“Jangan berpikir karena kau sudah tidur denganku, kau pantas berada di sampingku. Kau sama saja seperti jalang yang pernah tidur denganku.”
Suara berat terdengar begitu dingin, dan menusuk ke indra pendengaran seorang wanita yang masih berada di ranjang, dengan tubuh polosnya yang hanya terbalut oleh selimut tebal. Tampak wanita itu menatap nanar sosok pria yang bertubuh kokoh dan gagah di hadapannya yang telah terbalut oleh bathrobe. Sorot mata sayu, dan melemah begitu terlihat jelas di wajah cantiknya.
“S-Samuel—“ Selena memanggil nama Samuel dengan nada yang lirih. Wanita itu melihat tubuhnya sendiri tampak begitu kacau.
Dadanya mencelos begitu Samuel mengatakan hal sejahat itu.
Samuel menaikan sebelah alisnya, menatap Selena yang memanggilnya. Aura wajah dingin, dan terselimuti keangkuhan begitu terlihat di wajah Samuel. Kini Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena. Sejenak, Samuel masih terdiam dengan tatapan yang tak lepas mengamati keadaan Selena. Rambut wanita itu berantakan. Bahkan Samuel pun melihat dengan jelas bekas kemerahan di leher Selena akibat ulahnya.
“Untuk kejadian tadi malam, anggap saja kita hanya bersenang-senang. Kau mabuk dan aku pun mabuk. Setelah kau keluar dari hotel ini, tidak perlu mengingat kejadian tadi malam,” ucap Samuel dingin, dengan sorot mata yang tajam.
Mata Selena mulai memerah akibat menahan tangisnya kala mendengar ucapan Samuel. “Apa tadi malam sama sekali tidak ada artinya bagimu, Samuel?” tanyanya lirih, dan pilu.
Ya, tadi malam Selena hanya datang ke undangan jamuan makan malam keluarganya. Selena datang ke pesta itu dalam keadaan hati yang hancur berkeping-keping. Tepatnya dua hari lalu Selena mendengar berita bahwa Samuel akan menikah dengan salah satu artis ternama asal Amerika. Itu yang membuat Selena benar-benar terpuruk. Selama ini Selena begitu mencintai Samuel. Meski pria itu selalu menghindar setiap kali Selena mendekat padanya, akan tetapi tetap saja Selena tidak henti mencintai sosok Samuel Maxton.
Tak disangka, ketika Selena menghadiri jamuan makan malam, dirinya bertemu dengan Samuel Maxton yang sedang mabuk berat. Dari jauh Selena memandanginya, tampak pria itu tidak baik-baik saja. Karena khawatir Selena menghampirinya untuk mengecek kondisinya. Dan akhir malam ini, kini Selena berada di ranjang yang sama oleh Samuel.
Hal yang tak mungkin Selena lupakan adalah bagaimana Samuel menyentuhnya.
Tangan kokoh pria itu menjamah setiap inchi tubuhnya, menjelajahi seakan mencari-cari sumber kenikmatan di sana. Di mulai dari tengkuk lehernya, kemudian langsung bermain di area paling sensitifnya yang memberikan sensasi sengatan ke sekujur tubuhnya. Bibir tebal pria itu melahap bibir tipis Selena, menggulumnya dengan lembut sambil memainkan lidahnya dengan buas.
Selena mengingat dengan jelas ketika Samuel memuja keindahan tubuhnya. Tadi malam Samuel melakukannya tak hanya satu kali. Pria itu menginginkannya lagi, dan lagi. Setiap desahan yang Selena keluar dari mulut Selena selalu bercampur dengan lirihan nama ‘Samuel’ meski dalam keadaan mabuk tapi Selena tahu bahwa dirinya telah menyerahkan tubuhnya untuk pertama kalinya pada pria yang memang sangat dia inginkan dan cintai.
Senyuman sinis di wajah Samuel terlukis mendengar apa yang ditanyakan oleh Selena.
Pertanyaan yang nyaris membuat Samuel tertawa. Detik selanjutnya, Samuel menundukan kepalanya, menarik dagu Selena dan berdesis, “Kau pikir hanya karena kita tidur bersama kau memiliki arti penting untukku? Kau salah besar, Selena. Apa yang tejadi tadi malam tidak ada beda dengan malam-malam yang aku habiskan dengan wanita murahan di luar sana yang aku bayar untuk menemaniku.”
Bagai tersambar petir, tubuh Selena membantu mendengar apa yang diucapkan oleh Samuel. Bulir air mata Selena menetes jatuh mengenai pipinya. Sorot mata penuh kekecewaan terpancar jelas di manik mata biru wanita itu. Hancur. Terluka. Perih. Tiga kata yang menggambarkan hati Selena. Samuel dengan teganya menyamakan dirinya sama seperti wanita murahan di luar sana. Padahal Samuel tahu kalau dirinya hanya melakukan ini dengan pria itu.
“T-Tapi aku mencintaimu, Samuel.” Selena berucap lirih. Ini bukan pertama kali Selena mengatakan cinta pada Samuel. Anggaplah Selena sudah kehilangan akal sehatnya. Dia menyatakan cinta pada pria yang dimiliki oleh wanita lain. Selena sudah berjuang melupakan Samuel. Dan kenyataannya, Selena tidak sanggup untuk melupakan Samuel. Cinta itu begitu kuat di hatinya. Terlebih kejadian tadi malam membuat Selena begitu berharap.
“Cinta?” Samuel menyeringai kejam mendengar Selena mengucapkan kata cinta padanya. Sebuah kata yang tak pernah dia ingin dengar. “Selena, simpan cintamu itu. Aku tidak butuh cintamu. Apa yang kita lakukan tadi malam hanya kesenangan semata. Lagi pula kau tahu aku akan segera menikah.”
Air mata Selena terus menetes jatuh menyentuh pipinya. Dia terisak. Perkataan Samuel seperti sebilah pisau yang menancap di relung hatinya. Ya, harusnya Selena tahu Samuel tak akan pernah membutuhkan cintanya. Mengejar pria itu hanyalah sia-sia. Karena pada akhirnya, dirinya akan tetap dibuang ke lautan lepas.
“Apa kau selalu memperlakukan semua wanita seperti ini?” Suara Selena bertanya dengan nada yang begitu lirih. Tatapan wanita itu terlihat jelas menunjukan kerapuhan, dan kekecewaan yang mendalam.
Samuel mengangkat bahunya tak acuh. “Kau benar. Aku memperlakukan semua wanita sama. Jika aku bosan maka aku akan mencari wanita yang aku bayar untuk menamani malamku. Well, meskipun aku tahu, kau baru pertama kali melakukannya tapi tetap saja aku tidak peduli, Selena. Di mataku, kau sama seperti wanita yang pernah tidur denganku.”
Selena nyaris kehilangan kata-kata. Tenggorokannya tercekat. Air mata tak henti-henti mengalir. Semua perkataan Samuel bagaikan sebuah cambuk yang memukulnya keras tubuhnya. Selena ingin sekali mengeluarkan suaranya namun apa yang harus dia katakan? Bukankah sangat jelas kalau Samuel menganggap dirinya sama seperti wanita lain?
Samual menatap Selena yang sejak tadi tak henti menangis. Tampak aura wajah dingin, dan acuh Samuel begitu terlihat. Pria itu sama sekali tidak peduli dengan air mata wanita yang ada di hadapannya itu.
Pria itu berdiri dan mengenakan pakaiannya kembali. Selena benar-benar seperti barang sekali pakai, dibuang dan dicampakkan setelah dinikmati.
Selena bergeming. Pancaran mata Selena tampak meredup menunjukan kehancurannya. Tak ada lagi yang tersisa. Perkataan Samuel telah membuatnya hancur berkeping-keping.
Kini Samuel membalikan tubuhnya, pria itu hendak berjalan meninggalkan Selena. Namun tiba-tiba…
“Samuel jangan pergi—”
Selena berucap dengan penuh permohonan pada Samuel. Tampak, Samuel bergeming dan masih memunggungi Selena. Raut wajah Samuel begitu dingin. Sorot matanya tajam seakan sebentar lagi menerkam. Detik selanjutnya, Samuel menoleh melihat Selena dari sudut matanya. “Jika kamu masih menginginkanku, untuk hari ini saja aku bisa memuaskanmu sebanyak yang kamu mau,” Samuel membuka ikat pinggangnya, dan kini Selena berada di bawahnya lagi.
“Jangan, Samuel...”
Satu bulan kemudian…Selena memuntahkan semua isi perutnya. Sudah tak lagi terhitung berapa kali wanita itu bolak-balik kamar mandi. Tampak wajah Selena terlihat pucat. Peluh membanjiri pelipisnya. Kepala Selena memberat. Beberapa kali tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Namun, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi demi menjaga keseimbangan tubuhnya.Selena menatap nanar sebuah tespack dua garis. Sorot mata Selena terlihat melemah. Sudah lebih dari lima kali Selena melakukan test kehamilan, dan hasilnya tetap sama. Positif. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya.Bulir air mata Selena mulai jatuh membasahi pipinya. Kejadian malam itu memang Samuel tak memakai pengaman. Akan tetapi Selena tidak pernah menyangka akan mengandung anak Samuel. Apa mungkin pria itu mau menerima anak ini? Atau malah Samuel memintanya menggugurkan kandungannya? Selena diambang kebingungan bercampur dengan kehancuran. Selena tak akan mungkin menggugurkan kandungan ini. Pun dia tak mun
*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interi
Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarik
“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.“Sayang
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.