Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari.
“Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana. “Nona Selena?” Seorang pelayan menyapa seraya melangkah menghampiri Selena. “Iya?” Selena mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan yang ada di hadapannya. “Nona … di depan ada Tuan Sean,” ujar sang pelayan yang sontak membuat Selena terkejut. “Kak Sean datang?” ulang Selena memastikan. Sepasang iris mata biru Selena menunjukan jelas keterkejutannya. Ya, Sean Geovan—kakak sulungnya yang menetap tinggal di New York itu memang kerap mengunjunginya di London. Tapi Selena tak menyangka kalau kakaknya datang. Pasalnya kakaknya itu tidak memberikan kabar padanya kalau akan datang ke London. Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Tuan Sean datang.” “Yeay … Paman Sean datang.” Oliver langsung berlari lebih dulu keluar meninggalkan kamar menemui Sean. Senyuman di wajah Selena pun terlukis. Setiap kali Oliver kedatangan Pamannya pasti putra kecilnya itu begitu bahagia. Detik selanjutnya, Selena segera menyusul Oliver yang sudah lebih dulu meninggalkannya. *** “Paman Sean, aku merindukanmu, Paman.” Oliver memeluk leher Sean. Bocah laki-laki itu kini tengah berada digendongan Sean. Pipi tembamnya menempel pada pipi Sean. “Paman juga merindukanmu, Boy. Bagaimana sekolahmu?” tanya Sean seraya mengecupi pipi bulat Oliver. “Paman tenang saja. Aku anak yang pintar di sekolah, Paman,” jawab Oliver dengan nada membanggakan diri. “Good … Paman bangga padamu, Boy.” Sean mencubit pelan hidung mungil Oliver. Senyum di wajah Selena terlukis melihat pemandangan di mana kakaknya begitu menyayangi Oliver. Selama lima tahun ini Selena memang menjauh dari keluarganya yang berada di Toronto. Akan tetapi kakak dan adik Selena masih sering mengunjunginya di London. Pun sama halnya dengan ibunya yang masih tetap mengunjunginya. Hanya satu yang Selena tak berani temui yaitu ayahnya. Sejak di mana Selena menolak dijodohkan, Selena memang tidak pernah berhubungan lagi dengan ayahnya. Tentu dia sangat merindukan ayahnya namun Selena menyadari kalau dosa masa lalu yang dia perbuat sulit untuk dimaafkan. “Oliver … ayo makan sushi-mu. Nanti Mama akan menyusulmu, Nak,” ucap Selena dengan senyuman di wajahnya. Oliver mengangguk patuh. “Iya, Mama.” Sean mencium pipi bulat Oliver. Lalu dia menurunkan keponakannya itu. Dan Oliver langsung berjalan meninggalkan Selena dan Sean—yang berada di ruang keluarga. Bocah laki-laki itu kini bersama dengan pengasuhnya. “Apa kabar, Kak?” Selena mendekat, dan memeluk erat sang kakak. Pun Sean membalas pelukan Sean. “Baik … aku baik, bagaimana dengamu?” Sean mengurai pelukannua, dan mengelus pipi Selena. “Aku juga baik, Kak.” Selena mengajak Sean untuk duduk di sofa yang tedekat dengan mereka. Tepat dikala mereka sudah duduk; pelayan menyajikan minuman untuk mereka. “Kau kenapa tidak bilang padaku kalau ada di London, Kak?” tanya Selena kala pelayan sudah pergi. “Aku memiliki meeting mendadak. Jadi aku mampir ke penthouse-mu,” jawab Sean seraya menatap sang adik. “Bagaimana perusahaanmu? Semua baik-baik saja kan?” Selena menganggukan kepalanya. “Semua baik-baik saja, Kak. Ah, ya. Apa kau ke sini bersama Stella, Kak?” “Stella dan anak-anakku baru menyusul besok. Mereka tidak berangkat bersama denganku,” ujar Sean memberitahu. “Selena, ada yang ingin aku katakan padamu.” Sean melanjutkan ucapannya, nada bicara Sean terdengar begitu serius. “Ada apa, Kak?” tanya Selena seraya menatap Sean lekat. “Lusa ada acara jamuan makan makan. Sebagian keluarga kita akan datang dan juga rekan bisnis keluarga kita akan datang. Aku ingin kau hadir. Sudah lima tahun kau tidak pernah muncul di acara jamuan makan malam perusahaan keluarga kita.” Sean berucap dengan nada yang serius dan meminta adiknya untuk patuh. Selena terdiam sejenak kala mendengar apa yang diucapkan oleh Sean. Tanpa terasa Selena telah melepas seluruh tanggung jawabnya di perusahaan keluarganya. William Geovan—ayah Selena adalah salah satu jajaran pengusaha tersukses. Selama ini memang Selena tidak menerima satu sen pun bantuan. Baik itu dari ibu, kakak, atau adiknya yang ingin membantunya hidup. Tujuan Selena adalah dia ingin membuktikan pada semua orang kalau dia mampu bangkit dengan kedua kakinya sendiri. Dan Selena tak menyangka kalau dirinya telah berada dititik sejauh ini. Dulu, Selena pikir dirinya tidak akan pernah mampu. Tapi kenyataannya dia berhasil melewati badai di kehidupannya. “Kak … aku rasa aku tidak bisa datang ke jamuan makan malam yang diadakan keluarga kita,” ujar Selena dengan suara pelan. “Selena … mau sampai kapan kau menghindar? Kau tidak bisa selalu menghindar. Meski kau tidak lagi memakai nama Geovan tapi kau tetap bagian dari Geovan. Kau harus tetap hadir, Selena. Aku sudah membiarkanmu tinggal di London, membiarkanmu menjalani kehidupanmu. Sekarang waktunya kau tunjukan pada semua orang kau mampu berdiri dengan kedua kakimu. Jangan terus-terusan bersembunyi seperti ini,” tukas Sean menegaskan. “B-Bagaimana dengan Daddy, Kak? Daddy membenciku. Dia pasti akan marah jika aku datang,” ucap Selena lirih. Bulir air matanya mulai menetes membayangkan kalau sang ayah tak lagi bicara padanya. Sean membawa tangannya menghapus air mata adiknya itu. “Dad tidak mungkin marah. Jika dia marah apalagi berani mengusirmu di pesta maka aku yang akan turun tangan. Sekarang yang aku ingin kau hadir di pesta. Semua para pengusaha juga datang. Beriaslah yang cantik. Tunjukan kau adalah wanita yang hebat. Tidak akan ada yang merendahkanmu atau menjatuhkanmu. Jika sampai aku mendengar ada yang merendahkan adikku; maka aku pastikan orang itu lenyap di tanganku.” Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar ucapan Sean. Wanita itu terdiam beberapa saat. Memikirkan dengan baik keputusan apa yang paling tepat. Hingga kemudian, Selena berkata, “Baiklah, Kak. Aku akan datang. Terima kasih selalu ada di sisiku, Kak.” Sean mengecup kening Selena. “Aku bangga padamu, Selena. Sangat bangga padamu. Tidak semua orang bisa berada di posisimu. Tapi kau membuktikan kalau kau memang wanita yang hebat.”“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy
Samuel menegak kasar wine di tangannya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata seraya meloloskan umpatan kasar. Tampak pikiran Samuel begitu kacau. Benaknya tak henti-hentinya memikirkan tentang Selena yang ternyata memiliki seorang anak. Harusnya Samuel tak peduli akan hal ini. Akan tetapi entah kenapa semuanya begitu mengganggu pikirannya. Oliver … Bocah laki-laki itu memiliki iris mata cokelat tidak menuruni manik mata biru Selena. Alis tebal. Hidung mancung. Rambut cokelat gelap. Wajah bocah laki-laki itu tampak tak asing. “Shit!” Samuel mencengkram kuat gelas sloki di tangannya dan nyaris meremukan. Entah kenapa Selena telah memiliki anak membuat hati Samuel merasa tak nyaman. Samuel kembali menegak kasar wine-nya. Beberapa kali Samuel berusaha menepis pikirannya yang tengah dibayang-bayangi tentang Selena. Namun, kenyataannya Selena selalu muncul di pikirannya itu. Samuel mengatur napasnya. Berusaha untuk mengosongkan pikirannya. Kalau pun Selena sudah menikah apa peduliny
Mata Selena melebar kala Bibir hangat Samuel menempel di atas bibirnya. Jantung Selena berdetak tak karuan nyaris melompat dari tempatnya. Sepasang iris mata biri Selena menatap sanga dekat manik mata cokelat Samuel. Beberapa detik, mereka belum menyudahi keintiman itu. Bahkan mereka tak memedulikan banyak mata yang melihat mereka.Hingga kemudian, tiba-tiba kewarasan muncul dikeduanya. Mereka menyadari tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan. Buru-buru, Samuel bangkit berdiri seraya menbantu Selena untuk juga berdiri. Kecanggungan terjadi di antara dua manusia itu. Namun, baik Samuel dan Selena tetap menunjukan sifat acuh satu sama lain. “Tuan … Nona … kami minta maaf … sungguh maafkan kami.” Para pekerja membungkukan kepalanya pada Samuel dan Selena. Mendengar permintaan maaf para pekerja, membuat Samuel dan Selena mengalihkan pandangan mereka. Tampak sorot mata Samuel menatap dingin dan tajam para pekerja yang ada di hadapannya itu. “Kalian itu bodoh atau apa? Kenapa berjalan tid
Selena duduk di kursi kerjanya dengan tatapan kosong dan pikiran menerawang. Kali ini wajah Selena terlihat sedikit muram. Wanita itu seperti memiliki jutaan hal yang mengusik pikirannya. Salah satu hal yang Selena pikirkan adalah kata-kata Samuel. Harusnya Selena tidak terluka. Namun tak dipungkiri hati Selena seolah tercabik. Lagi. Samuel selalu berhasil melemparkan dirinya ke lautan lepas. Bertahun-tahun, Selena memang selalu berusaha menjadi wanita yang kuat. Selena tidak mau sampai ada orang yang mampu menjatuhkan dirinya. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Hanya dengan sebuah kata sarkas yang dikeluarkan oleh Samuel telah berhasil membuat hati Selena kembali merasakan luka dalam. “Nona Selena?” Jenia—asisten menyapa sontak membuat Selena membuyarkan lamunannya. “Ya?” Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika kening Selena mengerut melihat sebuah rangkaian bunga mawar merah yang ada di tangan Selena. “Nona Selena maaf mengganggu Anda. Saya hanya
“Astagaaaaa gaunku!! Kau itu bodoh atau apa hah?! Gaunku ini mahal!!”Suara Iris berteriak begitu keras kala melihat saus burger mengenai gaun mahalnya itu. Noda di dress itu begitu terlihat jelas. Kini tatapan Iris menajam menatap bocah laki-laki yang menabraknya. Tampak jelas kemarahan ada di wajah Iris. “Aku minta maaf, Bibi. Aku tidak sengaja.” Bocah laki-laki itu polos sambil menatap Iris yang tengah marah-marah padanya. Mata cokelat bocah laki-laki itu mengerjap beberapa kali Menatap Iris yang memberikan tatapan tajam padanya. “Shit! Maaf kau bilang? Gaunku ini mahal! Dan kau merusak gaun kesayanganku!” bentak Iris keras. “Anak bodoh! Di mana matamu itu! Kenapa kau jalan tidak menggunakan matamu dengan baik!!!” Iris memaki bocah laki-laki di hadapannya. Emosinya tumpah tak lagi tertahan. Gaun yang dia beli dari designer ternama harus rusak akibat bocah laki-laki bodoh di hadapannya itu. “Bibi … aku salah, aku sudah minta maaf. Nanti aku akan bilang Mama untuk mengganti gaun B
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam
“Dean? Kau dari mana saja? Kenapa bertemu dokter lama sekali?” ujar Juliet bertanya seraya menatap Dean yang baru saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Hampir satu jam Juliet menunggu Dean. Padahal sebelumnya, Dean hanya berpamitan padanya pergi keluar hanya sebentar saja. “Maaf, tadi aku sempat bertemu dengan temanku sebentar.” Dean duduk di tepi ranjang Juliet, menatap lekat Juliet. Dean memilih untuk beralasan bertemu dengan temannya di luar. Pasalnya, Dean tak mungkin menceritakan tentang Brianna pada Juliet. “Oh, begitu. Yasudah tidak apa-apa,” jawab Juliet yang mengerti. “Juliet, apa kau sudah makan?” “Belum, Dean. Aku belum makan. Aku menunggumu.”“Harusnya kau jangan menungguku, Juliet. Kau sedang sakit. Kalau kau terlambat makan, kapan kondisimu bisa cepat pulih?” “Maaf, Dean. Lain kali aku tidak akan terlambat makan.” “Yasudah, makanlah sekarang.” Dean mengalihkan pandangannya ke atas nakas, pria itu melihat ada makanan yang sudah tersedia di sana—lalu Dean mengambil ma
“Dean, kenapa kau di sini? Bukannya harusnya kau ada di ruang rawat Juliet?” ujar Brianna lembut dan pelan kala Dean baru saja selesai mengompres rahangnya dengan handuk hangat. Ya, kini Brianna tengah berada di ruangan yang sengaja Dean minta perawat untuk menyiapkan. Ruangan di mana Dean membantu Brianna mengompreskan handuk hangat ke rahang Brianna. Pun Dean meminta dokter untuk memeriksa kondisi rahang Brianna. Pasalnya warna merah di rahang Brianna sebagian sudah memar biru akibat cengkaraman kuat Ivan. Awalnya, Brianna tak mau diperiksa oleh dokter, tetapi Dean memaksa. Hingga akhirnya mau tak mau Brianna diperiksa oleh dokter. Terdengar berlebihan tetapi Brianna tak enak kalau menolak niat baik Dean. Terlebih tadi Dean sudah menyelamatkannya dari Ivan. Kalau saja Dean tak ada, entah apa yang akan terjadi pada Brianna. Dean duduk di samping Brianna, menatap hangat wanita itu. “Tadi aku ingin bertemu dengan dokter. Tapi aku tidak sengaja melihatmu bersama dengan seorang pria di