~Amih Lilis~Persidangan hari itu berjalan alot sekali. Bahkan lebih alot dari persidangan sebelumnya. Pihak Gerald benar-benar gencar menyerang Navisha. Bahkan, tidak ragu menguak cerita masa lalu antara Gerald dan Milli. Meski begitu, Milli tetap tak mengakui kelicikannya dan malah menudingkan semuanya pada Navisha. Miris sekali hati wanita yang kini menyandang gelar Nyonya William itu. Menyayangkan jika semuanya harus terkuak di depan Angel sendiri. Mungkin inilah niat mereka sebenarnya. Ingin membuat Angel bingung dan resah dengan menyuguhkan fakta yang tidak semuanya benar.Beruntung Raid mempercayakan kasus ini pada Pak Alan. Pengacara itu meski di luar jarang bicara dan terkesan dingin. Tetapi saat dalam pengadilan, mulutnya bisa dengan lihai menyerang pihak Gerald. Lebih dari itu, Navisha juga memiliki surat lengkap dari dokter tentang kepemilikan Angel. Meski Navisha tidak setuju dengan ungkapan itu. Karena Angel kan bukan barang dan masih punya hak mandiri. Akan tetapi, mer
~Amih Lilis~William mengusap lembut punggung Navisha, saat mendengar wanita tersebut berucap mengakui fakta yang ada. Pria itu tahu keadaan saat ini pasti berat untuk istrinya. Tentu saja berat. Ia saja yang hanya mengenal Angel beberapa bulan ke belakang merasa tak sanggup untuk jujur akan fakta yang ada. Apalagi Navisha yang sudah mengurus Angel sejak bayi. Pasti hatinya terparut luka saat ini.Meski begitu, William memilih tak ikut bicara. Menyerahkan segala keputusan pada Navisha. Bukankah, di sini istrinya yang lebih berhak mengambil keputusan daripada dirinya. Sementara di tempatnya, Angel juga tak berucap apa pun. Hanya menatap Navisha lekat dengan sorot tak terbaca."Maafin Mama karena nggak jujur selama ini, ya? Kamu gak marah kan sama Mama?" tanya Navisha pedih, mengusap wajah sang putri dengan lembut. Angel tetap diam. Masih menatap Navisha lekat. Tak lama, gadis cilik itu kemudian membalas menyentuh wajah Navisha dan mengusap air mata yang kembali mengalir dari netra sa
*Happy Reading*Navisha berusaha sekuat mungkin mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Berjalan terseok dengan langkah gontai ke arah Angel terkapar yang kini sudah mulai dikerumuni banyak orang. Pandangannya terhalangi, baik itu oleh orang-orang juga air mata yang mulai mengenang di kedua matanya. Hatinya ingin menampik apa yang baru saja ia lihat. Akan tetapi bagaimana bisa? Semua jelas terlihat di depan mata dan terekam otaknya dengan sempurna.Sakit! Hatinya sakit luar biasa melihat hal itu. Seluruh tubuhnya terasa lemas mengingat bagaimana Angel memanggil namanya sambil menangis dari balik kaca mobil hingga kejadian terlemparnya sampai menabrak trotoar. Semuanya terjadi begitu cepat di depan mata. Benar-benar cepat hingga membuat Navisha berharap jika ini hanya mimpi semata. Siapapun, tolong bangunkan Navisha saat ini! Ia tak sanggup berada di sini sekarang!"Nav!" William menangkap laju tubuh Navisha yang berusaha mendekat ke arah jatuhnya Angel tadi."Lepas, aku ... ma
~Amih Lilis~Navisha tidak pernah menyangka akan berdiri di sini secepat ini. Ia kira, ia masih punya waktu banyaaaakkk sekali hingga sampai ke saat ini. Banyak sekali rencana hidup yang sudah Navisha rangkai untuk hidup mereka ke depannya. Banyak tawa yang ingin ia berikan dan harapan yang ia sematkan. Navisha bahkan sudah menyediakan beberapa tabungan untuk kebutuhan mereka kelak. Membuat list tempat-tempat liburan yang ingin ia kunjungi bersama. Pokoknya, banyak yang sudah Navisha siapkan untuk beberapa tahun ke depan. Sayang, semua itu kini hanya akan jadi wacana dan kenangan semata. Karena orang yang Navisha harapkan untuk menikmatinya kini telah di ambil lagi oleh sang penitip amanah. Berat, berat sekali rasanya. Navisha tak pernah menyangka akan kehilangannya secepat ini. Rasanya baru kemarin Navisha menggendong tubuh merah itu dengan keadaan hati kalut karena jebakan sang ibu kandung. Mencoba menerimanya dengan ikhlas dan tidak mengeluh. Menjadikannya kesayangan dan alasan ba
*Happy Reading*"Ayo kita cerai!"Gerak lincah jemari William di atas keyboard laptop seketika berhenti dengan degup jantung yang tiba-tiba bertalu cepat. Namun, hanya beberapa saat saja. Setelahnya pria itu kembali meneruskan kegiatannya. "Aku tidak mau." Meski begitu, William tetap menjawab ajakan Navisha barusan. Ajakan yang sangat William benci.Navisha menghela nafas panjang mendengar sahutan William. Hal itu tak luput dari perhatian pria yang mencoba tetap santai di tempatnya, meski sebenarnya berbanding terbalik dengan suasana hatinya."Kita menikah karena Angel, kan? Sementara sekarang ... Angel sudah tidak ada. Lalu, untuk apa lagi pernikahan ini?"Tanpa sadar, William mengepalkan sebelah tangannya dengan kuat. Berusaha tetap sabar menghadapi ucapan Navisha, meski sebenarnya sudah William duga sebelumnya. "Kamu tenang aja, aku juga akan mengembalikan semua aset yang kuminta sebagai perjanjian pra nikah. Aku akan membatalkannya." Navisha berkata lagi dengan enteng. Seolah me
*Happy Reading*William mengerang saat kesadarannya mulai pulih, ia mengangkat tangan dan memijit pelipisnya karena rasa pening yang mendera. Posisinya saat ini tidur di atas ranjang dengan posisi telungkup, wajahnya menoleh ke arah jendela besar. Pria itu masih belum menyadari di mana keberadaannya saat ini."Akh ... kepalaku," gumam William sambil berusaha bangun dari tidur, lalu menyenderkan punggung pada sandaran ranjang. Ia tidak tahu jam berapa sekarang. Sebab tak menemukan ada jam di mana-mana. Memijat kepalanya lagi beberapa saat, sedikit demi sedikit ingatannya yang semalam mulai berlomba mengingatkan William. Terperanjat kaget, perlahan William melirik ke arah kirinya. Jantungnya seolah akan meloncat saat menemukan seseorang yang tertutup selimut. Posisinya yang membelakangi William membuatnya tak bis melihat rupa orang tersebut. Hanya bagian rambut yang bisa ia lihat. Akan tetapi, dari sana juga William yakin jika orang itu adalah perempuan karena rambut tersebut lumayan p
*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya ....Selepas William pergi, Navisha masih terduduk sambil menatap kosong. Kesendirian membuatnya teringat pada kesedihan yang masih melingkupi hatinya. Menarik kaki ke atas kursi yang ia duduki, Navisha mulai menangis kembali sambil membenamkan wajah. Sejujur, ia sudah tidak ingin tinggal di sana. Terlalu banyak kenangan tentang sang putri yang melekat. Ia meminta pisah juga karena ingin keluar dari sana. Rasanya hatinya masih berparut luka tiap kali teringat kepergian sang putri. Entah berapa lama Navisha menangis sendiri. Yang pasti, kegiatannya itu tiba-tiba terinterupsi oleh ketukan pintu yang berupa gedoran. Awalnya, Navisha ingin mengabaikan saja. Namun, sang pelaku penggedoran terus menerus mengganggu. Takut mengganggu tetangga sebelah apartement. Navisha pun beranjak dan mengintip sejenak siapa tamu yang mengganggu kesendiriannya. "Itu kan ...." gumam Navisha mengenali sang tamu. Kalau tidak salah, dia yang menyelamatkan Angel tempo h
~Amih Lilis~"Jelaskan. Bagaimana kau tahu aku di sini dan sedang di jebak Cheryl?" tanya William tanpa tedeng aling-aling pada Frans. "Ck, sebelumnya bisa tolong naikan resleting celanamu? Punyamu membuatku gagal fokus," sahut Frans santai sambil memberi kode dengan dagunya ke arah celana William yang memang lupa belum sempat di naikan sletingnya. William berdecak kesal, lalu menuruti titah Frans. "Gagal fokus, apa? Aku masih pakai celana dalam, kan? Lebih dari itu, memang kau penyuka batangan, Frans?" tanya William curiga. "Aku gagal fokus bukan karena menyukai batanganmu, Will. Tapi miris saja sama ukurannya," jawab Frans ambigu. "Sial! Jangan asal menilai, kau. Ini dia masih anteng saja, makanya imut begini. Kalau udah bangun juga gagah," ungkap William dengan jumawa. Frans menaikan bahu acuh, "Mau segagah apa pun, aku tetap tidak akan tertarik. Aku masih normal.""Apalagi aku," dengkus William kasar. "Sudahlah, jangan bahas itu lagi. Kita kembali ke topik utama. Jawab pertan