Usai berkata, Zola tidak melihat Boris lagi. Dia berbaring lagi dan menutupi dirinya dengan selimut, lalu memejamkan matanya.Sikap Zola yang acuh tak acuh membuat Boris spontan mengerutkan kening. Dia merasa seolah-olah ada angin dingin bertiup di hatinya, membuatnya hanya bisa diam tercengang. Namun, Boris tidak memikirkannya lebih jauh. Dia bergegas keluar dari kamar setelah selesai berganti pakaian.Begitu mendengar suara pintu ditutup, mata Zola langsung terbuka. Hatinya begitu dingin seperti habis disiram air es. Hanya karena Tyara bilang takut, Boris sampai tidak peduli dengan kesehatannya sendiri lagi. Jadi bagaimana mungkin Zola masih memiliki peluang untuk menang? Sejak awal dia sudah kalah telak.Kelembutan singkat yang pria itu berikan padanya bukan karena memiliki perasaan padanya, tapi karena Zola masih berstatus sebagai istri Boris dan menantu keluarga Morrison. Selain itu, tidak ada alasan lain.Zola berkata pada dirinya sendiri berulang kali. Dia meletakkan tangannya d
Zola menggelengkan kepalanya, “Nggak apa-apa, Ma. Ayo kita pergi makan, Ma. Dia lagi sibuk.”Sorot mata Zola menjadi dingin. Bagaimana mungkin Boris bisa menemaninya makan siang? Pria itu hanya ingin menemani pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Tyara. Apalah artinya Zola baginya?Zola tertawa sinis di dalam hati. Dia merasa dirinya benar-benar rendah. Pria yang tidak mencintai sangatlah tegas. Apakah Zola masih ingin bertahan?Rosita yang membuat reservasi restoran. Restoran itu adalah restoran kelas atas yang tidak jauh dari rumah sakit, juga merupakan restoran yang sudah lama berdiri di Kota Binru.Mereka berdua meminta ruang VIP dan memesan tiga jenis hidangan serta satu sup. Ini pertama kali Zola makan berdua dengan ibu mertuanya. Namun, sama sekali tidak ada rasa canggung atau tidak nyaman. Karena Rosita adalah orang yang sangat lembut dan suka mengobrol.Rosita bertanya pada Zola, “Perusahaan berjalan dengan lancar, nggak? Kalau kamu butuh dana langsung cari Boris. Kalau kamu
Tyara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia menarik ujung pakaian Boris dengan wajah memelas, lalu berkata dengan suara pelan, “Boris, Tante benar. Aku yang salah.”Boris mengerutkan kening sambil menatap ibunya, “Ma, kalau ada apa-apa kita ngomong di rumah saja, oke? Tyara masih dalam tahap pemulihan, nggak boleh mengalami gejolak emosi yang terlalu besar. Jangan seperti ini, Ma.”“Ada apa denganku? Memangnya aku salah ngomong apa?” Rosita benar-benar marah. Dia langsung menarik Zola ke depannya dan bertanya, “Ini siapa? Katakan padaku, Zola siapa kamu?”Zola sama sekali tidak sadar. Dia langsung tercengang ketika ditarik ibu mertuanya. Bisa tidak ibu mertuanya jangan begitu terus terang? Zola merasa ditempatkan di posisi yang membuatnya serba salah.Matanya bertemu dengan tatapan pria itu, tatapan yang dingin. Entah karena Zola terlalu banyak berpikir atau bukan, dia merasa pria itu sedang menyalahkannya. Menyalahkannya karena dia tidak seharusnya datang ke restoran ini? Atau menyala
Boris tidak menjawab pertanyaan itu, hanya sikapnya yang terlihat semakin dingin.Boris merenggangkan matanya, kemudian berbicara dengan suara datar, “Tyara, aku antar kamu kembali ke rumah sakit.”“Boris, apa kamu nggak senang? Apa karena Zola marah makanya kamu merasa kasihan sama dia? Bilang saja yang sebenarnya, aku nggak akan menyalahkan kamu. Aku mengerti, kok, setelah setahun kalian menikah, berbagai hal yang seharusnya dan tidak seharusnya terjadi sudah kalian lewati. Kalau kamu bilang sekarang kamu mencintai dia, aku akan pergi, aku nggak akan mengganggumu lagi.”Tyara mulai emosional, matanya menatap Boris seraya menunggu jawabannya. Boris kemudian memandang Tyara dengan tatapan datar dan wajah tanpa emosi apa pun.Boris berkata tenang, “Tyara, kamu khawatirkan apa? Sudah kubilang, aku akan menceraikan dia dan menikahi kamu. Atau kamu ingin aku benar-benar jatuh cinta sama Zola dan meninggalkanmu? Kalau memang itu yang kamu mau, mungkin aku bisa mencobanya, hmm?”“Jangan, Bor
Dimas mengerutkan keningnya dan berkata, "Jangan sembarangan, ah." Pada saat yang bersamaan, telepon pun terhubung. Rosita berkata dengan tegas, "Boris, pulang ke rumah malam ini. Kita perlu mengadakan rapat keluarga. Mama peringatkan, kalau kamu nggak pulang, kamu akan menyesal." "Ma ...." "Apa, ha? Jadi sekarang kamu nggak mengindahkan kata-kata Mama?" potong Rosita dengan sangat emosi.Dimas merebut telepon dan memotong perkataan Boris, "Kamu itu seharusnya bersikap hati-hati. Jangan lupa siapa kamu sekarang. Setiap perkataan dan tindakanmu nggak hanya mewakili dirimu sendiri, tetapi juga keluarga Morrison dan Grup Morrison, juga reputasi kakekmu."Boris dengan wajah datar berkata, "Pa, jangan dengarkan kata-kata Mama. Aku nggak ngapa-ngapain, kok." "Masih berani membantah, heh? Apa kamu mau Papa temui wanita itu?" ancam Dimas."Ya sudah, iya. Aku ngerti. Aku pulang malam ini." Setelah mengucapkan itu, telepon langsung ditutup. Boris tampak pasrah dengan kening berkerut.Tyara,
Zola menatap Boris heran, "Mana ada?""Jadi, apa maksudmu sekarang?" tanya Boris."Aku nggak ngapa-ngapain, kok.""Kita biasanya makan sama-sama, tapi hari ini kamu nggak kirim satu pun pesan ke aku. Kamu sudah melaksanakan kewajibanmu sebagai istri?" Ucapan Boris tajam dan penuh dengan ketidakpuasan.Zola tersenyum getir, "Boris, kamu rela mengorbankan tubuhmu demi Tyara, gimana aku bisa tahu kalau kamu mau pulang makan di rumah atau nggak, hah? Lagipula, kalau aku telepon, aku juga nggak bisa pastikan bukan Tyara yang angkat. Jadi, ngapain aku telepon?"Zola masih kesal karena peristiwa semalam, dimana Boris mengabaikan tubuhnya sendiri. Hal itu tak bisa Zola lupakan. Namun, Boris justru tak berpikir demikian."Bukannya kamu hanya marah karena apa yang terjadi di restoran?" tanya Boris."Em, jadi kamu bicara tentang kamu memilih makan dengan Tyara ketimbang aku dan Mama, atau Tyara yang memelukmu di depan kami berdua?"Boris seharusnya tidak menyebutnya, tapi dia sendiri yang malah m
Zola baru saja sampai di kantor ketika Mahendra menyerahkan sebuah kontrak kepadanya, “Zola, ini kontrak yang baru kita tanda tangani dengan Stonerise. Mau lihat?”Zola hanya menggeleng, “Sudah, kamu yang urus saja.”Mahendra menaruh kembali kontrak itu dan duduk di kursinya, lalu berkata, “Beberapa hari lagi kita akan ke Morrison Group untuk menyerahkan desainnya sama bos Stonerise. Kita bakal sering ketemu dengan Morrison Group untuk beberapa bulan ke depan. Itu berarti kita nggak bisa hindari ketemu Boris. Kamu sudah punya rencana belum?”Zola sedikit terkejut, “Rencana apa?”“Perceraian,” jawab Mahendra pendek.“Kakek masih belum sadar, jadi perceraiannya harus ditunda. Kalau soal kerjasama, kita sudah susah payah mendapatkan ini, jadi pasti kita lanjut. Proyek ini juga bakal bawa untung besar buat perusahaan. Meskipun nanti aku dan Boris cerai dan aku nggak di Kota Binru lagi, yang lain di perusahaan ini tetap bisa lanjutkan proyek ini di lingkungan ini.” Itu prinsip dan batas yan
Ekspresi Boris datar. Wajah tampannya terasa asing di mata Zola. Boris berkata, "Iya, sementara tinggal di sini dulu sampai dapat tempat yang cocok, baru pindah.""Jawabanmu itu mungkin bisa mengecoh orang lain, Boris, tapi aku nggak percaya kamu nggak bisa menemukan tempat yang cocok untuk Tyara dengan kemampuanmu. Apa karena kamu merasa di Kota Binru yang luas ini hanya rumah kita yang paling cocok buat dia?" tanya Zola."Zola," nada suara Boris rendah, "Tyara baru saja keluar dari rumah sakit hari ini. Bahkan walaupun aku sudah carikan tempat, nggak akan ada tempat yang senyaman di rumah. Bisa nggak kamu lebih lapang dada dan nggak sempit pikirannya?" Lanjut Boris."Aku yang sempit pikiran?" Zola tertawa dingin. Dia menyadari betapa kejamnya seseorang bisa berbicara hingga setiap kalimatnya bisa meremukkan hati orang lain. Zola menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan pahit yang mulai menyesakkan dadanya.Zola berkata dingin, "Kalau kamu pikir tempat ini cocok untuk dia, maka a