Makan siang kali ini terasa hambar bagi Zola. Jika dibandingkan dengan Tyara, perempuan itu terlihat jauh lebih tenang dan pendiam. Dia tidak akan berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal.Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu siang ketika mereka selesai makan. Rombongan tersebut keluar dari restoran secara bersama. Zola sengaja melambatkan langkah kakinya karena berencana untuk tidak menumpang di mobil Boris agar dia tidak mengganggu.Ketika dia hendak berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering. Suara dering tersebut menarik perhatian semua orang. Dengan ekspresi datar, perempuan itu menerima teleponnya.“Halo, Mahendra?”“Kamu makan di mana? Kebetulan aku di luar, mau aku yang jemput?”“Boleh,” jawab Zola kemudian memberi tahu restorannya.“Kebetulan aku di sekitar sana. Aku akan tiba beberapa menit lagi,” ujar Mahendra.“Ok, aku tunggu.”Setelah sambungan telepon terputus, Wanto bertanya sambil tersenyum tipis, “Dari nada bicara Bu Zola, seharusnya pacarnya yang telepon, ya? Pere
Setelah itu hingga di dalam mobil, lelaki itu tetap tidak berbicara. Mobilnya mengantarkan Tyara ke tempat rekaman terlebih dahulu.Mobil mereka melaju ke tempat rekaman Tyara. Ketika turun dari mobil, perempuan itu bertanya,"Boris, kamu marah, ya? Sebenarnya aku juga merasa sikap Zola salah. Tapi kamu jangan marah. Coba bicarakan baik-baik dengan dia. Bagaimanapun dia adalah perempuan. Aku takut kamu melukainya."Dengan raut dingin dan tanpa menatap Tyara, lelaki itu berkata, "Tyara, kamu nggak perlu khawatir tentang hal ini. Kamu urusi urusanmu saja, ok?""Iya, aku tahu."Perempuan itu tidak mungkin melakukan hal yang membuat Boris tidak senang. Dia hanya menatap mobil lelaki itu yang menjauh dengan sorot dingin. Dalam hatinya dia berkata, "Zola, Boris hanya boleh jadi milikku."Selamat siang hingga sore, ekspresi Boris terlihat begitu keruh. Beberapa kepala divisi dan juga wakil CEO yang melaporkan pekerjaan juga mendapat amukan dari lelaki itu hingga membuat mereka mulai ragu denga
"Zola, kita ini suami istri. Sebaiknya kamu jaga jarak dengan Mahendra. Jangan ada hubungan apa pun lagi dengannya. Aku akan membayar jumlah investasi dia pada perusahaan kalian. Kamu dan dia putuskan hubungan dan jangan saling komunikasi lagi.""Boris, meski kita suami istri, kamu juga nggak boleh mengatur pertemananku. Aku nggak pernah memintamu menjaga jarak dengan siapa pun, aku juga nggak pernah memaksamu putus hubungan dengan siapa pun. Aku dan Mahendra hanya teman.""Bukan kamu yang menentukan kalian teman atau nggak. Mahendra nggak ada niat baik padamu. Aku seorang lelaki, aku mengerti pikiran seorang lelaki. Zola, ini adalah sikap dasar seorang istri."Zola langsung terdiam. Dia mengungkit sikap seorang istri karena merasa dirinya tidak jaga sikap? Lalu bagaimana dengan lelaki itu?Dia menatap Boris dengan dingin dan balik bertanya, "Kalau aku memintamu jaga jarak dengan Tyara, memangnya kamu bisa? Kamu sendiri yang bilang sama aku mau cerai dan menikah dengan Tyara, bahkan ka
Tyara bungkam dan menatap Boris. Dia menunduk dan berkata, "Hari ini adalah konferensi pers untuk comeback-ku. Sebaiknya teman-teman fokus pada karyaku selanjutnya. Aku nggak mau membongkar kehidupan pribadiku terlalu banyak. Kalau ada kabar baik, aku akan bagikan dengan semuanya."Meski Tyara meminta semua orang untuk tidak bertanya lagi, dia tidak memberikan jawaban yang jelas sehingga menimbulkan kecurigaan pada orang-orang.Di waktu yang sama, Zola yang sedang duduk di kantornya juga tengah menonton siaran langsung. Lelaki yang berdiri di dalam layar itu mengenakan setelan jas. Perempuan di sampingnya mengenakan terusan gaun panjang dengan dandanan tipis. Sulit sekali untuk tidak membuat orang bertanya-tanya tentang hubungan mereka.Zola menarik napas dalam-dalam dan langsung menutup komputernya. Dia tidak ingin lanjut menonton siaran tersebut. Pintu ruangannya juga tengah di dorong dari arah luar.Mahendra masuk dan keduanya saling berpandangan. "Zola, apa maksud Boris? Di datang
Semuanya salah Zola. Perempuan itu yang menjadi penghambat pernikahannya dengan Boris. Dia benci dengan perempuan itu. Dalam benaknya melintas satu keinginan untuk memberikan perempuan itu sebuah pelajaran."Tyara, Pak Boris marah?" tanya manajernya yang menyusul."Nggak, dia masih ada urusan pekerjaan. Kita lanjutkan saja," ujar Tyara sambil tersenyum tipis.Dia kembali ke atas panggung dan mulai menyanyikan lagu lamanya untuk para penggemar. Suaranya masih sama seperti dulu sehingga bisa mengalihkan kejadian yang terjadi tadi.Namun, video dan foto dari kejadian tadi sudah diunggah ke internet dan menjadi topik hangat nomor satu. Hartono juga melihat berita itu dan marah besar.Dia menggebar meja dan berkata, "Apa maksud Boris? Dia mau memberontak?"Hartono marah besar dan Dimas segera menghubungi Boris. Akan tetapi, yang menerima telepon adalah Jesse."Pak Hartono, Pak Boris sedang rapat. Apa ....""Setelah rapat selesai langsung minta dia pulang!""Baik, saya mengerti."Setelah sam
"Dia nggak datang. Kamu nggak bisa cari orang untuk ikuti dia?""Baik, akan saya laksanakan."Dia mengerti CEO nya ingin mencari orang untuk mengikuti Zola. Setelah mengantarkan lelaki itu pulang ke rumahnya, dia langsung menjalankan perintah CEO-nya.Di waktu yang sama, Zola keluar dari lift dan menuju ke tempat parkir dan bersiap untuk pulang. Dia hampir tiba di mobilnya, dari samping muncul tiga orang lelaki yang menghalangi jalannya.Zola memasang raut datar ketika menatap ketiga orang tersebut. Para lelaki itu juga menatapnya lekat. Salah satu lelaki yang memiliki rambut berwarna pirang berkata, "Cantik, temani kami main?"Perempuan itu hanya diam dan hanya mengangkat alisnya menatap lelaki itu."Wah, kamu sombong juga. Aku bicara denganmu, nggak paham?""Kalian siapa? Aku nggak kenal kalian," ujar Zola dengan perlahan."Kami itu kakakmu, sekarang bukannya sudah kenal? Temani kami bertiga minum, setelah itu kami akan lepaskan kamu." "Aku nggak ada mengusik kalian. Kalau kalian ma
"Bu, apakah kamu baik-baik saja?"Itu adalah suara yang dia dengar sebelum kesadarannya menghilang.Zola tersadar dan mendapati dirinya ada di rumah sakit. Matanya terbuka dan dia langsung duduk. Lucia menahan bahunya dan berkata, "Jangan sembarangan bergerak, kamu perlu istirahat total.""Bayinya? Bayinya bagaimana?""Kamu mendapat tekanan terlalu besar dan ada resiko keguguran. Kamu perlu dipantau dulu selama satu malam."Bayinya masih ada. Zola menghela napas lega. Tiba-tiba dia merasa marah dan berkata, "Harus bantu aku pertahankan bayinya.""Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lucia setelah mengangguk setuju.Zola menjelaskan secara singkat dan setelah itu dia mengetahui bahwa sekuriti tadi yang membawanya ke rumah sakit. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Ponselnya terjatuh ketika dia memberontak tadi dan akhirnya sudah tidak bisa hidup. Oleh karena itu dia meminjam ponsel Lucia untuk menelepon ke Bansan Residence. Yang menerima telepon adalah Pak Didin."Zola, k
Wajahnya terlihat dingin dan sedikit pucat pasi. Zola tidak menjawab pertanyaan Tyara. Dia langsung menghampiri perempuan itu dan melayangkan satu tamparan di pipi Tyara tanpa mengatakan apa pun. Suara tamparan menggema di udara.Tamparan itu membuat bekas tangan tersisa di wajah Tyara. Perempuan itu menatap Zola dengan sorot tidak percaya dan bertanya, "Kenapa kamu menamparku? Atas dasar apa?""Atas dasar apa? Kamu tanya aku atas dasar apa? Tyara, aku peringatkan sebaiknya simpan pemikiranmu. Kamu nggak mau kesan malaikat polos pada dirimu hancur, 'kan? Kalau kamu berani mengusikku, aku nggak akan melepaskanmu!"Zola menatap Tyara dengan sorot penuh arti."Aku nggak tahu apa yang kamu katakan. Zola, kamu menamparku tanpa alasan. Kalau sampai Boris tahu, kamu tahu bagaimana menjelaskan padanya?" Tyara menutupi wajahnya dengan mata memerah dan tampak sedih.Manajernya, Kak Lily bergegas membawa Tyara ke balik tubuhnya karena takut Zola melayangkan pukulan lagi."Bu Zola, sikapmu ini sal