Arsen melihatku lama. Alisnya menukik ke bawah dan garis bibirnya lurus di tempat. Kurasa sepertinya aku sudah salah bertanya seprti itu.
"Ma-maaf, aku tak bermaksud tidak percaya padamu. Aku ... anggap saja kau tak mendengarnya. Ya, anggap kau tak mendengar pertanyaanku," ucapku, segera kugigit bibir agar tidak lagi mengatakan apa pun.
"Hum?" gumamnya. "Tapi sudah mendengarnya, Nara." Lalu bibirnya berkedut tak bisa menahan rasa ingin tertawa yang langsung lepas begitu saja. Arsen tertawa, ya ... dia tertawa membuat rasa gugupku memudar.
"Buat apa aku keluar? Istriku tidur di sisiku, dan aku harus pergi ke luar sana dalam keadaan mabuk berat?" katanya, lantas mencubit kecil daguku. "Banyak hiu di dalam laut, bisa saja aku terjatuh ke sana dan jadi santapannya."
Huft ... syukurlah dia tidak marah justru mengecup pelan puncak kepalaku. Rasanya bulan madu kami begitu indah, layaknya pasangan yang menikah saling mencintai.
"Kau
Aku dan Arsen sudah kembali ke kamar kami. Dia mendudukkanku di tepian ranjang, sementara dirinya berdiri tepat di depanku. Matanya menatapku beberapa saat dan bibirnya terkunci rapat. Rasanya, dia seperti ingin mengatakan suatu hal tapi terasa sulit."Ada apa? Mereka di luar sana, kenapa kita masuk ke kamar?" tanyaku, mengingatkan dua orang yang bertengkar di luar sana.Arsen menyentuh pundakku lembut dan matanya tertuju ke kedua manikku. Dia melihat aku dengan sorot mata yang seakan sedang memoho."Nara, kau tau aku ingin sekali lepas darinya, bukan?" ucap Arsen. Kuanggukkan kepala sebagai pertanda aku memahami kalimat yang dikatakan olehnya.Dia mengembuskan napas berat sebelum berkata, "Kali ini saja, tolong mengerti padaku sekali ini. Biarkan mereka berada di satu kapal dengan kita, hanya untuk membuat si brengsek itu yakin bahwa aku tak punya hubungan lagi dengan istrinya."Oh ... kuakui ini membuat aku sangat kecewa. Arsen masih
Seperti anak kecil saja aku ini di mata Arsen. Dia menggendongku keluar dari kamar kami, dan membawaku naik ke dek atas. Di atas kursi malas itu dia baringkan aku, sebelum akhirnya ikut berbaring di sebelahku. Kami berbagi tempat dengan tidur dengan posisi miring, menikmati angin yang mempermainkan rambut kami."Kau tidak lelah sering menggendongku? Aku sudah tidak ramping lagi, Arsen. Perutku semakin besar dan tubuhku juga menggendut," kataku, mengingat isi pikiranku saat kami di dalam kamar."Tidak. Aku senang bisa menggendongmu seperti itu. Hei, Nara, apa yang sudah kau lakukan sampai aku selalu ingin membuatmu bahagia, hum?"Jika kuingat betapa dia menakutkan di masa lalu, rasanya ini seperti aku sedang berada di sisi laki-laki lain. Bukan Arsen yang selalu ingin kuhind
Kembali kami duduk di meja makan itu setelah Arsen setuju dengan ajakan Jacky. Alkohol yang tadinya adalah hadiah, kini dibuka oleh pelayan dapur dan menuangkan isinya ke dalam tiga gelas sloki. Ya, hanya mereka bertiga yang meminumnya, sedangkan aku memilih meminta pelayan membuatkan segelas air lemon. Selain karena aku sedang hamil, sejujurnya aku sendiri juga tidak bisa minum. Tapi bagus lah, setidaknya ada aku yang masih waras di sini, jika mereka minum terlalu banyak. Aku bisa mengawasi Arsen untuk tidak melakukan hal yang tidak ingin terjadi."Bagaimana pertemuan kalian, Arsen? Aku dengar, istrimu dulu bekerja di bagian kebersihan. Tak kusangka kau adalah lelaki yang tidak memandang status, tidak seperti laki-laki kebanyakan, yang lebih mengutamakan pernikahan bisnis. Ya ... seperti kami contohnya," kata Jacky, di sela acara minum mereka yang berlangsung.
Tubuh semakin lemas dan aku merasa tatapanku pun perlahan menggelap. Dengan bergantung pada ujung meja, kubawa diri turun menuju lantai sebelum aku benar-benar kehabisan kesadaran lalu terlalu seperti Arsen. Perut besar ini memaksa aku tetap sadar, menjaga bayiku agar tidak terbentur ke lantai. Setelah berusaha sangat sulit, aku pun ikut terbaring di sebelah tubuh suamiku, menggerakkan tangan sangat pelan untuk menyentuh ujung jarinya. Belum aku bisa menggapai tangan Arsen, semuanya pun menjadi gelap sehingga aku tak bisa melihat dan mendengar apa pun. Kesadaran itu menghilang setelahnya dan entah berapa lama. Yang kutahu, ketika aku mulai tersadar lagi, aku sudah tidak berada di ruang makan. Suara Arsen memanggilku, memaksa kepala ini bergerak sangat pelan untuk mencari keberadaannya di sisi kiri.Tuhan ... apa yang tengah aku lihat ini? Arsen duduk di atas sofa dengan keadaan setengah telanjang, sedangkan Nara berdiri di depannya. Gadis itu tengah membuka satu per satu paka
Seperti kata Nara sebelumnya, nafsu Jacky memang sangat gila. Baru sebentar saja dia bersigantung di dada istrinya itu, Jacky tampaknya sudah sangat berhasrat sehingga dia menarik Nara dengan sangat keras. Mangangkat Nara dari atas pangkuan Arsen. Dia mendudukkan Nara di pangkuannya dan mereka saling memagut bibir penuh nafsu. Arsen-ku yang menyedihkan tampak seperti tak rela wanita itu diambil darinya, tapi beruntung dia tidak menyerobot. Arsen sepertinya juga berusaha melawan pengaruh obat di dalam dirinya, tapi terlalu sulit sehingga dia hanya diam menjadi penonton. Sedikit lega aku saat melihat bagian bawah Arsen ternyata masih tertutup sempurna dengan boxer. Dia tidak melakukannya dengan Nara.Entah karena efek obat yang dipaksa kuminum, tubuhku mulai terasa ringan sekarang. Gerak yang tadinya sangat sulit kulakukan, kini bisa dengan gampang aku membuat diri duduk di atas ranjang. Aku segera berjalan menuju suamiku, memeluknya, sehingga Arsen sangat terkejut."Nar
Kutatap mata Arsen yang semakin mengelabu. Dia meraih pinggangku untuk naik ke atas tubuhnya. Rasa di dalam diriku semakin memaksa saat dua tangannya menelusup masuk ke balik baju yang aku kenakan."Arsen ..." lirihku. "Ja-jangan."Siapa sih yang akan menolak melayani suami seperti dia? Tentu saja aku sangat ingin, apalagi dengan kondisi kami yang sama-sama menginginkan, sekarang. Aku hanya tak punya keberanian untuk menanggalkan pakaian ini di depan laki-laki lain, yang sedang bercinta sambil menonton kami. Aku tak bisa membayangkan bisa saja Arsen menjadi illfeel padaku, ketika dia mengingat Jakcy pernah melihat tubuh telanjangku. Ini sungguh sangat menyiksa sampai kurasa terkadang ingin menyerah, menuruti maunya Arsen."Hei, perempun bodoh! Kau ini terlahir idiot, ya? Arsen bisa mat
"Jack, siapa yang mengganggu kita? Bisa kau lihat ke luar sana?" Nara berkata geram, matanya menatap pintu di sebelah kanan kami.Brak!Brak!Bunyi dobrakan pintu itu terdengar semakin sering dan keras. Daun pintunya pun terlihat mulai bergerak setiap kali mendapat hantaman dari luar sana. Harapan mulai menyapaku, beranggapan mungkin para pelayan kapal sudah tahu akan kejadian ini. Mereka akan menolong kami, mereka akan melepaskan kami dari cengkraman dua iblis ini."Siapa di luar? Apa kalian tidak mendengar perintahku? Diam di sana atau aku membunuh kalian semua!" teriak Jacky, bangkit dari atas tubuhku dan berjalan cepat menuju pintu. Tapi dobrakan di luar sana tidak juga berhenti, sehingga dia semakin geram saja.
Keadaan Arsen semakin membaik setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Efek obat sialan yang diminumnya sudah menghilang sepenuhnya, tentu setelah aku membantunya dengan ehm ... kuyakin kalian paham maksudku. Ya, begitu lah. Kami melakukannya berulang kali di ranjang rumah sakit, dan aku selalu merasa malu setiap kali bertemu dokter juga perawat rumah sakit ini, membayangkan apa yang ada di pikiran mereka tentang kami selama di dalam sana.Seperti saat ini contohnya, kala kami berdua berada di ruangan sang dokter mendengarkan penjelasannya, aku lebih banyak menunduk atau berpura melihat ke arah lain."Maksud dokter, obat yang terminum istriku bisa saja berakibat buruk pada janin kami?" Arsen memperjelas perkataan dokter, dan bisa kurasakan aura kemarahannya di nada suara itu. Apalagi tinju yang meremas di atas meja, entah apa yang tengah dia pikirkan sekarang."Benar, seperti itu maksud saya. Meski Ibu Nara terlihat baik-baik saja saat ini, mungkin karena dia me