'Kau harus melihat aku, Nara, lihat suamimu ini.'
'Kita akan ke rumah sakit. Sabar lah sebentar, Sayang.'
Seperti bisikan kecil aku mendengar suara-suara Arsen. Kalimat itu terus saja terulang, mengganggu tidurku yang sangat nyaman. Ingin rasanya kubuka mata ini tapi terlalu berat kurasakan.
'Sayang, bertahan sebenta lagi, oke.'
Kembali kudengar dia bicara.
Sebenarnya di mana ini? Aku tidak bisa merasakan pelukan hangatnya, seperti terakhir kali aku berada dekat di dada lelaki yang sangat kucintai itu. Semua terasa dingin, seperti aku berada di atas gundukan salju. Hanya suara-suara Arsen yang bisa terdengar telingaku, sebelum kurasakan seseorang tengah menyentuh beberapa bagian tubuhku.
Siapa dia? Kenapa tangan ini terasa sangat banyak di sekujur tubuhku? Aku juga bisa mendengarkan seseorang terus berbisik-bisik di sekitarku, mengatakan berbagai kata yang belum bisa kucernah dengan benar. Siapa dia? Itu yang pertama kali terpikir oleh benak
"Bayi kita ...."Sekali lagi aku mengulang pertanyaan itu. Bisa kulihat ekpresi sedih dan menyesal di wajah Arsen. Aku tak kuasa menahan bening hangat yang kini meluncur dari netraku, hidung terasa perih, sedang mulut kutahan rapat-rapat agar tidak mengeluarkan isakan. Aku tak kuasa ... sungguh, aku tak kuasa mengatakan apa yang sedang berputar di bayangan kepalaku."Nara ..." panggil Arsen. Nada yang cukup menyakitkan, membunuhku sampai ke relung yang paling dalam, sehingga isakan itu pun meluncur begitu saja. Aku sudah tak bisa menahan bibir ini terus terkatup."Sayang, tenangkan dirimu. Semua akan baik-baik saja, oke?"Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin semuanya akan baik-baik saja saat aku kehilangan kandunganku?
"Selamat siang, Ibu Nara, saatnya untuk makan."Arsen masuk ke ruang tempat aku dirawat, dengan sebuah nampang di tangannya. Dia berbicara seperti seorang perawat sungguhan, memamerkan senyumnya yang sangat tampan. Aku tak bisa mengabaikan gaya bicaranya itu yang lantas membuat aku tertawa kecil, lalu tangan segera memegangi perutku yang terasa perih. Biusnya sudah menghilang, jadi bekas luka operasi itu menjadi sakit setiap kali aku terbatuk atau tertawa. Bahkan berbicara pun, aku harus menahannya selalu pelan."Masa puasa Anda sudah selesai, jadi sekarang makan lah, Ibu Nara."Arsen ... ini perih. Jangan menggoda aku seperti itu lagi," selaku, menunjukkan wajah cemberut."Apa? Saya tidak dengar apa yang Ibu Nara katakan. Bisa Anda u
Kupikir, mungkin ini kah balasan untuk semua kesabaranku selama ini? Aku menemukan sebuah keluarga yang menerima apa adanya juga lelaki baik yang sebelumnya tak pernah terlintas di pikiranku, kalau dia akan menjadi suamiku. Rasanya seperti semua beban hidup yang kutanggung selama ini ikut melebur, kala melihat Arsen tertidur pulas di sebelahku. Dia meletakkan kelapa di sisi ranjang sedang dirinya duduk di atas kursi. Setiap malam selama dua hari ini, dia selalu menjaga seperti itu.Kuraih tangan Arsen, menggenggamnya erta. "Terima kasih," bisikku, mencurahkan rasa nyaman di dalam dada.Dia menggerakkan kelopak mata dua kali, lalu bola indahnya pun terbuka dan tatapan kami lantas beradu. Sigap Arsen-ku bangun mengangkat kepala."Aku tidak ketiduran," katanya, mengusap wajah yang masih mengantuk."Iya, aku tau, kok. Kau memang tidak tidur.""Kau tak percaya padaku?" Ditelengkan kepala ke kiri. "Nara, aku tidak tidur.""Lantas kenapa kalau kau
Sepanjang lorong rumah sakit yang kami lewati, tak henti-henti hatiku bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Bagaimana keadaan bayiku, apakah dia mungkin cacat, ataukah bayi itu terlihat mengerikan sampai Arsen meminta aku berjanji lebih dulu? Aku tak kuasa menahan pikiran buruk ini di dalam kepala, sebelum melihat boks beroda yang tengah didorong seorang perawat. Bayi mungil tertidur lelap di dalamnya, bisa kulihat dari boks kaca transparan itu. Kala itu pun aku baru menyadari bahwa kami sudah melewati ruangan bayi.Melewati ruangan bayi? Lantas, akan ke mana tujuan kami sebenarnya? Dadaku semakin bergemuruh oleh pertanyaan-pertanyaan itu, tanpa berani mengutarakannya pada Arsen.Di depan sebuah pintu yang bertuliskan 'Ruang Inkubator' akhirnya Arsen menghentikan langkah. Dia menekan bagian menutup cairan hand sanitizer, membalurkannya
Arsen menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang sangat aneh, menurutku. Kuedarkan pandangan ke seluruh arah, yang hanya dibatasi peti kemas container di sisi kiri dan kanan kami. Alisku mengerut heran, tak mengerti kenapa Arsen membawa kami ke tempat ini. Dan saat aku meliriknya, dia hanya menaikkan bahu acuh."Arsen ... di mana kita? Apa yang kita lakukan di sini?" tanyaku.Bukankah dia katakan kami akan melihat Nara dan Jacky? Kenapa justru datang ke tempat ini? Sesuatu yang menakutkan memenuhi kepalaku seketika, membayangkan kejadian-kejadian di televisi yang pernah aku lihat.Ya, container bekas seperti ini sangat sering digunakan untuk mengangkut mayat yang dibekukan. Menrinding kudukku membayangkan Arsen mungkin membuat dua orang itu menjadi mayat beku."Kau ... kau tidak membunuh mereka, kan?" tanyaku lagi.Lantas Arsen terkekeh kecil mendengar pertanyaan itu."Apa salah jika aku membunuh mereka? Kedua iblis itu sudah melakuka
Jika aku membunuhnya, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Arsen akan ketakutan memperistri aku? Apakah anakku nanti bisa menerima bahwa mamanya seorang pembunuh? Aku sangat marah sehingga kedua tangan kuremas di bawah sana, menutup mataku, menjaga agar kemarahan ini sedikit surut."Kau pengecut," sindir Nara kemudian, yang membuat aku tersadar dari semua pikiran. "Kau hanya seorang pengecut, Nara. Aku sudah menggoda suamimu tapi kau hanya bisa menampar aku? Padahal, aku pikir tadinya kau akan membunuhku sampai mengunci kami di sini.""Jujur saja aku memang sudah tak sabar ingin membunuhmu, perempuan gatal!" sahutku yakin."Tapi nyatanya kau tidak bisa. Hanya mulutmu lah yang lebar seakan kau bisa melakukannya.""Aku bisa m
"A-apa? mencari anaknya?" kataku, mengulangi perkataan Bi Ratna. Wanita paruh baya itu mengangguk mengiyakan perkataanku."Dia bilang begitu, Nyonya. Katanya Anda mengandung anaknya, dan dia berulang kali datang ke sini dan terus berkata ingin mengambil anaknya. Aku heran, memangnya anak yang mana?"Berulang kali, yang berarti orang itu datang bukan hanya satu kali. Kutatap lama wajah Bi Ratna, dan aku yakin dia tidak sedang bercanda. Seseorang memang datang ke sini mencari aku menyebutkan ingin menjemput anaknya. Dan pertanyaannya sekarang, siapa orang itu? Apakah mungkin ... Ferdy?Aku terperanjat saat nama lelaki itu melintas di kepalaku, yang membuat Bi Ratna menatap penasaran. Apa itu masuk akal? Jelas-jelas Ferdy tahu kami tidak memiliki anak, jadi sangat tidak mungki
Kulangkahkan kaki perlahan menuruni anak tangga menuju lantai satu. Aku gugup, ragu, dan juga sedikit khawatir membayangkan orang seperti apa yang tengah menungguku di bawah sana. Kata Bi Ratna orang itu sudah memaksa masuk sehingga kini kulihat seseorang tengah berdiri di bawah sana.Siapa dia sebenarnya? Aku belum bisa melihat wajahnya, sebab orang itu tengah berdiri di depan jendela dengan punggung menghadap padaku. Kulirik Bi Ratna yang berdiri di belakangku, wanita itu hanya menggeleng pertanda tak paham."Ehm!" Berdehem sejenak, sebelum aku menyapa seseorang yang belum juga melihat ke arahku. "Permisi, Anda mencari saya?"Satu, dua, tiga, kuhitung setiap detik mengikuti jarum jam yang terletak di sisi dinding sembari menunggu orang itu menjawab. Dan di hitungan ke sepuluh, dia memutar tumitnya sehingga wajah itu menghadapku. Tersenyum dia seperti tidak merasa bersalah."Halo, Nara, akhirnya kau kembali dari liburanmu, ya?" katanya.