"Dia nggak datang. Kamu nggak bisa cari orang untuk ikuti dia?""Baik, akan saya laksanakan."Dia mengerti CEO nya ingin mencari orang untuk mengikuti Zola. Setelah mengantarkan lelaki itu pulang ke rumahnya, dia langsung menjalankan perintah CEO-nya.Di waktu yang sama, Zola keluar dari lift dan menuju ke tempat parkir dan bersiap untuk pulang. Dia hampir tiba di mobilnya, dari samping muncul tiga orang lelaki yang menghalangi jalannya.Zola memasang raut datar ketika menatap ketiga orang tersebut. Para lelaki itu juga menatapnya lekat. Salah satu lelaki yang memiliki rambut berwarna pirang berkata, "Cantik, temani kami main?"Perempuan itu hanya diam dan hanya mengangkat alisnya menatap lelaki itu."Wah, kamu sombong juga. Aku bicara denganmu, nggak paham?""Kalian siapa? Aku nggak kenal kalian," ujar Zola dengan perlahan."Kami itu kakakmu, sekarang bukannya sudah kenal? Temani kami bertiga minum, setelah itu kami akan lepaskan kamu." "Aku nggak ada mengusik kalian. Kalau kalian ma
"Bu, apakah kamu baik-baik saja?"Itu adalah suara yang dia dengar sebelum kesadarannya menghilang.Zola tersadar dan mendapati dirinya ada di rumah sakit. Matanya terbuka dan dia langsung duduk. Lucia menahan bahunya dan berkata, "Jangan sembarangan bergerak, kamu perlu istirahat total.""Bayinya? Bayinya bagaimana?""Kamu mendapat tekanan terlalu besar dan ada resiko keguguran. Kamu perlu dipantau dulu selama satu malam."Bayinya masih ada. Zola menghela napas lega. Tiba-tiba dia merasa marah dan berkata, "Harus bantu aku pertahankan bayinya.""Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lucia setelah mengangguk setuju.Zola menjelaskan secara singkat dan setelah itu dia mengetahui bahwa sekuriti tadi yang membawanya ke rumah sakit. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Ponselnya terjatuh ketika dia memberontak tadi dan akhirnya sudah tidak bisa hidup. Oleh karena itu dia meminjam ponsel Lucia untuk menelepon ke Bansan Residence. Yang menerima telepon adalah Pak Didin."Zola, k
Wajahnya terlihat dingin dan sedikit pucat pasi. Zola tidak menjawab pertanyaan Tyara. Dia langsung menghampiri perempuan itu dan melayangkan satu tamparan di pipi Tyara tanpa mengatakan apa pun. Suara tamparan menggema di udara.Tamparan itu membuat bekas tangan tersisa di wajah Tyara. Perempuan itu menatap Zola dengan sorot tidak percaya dan bertanya, "Kenapa kamu menamparku? Atas dasar apa?""Atas dasar apa? Kamu tanya aku atas dasar apa? Tyara, aku peringatkan sebaiknya simpan pemikiranmu. Kamu nggak mau kesan malaikat polos pada dirimu hancur, 'kan? Kalau kamu berani mengusikku, aku nggak akan melepaskanmu!"Zola menatap Tyara dengan sorot penuh arti."Aku nggak tahu apa yang kamu katakan. Zola, kamu menamparku tanpa alasan. Kalau sampai Boris tahu, kamu tahu bagaimana menjelaskan padanya?" Tyara menutupi wajahnya dengan mata memerah dan tampak sedih.Manajernya, Kak Lily bergegas membawa Tyara ke balik tubuhnya karena takut Zola melayangkan pukulan lagi."Bu Zola, sikapmu ini sal
Tyara menangis pilu. Ekspresi wajah Boris pun menjadi lebih serius. Setelah diam sejenak, pria itu baru berkata, “Tyara, biar aku yang urus. Aku pasti akan berikan penjelasan ke kamu.”Tyara spontan berkata, “Boris, aku bukannya mau buat kamu serba salah dan harus lakukan sesuatu untukku. Aku hanya nggak tahu harus berbuat apa lagi. Zola juga peringatkan aku untuk jauhi kamu. Kalau kamu juga bermaksud begitu, sekarang juga aku akan pergi jauh-jauh dan nggak akan muncul lagi di hadapanmu.”Wajah Boris kian muram. Bekas tamparan di pipi Tyara bukan dibuat-buat. Oleh karena itu, Boris langsung menelepon Zola.Begitu terhubung, Boris langsung bertanya, “Kamu di mana?”“Di rumah. Ada apa?” Zola bersikap tenang, nada bicaranya datar. Tidak ada gejolak apa pun.“Tunggu aku di rumah.”Boris berkata dengan dingin. Setelah itu, dia langsung menutup telepon tanpa menunggu tanggapan Zola. Dia memakai mobil sendiri membawa Tyara dari Morrison Group ke Bansan Mansion. Hanya butuh waktu sekitar 40 me
Wajah Zola yang halus dan cantik sama sekali tidak terlihat marah. Sebaliknya, sorot matanya sama sekali tidak terbaca. Aura yang memancar dari tubuhnya juga membuat orang tidak mengerti emosi apa yang sedang dia rasakan saat ini.Sejak awal Zola selalu bersikap tenang, bagaikan permukaan air yang sama sekali tidak beriak. Namun, matanya yang jernih justru membuat orang merasa asing dengannya.Zola dan Boris saling bersitatap. Saat ini, rasanya seperti ada tangan yang tak kasat mata mencengkeram hati Boris, menimbulkan rasa sakit yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Tepat saat Boris ingin melihat mata Zola lebih dalam, tiba-tiba terdengar suara Tyara yang lembut, “Lupakan saja, Boris. Satu tamparan saja, aku nggak apa-apa. Jangan bertengkar dengan Zola. Aku nggak mau hubungan kalian terpengaruh gara-gara aku.”Tyara mengangkat tangannya, lalu tangannya mendarat di lengan Boris yang sedang memegang tangan Zola. Mata Zola tertuju pada tangan Tyara. Kemudian, dia menarik tangannya denga
Begitu Hartono selesai berkata, Jerico, Lydia dan Selena serempak tercengang. Jerico dan Lydia saling menatap satu sama lain. Kemudian, Jerico pun bertanya, “Pak Hartono, maksud Anda, Anda setuju mereka cerai?”“Iya, aku setuju. Bagaimanapun juga, mereka punya jalan mereka sendiri. Kita sebagai orang tua nggak bisa memaksa mereka. Tapi sekalipun mereka bercerai, hubungan keluarga kita tetap sama, nggak ada yang berubah.”“Pak Hartono, kenapa Anda setuju mereka cerai? Mereka sudah tunda perceraian mereka demi Morrison Group. Itu berarti mereka ingin terus membina hubungan mereka. Anak kami Zola seorang perempuan. Kalau sudah cerai, bagaimana dia bisa menikah lagi? Nggak akan ada yang mau.”Lydia memasang wajah tidak senang, jelas dia bermaksud menyalahkan. Boris sama sekali tidak bicara. Hanya saja, raut wajahnya muram. Tatapannya selalu tertuju pada Zola, tapi dia hanya mendapati perempuan itu memasang raut waja datar, sama sekali tidak ada gejolak emosi.Apakah sejak awal Zola sudah t
Keesokan paginya, Zola kembali ke rumah orang tuanya. Zola sudah tahu alasan mengapa keluarganya tidak ingin dia bercerai dengan Boris. Jadi saat dia berdiri di depan rumah orang tuanya, Zola menarik napas dalam. Setelah itu, dia baru melangkahkan kakinya menuju rumah itu.Zola berpapasan dengan Selena di taman vila. Keduanya saling bersitatap, tidak ada yang mau mengacuhkan satu sama lain. Zola pun terus berjalan masuk. Saat melewati Selena, Selena tiba-tiba bertanya, “Kamu benar-benar mau cerai dengannya?”“Iya.”“Kenapa? Awalnya kamu bilang dia yang mau cerai. Tapi bukannya demi Morrison Group, dia nggak mau cerai? Sekarang kenapa kakeknya yang suruh kalian bercerai? Itu niatmu, kan?” tanya Selena bertubi-tubi sambil mengerutkan kening dan menatap Zola.“Nggak ada alasan apa pun. Cepat atau lambat kami akan bercerai. Daripada berlama-lama, lebih cepat lebih baik.” Suara Zola begitu lembut, sama sekali tidak ada pergolakan emosi.Selena berkata lagi, “Papa dan Mama nggak senang kamu
Beberapa kali Zola ingin mengambil inisiatif untuk bicara dengan Boris. Namun, setiap kali kata-kata yang ingin dia ucapkan sudah sampai di ujung bibirnya, kata-kata itu malah tertahan. Karena sudah menjadi seperti ini, maka dia harus melanjutkannya sampai akhir.Malam hari, Zola duduk di sofa di kamar tidurnya sambil melamun. Setelah kembali ke Kota Binru, dia tetap berhubungan dengan neneknya. Karena terpaut jarak, mereka tidak bisa bertemu kapan saja. Baik itu karena neneknya atau anak dalam kandungannya, saat ini Zola merasa semakin ingin pergi.Dua hari yang dijanjikan belum tiba, tapi Lydia sudah tidak sabar lagi. Hari kedua setelah Zola pulang ke rumah orang tuanya, Selena menelpon Zola.“Mama ingin cegah kamu dan Kak Boris cerai. Dia berencana pakai namamu untuk kasih Tyara pelajaran. Masalah ini terjadi karena kamu. Kalau kamu nggak bersikeras bercerai, Mama nggak akan lakukan hal seperti itu. Aku harap kamu bisa tangani Tyara dengan baik. Jangan sampai buat keluarga Leonarto