Namun, Boris tidak berpikir seperti itu. Dia menyipitkan matanya dan nada bicaranya terdengar dingin serta marah, "Kalau menanyakan mendadak dan ada hal yang nggak bisa ditunda, itu artinya bisa mengikuti keinginanmu, ‘kan?""Kalau kamu harus berpikir seperti itu, aku nggak bisa berbuat apa-apa."Ucapannya itu membuat suasana di sekitar mereka menjadi kaku. Keduanya saling berpandangan sejenak. Kemudian Zola berkata, “Kalau kamu bersedia menemaniku pergi, sekarang bangkit dan bersih-bersih.”Setelah selesai pemeriksaan, dia harus ke lokasi konstruksi. Dia menatap Boris yang tidak bergerak sama sekali. Zola diam beberapa detik kemudian mulai mengganti pakaiannya di ruang ganti.Setelah dia keluar, Boris juga sudah siap. Karena Zola tidak terbiasa sarapan, lelaki itu juga tidak berniat makan. Dia berkata pada Bibi yang sudah menyiapkan sarapan, “Sarapan hari ini nggak perlu disiapkan.”Zola menatap lelaki itu dan berkata, “Aku nggak makan, tapi kamu bisa makan.”“Nggak perlu,” jawab Bori
Zola masih terhanyut dalam rasa tidak nyaman dan belum sepenuhnya sadar. Ketika mendengar kata-kata Boris, dia merasa sedikit bingung. Namun, ketika dia merasakan kehangatan tubuh pria itu serta aroma khas yang hanya milik Boris, barulah dia perlahan menyadari apa yang dimaksud lelaki itu. Zola diam dan membiarkan dirinya dipeluk.Hasil pemeriksaan dari dokter sudah keluar, dan semuanya baik-baik saja. Bayi mereka dalam kondisi sehat, tidak ada masalah dan kekhawatiran sebelumnya bisa perlahan-lahan dilupakan.Saat Boris keluar untuk menerima telepon, dokter tersenyum kepada Zola dan berkata, “Pak Boris sangat menyayangimu, terlihat sekali dia akan menjadi Ayah yang baik dan suami yang sangat mencintaimu kelak.”Dokter ini adalah guru dari sepupunya, jadi percakapan mereka tidak terlalu formal. Kata-kata itu membuat wajah Zola memerah merasa malu. Zola memang merasakan kasih sayang dari Boris, tetapi rasanya terlalu tidak nyata.Ketika keluar dari ruang dokter, Boris juga baru saja sel
Zola menunduk malu karena dipuji seperti itu. Rosita melirik Boris yang ada di samping dan bertanya, “Boris, menurutmu Zola cantik, nggak?”Zola terdiam dan langsung melirik lelaki itu. Mata tajam lelaki itu juga sedang menatapnya. Mereka berdua saling bertatapan dan membuat Zola terintimidasi. Perempuan itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sedangkan lelaki di sampingnya berkata, “Iya, cantik.”“Zola, sudah dengar, ‘kan? Boris saja sudah merasa cantik. Mama nggak membohongimu, ‘kan?”Wajah Zola memerah seketika dan menatap Boris dalam diam. Sedari tadi, Boris selayaknya manusia robot yang jalan di belakang mereka sambil membawa kantong belanjaan. Mereka berkeliling sepanjang siang dan bahkan makan di luar.Zola bisa melihat betapa tidak berdayanya Boris. Oleh karena itu, setelah makan Zola langsung berkata, “Mama, aku merasa sedikit capek, mau pulang istirahat saja.”“Capek? Semua karena Mama terlalu senang makanya bawa kamu keliling terus. Ada yang nggak enak?”“Nggak apa-apa, han
“Pak Boris, saya rasa agak aneh. Kota Binru begitu besar, seharusnya nggak mudah untuk mencari orang. Tapi kali ini sepertinya lancar-lancar saja. Kita bisa temukan target yang jelas dengan begitu cepat.”Boris duduk di dalam mobil dengan wajah tanpa ekspresi. Dia mengemudikan mobil dengan satu tangan dan memegang ponselnya dengan tangan lainnya. Sorot matanya menjadi dingin. “Temukan orang itu dulu dan bawa dia ke depanku. Sedangkan yang lain, semua akan jadi jelas setelah orang itu ditemukan.”“Baik, saya mengerti,” jawab Jesse sambil mengangguk.Saat Jesse hendak bertanya kepada Boris apakah ada perintah lain, tiba-tiba Jesse mendengar Boris bertanya dengan emosi yang tidak jelas, “Kamu coba tanya pada psikiater yang tangani Tyara apakah belakangan ini dia benar-benar pergi ke sana tepat waktu.”Seharusnya kemarin Boris sudah ingin menyuruh Jesse pergi bertanya. Namun, tertunda karena dia sedang mencari Zola. Lantas, mengapa Boris ingin bertanya pada psikiater itu? Tentu saja untuk
Namun, baik makanan yang rasanya lebih kuat maupun yang lebih ringan ada di atas meja makan mereka.Begitu melihat meja yang penuh dengan makanan lezat, Jeni langsung tersenyum lebar. “Pak Boris, aku nggak terbiasa dengan kamu yang antusias begini. Kamu mau suap aku?”“Pernah kepikiran. Hanya saja nggak tahu kamu bakal setuju atau nggak.”Boris makan dengan elegan. Dia meletakkan sendoknya, lalu mengambil cangkir teh dan menyesap tehnya. Setelah itu, dia menatap Jeni dengan tatapan hangat.Jeni jelas sedikit terkejut dengan sikap Boris. Dia spontan melihat ke arah Zola yang duduk di sebelahnya. “La, kamu nggak tanya kepikiran apa?”“Dia lagi ngomong sama kamu, bukan ngomong sama aku.” Zola tertawa pelan.Jeni mengerutkan kening dan menatap Boris, berusaha mencari jawaban di wajah pria yang ekspresinya tak terbaca itu. “Kepikiran apa? Aku jelaskan dulu, ya. Aku nggak akan lakukan apa pun yang melanggar hukum.”Boris tertawa sebentar lalu kembali ke topik. “Morrison Group ada proyek baru
“Tedy, kamu mau makan bareng?” tanya Boris dengan suara beratnya.“Nggak, nggak usah peduli dengan apa yang dia katakan.” Tedy menyipitkan matanya dan menatap Wina dengan dingin. “Kamu merasa kamu akrab dengan mereka?”Tedy sama sekali tidak berniat menjaga harga diri Wina di depan orang lain. Wajah Wina seketika menjadi kaku, dia pun langsung terdiam.Tedy memandang Boris dan berkata, “Aku pergi dulu.”“Hmm.” Boris hanya bergumam pelan.Tedy pergi lebih dulu, lalu diikuti oleh Wina. Suasana di dalam ruangan menjadi sunyi senyap. Zola tanpa sadar memandang ke arah Jeni yang ada di sebelahnya. Jeni sendiri masih asyik makan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Saat dia menyadari Zola sedang menatapnya, Jeni tertawa pelan.“Kenapa kamu lihat aku? Ayo makan, nanti keburu dingin makanannya. Tenang saja, aku nggak apa-apa.”Wajah Zola menjadi muram. Meskipun Jeni berkata kalau dia baik-baik saja, Zola tetap saja merasa sedikit khawatir.Boris berinisiatif menjelaskan situasi, “Aku nggak ajak
Zola tidak mengatakan apa pun, juga tidak menanggapi perkataan Boris. Meskipun dia tahu apa yang Boris katakan memang masuk akal, dia tetap saja masih merasa bersalah karena tidak menjaga Jeni dengan baik.Karena tidak tidur dari subuh, satu jam kemudian Zola tidak tahan dan akhirnya tertidur. Boris membaringkannya di sofa, lalu menutupi tubuh Zola dengan jaketnya. Dia mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin. Setelah itu, dia keluar dari bangsal.Boris mengeluarkan ponselnya. Setelah ragu-ragu sejenak, pada akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Tedy. Saat ini, Tedy masih belum bangun. Jadi dia sedikit terkejut ketika menerima telepon dari Boris.“Pagi amat, Ris. Ada apa?”“Kamu lagi sendirian?” tanya Boris.“Kamu ngomong apa, sih? Tentu saja aku sendirian. Memangnya kamu mau temani aku?” tukas Tedy sambil tertawa pelan.“Jeni masuk rumah sakit. Baru saja bilas lambung. Masih belum sadar,” kata Boris dengan acuh tak acuh.“Dia kenapa?”“Dia kenapa aku nggak tahu. Aku hanya tahu ten
“Nenek nggak apa-apa. Nenek suruh kamu ke sini hanya karena ingin ngobrol sama kamu. Tadi pagi Dokter Guntur baru datang. Untung ada Boris. Kalau nggak ada Boris, kita nggak mungkin kenal dokter ahli seperti Dokter Guntur,” kata sang nenek dengan tulus.Tentu saja Zola mengerti maksud di balik kata-kata neneknya. Dia pun menganggukkan kepala tanda mengerti.“Zola, akhir-akhir ini kamu ada kontak dengan orang rumah?”Orang rumah yang dimaksud nenek Zola tentunya mengacu kepada keluarga Leonarto. Namun, Zola tercengang sejenak, baru menangkap maksud neneknya.Zola menatap neneknya dan bertanya, “Nenek mau ngomong soal apa?”Nenek Zola tersenyum lembut. Hati nenek Zola sangat baik, dia juga orang yang sangat bijaksana. “Sebentar lagi Nenek akan menjalani operasi. Nenek ingin bertemu mama kamu dulu sebelum operasi. Sekarang aku nggak leluasa pergi ke rumah keluarga Leonarto. Coba kamu tanya dia, bisa nggak dia datang ke rumah sakit sebentar.”Zola menatap neneknya dengan wajah tanpa ekspre