“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.
“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.
Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.
Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.
“Sayang?” Iris memeluk tubuh Samuel dengan begitu erat. “Aku merindukanmu. Aku tidak bisa menahan diriku, untuk tidak menyusulmu ke sini.”
“Iris, bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau aku tidak akan lama di London?” ucap Samuel dingin dan menegaskan. Pria itu tak membalas ataupun menolak pelukan Iris. Dia tetap membiarkan Iris memeluk tubuhnya.
Iris mendongakan kepalanya, menatap Samuel. “Iya, maaf, Sayang. Aku terlalu merindukanmu jadi aku memutuskan untuk menyusulmu ke London.”
Samuel berdecak pelan. “Sekarang lebih baik kau ke apartemenku. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan.”
“Samuel … apa kau tidak mau membahas pernikahan kita? Sudah terlalu lama kita menunda pernikahan kita Samuel. Lima tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Usiamu bahkan sekarang sudah 35 tahun. Orang tuamu juga sudah sehat. Lalu mau tunggu apa lagi?” ucap Iris dengan rengekan manja pada Samuel.
Ya, pernikahan Samuel dan Iris terpaksa ditunda. Lima tahun lalu, kedua orang tua Samuel mengalami kecelakaan pesawat. Pesawat yang membawa orang tuanya itu jatuh ke hutan. Kala itu Samuel fokus mencari keberadaan pesawat kedua orang tuanya. Samuel memiliki keyakinan bahwa kedua orang tuanya masih hidup. Dan benar saja, kedua orang tua Samuel selamat hanya saja kedua orang tuanya mengalami luka parah. Kala itu Samuel meminta Iris untuk menunggu hingga kedua orang tuanya pulih. Membutuhkan waktu sekitar dua tahun sampai kedua orang tuanya benar-benar pulih. Namun, setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya; Samuel banyak mengurus perusahaan keluarganya. Hal itu yang membuat Samuel dan Iris hingga detik ini belum juga menikah.
“Aku masih sibuk, Iris. Kau tahu aku baru saja membuka perusahaan pengacaraku di London,” jawab Samuel dingin.
Iris mengerutkan bibirnya sebal. Wanita itu langsung memeluk lengan Samuel sambil berkata, “Aku tidak bisa menunda lagi, Samuel. Ini sudah terlalu lama. Tahun ini juga kita harus menikah. Aku akan meminta asistenku menyiapkan pernikahan kita.”
Samuel mengembuskan napas berat seraya memejamkan mata lelah. “Fine … pernikahan kita akan diadakan tahun ini. Nanti aku akan meminta asistenku untuk mengurus yang kau butuhkan.”
Senyuman penuh kemenangan di wajah Iris terlukis. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Samuel—lalu memberikan lumatan di bibir Samuel. “Terima kasih, Sayang. Yasudah, aku ingin ke salon. Kukuku tadi patah.”
“Ya,” jawab Samuel datar seraya memberikan kecupan singkat di bibir Iris.
Kini Iris melangkah meninggalkan ruang kerja Samuel; tampak wanita itu begitu bahagia. Namun, tepat dikala Iris sudah keluar dari ruang kerja Samuel; Vian—asisten pribadi Samuel memasuki ruang kerja Samuel.
“Tuan Samuel,” sapa Vian dengan sopan.
“Ada apa?” Samuel duduk di kursi kebesarannya. Kemudian, dia mengambil wine yang ada di hadapannya dan disesapnya perlahan.
“Ada yang ingin saya beritahu pada Anda, Tuan,” jawab Vian dengan nada yang serius.
Samuel menatap Vian dengan tatapan begitu lekat. “Katakan apa yang ingin kau beritahu padaku?”
“Saya baru saja mendapatkan kabar dari salah satu karyawan yang mengurus sewa jasa design interior untuk salah satu cabang perusahaan Anda yang baru, Tuan. Nicholas Design Interior ternyata milik Nona Selena. Kita juga sudah mengurus pembayaran sekitar lima puluh persen, Tuan.” Vian berujar memberitahu.
Samuel terdiam sesaat kala mendengar ucapan Vian. Ya, dia cukup terkejut mendengar pemilik Nicholas Design Interior adalah milik Selena. Yang Samuel tahu Selena memimpin salah satu perusahaan cabang keluarga wanita itu.
“Atur pertemuanku dengan mereka,” ucap Samuel dingin dan sorot mata yang sulit diartikan.
“Baik, Tuan. Saya akan mengatur pertemuan Anda dengan pihak Nicholas Design Interior besok. Nanti mereka akan menunjukan beberapa contoh design pada Anda,” balas Vian sopan.
Samuel menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Tatapannya menatap lurus ke depan. Seketika seringai kejam di wajah Samuel terlukis. Bayang-bayang Samuel mengingat sifat Selena yang dulunya seekor kucing lemah menjadi harimau betina liar. Well, sedikit menarik.
“Katakan pada pihak Nicholas Design Interior untuk memberikan contoh design yang terbaik. Aku membayar mahal maka aku harus mendapatkan yang terbaik. Bekerja sama denganku maka mereka harus pastikan kualitas. Nama baik mereka menjadi taruhannya jika sampai aku tidak puas dengan hasil design mereka,” ucap Samuel dengan seringai di wajahnya.
“Baik, Tuan. Saya akan memperingati pihak Nicholas Design Interior,” jawab Vian dengan begitu patuh.
“Keluarlah, selesaikan pekerjaanmu,” tukas Samuel dingin.
Vian menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Samuel.
Samuel menyandarkan punggungnya di kursi. Pria itu menyesap wine yang ada di tangannya. Jemari kokohnya mengetuk pelan meja. Ya, Samuel tak menyangka kalau Selena tinggal di London. Sudah lama sekali dia tak melihat wanita itu. Tujuan Samuel ke London karena ingin membuka beberapa cabang perusahaan pengacara miliknya. Dan tak disangka-sangka, Samuel bertemu dengan sosok wanita yang dulunya selalu dia hindari. Hanya saja sekarang telah berbeda. Dulu Samuel menghindari seorang wanita yang selalu mengejarnya. Wanita yang persis seperti kucing lemah. Namun, sekarang wanita yang lemah itu telah menjelma menjadi harimau betina liar.
***
Sebuah restoran Perancis di London menjadi tempat di mana Samuel dan Selena bertemu. Sudah sekitar lima menit Samuel duduk di restoran itu. Pria itu datang lebih dulu dari Selena. Namun, tentu Samuel hanya memberikan batas tidak lebih dari sepuluh menit. Jika dalam lima menit ke depan Selena tidak datang maka Samuel akan membatalkan pertemuan dan tak jadi memakai jasa design interior wanita itu. Samuel termasuk masih memberikan toleransi orang yang datang terlambat kala menemuinya. Namun toleransi Samuel tidak lebih dari sepuluh menit. Karena bagi Samuel toleransi sepuluh menit sangatlah banyak. Di luar sana banyak orang yang sama sekali tidak memberikan tolensi.
“Tuan ini kopi Anda.” Sang pelayan mengantarkan kopi yang tadi dipesan oleh Samuel.
Samuel mengangguk singkat. Lalu pelayan itu segera pamit undur diri. Detik selanjutnya, Samuel mengambil cangkir yang berisikan kopi itu dan disesapnya perlahan.
Sekitar sepuluh menit sudah Samuel menunggu di restoran itu, tatapan Samuel mulai teralih pada sosok wanita yang memakai gaun berwarna biru bermodel kemben. Gaun yang pas di tubuh wanita itu tampak seksi. Rambut pirang terjuntai ke punggung telanjang wanita itu. Sepasang mata birunya langsung membuat Samuel mengenali wanita itu.
“Maaf aku terlambat.” Selena duduk di hadapan Samuel, lalu dia menyodorkan iPad yang telah disiapkan. “Aku tidak suka berbasa-basi. Di iPad-ku sudah banyak contoh design khusus perkantoran. Kau boleh memilihnya sesukamu.”
Sebelah alis Samuel terangkat kala Selena langsung menyodorkan iPad padanya. “Apa begini cara pemilik Nicholas Design Interior bertemu dengan client-nya. Aku rasa kau pasti belajar bagaimana beretika, bukan?”
Selena tersenyum. “Maaf, Tuan Maxton. Aku tidak suka berbasa-basi. Tolong segera pilih design yang Anda inginkan. Nanti team-ku akan mengurus semuanya.”
Samuel tak menjawab ucapan Selena; pria itu mengambil iPad yang ada di hadapannya—lalu mulai memilih design yang ditunjukan oleh Selena. Tampak Samuel tak mengeluarkan sebuah komentar. Jika pria itu diama artinya dia cukup menyukai design yang ditampilkan.
“Aku memilih ini.” Samuel memberikan kembali iPad yang ada di tangannya pada Selena.
Selena mengangguk singkat. “Baiklah, team-ku akan segera menyelesaikan design yang kau minta. Aku rasa kita cukup sampai di sini. Kalau ada pertanyaan lanjutan, kau bisa menghubungi asistenku.” Selena segera bangkit berdiri, meninggalkan Samuel begitu saja.
Senyuman samar di wajah Samuel terlukis. Pria itu pun bangkit berdiri kala Selena keluar. Dia memberikan beberapa lembar pound sterling ke atas meja untuk membayar pesanannya. Lalu dia melangkah keluar dari restoran.
Namun … dikala Samuel baru saja keluar dari restoran, tatapan Samuel teralih pada Selena yang tampak mengumpat. Detik selanjutnya, tatapan Samuel teralih pada ban mobil Selena. Rupanya ban mobil wanita itu kempes. Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena.
“Aku rasa kau bisa menggunakan taksi tanpa harus diantar oleh orang lain kan?” Suara berat Samuel sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya. Terlihat sepasang iris mata biru Selena menatap dingin Samuel—yang kini ada di hadapannya.
Selena masih terdiam kala mendapatkan pertanyaan dari Samuel. Hingga kemudian, perlahan senyuman sinis di wajah Selena terlukis. Wanita itu mendekat pada Samuel. Mengikis jarak di antara mereka. “Sejak dulu aku terlalu terbiasa melakukan apa pun sendiri. Hanya karena ban mobilku kempes tentu itu bukanlah masalah besar bagiku.” Selena langsung mengeluarkan ponselnya, menghubungi taksi untuk datang menjemputnya.
“Sorry … I’ve to go.” Selena berucap kala sudah menghubungi pihak taksi. Kini Selena berbalik—melangkah menjauh dari Samuel yang masih bergeming di tempatnya. Tampak Samuel tak henti menatap punggung Selena. Bahkan dikala taksi sudah datang menjemput Selena pun; Samuel tak bergerak sedikit pun. Pria itu masih berdiri di tempat yang sama. Benaknya terbayang akan ucapan Selena. Dia nyaris tak mengenali sosok wanita lemah yang dia kenal dulu.
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy
Samuel menegak kasar wine di tangannya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata seraya meloloskan umpatan kasar. Tampak pikiran Samuel begitu kacau. Benaknya tak henti-hentinya memikirkan tentang Selena yang ternyata memiliki seorang anak. Harusnya Samuel tak peduli akan hal ini. Akan tetapi entah kenapa semuanya begitu mengganggu pikirannya. Oliver … Bocah laki-laki itu memiliki iris mata cokelat tidak menuruni manik mata biru Selena. Alis tebal. Hidung mancung. Rambut cokelat gelap. Wajah bocah laki-laki itu tampak tak asing. “Shit!” Samuel mencengkram kuat gelas sloki di tangannya dan nyaris meremukan. Entah kenapa Selena telah memiliki anak membuat hati Samuel merasa tak nyaman. Samuel kembali menegak kasar wine-nya. Beberapa kali Samuel berusaha menepis pikirannya yang tengah dibayang-bayangi tentang Selena. Namun, kenyataannya Selena selalu muncul di pikirannya itu. Samuel mengatur napasnya. Berusaha untuk mengosongkan pikirannya. Kalau pun Selena sudah menikah apa peduliny
Mata Selena melebar kala Bibir hangat Samuel menempel di atas bibirnya. Jantung Selena berdetak tak karuan nyaris melompat dari tempatnya. Sepasang iris mata biri Selena menatap sanga dekat manik mata cokelat Samuel. Beberapa detik, mereka belum menyudahi keintiman itu. Bahkan mereka tak memedulikan banyak mata yang melihat mereka.Hingga kemudian, tiba-tiba kewarasan muncul dikeduanya. Mereka menyadari tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan. Buru-buru, Samuel bangkit berdiri seraya menbantu Selena untuk juga berdiri. Kecanggungan terjadi di antara dua manusia itu. Namun, baik Samuel dan Selena tetap menunjukan sifat acuh satu sama lain. “Tuan … Nona … kami minta maaf … sungguh maafkan kami.” Para pekerja membungkukan kepalanya pada Samuel dan Selena. Mendengar permintaan maaf para pekerja, membuat Samuel dan Selena mengalihkan pandangan mereka. Tampak sorot mata Samuel menatap dingin dan tajam para pekerja yang ada di hadapannya itu. “Kalian itu bodoh atau apa? Kenapa berjalan tid
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam
“Dean? Kau dari mana saja? Kenapa bertemu dokter lama sekali?” ujar Juliet bertanya seraya menatap Dean yang baru saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Hampir satu jam Juliet menunggu Dean. Padahal sebelumnya, Dean hanya berpamitan padanya pergi keluar hanya sebentar saja. “Maaf, tadi aku sempat bertemu dengan temanku sebentar.” Dean duduk di tepi ranjang Juliet, menatap lekat Juliet. Dean memilih untuk beralasan bertemu dengan temannya di luar. Pasalnya, Dean tak mungkin menceritakan tentang Brianna pada Juliet. “Oh, begitu. Yasudah tidak apa-apa,” jawab Juliet yang mengerti. “Juliet, apa kau sudah makan?” “Belum, Dean. Aku belum makan. Aku menunggumu.”“Harusnya kau jangan menungguku, Juliet. Kau sedang sakit. Kalau kau terlambat makan, kapan kondisimu bisa cepat pulih?” “Maaf, Dean. Lain kali aku tidak akan terlambat makan.” “Yasudah, makanlah sekarang.” Dean mengalihkan pandangannya ke atas nakas, pria itu melihat ada makanan yang sudah tersedia di sana—lalu Dean mengambil ma
“Dean, kenapa kau di sini? Bukannya harusnya kau ada di ruang rawat Juliet?” ujar Brianna lembut dan pelan kala Dean baru saja selesai mengompres rahangnya dengan handuk hangat. Ya, kini Brianna tengah berada di ruangan yang sengaja Dean minta perawat untuk menyiapkan. Ruangan di mana Dean membantu Brianna mengompreskan handuk hangat ke rahang Brianna. Pun Dean meminta dokter untuk memeriksa kondisi rahang Brianna. Pasalnya warna merah di rahang Brianna sebagian sudah memar biru akibat cengkaraman kuat Ivan. Awalnya, Brianna tak mau diperiksa oleh dokter, tetapi Dean memaksa. Hingga akhirnya mau tak mau Brianna diperiksa oleh dokter. Terdengar berlebihan tetapi Brianna tak enak kalau menolak niat baik Dean. Terlebih tadi Dean sudah menyelamatkannya dari Ivan. Kalau saja Dean tak ada, entah apa yang akan terjadi pada Brianna. Dean duduk di samping Brianna, menatap hangat wanita itu. “Tadi aku ingin bertemu dengan dokter. Tapi aku tidak sengaja melihatmu bersama dengan seorang pria di