Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari.
“Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana. “Nona Selena?” Seorang pelayan menyapa seraya melangkah menghampiri Selena. “Iya?” Selena mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan yang ada di hadapannya. “Nona … di depan ada Tuan Sean,” ujar sang pelayan yang sontak membuat Selena terkejut. “Kak Sean datang?” ulang Selena memastikan. Sepasang iris mata biru Selena menunjukan jelas keterkejutannya. Ya, Sean Geovan—kakak sulungnya yang menetap tinggal di New York itu memang kerap mengunjunginya di London. Tapi Selena tak menyangka kalau kakaknya datang. Pasalnya kakaknya itu tidak memberikan kabar padanya kalau akan datang ke London. Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Tuan Sean datang.” “Yeay … Paman Sean datang.” Oliver langsung berlari lebih dulu keluar meninggalkan kamar menemui Sean. Senyuman di wajah Selena pun terlukis. Setiap kali Oliver kedatangan Pamannya pasti putra kecilnya itu begitu bahagia. Detik selanjutnya, Selena segera menyusul Oliver yang sudah lebih dulu meninggalkannya. *** “Paman Sean, aku merindukanmu, Paman.” Oliver memeluk leher Sean. Bocah laki-laki itu kini tengah berada digendongan Sean. Pipi tembamnya menempel pada pipi Sean. “Paman juga merindukanmu, Boy. Bagaimana sekolahmu?” tanya Sean seraya mengecupi pipi bulat Oliver. “Paman tenang saja. Aku anak yang pintar di sekolah, Paman,” jawab Oliver dengan nada membanggakan diri. “Good … Paman bangga padamu, Boy.” Sean mencubit pelan hidung mungil Oliver. Senyum di wajah Selena terlukis melihat pemandangan di mana kakaknya begitu menyayangi Oliver. Selama lima tahun ini Selena memang menjauh dari keluarganya yang berada di Toronto. Akan tetapi kakak dan adik Selena masih sering mengunjunginya di London. Pun sama halnya dengan ibunya yang masih tetap mengunjunginya. Hanya satu yang Selena tak berani temui yaitu ayahnya. Sejak di mana Selena menolak dijodohkan, Selena memang tidak pernah berhubungan lagi dengan ayahnya. Tentu dia sangat merindukan ayahnya namun Selena menyadari kalau dosa masa lalu yang dia perbuat sulit untuk dimaafkan. “Oliver … ayo makan sushi-mu. Nanti Mama akan menyusulmu, Nak,” ucap Selena dengan senyuman di wajahnya. Oliver mengangguk patuh. “Iya, Mama.” Sean mencium pipi bulat Oliver. Lalu dia menurunkan keponakannya itu. Dan Oliver langsung berjalan meninggalkan Selena dan Sean—yang berada di ruang keluarga. Bocah laki-laki itu kini bersama dengan pengasuhnya. “Apa kabar, Kak?” Selena mendekat, dan memeluk erat sang kakak. Pun Sean membalas pelukan Sean. “Baik … aku baik, bagaimana dengamu?” Sean mengurai pelukannua, dan mengelus pipi Selena. “Aku juga baik, Kak.” Selena mengajak Sean untuk duduk di sofa yang tedekat dengan mereka. Tepat dikala mereka sudah duduk; pelayan menyajikan minuman untuk mereka. “Kau kenapa tidak bilang padaku kalau ada di London, Kak?” tanya Selena kala pelayan sudah pergi. “Aku memiliki meeting mendadak. Jadi aku mampir ke penthouse-mu,” jawab Sean seraya menatap sang adik. “Bagaimana perusahaanmu? Semua baik-baik saja kan?” Selena menganggukan kepalanya. “Semua baik-baik saja, Kak. Ah, ya. Apa kau ke sini bersama Stella, Kak?” “Stella dan anak-anakku baru menyusul besok. Mereka tidak berangkat bersama denganku,” ujar Sean memberitahu. “Selena, ada yang ingin aku katakan padamu.” Sean melanjutkan ucapannya, nada bicara Sean terdengar begitu serius. “Ada apa, Kak?” tanya Selena seraya menatap Sean lekat. “Lusa ada acara jamuan makan makan. Sebagian keluarga kita akan datang dan juga rekan bisnis keluarga kita akan datang. Aku ingin kau hadir. Sudah lima tahun kau tidak pernah muncul di acara jamuan makan malam perusahaan keluarga kita.” Sean berucap dengan nada yang serius dan meminta adiknya untuk patuh. Selena terdiam sejenak kala mendengar apa yang diucapkan oleh Sean. Tanpa terasa Selena telah melepas seluruh tanggung jawabnya di perusahaan keluarganya. William Geovan—ayah Selena adalah salah satu jajaran pengusaha tersukses. Selama ini memang Selena tidak menerima satu sen pun bantuan. Baik itu dari ibu, kakak, atau adiknya yang ingin membantunya hidup. Tujuan Selena adalah dia ingin membuktikan pada semua orang kalau dia mampu bangkit dengan kedua kakinya sendiri. Dan Selena tak menyangka kalau dirinya telah berada dititik sejauh ini. Dulu, Selena pikir dirinya tidak akan pernah mampu. Tapi kenyataannya dia berhasil melewati badai di kehidupannya. “Kak … aku rasa aku tidak bisa datang ke jamuan makan malam yang diadakan keluarga kita,” ujar Selena dengan suara pelan. “Selena … mau sampai kapan kau menghindar? Kau tidak bisa selalu menghindar. Meski kau tidak lagi memakai nama Geovan tapi kau tetap bagian dari Geovan. Kau harus tetap hadir, Selena. Aku sudah membiarkanmu tinggal di London, membiarkanmu menjalani kehidupanmu. Sekarang waktunya kau tunjukan pada semua orang kau mampu berdiri dengan kedua kakimu. Jangan terus-terusan bersembunyi seperti ini,” tukas Sean menegaskan. “B-Bagaimana dengan Daddy, Kak? Daddy membenciku. Dia pasti akan marah jika aku datang,” ucap Selena lirih. Bulir air matanya mulai menetes membayangkan kalau sang ayah tak lagi bicara padanya. Sean membawa tangannya menghapus air mata adiknya itu. “Dad tidak mungkin marah. Jika dia marah apalagi berani mengusirmu di pesta maka aku yang akan turun tangan. Sekarang yang aku ingin kau hadir di pesta. Semua para pengusaha juga datang. Beriaslah yang cantik. Tunjukan kau adalah wanita yang hebat. Tidak akan ada yang merendahkanmu atau menjatuhkanmu. Jika sampai aku mendengar ada yang merendahkan adikku; maka aku pastikan orang itu lenyap di tanganku.” Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar ucapan Sean. Wanita itu terdiam beberapa saat. Memikirkan dengan baik keputusan apa yang paling tepat. Hingga kemudian, Selena berkata, “Baiklah, Kak. Aku akan datang. Terima kasih selalu ada di sisiku, Kak.” Sean mengecup kening Selena. “Aku bangga padamu, Selena. Sangat bangga padamu. Tidak semua orang bisa berada di posisimu. Tapi kau membuktikan kalau kau memang wanita yang hebat.”“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy
Samuel menegak kasar wine di tangannya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata seraya meloloskan umpatan kasar. Tampak pikiran Samuel begitu kacau. Benaknya tak henti-hentinya memikirkan tentang Selena yang ternyata memiliki seorang anak. Harusnya Samuel tak peduli akan hal ini. Akan tetapi entah kenapa semuanya begitu mengganggu pikirannya. Oliver … Bocah laki-laki itu memiliki iris mata cokelat tidak menuruni manik mata biru Selena. Alis tebal. Hidung mancung. Rambut cokelat gelap. Wajah bocah laki-laki itu tampak tak asing. “Shit!” Samuel mencengkram kuat gelas sloki di tangannya dan nyaris meremukan. Entah kenapa Selena telah memiliki anak membuat hati Samuel merasa tak nyaman. Samuel kembali menegak kasar wine-nya. Beberapa kali Samuel berusaha menepis pikirannya yang tengah dibayang-bayangi tentang Selena. Namun, kenyataannya Selena selalu muncul di pikirannya itu. Samuel mengatur napasnya. Berusaha untuk mengosongkan pikirannya. Kalau pun Selena sudah menikah apa peduliny
Mata Selena melebar kala Bibir hangat Samuel menempel di atas bibirnya. Jantung Selena berdetak tak karuan nyaris melompat dari tempatnya. Sepasang iris mata biri Selena menatap sanga dekat manik mata cokelat Samuel. Beberapa detik, mereka belum menyudahi keintiman itu. Bahkan mereka tak memedulikan banyak mata yang melihat mereka.Hingga kemudian, tiba-tiba kewarasan muncul dikeduanya. Mereka menyadari tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan. Buru-buru, Samuel bangkit berdiri seraya menbantu Selena untuk juga berdiri. Kecanggungan terjadi di antara dua manusia itu. Namun, baik Samuel dan Selena tetap menunjukan sifat acuh satu sama lain. “Tuan … Nona … kami minta maaf … sungguh maafkan kami.” Para pekerja membungkukan kepalanya pada Samuel dan Selena. Mendengar permintaan maaf para pekerja, membuat Samuel dan Selena mengalihkan pandangan mereka. Tampak sorot mata Samuel menatap dingin dan tajam para pekerja yang ada di hadapannya itu. “Kalian itu bodoh atau apa? Kenapa berjalan tid
Selena duduk di kursi kerjanya dengan tatapan kosong dan pikiran menerawang. Kali ini wajah Selena terlihat sedikit muram. Wanita itu seperti memiliki jutaan hal yang mengusik pikirannya. Salah satu hal yang Selena pikirkan adalah kata-kata Samuel. Harusnya Selena tidak terluka. Namun tak dipungkiri hati Selena seolah tercabik. Lagi. Samuel selalu berhasil melemparkan dirinya ke lautan lepas. Bertahun-tahun, Selena memang selalu berusaha menjadi wanita yang kuat. Selena tidak mau sampai ada orang yang mampu menjatuhkan dirinya. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Hanya dengan sebuah kata sarkas yang dikeluarkan oleh Samuel telah berhasil membuat hati Selena kembali merasakan luka dalam. “Nona Selena?” Jenia—asisten menyapa sontak membuat Selena membuyarkan lamunannya. “Ya?” Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika kening Selena mengerut melihat sebuah rangkaian bunga mawar merah yang ada di tangan Selena. “Nona Selena maaf mengganggu Anda. Saya hanya
“Astagaaaaa gaunku!! Kau itu bodoh atau apa hah?! Gaunku ini mahal!!”Suara Iris berteriak begitu keras kala melihat saus burger mengenai gaun mahalnya itu. Noda di dress itu begitu terlihat jelas. Kini tatapan Iris menajam menatap bocah laki-laki yang menabraknya. Tampak jelas kemarahan ada di wajah Iris. “Aku minta maaf, Bibi. Aku tidak sengaja.” Bocah laki-laki itu polos sambil menatap Iris yang tengah marah-marah padanya. Mata cokelat bocah laki-laki itu mengerjap beberapa kali Menatap Iris yang memberikan tatapan tajam padanya. “Shit! Maaf kau bilang? Gaunku ini mahal! Dan kau merusak gaun kesayanganku!” bentak Iris keras. “Anak bodoh! Di mana matamu itu! Kenapa kau jalan tidak menggunakan matamu dengan baik!!!” Iris memaki bocah laki-laki di hadapannya. Emosinya tumpah tak lagi tertahan. Gaun yang dia beli dari designer ternama harus rusak akibat bocah laki-laki bodoh di hadapannya itu. “Bibi … aku salah, aku sudah minta maaf. Nanti aku akan bilang Mama untuk mengganti gaun B
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu
Para pelayan tampak sibuk mondar mandir menyajikan makanan ringan serta minuman ke atas meja. Hari ini adalah hari yang telah ditentukan oleh Marsha. Hari di mana Selena akan memberitahukan jenis kelamin anak yang ada di kandungan putrinya itu. Dan sekarang hampir semua keluarga berkumpul atas permintaan Marsha. Tentu kalau Marsha sudah meminta berkumpul, tak ada satu pun yang bisa membantah. Lihat saja sekarang ruang keluarga megah sudah cukup penuh. Sean dan Stella beserta keempat anak mereka duduk di sisi kanan. Sedangkan Mateo dan Miracle beserta ketiga anak mereka duduk di sofa sebelah kiri. William duduk tepat di samping Marsha di sofa tengah. Yang mereka tunggu saat ini adalah Samuel dan Selena. Kalau untuk Dominic belum bisa dipastikan datang. Mengingat selama ini Dominic sangat sulit untuk diajak berkumpul. “Miracle, di mana Selena? Kenapa Selena belum datang juga?” tanya Marsha pada Miracle. “Masih di jalan, Mom. Tunggu sebentar. Pasti Kak Selena akan datang,” jawab Mirac
Paris, Perancis. Suara lenguhan memenuhi kamar hotel megah itu. Ranjang luas itu menjadi tempat di mana dua insan telah melakukan pergulatan panas. Erangan yang tak henti-henti begitu merdu di telinga keduanya. Lagi dan lagi tak pernah mereka bosan melakukan pergulatan panas di atas ranjang. Letupan gairah dan hasrat membara telah tergulung menjadi satu di sana meluapkan api candu yang tak pernah padam. Hingga ketika telah mencapai puncak, semburan lahar panas memasuki rahim sang wanita. Napas sang wanita terengah-engah. Tubuhnya terkulai lemah. Pagi hari mendapatkan serangan membuatnya tak memiliki energy untuk beranjak dari tempat tidur. Bulan madu singkat terisikan dengan indahnya percintaan dua insan itu. Tubuh mereka saling berdamba akan sentuhan satu sama lain. Tak ada satu malam pun yang terlewatkan untuk melakukan pergulatan panas. Mereka melebur menjadi satu, seolah tak bisa terpisahkan. “Rava, besok kita harus libur. Kau membuatku tidak bisa jalan. Kau ini bagaimana kena
“Wah, kalian sudah datang! Ayo masuk.” Stella—istri Sean menyambut kedatangan Selena, Samuel, Oliver, Brianna, Dean, dan juga Joice. Senyuman di wajah Stella begitu indah dan penuh kehangatan. “Maaf kami lama.” Selena memeluk Stella, bergantian dengan Brianna yang juga memeluk Selena. Pun Oliver dan Joice yang sudah turun dari gendongan ayah mereka, langsung memberikan pelukan pada Stella. Tentu Stella segera membalas pelukan Oliver dan Joice. “Tidak usah meminta maaf, Selena. Kalian datang tepat waktu,” jawab Stella lembut. Selena tersenyum samar. “Dad dan Mom ada di rumah, kan?” tanyanya. “Dad dan Mom lagi di jalan arah pulang. Dad dan Mom baru berbaikan. Jadi jangan heran kalau kau lihat Mom masih bersikap dingin pada Dad,” ujar Stella mengingatkan. “Ah, Mom masih cemburu pada wanita yang mendekati Dad?” tanya Selena menahan geli di senyumannya. Stella mendesah panjang. “Iya, padahal Dad tidak pernah merespon wanita itu. Ini semua ulah Dominic. Aku dengar Mom dibujuk Dad samp
Selena menatap deretan koleksi-koleksi dress indah miliknya, namun entah kenapa Selena merasa dress-dress yang ada di hadapannya sudah tak lagi indah jika dipakainya. Padahal tubuhnya pun belum terlalu gemuk tapi Selena merasa bandannya seperti badut. Sesaat, Selena manatap cermin, wajahnya telah dirias make-up tipis. Memakai lipstick pun Selena sangat malas. Hanya lip balm yang dia pakai demi menjaga kesehatan bibir. Kehamilan kedua ini lebih membuat Selena malas berias. Dulu pun ketika hamil Oliver, dirinya malas berias tapi kehamilan kedua jauh membuat Selena malas. “Sayang, apa kau sudah siap?” Samuel melangkah mendekat pada Selena yang berada di walk-in closet. Tampak kening Samuel mengerut kala melihat sang istri belum mengganti pakaian. Selena masih memakai gaun sederhana khusus yang biasa dipakai di rumah. “Sayang, aku bingung harus pakai baju apa.” Selena langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Samuel. “Sepertinya dress-dress milikku sudah tidak cocok lagi dipakai a