“Baik, aku bawa dia pulang." Boris tersenyum sambil menatap Zola.Setelah sambungan telepon terputus, dia memberikan ponsel pada perempuan itu tanpa mengalihkan pandangannya ke arah lain sama sekali."Kenapa kamu melihatku?" tanya Zola."Kakek mau melihatmu kurus atau nggak. Aku harus lebih awal memperhatikanmu dulu. Kalau nggak, aku susah kasih penjelasan ke Kakek," ujar Boris sambil menahan senyum.Zola tercenung sesaat dan berkata, "Aku mengurus karena menjagamu. Aku mau bilang sama Kakek.""Bilang apa sama Kakek?"Tubuh lelaki itu mendadak mendekat dan membuat Zola berubah kaku.Dengan suara rendah dia berkata, "Bilang sama Kakek kalau aku menjahatimu?"Zola mengulurkan tangannya mendorong Boris menjauh. Namun lelaki itu menahan tangan Zola dalam genggamannya sendiri sambil terkekeh kecil dan bertanya, "Coba kamu tebak Kakek berharap aku menjahatimu dengan sembarangan?"Respons lelaki itu membuat Zola berpikiran apakah lelaki di depannya ini sudah jatuh hati dengannya? Namun pemiki
Hartono menatapnya dengan penuh kasih sayang dan berkata, "Zola, dia kurang baik padamu, ya? Kamu nggak perlu menjawab Kakek, Kakek sudah sangat mengerti. Kalau dia cukup baik padamu, kamu nggak akan memilih untuk cerai dan nggak mungkin menutupi perihal kehamilanmu. Dia gagal menjadi seorang suami.""Keluarga Morrison selalu mementingkan perasaan. Baik Kakek dan neneknya atau orang tuanya nggak pernah ada masalah dengan hubungan pernikahan. Kakek juga nggak tahu apakah dulu salah gendong cucu atau nggak?" Hartono memaksakan seulas senyum.Zola merasa bersalah dan tidak tenang. Dia berkata, "Kakek, jangan bilang seperti itu. Sebenarnya bukan semuanya salah dia. Kami hanya nggak cocok saja.""Kamu nggak perlu membelanya. Dia besar di sisi Kakek, jadi Kakek jauh mengerti dia dibandingkan siapa pun. Zola, kegagalan terbesarnya adalah karena kamu nggak mau kasih dia kesempatan. Kamu yang membuat keputusan apakah mau memberi tahu dia. Apa pun itu, Kakek akan mendukungmu."Zola kembali terdi
Dimas ikut menyahut, "Tentu saja. Hanya saja dia selalu berada di sekeliling Boris. Kalau begini terus, khawatir akan menyakiti Zola.""Sudah disakiti. Meski mereka cerai, Zola juga akan menjadi keluarga Morrison selamanya. Kalian juga harus siap-siap kalau anak bandel itu diusir dari rumah," kata Hartono dengan nada tidak senang.Dimas dan Rosita saling berpandangan sejenak tanpa berkata apa pun. Rosita berkata, "Pa, Papa suka dengan Zola, begitu juga kami. Tentu saja kami berharap dia bersama dengan Boris.""Cih! Tunggu dia ingin bersama dengan Zola, mungkin dia harus melihat dulu apakah Zola mau bersama dengannya. Kalau dia cerai dengan Zola, dia akan menyesal seumur hidup."Setiap Hartono mengingat bahwa saat ini Zola tengah hamil, dia ingin sekali memukul Boris hingga lelaki itu terbaring di kasur. Dengan begitu maka tidak akan membuat Zola marah.Dimas yang merasa ucapan ayahnya ada maksud tersirat langsung bertanya, "Pa, Zola ada bilang sesuatu dengan Papa?"Lelaki tua itu menat
Di dalam ruang rapat.Zola baru saja membuka laptop dan menampilkan sketsa desainnya pada layar besar di hadapannya. Setelah itu dia berkata pada Pak Wanto yang merupakan penanggung jawab Morrison Group, "Seluruh sketsa desainnya sudah termasuk interior dan eksteriornya. Coba dilihat apakah ada yang harus diubah?"Rancangan Zola tampak sangat matang. Tidak hanya baru, tetapi juga terdapat gaya klasik. Akan tetapi, kombinasi keduanya tidak saling bertabrakan. Justru membuat keseluruhan desain tersebut terasa penuh dan serasi.Pak Wanto selaku manajer di Morrison Group sudah berkecimpung di bidang ini selama bertahun-tahun. Dia memiliki pandangan yang cukup jeli dan selalu memperhatikan detail kecil. Namun, dia tidak dapat menemukan kekurangan pada gambar desain yang dikirimkan Zola.Wanto juga memberikan beberapa poin yang perlu diperbaiki, dan Zola dapat menjawabnya dengan lancar. Jelas sekali menunjukkan bahwa perempuan itu telah melakukan banyak persiapan.Wanto mengangguk dan berka
Setelah itu dia bertanya, “Pak Wanto, menurutmu ucapan Bu Zola benar?”Wanto adalah senior di Morrison Group. Dalam hal ini, dia percaya jika Boris tidak akan menggunakan kekuatan uang untuk mengganti sesuatu yang benar. Oleh karena itu dia berkata dengan jujur, “Menurutku ucapan Bu Zola benar.”Pihak Stonerise terdiam sesaat dan tampak bingung. Boris tersenyum tipis dan berkata, “Iya, memang benar.”Maksud tersembunyi dari ucapannya terdengar jelas. Namun tidak ada yang bisa menebak apakah maksud lelaki itu bahwa orang yang benar atau sketsanya yang benar.Akan tetapi, ini hanya masalah kecil saja. Selanjutnya, semuanya berjalan dengan sangat lancar. Mengenai revisi sketsa juga sudah mendapatkan penyelesaiannya. Mereka berbincang hingga tiba waktunya makan siang.Boris melirik jam tangan yang melingkar tangannya. Pemandangan tersebut tidak luput dari tatapan Jesse.“Semuanya sudah bekerja keras, Pak Boris sebagai tuan rumah akan mengundang semuanya makan bersama. Tempat makan sudah di
Tyara menoleh ke arah Boris dan mengangguk kecil sambil berkata, “Iya, benar. Awalnya aku ingin mengajak Boris makan bersama. Tapi kalian sudah ada janji. Aku ….”“Bagaimana kalau Bu Tyara makan bersama saja? Semakin ramai juga akan semakin seru.”Orang yang bertanya adalah pihak dari Stonerise. Mereka beranggapan hubungan Tyara dan Boris sepertinya hubungan mereka tidak biasa. Oleh karena itu, dia ingin mencoba mendekatkan diri.Boris hanya diam saja dan Tyara hanya melirik lelaki itu meminta izin dan berkata,”Sepertinya nggak baik. Boris, aku bisa mengganggu kalian, nggak?”“Nggak, Bu,” jawab seseorang lagi.Setelah itu, semuanya menunggu jawaban dari Boris. Beberapa detik kemudian, lelaki itu berkata, “Kalau mau ikut, ikut saja.”“Ok, kalau begitu aku ikut kalian,” sahut Tyara sambil tersenyum lebar. Dia berjalan di samping Boris kemudian menyapa Zola, “Zola, kamu juga ada?”Zola tampak enggan membalas, tetapi ada banyak orang di sana sehingga dia memilih untuk berdeham saja. Semua
Makan siang kali ini terasa hambar bagi Zola. Jika dibandingkan dengan Tyara, perempuan itu terlihat jauh lebih tenang dan pendiam. Dia tidak akan berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal.Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu siang ketika mereka selesai makan. Rombongan tersebut keluar dari restoran secara bersama. Zola sengaja melambatkan langkah kakinya karena berencana untuk tidak menumpang di mobil Boris agar dia tidak mengganggu.Ketika dia hendak berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering. Suara dering tersebut menarik perhatian semua orang. Dengan ekspresi datar, perempuan itu menerima teleponnya.“Halo, Mahendra?”“Kamu makan di mana? Kebetulan aku di luar, mau aku yang jemput?”“Boleh,” jawab Zola kemudian memberi tahu restorannya.“Kebetulan aku di sekitar sana. Aku akan tiba beberapa menit lagi,” ujar Mahendra.“Ok, aku tunggu.”Setelah sambungan telepon terputus, Wanto bertanya sambil tersenyum tipis, “Dari nada bicara Bu Zola, seharusnya pacarnya yang telepon, ya? Pere
Setelah itu hingga di dalam mobil, lelaki itu tetap tidak berbicara. Mobilnya mengantarkan Tyara ke tempat rekaman terlebih dahulu.Mobil mereka melaju ke tempat rekaman Tyara. Ketika turun dari mobil, perempuan itu bertanya,"Boris, kamu marah, ya? Sebenarnya aku juga merasa sikap Zola salah. Tapi kamu jangan marah. Coba bicarakan baik-baik dengan dia. Bagaimanapun dia adalah perempuan. Aku takut kamu melukainya."Dengan raut dingin dan tanpa menatap Tyara, lelaki itu berkata, "Tyara, kamu nggak perlu khawatir tentang hal ini. Kamu urusi urusanmu saja, ok?""Iya, aku tahu."Perempuan itu tidak mungkin melakukan hal yang membuat Boris tidak senang. Dia hanya menatap mobil lelaki itu yang menjauh dengan sorot dingin. Dalam hatinya dia berkata, "Zola, Boris hanya boleh jadi milikku."Selamat siang hingga sore, ekspresi Boris terlihat begitu keruh. Beberapa kepala divisi dan juga wakil CEO yang melaporkan pekerjaan juga mendapat amukan dari lelaki itu hingga membuat mereka mulai ragu denga