~Amih Lilis~Mendengar ucapan Angel, entah kenapa hati Navisha merasa takut. Ia seolah akan kalah dalam persidangan nanti dan Angel akan dibawa pergi darinya.Tidak! Tidak! Membayangkannya saja Navisha tidak sanggup. Angel adalah pusat dunianya sekarang. Alasan Navisha tetap bisa berdiri tegar hingga saat ini. Jika Angel sampai pergi, ia yakin pasti akan hancur. Tidak, tidak! Navisha tak ingin itu terjadi."Tidak usah berandai-andai, Angel. Mama tidak suka!" tukas Navisha tegas."Angel ...." William gegas menyela saat melihat Angel hendak buka suara lagi. "Sudah, ya? Jangan bicara seperti itu lagi. Nanti Mama jadi sedih," bujuk pria itu kemudian. Angel terdiam. Melirik Navisha dan William bergantian. Sorot matanya tak terbaca. Seolah ia tengah ingin menyampaikan banyak hal, tapi tak berani. Akhirnya, Angel pun menghela nafas panjang kemudian mengangguk patuh. Namun, wajahnya jelas menyimpan banyak sekali beban. Ada apa dengan anak ini?"Angel, maafin Mama kalau udah bikin Angel sedi
~Amih Lilis~Persidangan hari itu berjalan alot sekali. Bahkan lebih alot dari persidangan sebelumnya. Pihak Gerald benar-benar gencar menyerang Navisha. Bahkan, tidak ragu menguak cerita masa lalu antara Gerald dan Milli. Meski begitu, Milli tetap tak mengakui kelicikannya dan malah menudingkan semuanya pada Navisha. Miris sekali hati wanita yang kini menyandang gelar Nyonya William itu. Menyayangkan jika semuanya harus terkuak di depan Angel sendiri. Mungkin inilah niat mereka sebenarnya. Ingin membuat Angel bingung dan resah dengan menyuguhkan fakta yang tidak semuanya benar.Beruntung Raid mempercayakan kasus ini pada Pak Alan. Pengacara itu meski di luar jarang bicara dan terkesan dingin. Tetapi saat dalam pengadilan, mulutnya bisa dengan lihai menyerang pihak Gerald. Lebih dari itu, Navisha juga memiliki surat lengkap dari dokter tentang kepemilikan Angel. Meski Navisha tidak setuju dengan ungkapan itu. Karena Angel kan bukan barang dan masih punya hak mandiri. Akan tetapi, mer
~Amih Lilis~William mengusap lembut punggung Navisha, saat mendengar wanita tersebut berucap mengakui fakta yang ada. Pria itu tahu keadaan saat ini pasti berat untuk istrinya. Tentu saja berat. Ia saja yang hanya mengenal Angel beberapa bulan ke belakang merasa tak sanggup untuk jujur akan fakta yang ada. Apalagi Navisha yang sudah mengurus Angel sejak bayi. Pasti hatinya terparut luka saat ini.Meski begitu, William memilih tak ikut bicara. Menyerahkan segala keputusan pada Navisha. Bukankah, di sini istrinya yang lebih berhak mengambil keputusan daripada dirinya. Sementara di tempatnya, Angel juga tak berucap apa pun. Hanya menatap Navisha lekat dengan sorot tak terbaca."Maafin Mama karena nggak jujur selama ini, ya? Kamu gak marah kan sama Mama?" tanya Navisha pedih, mengusap wajah sang putri dengan lembut. Angel tetap diam. Masih menatap Navisha lekat. Tak lama, gadis cilik itu kemudian membalas menyentuh wajah Navisha dan mengusap air mata yang kembali mengalir dari netra sa
*Happy Reading*Navisha berusaha sekuat mungkin mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Berjalan terseok dengan langkah gontai ke arah Angel terkapar yang kini sudah mulai dikerumuni banyak orang. Pandangannya terhalangi, baik itu oleh orang-orang juga air mata yang mulai mengenang di kedua matanya. Hatinya ingin menampik apa yang baru saja ia lihat. Akan tetapi bagaimana bisa? Semua jelas terlihat di depan mata dan terekam otaknya dengan sempurna.Sakit! Hatinya sakit luar biasa melihat hal itu. Seluruh tubuhnya terasa lemas mengingat bagaimana Angel memanggil namanya sambil menangis dari balik kaca mobil hingga kejadian terlemparnya sampai menabrak trotoar. Semuanya terjadi begitu cepat di depan mata. Benar-benar cepat hingga membuat Navisha berharap jika ini hanya mimpi semata. Siapapun, tolong bangunkan Navisha saat ini! Ia tak sanggup berada di sini sekarang!"Nav!" William menangkap laju tubuh Navisha yang berusaha mendekat ke arah jatuhnya Angel tadi."Lepas, aku ... ma
~Amih Lilis~Navisha tidak pernah menyangka akan berdiri di sini secepat ini. Ia kira, ia masih punya waktu banyaaaakkk sekali hingga sampai ke saat ini. Banyak sekali rencana hidup yang sudah Navisha rangkai untuk hidup mereka ke depannya. Banyak tawa yang ingin ia berikan dan harapan yang ia sematkan. Navisha bahkan sudah menyediakan beberapa tabungan untuk kebutuhan mereka kelak. Membuat list tempat-tempat liburan yang ingin ia kunjungi bersama. Pokoknya, banyak yang sudah Navisha siapkan untuk beberapa tahun ke depan. Sayang, semua itu kini hanya akan jadi wacana dan kenangan semata. Karena orang yang Navisha harapkan untuk menikmatinya kini telah di ambil lagi oleh sang penitip amanah. Berat, berat sekali rasanya. Navisha tak pernah menyangka akan kehilangannya secepat ini. Rasanya baru kemarin Navisha menggendong tubuh merah itu dengan keadaan hati kalut karena jebakan sang ibu kandung. Mencoba menerimanya dengan ikhlas dan tidak mengeluh. Menjadikannya kesayangan dan alasan ba
*Happy Reading*"Ayo kita cerai!"Gerak lincah jemari William di atas keyboard laptop seketika berhenti dengan degup jantung yang tiba-tiba bertalu cepat. Namun, hanya beberapa saat saja. Setelahnya pria itu kembali meneruskan kegiatannya. "Aku tidak mau." Meski begitu, William tetap menjawab ajakan Navisha barusan. Ajakan yang sangat William benci.Navisha menghela nafas panjang mendengar sahutan William. Hal itu tak luput dari perhatian pria yang mencoba tetap santai di tempatnya, meski sebenarnya berbanding terbalik dengan suasana hatinya."Kita menikah karena Angel, kan? Sementara sekarang ... Angel sudah tidak ada. Lalu, untuk apa lagi pernikahan ini?"Tanpa sadar, William mengepalkan sebelah tangannya dengan kuat. Berusaha tetap sabar menghadapi ucapan Navisha, meski sebenarnya sudah William duga sebelumnya. "Kamu tenang aja, aku juga akan mengembalikan semua aset yang kuminta sebagai perjanjian pra nikah. Aku akan membatalkannya." Navisha berkata lagi dengan enteng. Seolah me
*Happy Reading*William mengerang saat kesadarannya mulai pulih, ia mengangkat tangan dan memijit pelipisnya karena rasa pening yang mendera. Posisinya saat ini tidur di atas ranjang dengan posisi telungkup, wajahnya menoleh ke arah jendela besar. Pria itu masih belum menyadari di mana keberadaannya saat ini."Akh ... kepalaku," gumam William sambil berusaha bangun dari tidur, lalu menyenderkan punggung pada sandaran ranjang. Ia tidak tahu jam berapa sekarang. Sebab tak menemukan ada jam di mana-mana. Memijat kepalanya lagi beberapa saat, sedikit demi sedikit ingatannya yang semalam mulai berlomba mengingatkan William. Terperanjat kaget, perlahan William melirik ke arah kirinya. Jantungnya seolah akan meloncat saat menemukan seseorang yang tertutup selimut. Posisinya yang membelakangi William membuatnya tak bis melihat rupa orang tersebut. Hanya bagian rambut yang bisa ia lihat. Akan tetapi, dari sana juga William yakin jika orang itu adalah perempuan karena rambut tersebut lumayan p
*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya ....Selepas William pergi, Navisha masih terduduk sambil menatap kosong. Kesendirian membuatnya teringat pada kesedihan yang masih melingkupi hatinya. Menarik kaki ke atas kursi yang ia duduki, Navisha mulai menangis kembali sambil membenamkan wajah. Sejujur, ia sudah tidak ingin tinggal di sana. Terlalu banyak kenangan tentang sang putri yang melekat. Ia meminta pisah juga karena ingin keluar dari sana. Rasanya hatinya masih berparut luka tiap kali teringat kepergian sang putri. Entah berapa lama Navisha menangis sendiri. Yang pasti, kegiatannya itu tiba-tiba terinterupsi oleh ketukan pintu yang berupa gedoran. Awalnya, Navisha ingin mengabaikan saja. Namun, sang pelaku penggedoran terus menerus mengganggu. Takut mengganggu tetangga sebelah apartement. Navisha pun beranjak dan mengintip sejenak siapa tamu yang mengganggu kesendiriannya. "Itu kan ...." gumam Navisha mengenali sang tamu. Kalau tidak salah, dia yang menyelamatkan Angel tempo h
*Happy Reading*"Adek lagi apa?""Gambal""Gambar apa?"Bocah dua tahun itu pun menatap sang ibu sejenak, lalu mengarahkan jari telunjuk mungilnya ke arah gambar yang ia buat di sebuah batu di dekat sebuah nisan. "Ini Papa, ini Atta, ini Mama, ini tata," terangnya dengan riang dan bahasa yang belum sempurna, memperkenalkan satu persatu gambar abstrak yang ia buat. "Badus nda Mah, gambal adek?"Bagus. Adek pintar, ya?" Senyum sang anak lelaki itu pun semakin lebar dengan mata yang berbinar indah. "Tata nanti cuka nda?""Pasti suka.""Yeaayy! Adek mau tambah buna uat tata."Bocah dua tahun itu semakin semangat membuat gambar dengan crayon yang sengaja ia bawa dari rumah, di dekat nisan yang bertuliskan nama 'Angel'.Ya! Anak dan ibu itu adalah Navisha dan anaknya dengan William, yang sebentar lagi berusia dua tahun. Namanya Attala Malik Arsenio. Navisha tersenyum bahagia melihat keriangan sang anak. Lalu melirik nisan putrinya yang kini sudah tidak suram. Banyak gambar-gambar lucu y
*Happy Reading*"Kamu yakin akan hadir?"William melirik perut Navisha yang semakin membuncit. Usia kandungan istrinya kini telah menginjak sembilan bulan. William sangat khawatir, tapi istrinya ini sangat keras kepala dengan bersikukuh ingin menghadiri pernikahan Aida, salah satu rekan kokinya di cafe. Navisha yang sedang mematut diri di cermin menoleh. Mengangguk yakin penuh semangat. "Sangat yakin!"Navisha kembali mengalihkan tatapannya ada cermin dan mengambil lipmate warna nude yang amat ia suka. Wanita hamil itu memang dari dulu tidak suka memakai apa pun yang berwarna mencolok. "Sebagai ketua tim, aku harus hadir, Will. Apalagi Aida mengundang langsung aku waktu itu. Jadi nggak enak kalau sampai gak datang," terang Navisha lagi setelah polesan di bibirnya sempurna. "Tapi kandungan kamu--""Aku gak papa, Will. Percayalah!"Kehamilan memang membuat Navisha keras kepala. Semakin di larang, pasti akan semakin berontak. Entahlah, mungkin karena bawaan bayi mereka yang katanya be
*Happy Reading*"Jadi, berapa usianya?" tanya William sambil mengusap sayang perut Navisha yang sebenarnya masih rata. Saat ini mereka sudah berbaring berdua di atas brankar tempat William. Setelah tadi William langsung memeluk dan menghujani wajahnya dengan ciuman sekembalinya Navisha mencari seorang cleaning service untuk membersihkan muntahan William. Navisha sampai harus mencubit kengan William saking malunya pada si CS. Suaminya ini kalau skinship gak tahu tempat. Navisha merasa tak punya muka karena ulahnya. "Aku belum periksa ke dokter. Baru pake alat itu aja." Navisha menjawab seadanya. "Ya udah, besok kita periksa, ya? Aku gak sabar pengen liat dia. Kira-kira dia jagoan atau princess, ya?""Ya belum kelihatan lah!" Navisha memutar matanya malas. "Biasanya kalau untuk itu, minimal usia kandungan harus empat bulan dulu.""Oh, begitu ..." gumam William mengerti. "Ya udah gak papa. Tapi besok kita tetep periksa ya? Aku ingin tahu kondisinya."Navisha pun mengangguk setuju unt
*Happy Reading*Sepertinya Navisha memang terlalu menutup telinga selama ini. Sampai-sampai ia tidak tahu jika ternyata, Sonya tidak bisa melewati masa kritisnya. Ia meninggal beberapa hari setelah Angel tiada. Sementara Pak Jarwo, sejak menghadapi kebangkrutan ia stress. Apalagi kondisi anaknya pun tak kunjung membaik. Tak kuat menghadapi semua tekanan, Pak Jarwo pun nekad mengakhiri hidup. Sedangkan Gerald sendiri baru siuman dua bulan lalu dan langsung di adili. Navisha mendapat semua info tersebut dari Nissa. Sekembalinya dari makam Angel, Navisha memang langsung bertanya perihal ucapan Gerald saat itu, dan Nissa pun menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Kini, Navisha perasaan Navisha seperti dilema. Bingung harus senang atau sedih atas nasib Gerald saat ini. Akan tetapi yang jelas, ia merasa miris. Tidak pernah menyangka jika akhirnya semuanya akan seperti ini. "Nav?" Nissa menghampiri saat Navisha tengah fokus menghias sebuah kue tart pesanan seorang pelanggan. Wajahnya namp
*Happy Reading*Hubungan Navisha dan keluarga William semakin membaik setiap harinya. Ia kini bahkan menjadi kesayangan sang nenek. Mengambil alih posisi yang selama ini William tempat di hati sang nenek. Akan tetapi, William tidak cemburu sama sekali. Pria itu malah turut bahagia karena hal itu membuat sang kakek makin tidak bisa berulah lagi. Bukan maksud meragukan niat tobat kakek Wirya. Namun, William masih tak bisa percaya begitu saja setelah apa yang ia alami selama ini. Hubungan Navisha dan William pun berbanding sejalan dengan hubungan sang istri dan keluarganya. Mereka semakin hari semakin harmonis dan lengket. Meski terlambat, William benar-benar menepati janjinya yang ingin mengganti semua kenangan pahit saat pacaran dengan kenangan baru yang membahagiakan. Mereka pacaran lagi, tapi versi halal. Mengulang moment penting yang pernah sangat Navisha idamkan tapi William abaikan. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi goresan luka di hati sang wanita, menggantinya denga
*Happy Reading*"Kok malah jadi tegang gitu kalian? Gak suka ya nenek datang ke sini?" Suara Mariam, nenek William memecah keheningan yang seketika terjadi di sana. Navisha yang masih kaget karena kedatangan kakek dan nenek yang tiba-tiba, melirik William refleks. Ternyata pria itu pun melakukan hal sama dengannya. Yaitu melirik Navisha dengan raut kaget dan bingung.Beruntung William cepat menguasai diri. Setelah berdehem pelan satu kali. Pria itu segera menghampiri sang nenek sambil tersenyum. "Mana ada, Nek," bantahnya. "Kami senang kok dengan kedatangan nenek." William menyalami tangan nenek Mariam dengan khidmat, tapi tidak melakukan hal yang sama pada si Kakek. Mungkin pria itu masih menyimpan dendam. Melihat hal itu, Navisha pun turut mendekat dan melakukan hal yang sama. Yaitu mencium punggung tangan wanita itu dengan sopan. Namun berbeda dengan William, Navisha tidak mengabaikan sang kakek. Istri William mencium punggung tangan Kakek Wirya dengan sopan. Dan hebatnya kali
*Happy Reading*Siang itu, saat Navisha sedang mengadakan video call bersama Nissa dan Aida, untuk membahas solusi pesanan cafe yang membludak sementara ia masih tak bisa pulang. Navisha di kejutkan oleh raungan William dari arah ruang tengah. Khawatir terjadi sesuatu dengan sang suami, Navisha pun mengakhiri meeting virtualnya dan gegas menghampiri tempat sumber suara. "Ampun, Tuan. Ampun! Tolong maafkan saya dan Dian. Kami ... khilaf. Kami janji tak akan melakukannya lagi. Kamu--""Cukup!"Saat Navisha datang, terlihat Bu Irah serta anaknya, Dian tengah berlutut dan di depan William yang kini tampak seperti tengah murka sekali. Ada dua dari empat satpam juga di sana, yang biasa berjaga di rumah ini.Ada apa?"Saya tidak ingin mendengar apa pun alasan kalian. Sekarang pilih saja, kembalikan apa yang sudah kalian curi dari rumah ini, atau kalian akan saya polisi, kan!" ucap William dingin dan tak bersahabat. "Jangan, Tuan! Saya mohon! Saya gak mau masuk penjara," hiba Bu Irah lagi.
*Happy Reading*Navisha tidak tahu apa yang William dan sang kakek bicarakan. Pria itu mengajak kakeknya berbicara di ruang kerja, sementara istrinya diminta untuk ke kamar istirahat. Navisha kepo. Tentu saja! Tetapi tahu dosa jika sampai melawan titah sang suami. Akhirnya, di sinilah dia sekarang. Mondar-mandir layaknya setrikaan di dalam kamar mereka."Aduh, gue kepo! Boleh nguping gak, sih?" Navisha bermonolog saat merasa tak kuasa lagi menahan rasa penasaran yang hampir meledakan kepalanya sendiri. "Jangan, ah! Bisa berabe kalau sampai ketahuan." Wanita itu menggeleng cepat. "Kakek Wirya udah benci bisa tambah benci kalau sampai hal itu terjadi. Nilai gue makin minus nanti di matanya." Navisha kembali bermonolog dengan batin yang ikut berperang saat ini. "Tapi gue kepo ya ampun. Bisa botak gue kalau lama-lama begini," desahnya putus asa. "Tau, ah. Dari pada pusing mending bikin kue aja." Navisha pun mengambil alternatif lain guna mengalihkan pikirannya. Wanita itu memutuskan
*Happy Reading*"Maaf untuk semua luka yang sudah aku goreskan di masa lalu. Aku janji akan mengobatinya dan menambal luka itu dengan kebahagiaan yang akan ku usahakan sebaik mungkin mulai saat ini. Aku tahu kenangan lama yang pahit itu tak akan pernah bisa aku hapus. Maka untuk menebusnya, aku akan berusaha menutupi kenangan itu dengan kenangan baru dan kebahagiaan baru. Kamu mau kan memberikan kesempatan untukku melakukan hal itu?"William menutup kejutan manisnya dengan janji tersebut. Dan Navisha pun bersedia memberikan kesempatan itu. Toh, sejak menikah pun William sudah menunjukan perubahannya. Karenanya, tidak ada salahnya kan untuk Navisha membuka hatinya untuk pria itu sekali lagi, kan? Lebih dari itu, Navisha tidak ingin terus membohongi diri. Cinta itu masihlah ada untuk seorang William sebenarnya. ***William membuktikan janjinya dengan tiba-tiba mendatangkan seorang arsitek ke rumah mereka. Saat di tanya untuk apa? Pria itu menjawab untuk mengubah interior dapur dan semu