"Di mana Natasya?" tanya tuan Lucas, mendapati Jonathan melangkah masuk ke dalam kediaman hanya seorang diri. Wajah lelah pria bermanik biru itu berjalan acuh tak acuh sambil meletakkan jasnya di pundak. "Aku meninggalkannya di butik," jawab Jonathan santai. Tuan Lucas pun berdiri, wajah pria paruh paya itu benar-benar merah padam. "Jonathan, apa kau sedang mempermainkan keluarga? Apakah hukuman di ruang bawah tanah tempo itu masih belum menyadarkan dirimu dari pengaruh Hazel, wanita rendahan itu?!" geram tuan Lucas, suara pria itu berkobar-kobar penuh amarah yang memuncak. Jonathan yang benar-benar berada di titik lelah dan jenuh menatap wajah sang ayah dengan semburat senyum tipis mengejek terbit di bibir Jonathan. "Jika iya aku ingin mempermalukan keluarga kenapa ayah? Kau akan membunuhku?" tantang Jonathan. Tuan Lucas mengeram marah, dengan langkah tegas, pria itu melangkah menghampiri Jonathan. "Anak tidak tahu diuntung kamu Jonathan! Mengapa sejak kau dekat dengan wanita itu
"Sial, apa susahnya untuk mengikuti kemauan ayahnya? Apa-apa selalu saja Hazel. Bisakah Jonathan melupakan wanita itu? Apa yang akan dia dapatkan dari wanita seperti Hazel?" gerutu Natasya.Wanita itu kesal bukan main, satu tangan Natasya terkepal di bawah dagu saat sorot mata itu menatap tajam ke luar jendela kaca mobil yang tengah melaju. "Aku harus bagaimana lagi agar Jonathan bisa menjadi milikku seutuhnya? Semua cara sudah aku lakukan. Bahkan Edward pun sudah bertindak. Apakah aku harus menyerahkan dengan perasaan ini?" lagi-lagi Natasya bertanya pada dirinya sendiri. Drrt, drrt, drtt! Dering ponsel yang bergetar membuyarkan lamunan Natasya. Dengan cepat, dia merogoh isi tasnya. "Hallo, Bu, ada apa?" tanya Natasya kala sambung itu tersambung. "Natasya, kamu di mana? Apa kamu tidak tahu jika tuan Lucas masuk rumah sakit?" terdengar suara nyonya Luna yang panik di seberang sana.Pupil mata Natasya melebar mendengar kabar itu. Padahal tadi pagi pria itu masih terlihat sehat dan
"Apa kita perlu bergerak sekarang, Nyonya?" tanya seorang bawahan bibi Clara. Bibi Clara yang berada di dalam mobil hitam itu memperhatikan Hazel dari jauh. Segala rencana jahat sudah tersusun rapi di dalam benak wanita itu. "Kita tunggu, keadaan masih ramai. Kita ikuti kemana wanita sialan itu pergi. Jika ada kesempatan, tangkap dia!" ujar Nyonya Clara. Di depan kafe, Hazel mulai memutar tubuhnya dan melangkah sambil mengusap sikutnya yang terluka. "Perih sekali. Aku harus kemana? Jangan sampai Edward menemukanku," gumam Hazel, kakinya mulai melangkah di atas trotoar, sorot matanya menyisir keadaan. Tanpa Hazel sadari, mobil hitam yang terparkir di bahu jalan sedang mengintai langkah-langkah wanita itu. Hazel mempercepat langkah, mencoba menghilangkan bayang-bayang ketakutan dari bayangan Edward yang mungkin saja masih berada di sekitar sini. Di dalam mobil, bibi Clara mengamati setiap gerak-gerik Hazel dengan tatapan dingin. "Sabar, sebentar lagi waktunya," bisik bibi Clara
"To-tolong ... Umm ... Apa yang kau inginkan?!" teriak Hazel, namun suara wanita itu terendam oleh sapu tangan yang dibekap di mulutnya. Seiring ketika Hazel mencoba melepaskan diri, tubuhnya semakin lemah, penglihatan wanita itu juga semakin buram. Perlahan, Hazel kehilangan kesadarannya. "Mau kita apakan wanita ini?" tanya pria yang membawa tubuh Hazel kepada Rekan yang sedang menunggu di gang sepi. Seorang pria berjaket kulit hitam, membumbungkan asap rokoknya ke udara. "Tunggu sampai nyonya Clara datang. Untuk sementara, baringkan saja dulu," jawab rekan penculik itu. Sementara si pengemudi taksi yang tiba di tempat Hazel menggaruk-garuk kepalanya dengan alis berkerut heran. "Yaaa, dipermainkan lagi. Padahal tadi wanita itu berdiri di sini. Ah... Dasar pelacur jalanan!" gerutu si supir Kesal tidak mendapati Hazel. Dengan mata liar, pengemudi taksi itu masih menyisir keadaan jalan yang sudah mulai renggang. Namun dia tidak menemukan bayangan Hazel. "Sudahlah. Mungkin belum re
"Siapa?" teriak Amy berlari ke arah pintu kayu rumahnya. Dengan tergesa, Amy menggerakkan gagang pintu ketika mendengar suara ketukan pintu yang begitu nyaring terdengar di pintu utama rumahnya. Krek! Pintu itu terbuka. "Anda mencari siapa?" tanya Amy, menatap dua orang pria berdiri di depannya. Pria yang tidak ia kenal. Dua orang itu saling berpandangan lalu mengangguk memberikan isyarat. "Bawa wanita ini," kata salah satu. Pupil mata Amy melebar, wanita paruh baya itu tau apa yang mereka berdua ucapan. Dengan cepat, Amy hendak menutup daun pintu itu. Namun, sebuah kaki menghambat daun pintu itu tertutup. "Apa yang kalian inginkan?!" tanya Amy dengan suara bergetar. "Kami diutus untuk membawamu! Kau harus menjadi saksi atas pernikahan putrimu." Amy terhuyung ke belakang saat kedua pria itu memaksa masuk. "Jadi, Hazel akan menikah? Jika aku harus menjadi saksi, kalian cukup memintaku dengan cara baik-baik. Kenapa sikap kalian malah seperti perampok, hah?!" pekik Amy, me
"Menyingkir, atau pisau ini akan menembus perutmu." ancam Hazel, menodongkan pisau dengan tangan bergetar, napasnya tersengal.Tubuh pelayan yang membawa nampan di depan pintu kamar itu membatu. Kala ia melihat Hazel mengancamnya."Nona Hazel, tolong hati-hati dengan benda yang Anda pegang—" "Menyingkir!" Hazel memotong ucapan pelan itu, tangannya menghunus ke depan mengerahkan ujung pisau itu pada pelayan. Prang! Ketakutan, pelayan tersebut menjatuhkan tambang yang ia pegang. Ternyata Hazel memang tidak main-main, pelayan itu dapat merasakan bagaimana ujung pisau tersebut berada di permukaan kulit lehernya. "B-baik, Nona. Aku akan membawa Nona keluar dari sini. Tolong, singkirkan dulu pisau itu," ucap pelayan dengan suara tergagap. Hazel menyingkir pisau tersebut, tubuh pelayan berpura-pura berbalik badan, pelayan tersebut dengan gerakan cepat menepis tangan Hazel yang memegang pisau. "Klatang!" pisau yang di pegang Hazel terlepas dan jatuh ke lantai. "Kau menipuku!" teriak Haz
“Ini aku, Carl, Tuan. Kita harus pergi dari sini. Nona Hazel dalam bahaya,” bisik Carl. Merasa bersyukur, disaat yang tepat Carl datang membantu. Tapi rasa syukur Jonathan tak berselang lama. Pikiran pria bermanik biru itu lebih tertuju kepada Hazel yang akan menikah dengan Edward. “Carl, apa kamu sudah menyiapkan kendaraan?” tanya Jonathan berbisik. Dengan tangan yang sibuk melepaskan borgol di tangan Jonathan, Carl pun menjawab, “Aku akan membawa Tuan ke lorong. Di sana, sudah ada kendaraan yang menunggu di ujung lorong, Tuan.”“Oke. Cepat lepaskan borgol sialan ini!”Saat borgol terlepas dari pergelangan tangan Jonathan, bunyi logam yang jatuh ke lantai terdengar pelan. “Siapa di sana? Kalian! Cepat urus masalah mati listrik ini! Segera!” teriak tuan Lucas, mendengar suara logam terlepas itu. Suara tuan Lucas membuat Jonathan panik. Keadaan yang mujur, ruangan aula yang gelap itu dipenuhi oleh riuh suara orang-orang yang panik. Sementara Natasya, ia kelabakan berpikir jika ad
"Masih berapa lama lagi kita sampai?" tanya Jonathan dengan nada tidak tenang. Pandangan Carl tetap fokus pada jalanan. Ia sangat tahu bagaimana perasaan majikannya itu. Selama ia mendampingi Jonathan, Carl tidak pernah melihat sikap tuannya yang begitu kacau seperti saat ini. Carl juga tahu. Selama ini, tuannya itu tidak pernah begitu serius dengan seorang wanita. Baru Hazel yang mampu membuat seorang Jonathan seperti ini. "Dua puluh menit lagi, Tuan," jawab Carl. "Tolong percepat! Aku harus tuba di kediaman Edward. Sungguh mati, jika aku telat, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri!" "Saya usahakan, Tuan." Jonathan membuang pandangan ke jendela. Pikirannya kusut, segala problem dirinya kini menjadi sebuah beban bagi Jonathan. 'Ayah dan Natasya tidak akan berhenti sampai di sini. Aku harus membawa Hazel keluar dari negara ini apapun yang terjadi. Meninggal semua ini dan hidup sederhana bersama Hazel,' batin Jonathan, satu tangan Jonathan terkepal di bawah dagunya. ___Seme
Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt
Di desa terpencil yang kini menjadi tempat persembunyian Hazel dan Jonathan, pagi yang tenang membawa sedikit kedamaian setelah pelarian panjang. Matahari pagi mulai menghangatkan desa, tetapi Hazel masih tenggelam dalam kekhawatiran. Pikirannya tak henti-henti memikirkan ibunya, Amy, dan Carl yang mungkin masih bertarung di luar sana.Hazel duduk di depan rumah kecil yang mereka tinggali sementara, memandang hampa ke arah pepohonan yang bergerak pelan di kejauhan. Jonathan, yang duduk di sampingnya, meraih tangan Hazel, menggenggamnya erat.“Kita aman di sini, Hazel,” ujar Jonathan lembut. “Mereka takkan menemukan kita. Kamu harus percaya.”Hazel menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tahu, Jonathan. Tapi Ibu? Bagaimana dengan Carl? Aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Bagaimana nasib mereka setelah kita pergi?”Jonathan menghela napas panjang, mencoba meredam kekhawatirannya sendiri. “Hazel, ibumu dan Carl kuat. Kita harus percaya mereka selamat. Kita sudah melakukan y
Sinar matahari perlahan mulai menembus celah-celah pepohonan, menyinari hutan yang baru saja mereka tinggalkan. Di puncak bukit kecil, Jonathan dan Hazel berdiri terdiam, menatap perbatasan kota yang akhirnya mereka capai setelah pelarian panjang dan berbahaya.Meski matahari menghangatkan kulit mereka, hati keduanya masih diselimuti kecemasan. Pikiran Hazel terus terbayang pada nasib Carl dan Amy, yang terjebak dalam arus sungai yang deras."Jonathan," suara Hazel terdengar bergetar, "bagaimana kalau mereka tidak berhasil keluar dari sungai?"Jonathan menoleh, menatap Hazel dengan penuh kelembutan. Dia tahu betul betapa besar kekhawatiran gadis itu. Meski mereka telah selamat, perasaan bersalah karena meninggalkan Carl dan Amy menghantui mereka berdua."Hazel," suara Jonathan tenang, tegas, "Carl dan ibumu adalah orang-orang yang tangguh. Kalau ada yang bisa bertahan, itu pasti mereka."Hazel menatapnya dengan air mata yang menggenang, tetapi tetap ada ketakutan yang dalam di matanya
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang familiar. "Carl?" kata Jonathan dengan kaget.Carl tersenyum lega. "Syukurlah aku menemukan kalian."Hazel berdiri. "Bagaimana bisa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya di rumah?"Carl menggeleng. "Setelah memastikan mereka pergi, aku menyusul kalian. Aku tahu kalian akan menuju hutan."Jonathan menatapnya dengan serius. "Apakah kamu diikuti?"Carl mengangkat tangan. "Tenang, aku memastikan tidak ada yang mengikutiku, Tuan."Hazel menghela napas. "Apa rencanamu sekarang, Carl?"Carl menatap keduanya. "Ada jalur rahasia di hutan ini yang akan membawa kalian keluar dari kota tanpa terdeteksi."Jonathan mengerutkan kening. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami sejak awal?"Carl tersenyum tipis. "Tidak ada waktu tadi. Lagipula, aku harus memastikan jalurnya aman, Tuan."Hazel memegang tangan Carl. "Terima kasih. Kamu telah melakukan banyak untuk kami."Carl mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak sebelum fajar."Mereka bertiga melanjutkan perjalanan,