Tubuh semakin lemas dan aku merasa tatapanku pun perlahan menggelap. Dengan bergantung pada ujung meja, kubawa diri turun menuju lantai sebelum aku benar-benar kehabisan kesadaran lalu terlalu seperti Arsen. Perut besar ini memaksa aku tetap sadar, menjaga bayiku agar tidak terbentur ke lantai. Setelah berusaha sangat sulit, aku pun ikut terbaring di sebelah tubuh suamiku, menggerakkan tangan sangat pelan untuk menyentuh ujung jarinya. Belum aku bisa menggapai tangan Arsen, semuanya pun menjadi gelap sehingga aku tak bisa melihat dan mendengar apa pun. Kesadaran itu menghilang setelahnya dan entah berapa lama. Yang kutahu, ketika aku mulai tersadar lagi, aku sudah tidak berada di ruang makan. Suara Arsen memanggilku, memaksa kepala ini bergerak sangat pelan untuk mencari keberadaannya di sisi kiri.
Tuhan ... apa yang tengah aku lihat ini? Arsen duduk di atas sofa dengan keadaan setengah telanjang, sedangkan Nara berdiri di depannya. Gadis itu tengah membuka satu per satu paka
Seperti kata Nara sebelumnya, nafsu Jacky memang sangat gila. Baru sebentar saja dia bersigantung di dada istrinya itu, Jacky tampaknya sudah sangat berhasrat sehingga dia menarik Nara dengan sangat keras. Mangangkat Nara dari atas pangkuan Arsen. Dia mendudukkan Nara di pangkuannya dan mereka saling memagut bibir penuh nafsu. Arsen-ku yang menyedihkan tampak seperti tak rela wanita itu diambil darinya, tapi beruntung dia tidak menyerobot. Arsen sepertinya juga berusaha melawan pengaruh obat di dalam dirinya, tapi terlalu sulit sehingga dia hanya diam menjadi penonton. Sedikit lega aku saat melihat bagian bawah Arsen ternyata masih tertutup sempurna dengan boxer. Dia tidak melakukannya dengan Nara.Entah karena efek obat yang dipaksa kuminum, tubuhku mulai terasa ringan sekarang. Gerak yang tadinya sangat sulit kulakukan, kini bisa dengan gampang aku membuat diri duduk di atas ranjang. Aku segera berjalan menuju suamiku, memeluknya, sehingga Arsen sangat terkejut."Nar
Kutatap mata Arsen yang semakin mengelabu. Dia meraih pinggangku untuk naik ke atas tubuhnya. Rasa di dalam diriku semakin memaksa saat dua tangannya menelusup masuk ke balik baju yang aku kenakan."Arsen ..." lirihku. "Ja-jangan."Siapa sih yang akan menolak melayani suami seperti dia? Tentu saja aku sangat ingin, apalagi dengan kondisi kami yang sama-sama menginginkan, sekarang. Aku hanya tak punya keberanian untuk menanggalkan pakaian ini di depan laki-laki lain, yang sedang bercinta sambil menonton kami. Aku tak bisa membayangkan bisa saja Arsen menjadi illfeel padaku, ketika dia mengingat Jakcy pernah melihat tubuh telanjangku. Ini sungguh sangat menyiksa sampai kurasa terkadang ingin menyerah, menuruti maunya Arsen."Hei, perempun bodoh! Kau ini terlahir idiot, ya? Arsen bisa mat
"Jack, siapa yang mengganggu kita? Bisa kau lihat ke luar sana?" Nara berkata geram, matanya menatap pintu di sebelah kanan kami.Brak!Brak!Bunyi dobrakan pintu itu terdengar semakin sering dan keras. Daun pintunya pun terlihat mulai bergerak setiap kali mendapat hantaman dari luar sana. Harapan mulai menyapaku, beranggapan mungkin para pelayan kapal sudah tahu akan kejadian ini. Mereka akan menolong kami, mereka akan melepaskan kami dari cengkraman dua iblis ini."Siapa di luar? Apa kalian tidak mendengar perintahku? Diam di sana atau aku membunuh kalian semua!" teriak Jacky, bangkit dari atas tubuhku dan berjalan cepat menuju pintu. Tapi dobrakan di luar sana tidak juga berhenti, sehingga dia semakin geram saja.
Keadaan Arsen semakin membaik setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Efek obat sialan yang diminumnya sudah menghilang sepenuhnya, tentu setelah aku membantunya dengan ehm ... kuyakin kalian paham maksudku. Ya, begitu lah. Kami melakukannya berulang kali di ranjang rumah sakit, dan aku selalu merasa malu setiap kali bertemu dokter juga perawat rumah sakit ini, membayangkan apa yang ada di pikiran mereka tentang kami selama di dalam sana.Seperti saat ini contohnya, kala kami berdua berada di ruangan sang dokter mendengarkan penjelasannya, aku lebih banyak menunduk atau berpura melihat ke arah lain."Maksud dokter, obat yang terminum istriku bisa saja berakibat buruk pada janin kami?" Arsen memperjelas perkataan dokter, dan bisa kurasakan aura kemarahannya di nada suara itu. Apalagi tinju yang meremas di atas meja, entah apa yang tengah dia pikirkan sekarang."Benar, seperti itu maksud saya. Meski Ibu Nara terlihat baik-baik saja saat ini, mungkin karena dia me
Mobil yang membawa kami terus melaju menuju kantor polisi terdekat. Kata Papa Sudrajat, dia menyerahkan Nara dan Jacky pada kepolisian sambil menunggu mengirimkan mereka pada pengadilan negaranya. Papa Sudrajat terlimat tak bisa tenang duduk di tempatnya, seakan takut bahwa Arsen sudah melakukan hal yang mengerikan itu. Tentu saja aku juga berpikiran yang sama.Begitu supir menghentikan mobil ini, kami bertiga bergegas memasuki kantor polisi itu dan papanya Arsen langsung disambut dua orang petugas."Di mana dua pelaku itu? Aku ingin bertemu mereka.""Bukannya putra Anda sudah menjemput mereka, Tuan? Tuan Arsen berkata dia yang akan mengurus segalanya dengan kedutaan. Mereka sudah pergi sejak setengah jam yang lalu," sahut salah satu petugas, yang lantas membuat kami semua terdiam.Mama Riana menutup mulut dengan kedua tangannya, sementara isakan kecil terdengar dari balik bungkaman itu. Kami saling menatap sejenak, dengan pikiran yang dipenuhi oleh adega
"Kau lemah, Arsen. Kau terlalu lemah hanya untuk perempuan. Ayolah, apa yang spesial dari mereka? Kau bisa mengganti istri berkali-kali, kenapa harus peduli padanya?"Jacky mempererat lengannyan mencekik leherku, sehingga napas kurasakan sesak. Kulambaikan tangan pada Arsen untuk meminta pertolongannya."Ar-s-heeen ..." lirihku. "To-longh."Terlalu sulit kata itu aku keluarkan, sebab bukan hanya sesak saja yang aku rasakan di sini. Perut juga semakin sakit, melilit di bawah sana. Dadaku menyempit oleh oksigen yang semakin tak sedikit."Le-pas! Lepaskan!" kataku, berusaha melepaskan diri dari rangkulan lengan Jacky.Arsen sudah berhasil menuruni setiap dek, sampai kini dia berdiri beberapa meter di depan kami. Jacky memaksa aku mundur ke belakang, menjaga jarak dari suamiku."Kau ingin dia mati?" kata Jacky. "Kalau kau masih menginginkannya, sebaiknya mari bernego, Bung.""Apa yang kau inginkan?" Arsen berkata dari balik gigi-giginya.
'Kau harus melihat aku, Nara, lihat suamimu ini.''Kita akan ke rumah sakit. Sabar lah sebentar, Sayang.'Seperti bisikan kecil aku mendengar suara-suara Arsen. Kalimat itu terus saja terulang, mengganggu tidurku yang sangat nyaman. Ingin rasanya kubuka mata ini tapi terlalu berat kurasakan.'Sayang, bertahan sebenta lagi, oke.'Kembali kudengar dia bicara.Sebenarnya di mana ini? Aku tidak bisa merasakan pelukan hangatnya, seperti terakhir kali aku berada dekat di dada lelaki yang sangat kucintai itu. Semua terasa dingin, seperti aku berada di atas gundukan salju. Hanya suara-suara Arsen yang bisa terdengar telingaku, sebelum kurasakan seseorang tengah menyentuh beberapa bagian tubuhku.Siapa dia? Kenapa tangan ini terasa sangat banyak di sekujur tubuhku? Aku juga bisa mendengarkan seseorang terus berbisik-bisik di sekitarku, mengatakan berbagai kata yang belum bisa kucernah dengan benar. Siapa dia? Itu yang pertama kali terpikir oleh benak
"Bayi kita ...."Sekali lagi aku mengulang pertanyaan itu. Bisa kulihat ekpresi sedih dan menyesal di wajah Arsen. Aku tak kuasa menahan bening hangat yang kini meluncur dari netraku, hidung terasa perih, sedang mulut kutahan rapat-rapat agar tidak mengeluarkan isakan. Aku tak kuasa ... sungguh, aku tak kuasa mengatakan apa yang sedang berputar di bayangan kepalaku."Nara ..." panggil Arsen. Nada yang cukup menyakitkan, membunuhku sampai ke relung yang paling dalam, sehingga isakan itu pun meluncur begitu saja. Aku sudah tak bisa menahan bibir ini terus terkatup."Sayang, tenangkan dirimu. Semua akan baik-baik saja, oke?"Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin semuanya akan baik-baik saja saat aku kehilangan kandunganku?
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb