“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.
“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.
Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.
Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.
“Sayang?” Iris memeluk tubuh Samuel dengan begitu erat. “Aku merindukanmu. Aku tidak bisa menahan diriku, untuk tidak menyusulmu ke sini.”
“Iris, bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau aku tidak akan lama di London?” ucap Samuel dingin dan menegaskan. Pria itu tak membalas ataupun menolak pelukan Iris. Dia tetap membiarkan Iris memeluk tubuhnya.
Iris mendongakan kepalanya, menatap Samuel. “Iya, maaf, Sayang. Aku terlalu merindukanmu jadi aku memutuskan untuk menyusulmu ke London.”
Samuel berdecak pelan. “Sekarang lebih baik kau ke apartemenku. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan.”
“Samuel … apa kau tidak mau membahas pernikahan kita? Sudah terlalu lama kita menunda pernikahan kita Samuel. Lima tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Usiamu bahkan sekarang sudah 35 tahun. Orang tuamu juga sudah sehat. Lalu mau tunggu apa lagi?” ucap Iris dengan rengekan manja pada Samuel.
Ya, pernikahan Samuel dan Iris terpaksa ditunda. Lima tahun lalu, kedua orang tua Samuel mengalami kecelakaan pesawat. Pesawat yang membawa orang tuanya itu jatuh ke hutan. Kala itu Samuel fokus mencari keberadaan pesawat kedua orang tuanya. Samuel memiliki keyakinan bahwa kedua orang tuanya masih hidup. Dan benar saja, kedua orang tua Samuel selamat hanya saja kedua orang tuanya mengalami luka parah. Kala itu Samuel meminta Iris untuk menunggu hingga kedua orang tuanya pulih. Membutuhkan waktu sekitar dua tahun sampai kedua orang tuanya benar-benar pulih. Namun, setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya; Samuel banyak mengurus perusahaan keluarganya. Hal itu yang membuat Samuel dan Iris hingga detik ini belum juga menikah.
“Aku masih sibuk, Iris. Kau tahu aku baru saja membuka perusahaan pengacaraku di London,” jawab Samuel dingin.
Iris mengerutkan bibirnya sebal. Wanita itu langsung memeluk lengan Samuel sambil berkata, “Aku tidak bisa menunda lagi, Samuel. Ini sudah terlalu lama. Tahun ini juga kita harus menikah. Aku akan meminta asistenku menyiapkan pernikahan kita.”
Samuel mengembuskan napas berat seraya memejamkan mata lelah. “Fine … pernikahan kita akan diadakan tahun ini. Nanti aku akan meminta asistenku untuk mengurus yang kau butuhkan.”
Senyuman penuh kemenangan di wajah Iris terlukis. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Samuel—lalu memberikan lumatan di bibir Samuel. “Terima kasih, Sayang. Yasudah, aku ingin ke salon. Kukuku tadi patah.”
“Ya,” jawab Samuel datar seraya memberikan kecupan singkat di bibir Iris.
Kini Iris melangkah meninggalkan ruang kerja Samuel; tampak wanita itu begitu bahagia. Namun, tepat dikala Iris sudah keluar dari ruang kerja Samuel; Vian—asisten pribadi Samuel memasuki ruang kerja Samuel.
“Tuan Samuel,” sapa Vian dengan sopan.
“Ada apa?” Samuel duduk di kursi kebesarannya. Kemudian, dia mengambil wine yang ada di hadapannya dan disesapnya perlahan.
“Ada yang ingin saya beritahu pada Anda, Tuan,” jawab Vian dengan nada yang serius.
Samuel menatap Vian dengan tatapan begitu lekat. “Katakan apa yang ingin kau beritahu padaku?”
“Saya baru saja mendapatkan kabar dari salah satu karyawan yang mengurus sewa jasa design interior untuk salah satu cabang perusahaan Anda yang baru, Tuan. Nicholas Design Interior ternyata milik Nona Selena. Kita juga sudah mengurus pembayaran sekitar lima puluh persen, Tuan.” Vian berujar memberitahu.
Samuel terdiam sesaat kala mendengar ucapan Vian. Ya, dia cukup terkejut mendengar pemilik Nicholas Design Interior adalah milik Selena. Yang Samuel tahu Selena memimpin salah satu perusahaan cabang keluarga wanita itu.
“Atur pertemuanku dengan mereka,” ucap Samuel dingin dan sorot mata yang sulit diartikan.
“Baik, Tuan. Saya akan mengatur pertemuan Anda dengan pihak Nicholas Design Interior besok. Nanti mereka akan menunjukan beberapa contoh design pada Anda,” balas Vian sopan.
Samuel menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Tatapannya menatap lurus ke depan. Seketika seringai kejam di wajah Samuel terlukis. Bayang-bayang Samuel mengingat sifat Selena yang dulunya seekor kucing lemah menjadi harimau betina liar. Well, sedikit menarik.
“Katakan pada pihak Nicholas Design Interior untuk memberikan contoh design yang terbaik. Aku membayar mahal maka aku harus mendapatkan yang terbaik. Bekerja sama denganku maka mereka harus pastikan kualitas. Nama baik mereka menjadi taruhannya jika sampai aku tidak puas dengan hasil design mereka,” ucap Samuel dengan seringai di wajahnya.
“Baik, Tuan. Saya akan memperingati pihak Nicholas Design Interior,” jawab Vian dengan begitu patuh.
“Keluarlah, selesaikan pekerjaanmu,” tukas Samuel dingin.
Vian menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Samuel.
Samuel menyandarkan punggungnya di kursi. Pria itu menyesap wine yang ada di tangannya. Jemari kokohnya mengetuk pelan meja. Ya, Samuel tak menyangka kalau Selena tinggal di London. Sudah lama sekali dia tak melihat wanita itu. Tujuan Samuel ke London karena ingin membuka beberapa cabang perusahaan pengacara miliknya. Dan tak disangka-sangka, Samuel bertemu dengan sosok wanita yang dulunya selalu dia hindari. Hanya saja sekarang telah berbeda. Dulu Samuel menghindari seorang wanita yang selalu mengejarnya. Wanita yang persis seperti kucing lemah. Namun, sekarang wanita yang lemah itu telah menjelma menjadi harimau betina liar.
***
Sebuah restoran Perancis di London menjadi tempat di mana Samuel dan Selena bertemu. Sudah sekitar lima menit Samuel duduk di restoran itu. Pria itu datang lebih dulu dari Selena. Namun, tentu Samuel hanya memberikan batas tidak lebih dari sepuluh menit. Jika dalam lima menit ke depan Selena tidak datang maka Samuel akan membatalkan pertemuan dan tak jadi memakai jasa design interior wanita itu. Samuel termasuk masih memberikan toleransi orang yang datang terlambat kala menemuinya. Namun toleransi Samuel tidak lebih dari sepuluh menit. Karena bagi Samuel toleransi sepuluh menit sangatlah banyak. Di luar sana banyak orang yang sama sekali tidak memberikan tolensi.
“Tuan ini kopi Anda.” Sang pelayan mengantarkan kopi yang tadi dipesan oleh Samuel.
Samuel mengangguk singkat. Lalu pelayan itu segera pamit undur diri. Detik selanjutnya, Samuel mengambil cangkir yang berisikan kopi itu dan disesapnya perlahan.
Sekitar sepuluh menit sudah Samuel menunggu di restoran itu, tatapan Samuel mulai teralih pada sosok wanita yang memakai gaun berwarna biru bermodel kemben. Gaun yang pas di tubuh wanita itu tampak seksi. Rambut pirang terjuntai ke punggung telanjang wanita itu. Sepasang mata birunya langsung membuat Samuel mengenali wanita itu.
“Maaf aku terlambat.” Selena duduk di hadapan Samuel, lalu dia menyodorkan iPad yang telah disiapkan. “Aku tidak suka berbasa-basi. Di iPad-ku sudah banyak contoh design khusus perkantoran. Kau boleh memilihnya sesukamu.”
Sebelah alis Samuel terangkat kala Selena langsung menyodorkan iPad padanya. “Apa begini cara pemilik Nicholas Design Interior bertemu dengan client-nya. Aku rasa kau pasti belajar bagaimana beretika, bukan?”
Selena tersenyum. “Maaf, Tuan Maxton. Aku tidak suka berbasa-basi. Tolong segera pilih design yang Anda inginkan. Nanti team-ku akan mengurus semuanya.”
Samuel tak menjawab ucapan Selena; pria itu mengambil iPad yang ada di hadapannya—lalu mulai memilih design yang ditunjukan oleh Selena. Tampak Samuel tak mengeluarkan sebuah komentar. Jika pria itu diama artinya dia cukup menyukai design yang ditampilkan.
“Aku memilih ini.” Samuel memberikan kembali iPad yang ada di tangannya pada Selena.
Selena mengangguk singkat. “Baiklah, team-ku akan segera menyelesaikan design yang kau minta. Aku rasa kita cukup sampai di sini. Kalau ada pertanyaan lanjutan, kau bisa menghubungi asistenku.” Selena segera bangkit berdiri, meninggalkan Samuel begitu saja.
Senyuman samar di wajah Samuel terlukis. Pria itu pun bangkit berdiri kala Selena keluar. Dia memberikan beberapa lembar pound sterling ke atas meja untuk membayar pesanannya. Lalu dia melangkah keluar dari restoran.
Namun … dikala Samuel baru saja keluar dari restoran, tatapan Samuel teralih pada Selena yang tampak mengumpat. Detik selanjutnya, tatapan Samuel teralih pada ban mobil Selena. Rupanya ban mobil wanita itu kempes. Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena.
“Aku rasa kau bisa menggunakan taksi tanpa harus diantar oleh orang lain kan?” Suara berat Samuel sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya. Terlihat sepasang iris mata biru Selena menatap dingin Samuel—yang kini ada di hadapannya.
Selena masih terdiam kala mendapatkan pertanyaan dari Samuel. Hingga kemudian, perlahan senyuman sinis di wajah Selena terlukis. Wanita itu mendekat pada Samuel. Mengikis jarak di antara mereka. “Sejak dulu aku terlalu terbiasa melakukan apa pun sendiri. Hanya karena ban mobilku kempes tentu itu bukanlah masalah besar bagiku.” Selena langsung mengeluarkan ponselnya, menghubungi taksi untuk datang menjemputnya.
“Sorry … I’ve to go.” Selena berucap kala sudah menghubungi pihak taksi. Kini Selena berbalik—melangkah menjauh dari Samuel yang masih bergeming di tempatnya. Tampak Samuel tak henti menatap punggung Selena. Bahkan dikala taksi sudah datang menjemput Selena pun; Samuel tak bergerak sedikit pun. Pria itu masih berdiri di tempat yang sama. Benaknya terbayang akan ucapan Selena. Dia nyaris tak mengenali sosok wanita lemah yang dia kenal dulu.
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy
Samuel menegak kasar wine di tangannya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata seraya meloloskan umpatan kasar. Tampak pikiran Samuel begitu kacau. Benaknya tak henti-hentinya memikirkan tentang Selena yang ternyata memiliki seorang anak. Harusnya Samuel tak peduli akan hal ini. Akan tetapi entah kenapa semuanya begitu mengganggu pikirannya. Oliver … Bocah laki-laki itu memiliki iris mata cokelat tidak menuruni manik mata biru Selena. Alis tebal. Hidung mancung. Rambut cokelat gelap. Wajah bocah laki-laki itu tampak tak asing. “Shit!” Samuel mencengkram kuat gelas sloki di tangannya dan nyaris meremukan. Entah kenapa Selena telah memiliki anak membuat hati Samuel merasa tak nyaman. Samuel kembali menegak kasar wine-nya. Beberapa kali Samuel berusaha menepis pikirannya yang tengah dibayang-bayangi tentang Selena. Namun, kenyataannya Selena selalu muncul di pikirannya itu. Samuel mengatur napasnya. Berusaha untuk mengosongkan pikirannya. Kalau pun Selena sudah menikah apa peduliny
Mata Selena melebar kala Bibir hangat Samuel menempel di atas bibirnya. Jantung Selena berdetak tak karuan nyaris melompat dari tempatnya. Sepasang iris mata biri Selena menatap sanga dekat manik mata cokelat Samuel. Beberapa detik, mereka belum menyudahi keintiman itu. Bahkan mereka tak memedulikan banyak mata yang melihat mereka.Hingga kemudian, tiba-tiba kewarasan muncul dikeduanya. Mereka menyadari tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan. Buru-buru, Samuel bangkit berdiri seraya menbantu Selena untuk juga berdiri. Kecanggungan terjadi di antara dua manusia itu. Namun, baik Samuel dan Selena tetap menunjukan sifat acuh satu sama lain. “Tuan … Nona … kami minta maaf … sungguh maafkan kami.” Para pekerja membungkukan kepalanya pada Samuel dan Selena. Mendengar permintaan maaf para pekerja, membuat Samuel dan Selena mengalihkan pandangan mereka. Tampak sorot mata Samuel menatap dingin dan tajam para pekerja yang ada di hadapannya itu. “Kalian itu bodoh atau apa? Kenapa berjalan tid
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu
Para pelayan tampak sibuk mondar mandir menyajikan makanan ringan serta minuman ke atas meja. Hari ini adalah hari yang telah ditentukan oleh Marsha. Hari di mana Selena akan memberitahukan jenis kelamin anak yang ada di kandungan putrinya itu. Dan sekarang hampir semua keluarga berkumpul atas permintaan Marsha. Tentu kalau Marsha sudah meminta berkumpul, tak ada satu pun yang bisa membantah. Lihat saja sekarang ruang keluarga megah sudah cukup penuh. Sean dan Stella beserta keempat anak mereka duduk di sisi kanan. Sedangkan Mateo dan Miracle beserta ketiga anak mereka duduk di sofa sebelah kiri. William duduk tepat di samping Marsha di sofa tengah. Yang mereka tunggu saat ini adalah Samuel dan Selena. Kalau untuk Dominic belum bisa dipastikan datang. Mengingat selama ini Dominic sangat sulit untuk diajak berkumpul. “Miracle, di mana Selena? Kenapa Selena belum datang juga?” tanya Marsha pada Miracle. “Masih di jalan, Mom. Tunggu sebentar. Pasti Kak Selena akan datang,” jawab Mirac
Paris, Perancis. Suara lenguhan memenuhi kamar hotel megah itu. Ranjang luas itu menjadi tempat di mana dua insan telah melakukan pergulatan panas. Erangan yang tak henti-henti begitu merdu di telinga keduanya. Lagi dan lagi tak pernah mereka bosan melakukan pergulatan panas di atas ranjang. Letupan gairah dan hasrat membara telah tergulung menjadi satu di sana meluapkan api candu yang tak pernah padam. Hingga ketika telah mencapai puncak, semburan lahar panas memasuki rahim sang wanita. Napas sang wanita terengah-engah. Tubuhnya terkulai lemah. Pagi hari mendapatkan serangan membuatnya tak memiliki energy untuk beranjak dari tempat tidur. Bulan madu singkat terisikan dengan indahnya percintaan dua insan itu. Tubuh mereka saling berdamba akan sentuhan satu sama lain. Tak ada satu malam pun yang terlewatkan untuk melakukan pergulatan panas. Mereka melebur menjadi satu, seolah tak bisa terpisahkan. “Rava, besok kita harus libur. Kau membuatku tidak bisa jalan. Kau ini bagaimana kena
“Wah, kalian sudah datang! Ayo masuk.” Stella—istri Sean menyambut kedatangan Selena, Samuel, Oliver, Brianna, Dean, dan juga Joice. Senyuman di wajah Stella begitu indah dan penuh kehangatan. “Maaf kami lama.” Selena memeluk Stella, bergantian dengan Brianna yang juga memeluk Selena. Pun Oliver dan Joice yang sudah turun dari gendongan ayah mereka, langsung memberikan pelukan pada Stella. Tentu Stella segera membalas pelukan Oliver dan Joice. “Tidak usah meminta maaf, Selena. Kalian datang tepat waktu,” jawab Stella lembut. Selena tersenyum samar. “Dad dan Mom ada di rumah, kan?” tanyanya. “Dad dan Mom lagi di jalan arah pulang. Dad dan Mom baru berbaikan. Jadi jangan heran kalau kau lihat Mom masih bersikap dingin pada Dad,” ujar Stella mengingatkan. “Ah, Mom masih cemburu pada wanita yang mendekati Dad?” tanya Selena menahan geli di senyumannya. Stella mendesah panjang. “Iya, padahal Dad tidak pernah merespon wanita itu. Ini semua ulah Dominic. Aku dengar Mom dibujuk Dad samp
Selena menatap deretan koleksi-koleksi dress indah miliknya, namun entah kenapa Selena merasa dress-dress yang ada di hadapannya sudah tak lagi indah jika dipakainya. Padahal tubuhnya pun belum terlalu gemuk tapi Selena merasa bandannya seperti badut. Sesaat, Selena manatap cermin, wajahnya telah dirias make-up tipis. Memakai lipstick pun Selena sangat malas. Hanya lip balm yang dia pakai demi menjaga kesehatan bibir. Kehamilan kedua ini lebih membuat Selena malas berias. Dulu pun ketika hamil Oliver, dirinya malas berias tapi kehamilan kedua jauh membuat Selena malas. “Sayang, apa kau sudah siap?” Samuel melangkah mendekat pada Selena yang berada di walk-in closet. Tampak kening Samuel mengerut kala melihat sang istri belum mengganti pakaian. Selena masih memakai gaun sederhana khusus yang biasa dipakai di rumah. “Sayang, aku bingung harus pakai baju apa.” Selena langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Samuel. “Sepertinya dress-dress milikku sudah tidak cocok lagi dipakai a