"Kita mau kemana?" tanya Hazel. Saat ini, Hazel dan Edward sudah berada di mobil yang melaju. Edward, ingin membawa kabur Hazel dengan alibi menyelamatkan wanita itu dari tuan Lucas. "Kita ke apartemenku, ya. Kau tentu sangat tertekan saat mendapatkan perlakuan kasar dari pamanku," jawab Edward. "Hmm... Tapi, aku harus ke rumah ibuku dulu. Aku takut kalau nanti ibuku akan khawatir kalau aku tidak pulang," Hazel memandang keluar jendela, mata perempuan itu penuh kecemasan.Edward menghela napas panjang. "Baiklah, kita singgah ke rumah ibumu terlebih dahulu. Aku hanya ingin memastikan kau aman, Hazel."Mereka berbelok ke arah rumah ibunya Hazel, suasana dalam mobil terasa berat dan tegang. Hazel meremas tangannya, berusaha menenangkan diri. Dalam hati, Hazel tahu bahwa perasaannya terhadap Jonathan belum sepenuhnya hilang, namun situasi yang mereka hadapi membuat semuanya semakin rumit.Setibanya di rumah Amy, Hazel segera turun. "Tok, tok , tok!" Hazel mengetuk pintu di hadapannya.
"Di mana Natasya?" tanya tuan Lucas, mendapati Jonathan melangkah masuk ke dalam kediaman hanya seorang diri. Wajah lelah pria bermanik biru itu berjalan acuh tak acuh sambil meletakkan jasnya di pundak. "Aku meninggalkannya di butik," jawab Jonathan santai. Tuan Lucas pun berdiri, wajah pria paruh paya itu benar-benar merah padam. "Jonathan, apa kau sedang mempermainkan keluarga? Apakah hukuman di ruang bawah tanah tempo itu masih belum menyadarkan dirimu dari pengaruh Hazel, wanita rendahan itu?!" geram tuan Lucas, suara pria itu berkobar-kobar penuh amarah yang memuncak. Jonathan yang benar-benar berada di titik lelah dan jenuh menatap wajah sang ayah dengan semburat senyum tipis mengejek terbit di bibir Jonathan. "Jika iya aku ingin mempermalukan keluarga kenapa ayah? Kau akan membunuhku?" tantang Jonathan. Tuan Lucas mengeram marah, dengan langkah tegas, pria itu melangkah menghampiri Jonathan. "Anak tidak tahu diuntung kamu Jonathan! Mengapa sejak kau dekat dengan wanita itu
"Sial, apa susahnya untuk mengikuti kemauan ayahnya? Apa-apa selalu saja Hazel. Bisakah Jonathan melupakan wanita itu? Apa yang akan dia dapatkan dari wanita seperti Hazel?" gerutu Natasya.Wanita itu kesal bukan main, satu tangan Natasya terkepal di bawah dagu saat sorot mata itu menatap tajam ke luar jendela kaca mobil yang tengah melaju. "Aku harus bagaimana lagi agar Jonathan bisa menjadi milikku seutuhnya? Semua cara sudah aku lakukan. Bahkan Edward pun sudah bertindak. Apakah aku harus menyerahkan dengan perasaan ini?" lagi-lagi Natasya bertanya pada dirinya sendiri. Drrt, drrt, drtt! Dering ponsel yang bergetar membuyarkan lamunan Natasya. Dengan cepat, dia merogoh isi tasnya. "Hallo, Bu, ada apa?" tanya Natasya kala sambung itu tersambung. "Natasya, kamu di mana? Apa kamu tidak tahu jika tuan Lucas masuk rumah sakit?" terdengar suara nyonya Luna yang panik di seberang sana.Pupil mata Natasya melebar mendengar kabar itu. Padahal tadi pagi pria itu masih terlihat sehat dan
"Apa kita perlu bergerak sekarang, Nyonya?" tanya seorang bawahan bibi Clara. Bibi Clara yang berada di dalam mobil hitam itu memperhatikan Hazel dari jauh. Segala rencana jahat sudah tersusun rapi di dalam benak wanita itu. "Kita tunggu, keadaan masih ramai. Kita ikuti kemana wanita sialan itu pergi. Jika ada kesempatan, tangkap dia!" ujar Nyonya Clara. Di depan kafe, Hazel mulai memutar tubuhnya dan melangkah sambil mengusap sikutnya yang terluka. "Perih sekali. Aku harus kemana? Jangan sampai Edward menemukanku," gumam Hazel, kakinya mulai melangkah di atas trotoar, sorot matanya menyisir keadaan. Tanpa Hazel sadari, mobil hitam yang terparkir di bahu jalan sedang mengintai langkah-langkah wanita itu. Hazel mempercepat langkah, mencoba menghilangkan bayang-bayang ketakutan dari bayangan Edward yang mungkin saja masih berada di sekitar sini. Di dalam mobil, bibi Clara mengamati setiap gerak-gerik Hazel dengan tatapan dingin. "Sabar, sebentar lagi waktunya," bisik bibi Clara
"To-tolong ... Umm ... Apa yang kau inginkan?!" teriak Hazel, namun suara wanita itu terendam oleh sapu tangan yang dibekap di mulutnya. Seiring ketika Hazel mencoba melepaskan diri, tubuhnya semakin lemah, penglihatan wanita itu juga semakin buram. Perlahan, Hazel kehilangan kesadarannya. "Mau kita apakan wanita ini?" tanya pria yang membawa tubuh Hazel kepada Rekan yang sedang menunggu di gang sepi. Seorang pria berjaket kulit hitam, membumbungkan asap rokoknya ke udara. "Tunggu sampai nyonya Clara datang. Untuk sementara, baringkan saja dulu," jawab rekan penculik itu. Sementara si pengemudi taksi yang tiba di tempat Hazel menggaruk-garuk kepalanya dengan alis berkerut heran. "Yaaa, dipermainkan lagi. Padahal tadi wanita itu berdiri di sini. Ah... Dasar pelacur jalanan!" gerutu si supir Kesal tidak mendapati Hazel. Dengan mata liar, pengemudi taksi itu masih menyisir keadaan jalan yang sudah mulai renggang. Namun dia tidak menemukan bayangan Hazel. "Sudahlah. Mungkin belum re
"Siapa?" teriak Amy berlari ke arah pintu kayu rumahnya. Dengan tergesa, Amy menggerakkan gagang pintu ketika mendengar suara ketukan pintu yang begitu nyaring terdengar di pintu utama rumahnya. Krek! Pintu itu terbuka. "Anda mencari siapa?" tanya Amy, menatap dua orang pria berdiri di depannya. Pria yang tidak ia kenal. Dua orang itu saling berpandangan lalu mengangguk memberikan isyarat. "Bawa wanita ini," kata salah satu. Pupil mata Amy melebar, wanita paruh baya itu tau apa yang mereka berdua ucapan. Dengan cepat, Amy hendak menutup daun pintu itu. Namun, sebuah kaki menghambat daun pintu itu tertutup. "Apa yang kalian inginkan?!" tanya Amy dengan suara bergetar. "Kami diutus untuk membawamu! Kau harus menjadi saksi atas pernikahan putrimu." Amy terhuyung ke belakang saat kedua pria itu memaksa masuk. "Jadi, Hazel akan menikah? Jika aku harus menjadi saksi, kalian cukup memintaku dengan cara baik-baik. Kenapa sikap kalian malah seperti perampok, hah?!" pekik Amy, me
"Menyingkir, atau pisau ini akan menembus perutmu." ancam Hazel, menodongkan pisau dengan tangan bergetar, napasnya tersengal.Tubuh pelayan yang membawa nampan di depan pintu kamar itu membatu. Kala ia melihat Hazel mengancamnya."Nona Hazel, tolong hati-hati dengan benda yang Anda pegang—" "Menyingkir!" Hazel memotong ucapan pelan itu, tangannya menghunus ke depan mengerahkan ujung pisau itu pada pelayan. Prang! Ketakutan, pelayan tersebut menjatuhkan tambang yang ia pegang. Ternyata Hazel memang tidak main-main, pelayan itu dapat merasakan bagaimana ujung pisau tersebut berada di permukaan kulit lehernya. "B-baik, Nona. Aku akan membawa Nona keluar dari sini. Tolong, singkirkan dulu pisau itu," ucap pelayan dengan suara tergagap. Hazel menyingkir pisau tersebut, tubuh pelayan berpura-pura berbalik badan, pelayan tersebut dengan gerakan cepat menepis tangan Hazel yang memegang pisau. "Klatang!" pisau yang di pegang Hazel terlepas dan jatuh ke lantai. "Kau menipuku!" teriak Haz
“Ini aku, Carl, Tuan. Kita harus pergi dari sini. Nona Hazel dalam bahaya,” bisik Carl. Merasa bersyukur, disaat yang tepat Carl datang membantu. Tapi rasa syukur Jonathan tak berselang lama. Pikiran pria bermanik biru itu lebih tertuju kepada Hazel yang akan menikah dengan Edward. “Carl, apa kamu sudah menyiapkan kendaraan?” tanya Jonathan berbisik. Dengan tangan yang sibuk melepaskan borgol di tangan Jonathan, Carl pun menjawab, “Aku akan membawa Tuan ke lorong. Di sana, sudah ada kendaraan yang menunggu di ujung lorong, Tuan.”“Oke. Cepat lepaskan borgol sialan ini!”Saat borgol terlepas dari pergelangan tangan Jonathan, bunyi logam yang jatuh ke lantai terdengar pelan. “Siapa di sana? Kalian! Cepat urus masalah mati listrik ini! Segera!” teriak tuan Lucas, mendengar suara logam terlepas itu. Suara tuan Lucas membuat Jonathan panik. Keadaan yang mujur, ruangan aula yang gelap itu dipenuhi oleh riuh suara orang-orang yang panik. Sementara Natasya, ia kelabakan berpikir jika ad