kedua tangan Bailey yang memegang nampan. "Apa itu? Aromanya enak sekali.""Ah, ini kue pie apel dan bubur jahe!" jawab Bailey, meletakkan nampannya di kasur. "Ibu mau mencobanya?"Mata Jill berbinar. Ia mengangguk cepat dengan senyum yang lebih mengembang. Bailey duduk, mengambil 1 potong kue pie apel dan menyuapi Jill.Shaw berdiri di luar pintu. Ia tidak berani masuk sebab belum diizinkan. Senyumnya merekah melihat wajah Jill yang berseri dan Bailey y
Belum Edvard menjawab, Shaw sudah bertanya lagi."Kapan pertunangan tuan dokter Akhazel?"Shaw harus menghitung waktunya, memastikan acara pertunangan Akhazel tidak bentrok dengan rencananya agar ia dapat hadir.Edvard tidak lantas menjawab. Ia menatap lamat-lamat, memastikan Shaw tidak terluka. Walau ia yakin jika Shaw memang tidak terluka semalam, tetap saja Edvard ingin memastikannya sendiri. Usai tidak melihat satu gores luka pun, Edvard baru membuka suara."Pertunangannya bulan depan," kata Edvard. "Ada apa? Kau mencariku atau hanya mampir?""A—" Shaw mengangkat jari telunjuk tangan kanannya."Dua-duanya," jawabnya sembari cengir-cengir.Sebuah anak panah tiba-tiba melesat dengan kecepatan tinggi dari arah barat. Shaw sontak menghindar dan mencoba menangkap anak panahnya tetapi tidak berhasil karena Edvard lebih dulu menarik tangan Shaw. Alhasil, anak panah tersebut jatuh menancap di tanah.Edvard melihat ke arah datangnya anak panah, memicingkan mata dan mempertajam penglihatann
"Bagaimana jika gagal? Tindakanmu memang sudah mulai berdampak, tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan." Edvard masih menolak setuju.Bukan keraguan yang menjadi batu penghalang terbesar bagi Edvard, melainkan ketakutan akan akibat yang bisa saja terjadi jikalau nanti kenyataan tidak sejalan dengan rencana. Memang, tidak ada yang mudah ketika itu tentang menyembuhkan luka dan trauma masa lalu."Hasil tidak akan mengkhianati proses, Tuan Dokter. Dan tidak ada perjuangan yang selesai dalam sehari, jika itu untuk sesuatu yang besar." Shaw meyakinkan. Sorot matanya memancarkan kemantapan hati, berbaur dengan membaranya api tekad yang terus membesar.Edvard kehabisan kata-kata. Ia melihat Shaw dengan dalam dan dalam.Bocah berusia 11 tahun itu tampak berbeda di matanya. Edvard seolah melihat ada jiwa lain dalam tubuh Shaw. Keberanian yang terpancar dari mata Shaw bukanlah keberanian yang biasa.Hembusan napas keluar dari mulut Edvard. Ia memalingkan wajah ke arah jendela dan merenu