Hanya persoalan waktu. Sesuai perjanjian, Fu hanya perlu berada di sekitar Shaw sampai bocah bermata hitam agak sipit itu meraih tujuannya. Setelah itu, Fu bebas, tidak lagi terikat. Namun perbincangan dengan Shaw dan Bailey di timur laut membuat Fu seakan mendapatkan teman berbicara yang sebenarnya ia inginkan, dan itu membimbangkan keteguhan keputusannya yang lalu.
"Kamar!" Bailey terdengar bersuara lagi.
Kamar? Fu mengernyitkan kening.
"Jika aku sedang di rumah, aku paling sering berada di kamar ... tempat yang membuatku benar-benar merasa bebas."
Oh, pertanyaan pertama? Fu merendahkan daksanya dengan sedikit menekuk sikunya.
Suara derit kursi terdengar. Bocah bermata cokelat gelap itu bangkit dari duduk, mengarahkan lentera ke sekeliling
"Keningnya sangat dingin, tapi aku merasakan ada sedikit hangat di dalamnya. Kita harus mengeluarkan mereka agar dapat memeriksa denyut nadinya." Fu berujar dengan cemas, melihat ke sana kemari mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengeruk pasir."Kalian tetaplah di sini!" ujar Fu, langsung berdiri setelah sesaat mengedarkan pandangan dan tidak menemukan apapun yang dapat membantu. Ia melesat dan melompat ke atas tebing.Shaw menaruh kotak di tangan, lalu berdiri dan berjalan melihat sekitar. Barangkali ada sebatang ranting atau batu. Bailey ikut berdiri, mencari ke sisi lain.Dalam seperempat gelas sesapan kopi, Fu kembali dengan 3 buah kayu yang cukup lebar, yang ia temukan di jenggala. Ia memberikan 2 dari kayu tersebut pada Shaw dan Bailey lalu mulai mengeruk.Ketiganya menggunakan tangan mereka untuk membantu menyingkirkan pasir-pasir. Mereka mengeruk satu per satu orang agar lebih cepat dikeluarkan.Tak mengindahkan tangan dan kuku
Lentera ia taruh di meja. Shaw duduk perlahan di lantai, mengecilkan lagi nyala api di dalam lentera hingga penerangannya sangat temaram.Shaw mencondongkan daksanya ke depan, menatap Fu dan Bailey dengan wajah serius."Mereka lebih dari 5 orang," bisiknya.Saat ia menyalurkan hakinya ke seantero rumah melalui tungkai, getaran dari gelombang bumi lebih jelas terasa. Suhu hangat dari daksa tersalur ke alas tungkai mereka, lalu bersentuhan dengan bumi yang suhunya lebih netral.Hantaman kembali terdengar, menyebar di beberapa titik lain. Pintu depan, pintu dan jendela dapur, jendela kamar."Aku masih belum bisa merasakan hakinya. Siapapun mereka, pastilah para terlatih. Kita tidak bisa menghadapinya, harus meminta bantuan," ujar Fu, masih dengan suara berbisik.Tapi pada siapa? Fu tidak mungkin meminta bantuan orang-orang dari kelompoknya.Hantaman semakin keras. Suaranya sudah terdengar seperti ledakan. Shaw menggeleng pelan, tidak
Hembusan anila di luar rumah Spencer semakin kencang. Dedaunan di pohon-pohon bergoyang menari. Kilatan cahaya terang mewarnai pertarungan anak buah Bexter dengan orang-orang berpakaian hitam bersimbol naga hibrid.Di tengah kecamuk itu, sekumpulan prajurit lain datang dari berbagai arah, menembus dinding haki berwarna seiras pelangi itu dan masuk ke dalam pertempuran. Mereka membantu anak buah Bexter yang tersudut sebab kalah jumlah dan kekuatan.Bola-bola haki hitam besar dilayangkan oleh para pemilik simbol naga hibrid, ditahan dengan haki perisai oleh sebagian anak buah Bexter dan Ascal, sedang sebagian yang lain menghantamnya dengan bola-bola haki putih. Benturan dari kedua haki bak kumpulan udara tersebut menimbulkan dentum yang nyaring nan memekikkan telinga, serta membuat hembusan anila semakin kencang. Jika saja rumah Spencer tidak dilapisi haki oleh Shaw, maka sudah pasti rumah tersebut akan porak-poranda.Beberapa pemilik simbol naga hib
Ketika kabar menghilangnya 3 alumni sampai ke telinga, dan tahu jika salah satu dari 3 alumni tersebut adalah Joe, Fu menjadi resah. Ia sangat tidak tenang.Di waktu-waktu luang saat menjalankan tugasnya mengawasi Shaw, Fu menggunakan sebagian besar waktu tersebut untuk mencari Joe.Kini, Joe telah ia temukan. Fu ingin Joe selamat. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada Joe."Dia memiliki seorang adik laki-laki yang tinggal di Akademi. Satu-satunya anggota keluarga yang dia punya dan sangat dia lindungi. Tolong pertemukan mereka dan jangan sampai adiknya berada di luar untuk sementara waktu, atau orang-orang bersimbol naga hibrid akan menggunakan adiknya untuk mendapatkan Joe kembali," lanjut Fu.Ini adalah satu dari sekian hal yang sangat menyebalkan baginya. Orang-orang yang menjadi anak buah, pelayan, atau budak, akan memberikan data semua anggota keluarga yang dimiliki kepada tuan mereka. Dan ini kerap kali digunakan jika me
"Untuk sementara, kalian tinggal di sini. Semua materi pelajaran akan diberikan dan kebutuhan kalian akan diantar pelayan. Jangan pergi ke luar mansion sebelum diizinkan."Tidak banyak yang dapat Bexter katakan. Ia belum pandai menghadapi anak kecil, pun merasa tingkat kepahaman serta daya serap dirinya dengan ketiga remaja dan anak kecil di depannya tersebut berbeda. Ia hanya berharap mereka setidaknya akan mematuhi."Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kami akan mendengarkan," sahut remaja laki-laki yang paling tinggi, diikuti anggukan 3 orang yang datang bersamanya, lantas mereka masuk ke paviliun.Bexter berbalik usai keempatnya masuk dan pintu ditutup, kemudian berjalan ke arah dungeon. Di taman, ia melihat Zander yang sedang berpatroli keliling mansion bersama Ryson. Bexter melambaikan tangan dan berjalan ke arah mereka."Tuan Larson." Zander dan Ryson menyapa seraya sedikit membungkukkan kepala."Tuan Hunt sudah pul
Fu masih tertidur nyenyak. Bocah mata-mata itu tampak begitu pulas, seolah benar-benar kelelahan atau lama tidak tidur di tempat yang nyaman.Shaw tidak sampai hati membangunkan, tetapi juga teringat akan permintaan Fu sebelum tidur, dan itu membuatnya bimbang. Tidak ingin pusing, Shaw memutuskan untuk berolahraga sejenak dan membersihkan diri. Baru setelahnya kembali ke kamar."Fu .... Ayo, bangun."Burung yang berkicau di luaran semakin banyak. Shaw mengusap-usap lengan Fu, karena bocah mata-mata itu tak kunjung membuka mata hanya dengan panggilan.Fu merespon. Tangan Shaw yang cukup sejuk karena sehabis mandi bagai sentuhan salju di kulit Fu. Dingin dan dingin.Mata Fu bergerak, kemudian terbuka perlahan. Untuk beberapa saat, Fu tak lantas menyahut. Ia hanya mengerjapkan mata dan menatap langit-langit kamar."Sudah pagi, ya?" tanya Fu dengan suara kecil."Belum. Hari masih gelap. Ayo, bangun ... kuajari kau memasak sesuatu."
‘Akan kupastikan kau menggenggam yang seharusnya kau miliki. Kau akan mendapatkan keadilanmu, Shaw. Takkan kubiarkan siapa pun melukaimu selama aku masih hidup,’ batinnya bersuara dengan teguh lagi penuh tekad.Shaw memang masih kecil. Namun Weizhe tahu, pengaruh yang dimiliki bocah itu jauh lebih besar dari yang dapat dijangkau orang.Tak seorang pun mengerti tentang betapa berbahayanya seorang Shaw. Kehadirannya di Zanwan telah menimbulkan desas-desus tanpa suara di antara para petinggi desa, terlebih sejak mereka melihat dengan mata kepala sendiri rupa Shaw hari itu, kala Shaw melepas penutup wajahnya di balairung.Weizhe memahami betul garis merah yang terikat pada Shaw. Dan ia bertekad pada dirinya sendiri, bahwa ia akan berada di sana kapan pun ia dibutuhkan.Baginya, buana terasa semakin suram setiap harinya. Jamanika masa depan yang coba ia singkap justru semakin jauh. Weizhe telah menghabiskan waktu yang sangat lama di Zanwan. Kini, i
Mival sempat lupa jika Shaw tidak memiliki banyak waktu karena berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. Bukan hanya waktu untuk Mival yang menjadi korban, tetapi juga waktu untuk diri Shaw sendiri. Mival sadar, tidak seharusnya Ia merajuk dan bersedih atas hal itu. Seharusnya Ia mendukung dan menyemangati, karena impian Shaw menyangkut kehidupan orang-orang di seantero Zanwan."Perkembangan anak itu semakin pesat," gumam Shaw, memandang Mival yang masuk ke dalam paviliun Bexter.Shaw menarik tali kekang, berniat membawa kuda ke kandang agar sang kuda tidak membuat ulah selagi dirinya bertemu Bailey."Biar aku saja."Wilton merebut tali kekang kuda dari Shaw, mencegah bocah itu untuk membawa kuda ke kandang yang berada di area belakang mansion. Ini memang tugasnya."Terima kasih! Aku masuk dulu, ya?" sahut Shaw. Wilton mengangguk dan pergi sembari menarik tali kekang kuda.Prajurit yang berjaga di depan pintu utama masuk ke dalam, kemudian
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan. Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw, siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi jenggala sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau pikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat. “Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh leng
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih, nyaris tak bersuara, "Itu seperti tanduk rusa."Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apapun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, "Aku harus segera pergi dari sini."Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong m
"Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau kan tahu lebih baik daripada aku, Tibate." Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. "Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.""Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri," sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang."Tidak―""Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini." Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. "Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak."Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri, dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate membuatnya
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya seketika melebar."Kau ingin aku mencincangmu, hah?!" Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang semakin erat dan erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apapun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu itu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw."Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!" tanyanya."Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!" balas Tibate."Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'ka
"Apa kau sedang bercanda?" Tibate mendengus kasar. Ia tampak tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu."Aku tidak bercanda," sanggah Fu, berkacak pinggang. "Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu," imbuhnya.Buah persik?Tibate mengerutkan kening. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apapun."Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang, dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi," ujar Tibate seraya memasang wajah serius."Tidak bisa!" Shaw berseru. "Aku harus pergi ke tenggara!""Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini," Fu menimpali.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental."Aduh ...." Shaw mengerang, berusaha bangun
Menjelang pagi, suara kehidupan awal sekali menggaung. Beberapa penduduk desa sudah mulai melakukan aktivitas mereka. Sebagian di dalam rumah, sebagian di luar rumah.Satu di antara manusia yang telah lepas dari peraduannya adalah Wilton. Ia bertugas pagi kali ini."Selalu rajin, ya." Zander berkomentar. Kuda-kuda di kandang bersuara antusias saat Zander memberi mereka makan."Tidak juga. Aku hanya tidur cukup nyenyak semalam, dan tubuhku merasa lebih segar saat aku bangun. Jadi, ya, mungkin lebih bersemangat," sahut Wilson seraya terkekeh kecil."Padahal kau hanya tidur sebentar, 'kan, semalam," Celetuk Zander. Tangannya cekatan melipat karung-karung rumput yang sudah kosong.Wilton tersenyum cerah menanggapinya. Ia memeras kain yang dipakai untuk mengelap kuda yang akan ia pakai untuk mengantar Bailey ke sekolah."Sebentar pun tetap saja namanya tidur, Zan," kata Wilton, keluar dari kandang sambil membawa kain basah dan ember hitam kecil."Ya, tidak salah."Suara derap kaki nyaring
"Ada yang menarik perhatianmu, Vid? Aku sampai mengantuk menunggumu." Bailey menimpali."Ah, maaf maaf .... Tadi ada yang harus kulakukan. Ada sesuatu! Jadi, aku kembali lebih lama," ujar Avidius seraya tersenyum canggung.Avidius adalah cucu Barid. Ia satu sekolah dengan Leonere."Sesuatu apa?" Leonere bertanya.Avidius, remaja berkulit putih kemerahan dengan senyum manis dan lesung pipi itu mengeluarkan sebuah kain merah dari saku pakaian di balik jubahnya. Saat kain dibuka, Leonere dan Bailey membulatkan mata melihat benda yang terpampang di sana."Bukankah itu—" Kata-kata Leonere terhenti. Ia mendekat tergesa dan memegang benda yang ditunjukkan Avidius. "Ini kan ....""Dari mana kau menemukan itu?" tanya Bailey yang juga mendekat.Avidius melirik ke arah belakang sesaat, memastikan sekitarnya aman. Senyumnya pudar seketika."Dari hutan barat laut. Aku menemukannya tadi," bisik Avidius, tampak serius.Bailey dan Leonere tercengang lalu saling menatap. Pikiran keduanya seolah tersam
"Tidak ada yang gratis," sahut Fu seraya menyeringai tipis.Shaw berdecak. "Kubayar dengan manisan.""Apa itu? Tidak cukup! Informasiku sangat mahal, kau tahu.""Ck, kubayar dengan makanan lain. Kau bebas memintanya, dan aku akan membuatkannya untukmu," tawar Shaw.Fu menyeringai penuh kemenangan kini. Sebuah siasat terlintas di benaknya."Bisa dipertimbangkan," kata Fu. Sesaat kemudian seringai di wajahnya hilang, berganti raut serius. "Kurangi kecepatan kudanya. Melewati batang pohon besar di depan itu, buat kudanya berjalan biasa.""Huh? Oke."Shaw percaya pada Fu. Ia mengikuti instruksi Fu tanpa ragu.Pohon-pohon besar yang dimaksud Fu berada 20 meter dari mereka. Warna pohonnya gelap, seolah melambangkan sesuatu yang misterius dan tampak mati. Pepohonan itu seakan telah terbakar. Meski begitu, dedaunannya sangat rimbun.Melewati dua pohon besar tersebut, kuda memasuki jenggala yang lebih gelap dan sunyi dari sebelumnya. Sekeliling tampak benar-benar gelap dengan aura yang terasa
"Ya sudah." Eroth menghela napas.Selain belajar bersikap baik pada budaknya, Eroth pun belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Ya, itu sungguhan, bukan sandiwara yang dibuat-buat.Di depan mereka, Aaban mendengarkan dalam diam. Komandan itu sibuk dengan pikirannya.Menjelang ujung dari jenggala ketiga, Fu tiba-tiba berujar. Suaranya terdengar serius di telinga Shaw."Berhenti, Shaw."Shaw menghentikan laju kuda dan melirik Fu. "Ada apa?""Kita ambil jalan lain," tukas Fu."Kenapa? Ada apa dengan jalan ini?""Ada sesuatu di depan. Hakinya tidak jauh berbeda dengan Kaye dan teman-temannya.""Ha?"Shaw menatap lurus, lalu memejamkan mata. Ia mencoba merasakan haki di depan, tetapi tidak merasakan atau melihat apapun."Aku tidak merasakan apapun," kata Shaw seraya membuka mata.Fu berdecak dan memegang kedua pundak Shaw. Aliran haki mengalir dari tangannya."Coba lihat lagi," kata Fu. Shaw mengiyakan.Bayangan sosok berjumlah lebih dari 10 terlihat di kejauhan di depan, dengan haki yang