"Menyingkir, atau pisau ini akan menembus perutmu." ancam Hazel, menodongkan pisau dengan tangan bergetar, napasnya tersengal.Tubuh pelayan yang membawa nampan di depan pintu kamar itu membatu. Kala ia melihat Hazel mengancamnya."Nona Hazel, tolong hati-hati dengan benda yang Anda pegang—" "Menyingkir!" Hazel memotong ucapan pelan itu, tangannya menghunus ke depan mengerahkan ujung pisau itu pada pelayan. Prang! Ketakutan, pelayan tersebut menjatuhkan tambang yang ia pegang. Ternyata Hazel memang tidak main-main, pelayan itu dapat merasakan bagaimana ujung pisau tersebut berada di permukaan kulit lehernya. "B-baik, Nona. Aku akan membawa Nona keluar dari sini. Tolong, singkirkan dulu pisau itu," ucap pelayan dengan suara tergagap. Hazel menyingkir pisau tersebut, tubuh pelayan berpura-pura berbalik badan, pelayan tersebut dengan gerakan cepat menepis tangan Hazel yang memegang pisau. "Klatang!" pisau yang di pegang Hazel terlepas dan jatuh ke lantai. "Kau menipuku!" teriak Haz
“Ini aku, Carl, Tuan. Kita harus pergi dari sini. Nona Hazel dalam bahaya,” bisik Carl. Merasa bersyukur, disaat yang tepat Carl datang membantu. Tapi rasa syukur Jonathan tak berselang lama. Pikiran pria bermanik biru itu lebih tertuju kepada Hazel yang akan menikah dengan Edward. “Carl, apa kamu sudah menyiapkan kendaraan?” tanya Jonathan berbisik. Dengan tangan yang sibuk melepaskan borgol di tangan Jonathan, Carl pun menjawab, “Aku akan membawa Tuan ke lorong. Di sana, sudah ada kendaraan yang menunggu di ujung lorong, Tuan.”“Oke. Cepat lepaskan borgol sialan ini!”Saat borgol terlepas dari pergelangan tangan Jonathan, bunyi logam yang jatuh ke lantai terdengar pelan. “Siapa di sana? Kalian! Cepat urus masalah mati listrik ini! Segera!” teriak tuan Lucas, mendengar suara logam terlepas itu. Suara tuan Lucas membuat Jonathan panik. Keadaan yang mujur, ruangan aula yang gelap itu dipenuhi oleh riuh suara orang-orang yang panik. Sementara Natasya, ia kelabakan berpikir jika ad
"Masih berapa lama lagi kita sampai?" tanya Jonathan dengan nada tidak tenang. Pandangan Carl tetap fokus pada jalanan. Ia sangat tahu bagaimana perasaan majikannya itu. Selama ia mendampingi Jonathan, Carl tidak pernah melihat sikap tuannya yang begitu kacau seperti saat ini. Carl juga tahu. Selama ini, tuannya itu tidak pernah begitu serius dengan seorang wanita. Baru Hazel yang mampu membuat seorang Jonathan seperti ini. "Dua puluh menit lagi, Tuan," jawab Carl. "Tolong percepat! Aku harus tuba di kediaman Edward. Sungguh mati, jika aku telat, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri!" "Saya usahakan, Tuan." Jonathan membuang pandangan ke jendela. Pikirannya kusut, segala problem dirinya kini menjadi sebuah beban bagi Jonathan. 'Ayah dan Natasya tidak akan berhenti sampai di sini. Aku harus membawa Hazel keluar dari negara ini apapun yang terjadi. Meninggal semua ini dan hidup sederhana bersama Hazel,' batin Jonathan, satu tangan Jonathan terkepal di bawah dagunya. ___Seme
Brum!Suara mesin meraung liar ketika Carl menancap gas, mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju gerbang besar kediaman Edward. Jonathan duduk di kursi penumpang, matanya terpaku pada gerbang besi kokoh yang ada di depan sana, kedua tangan Jonathan mengepal erat, wajah pria bermanik biru itu penuh determinasi. "Tabrak gerbang itu, Carl!" perintah Jonathan tanpa ragu.Carl mengangguk. "Baik, Tuan!" Dengan cepat, Carl menginjak pedal gas lebih dalam. "Brak!" Hood mobil yang dikendarai oleh Carl menghantam gerbang dengan kekuatan penuh, suara logam beradu dengan logam memecah malam yang sunyi. Gerbang itu berderak keras, terbuka paksa, mengundang suara berisik di sekitar halaman. Dua orang penjaga gerbang terkejut, mereka segera keluar dari pos. "Panggil bantuan! Kumpulkan semuanya sekarang!" teriak salah satu penjaga gerbang, panik. Wajah mereka berubah pucat, tidak menyangka akan ada yang berani menabrak gerbang kediaman Edward. Mereka segera meraih walkie-talkie di pingga
Tok, tok, tok!Pintu kamar bergetar lebih keras saat ketukan berikutnya terdengar dengan kuat. Edward melangkah mendekat, rahangnya mengeras, memandang tajam ke arah pintu seolah ingin mengintimidasi siapa pun yang berani mengganggu momen kesenangannya."Masuk!" Edward berteriak, suaranya menggelegar di dalam ruangan yang sempit itu. Krek! Pintu terbuka, dan seorang anak buahnya tergopoh-gopoh masuk, wajah anak buahnya pucat dengan napas terengah-engah."Tuan, ada... ada yang membuat kekacauan di depan gerbang. Dia menghajar semua orang-orang yang berjaga di area gerbang!" lapor pria itu dengan nada memburu.Hazel menoleh dengan cepat, sorot matanya berkilat penuh harapan. "Jonathan," gumam Hazel pelan, nyaris tak terdengar. Hazel tahu hanya satu orang yang memiliki keberanian seperti itu. Edward mendelik, wajah pria itu berubah merah padam. "Jonathan? Dia berani datang ke sini?!" raung Edward, mata laki-laki tersebut menyala-nyala.Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Edward mera
"Tuan Lucas, kami mendapatkan informasi jika tuan muda saat berada di kediaman Edward. Tuan muda juga mengacaukan kediaman Edward, Tuan." Mendengar laporan bawahan tuan Lucas, Natasya berdiri. Rahang wanita itu mengeras dengan kedua tangannya terkepal kuat. "Fuck! Jadi benar, dia pergi menyelamatkan wanita menjijikan seperti Hazel?!" berang Natasya.Tuan Lucas memijit pelipisnya, merasa frustasi dengan situasi yang semakin rumit. Matanya menyala dengan amarah yang terpendam, dan rahangnya mengatup erat. "Apa yang sebenarnya ada di pikiran anak itu?!" geram Tuan Lucas, tatapannya tajam menusuk bawahan yang berdiri dengan gugup di hadapannya.Natasya menghentak langkahnya ke depan, mata Natasya memerah penuh kemarahan. "Dia benar-benar bodoh! Mempertaruhkan semuanya demi wanita rendahan seperti Hazel?!" Natasya berteriak, suaranya bergetar penuh amarah. "Aku tidak akan membiarkan ini! Kita harus menghentikannya!" Natasya menambahkan kemarahannya. Tuan Lucas menghela napas berat, m
"Apa?! Dikepung?!" terkejut bibi Clara dan Silvia. Di dalam gudang, suara sirine semakin mendekat, menggema hingga ke dalam ruangan yang gelap dan pengap.Hazel menoleh ke arah Jonathan, raut wanita itu cemas. "Tuan, polisi sudah di sini. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Hazel, suaranya bergetar.Jonathan mengepalkan tangan, memandangi bibi Clara dan Silvia yang masih berdiri dengan wajah ketakutan. "Kita harus keluar dari sini secepat mungkin. Carl sudah menyiapkan mobil di belakang. Kita akan pergi sebelum semuanya menjadi semakin kacau," jawab Jonathan.Carl masuk ke gudang, wajahnya tegang. "Tuan, polisi sudah mengepung. Kita masih punya waktu, tapi tidak banyak," ujar Carl sambil melihat sekilas ke arah bibi Clara dan Silvia yang tampak gemetar."Bawa mereka keluar. Kita serahkan semuanya ke polisi," perintah Jonathan kepada Carl, menunjuk bibi Clara dan Silvia. "Mereka ini sudah cukup meresahkan!"Bibi Clara mencoba berontak, tetapi dua petugas polisi segera memborgol tangan
Di tengah suasana tegang dan marah di kediaman Edward, Nyonya Luna muncul dengan raut wajah dingin yang mencerminkan amarah yang terpendam. Nyonya Luna melangkah mendekati Tuan Lucas dan Tuan Carlos, tatapannya tajam seperti belati yang siap menusuk siapa pun yang dianggapnya bertanggung jawab atas kekacauan ini."Lucas, Carlos, kalian berdua biarkan ini terjadi di bawah hidung kalian?!" Nyonya Luna berseru, suaranya rendah tapi penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Kalian berdua gagal menjaga Jonathan dan membiarkan dia lari dengan wanita sialan itu. Kalian tahu betapa pentingnya perjanjian ini bagi keluarga kita, dan sekarang semuanya terancam karena kelalaian kalian!"Tuan Lucas, yang biasanya tegas dan penuh wibawa, hanya bisa menundukkan kepala. "Luna, aku... aku sudah mencoba segalanya. Aku tidak menyangka Jonathan akan nekat seperti ini," jawab Tuan Lucas dengan nada putus asa. Ia tidak terbiasa berada dalam posisi lemah seperti ini, dan sekarang ia merasa dunia berbalik meny