“Nona … Anda cantik sekali.”
Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jenia terlukis begitu tulus. “Anda sangat cantik, Nona. Gaun ini sangat cocok dipakai Anda.” Selena mengatur napasnya. Berusaha mengatasi dirinya yang dilanda kepanikan dan kecemasan. “Yasudah, aku berangkat sekarang. Putraku sedang tidur. Tolong kau beritahu pengasuhnya kalau Oliver terbangun buatkan susu cokelat untuk putraku.” “Baik, Nona.” Jenia menjawab dengan sopan. Selena tersenyum samar. Lalu dia melangkah meninggalkan penthouse-nya. Tampak wajah Selena berusaha untuk tetap tersenyum walau tak dipungkiri kecemasan dalam dirinya tetap masih ada. *** The Savoy Hotel adalah salah satu hotel mewah yang ada di London. Adapun hotel ini dipilih menjadi tempat di mana jamuan makan malam keluarga besar Geovan bersama dengan rekan bisnis penting dari keluarga Geovan. Tentu yang turut hadir di pesta ini bukanlah dari kalangan yang sembarangan. Tamu undangan yang hadir di jamuan makan malam ini adalah tamu undangan yang darang pastinya adalah jajaran pengusaha ternama. Kini mobil yang membawa Selena mulai memasuki lobby The Savoy Hotel. Selena segera turun dari mobil. Terlihat jepretan kamera terus memotret Selena yang baru saja turun dari mobil. Beberapa wartawan itu menanyakan tentang ke mana saja Selena yang tak pernah muncul dalam jamuan makan malam yang diadakan Keluarga Geovan. Namun, Selena tidak banyak bicara. Selena hanya mengulas senyuman hangat pada para wartawan. Lalu dia melangkah memasuki lobby hotel. “Kak Selena…” Miracle—saudara kembar Selena langsung memeluk Selena kala melihat Selena datang. Wanita itu begitu merindukan kakaknya. Sudah lama sekali Miracle tidak melihat Selena. Dan tentu Selena pun membalas pelukan Miracle. Selena memiliki saudara kembar. Di mana Selena adalah kakak sedangkan Miracle adalah adik. Miracle telah menikah dengan salah satu pengusaha ternama asal Milan yang bernama Mateo De Luca. Kehidupan Miracle sangat bahagia bersama dengan suami dan ketiga anaknya. Dan meski kembar, Selena dan Miracle memiliki wajah yang berbeda. Tepatnya Selena dan Miracle adalah kembar tidak identik. Selena berambut pirang sedangkan Miracle berambut cokelat. Hanya ada satu kesamaan Selena dan Miracle yaitu mereka memiliki manik mata biru seperti lautan. “Kau sendiri, Miracle? Di mana Mateo?” tanya Selena seraya mengurai pelukannya pada sang adik. “Mateo sedang bersama dengan rekan bisnisnya, Kak,” jawab Miracle. “Aku senang kau datang, Kak.” Selena tersenyum. “Iya, Kak Sean yang memintaku untuk datang. Hm … Miracle, di mana Dad dan Mom?” tanyanya pelan. “Dad dan Mom sedang menyambut para tamu undangan. Mereka ada di sisi kiri,” jawab Miracle seraya menggerakan kepalanya ke kiri. Pelan-pelan Selena mengalihkan pandangannya ke sisi kiri. Tampak Selena menatap kedua orang tuanya yang tengah berbincang dengan para tamu undangan. Selena melihat Marsha—ibunya memberikan senyuman. Namun, sayangnya William—sang ayah mengabaikan keberadaannya. Seolah dirinya tidak ada di pesta ini. “Kak, aku tinggal sebentar, ya. Mateo memanggilku,” ucap Miracle kala melihat sang suami memberikan isyarat agar dirinya mendekat. Selena menganggukan kepalanya. Kemudian, Miracle segera melangkah menghampiri Mateo. Tampak beberapa Selena mengulas senyuman pada sepupu-sepupunya. Di ujung kanan Selena sudah melihat Sean bersama dengan Stella—istri kakaknya tengah menyapa para tamu undangan. Sean dan Stella pun melambaikan tangan padanya meminta Selena untuk bergabung, namun Selena masih enggan untuk bergabung. Selena hanya mengulas senyuman di wajahnya. Sebuah senyuman hangat pada kakak sekaligus kakak iparnya. “Selena Geovan.” Suara bariton memanggil nama Selena; refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Dan seketika Selena terdiam menatap sosok pria tampan yang ada di hadapannya. Ada rasa aneh dalam diri Selena kala ada yang menyapanya ‘Selena Geovan’ sudah lama sekali tidak ada yang menyebut namanya dengan nama belakang sang ayah. “Maaf? Apa kita saling mengenal sebelumnya?” tanya Selena dengan senyuman ramah di wajahnya pada sosok pria yang ada di hadapannya itu. Dalam benak Selena berusaha mengingat pria yang menyapanya. Namun sayangnya Selena tak mengingat sosok pria itu. Mungkin saja pria di hadapannya adalah rekan bisnis ayahnya yang baru dalam lima tahun terakhir. Karena jika rekan bisnis lama maka Selena pasti akan mengenalinya. “Dean Osbert … kau bisa memanggilku Dean.” Pria itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya pada Selena. Pun Selena menyambut uluran tangan pria itu dengan ramah. “Selena … kau bisa memanggilku Selena,” jawab Selena ramah. Dean mengangguk-anggukan kepalanya. “Rasanya aku tidak mungkin tidak mengenali putri dari pengusaha ternama William Geovan. Well, tanpa kau memperkenalkan diri tentu aku tahu namamu, Selena.” Selena tersenyum canggung. Lagi. Banyak orang yang mengenal bahwa dia adalah putri ayahnya. Terkadang Selena merasa malu dan tidak pantas menjadi bagian dari Keluarga Geovan. Dia hanya membuat keluarga besarnya malu. “Kau datang ke pesta ini sendirian?” tanya Dean seraya menatap Selena. “Seperti yang kau lihat aku datang ke pesta ini sendiri,” jawab Selena hangat. “Aku pernah melihatmu di media tapi ternyata kau jauh lebih cantik dari yang aku lihat di media.” Dean berucap memuji Selena. Selena tersenyum. “Terima kasih, Dean.” “Tadi aku menghampirimu atas izin dari kakakmu; Sean. Aku meminta izin pada Sean untuk mengajakmu berkenalkan. Dan ternyata kakakmu mengizinkan. Sepertinya Dewi Fortuna sedang datang padaku malam ini,” ujar Dean memberitahu dengan senyuman yang terus terlukis di wajahnya. Selena sedikit terkejut mendengar ucapan Dean. Detik selanjutnya, tatapan Selena teralih pada Sean yang berada di ujung kanan. Tampak Sean menggerakan sedikit kepala. Mengartikan kalau kakaknya itu meminta dirinya untuk berkenalan dekat dengan pria yang bernama Dean. Lagi dan lagi. Ini bukan pertama kali. Kakaknya itu memang kerap berusaha memperkenalkan dirinya pada banyak pria. “Ah, begitu. Baiklah, Dean.” Selena mengukir senyumannya. Dia sedikit bingung harus menjawab apa ucapan Dean. Lama tidak menghadiri acara seperti ini membuat Selena benar-benar canggung. Sekarang saja banyak sekali yang menatap dirinya. Beruntung Selena memiliki keluarga yang tak pernah menjatuhkannya. Hanya saja beberapa rekan bisnis lama keluarganya selalu menatap dirinya. Lima tahun menghilang tentu banyak orang yang curiga. Hingga kemudian, tatapan Selena dan Dean mulai teralih bersamaan dengan sorot kamera teralih pada pintu masuk ballroom. Seketika … Selena membeku menatap pasangan yang tampak romantis memasuki ballroom. Sang pria begitu gagah dengan balutan tuxedo. Sedangkan sang wanita tampil seksi dengan balutan gaun berwarna merah. Selena merasa kalau aliran darahnya berhenti detik itu juga. Tubuh Selena menegang. Sepasang iris mata birunya terus menatap sosok pria yang datang. Di hadapan Selena adalah Samuel bersama dengan Iris. Selena yakin kalau Samuel dan Iris pasti sudah menikah. Sungguh, Selena nyaris tertawa kembali dipertemukan oleh kedua pasangan sempurna ini. Setelah bertahun-tahun lamanya, dia harus kembali melihat sosok yang tak pernah dia ingin lagi temui. Kilat kamera tersorot pada Samuel dan Iris. Tampak Iris beberapa kali tersenyum dan melambaikan tangannya di depan kamera. Sebagai pengacara terkenal, nama Samuel memang sudah sering dikenal para media. Ditambah dengan Iris adalah seorang artis ternama asal Amerika. Beberapa film layar lebar, brand ambassador dari brand ternama di dunia, lalu model Victoria secret, Semua telah dibintangi Iris Halburt. Tak heran jika Samuel dan Iris datang akan menjadi pusat perhatian para media. Namun … dikala Samuel melangkah masuk ke dalam pesta, tatapan Samuel teralih pada sosok wanita berparas cantik. Bahkan sangat cantik. Gaun berwarna gold membalut indah tubuh wanita itu. Rambut pirang terjuntai memukau. Sepasang iris mata biru layaknya keindahan lautan itu kini telah bertatapan dengannya. She’s so damn beautiful!She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy
Samuel menegak kasar wine di tangannya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata seraya meloloskan umpatan kasar. Tampak pikiran Samuel begitu kacau. Benaknya tak henti-hentinya memikirkan tentang Selena yang ternyata memiliki seorang anak. Harusnya Samuel tak peduli akan hal ini. Akan tetapi entah kenapa semuanya begitu mengganggu pikirannya. Oliver … Bocah laki-laki itu memiliki iris mata cokelat tidak menuruni manik mata biru Selena. Alis tebal. Hidung mancung. Rambut cokelat gelap. Wajah bocah laki-laki itu tampak tak asing. “Shit!” Samuel mencengkram kuat gelas sloki di tangannya dan nyaris meremukan. Entah kenapa Selena telah memiliki anak membuat hati Samuel merasa tak nyaman. Samuel kembali menegak kasar wine-nya. Beberapa kali Samuel berusaha menepis pikirannya yang tengah dibayang-bayangi tentang Selena. Namun, kenyataannya Selena selalu muncul di pikirannya itu. Samuel mengatur napasnya. Berusaha untuk mengosongkan pikirannya. Kalau pun Selena sudah menikah apa peduliny
Mata Selena melebar kala Bibir hangat Samuel menempel di atas bibirnya. Jantung Selena berdetak tak karuan nyaris melompat dari tempatnya. Sepasang iris mata biri Selena menatap sanga dekat manik mata cokelat Samuel. Beberapa detik, mereka belum menyudahi keintiman itu. Bahkan mereka tak memedulikan banyak mata yang melihat mereka.Hingga kemudian, tiba-tiba kewarasan muncul dikeduanya. Mereka menyadari tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan. Buru-buru, Samuel bangkit berdiri seraya menbantu Selena untuk juga berdiri. Kecanggungan terjadi di antara dua manusia itu. Namun, baik Samuel dan Selena tetap menunjukan sifat acuh satu sama lain. “Tuan … Nona … kami minta maaf … sungguh maafkan kami.” Para pekerja membungkukan kepalanya pada Samuel dan Selena. Mendengar permintaan maaf para pekerja, membuat Samuel dan Selena mengalihkan pandangan mereka. Tampak sorot mata Samuel menatap dingin dan tajam para pekerja yang ada di hadapannya itu. “Kalian itu bodoh atau apa? Kenapa berjalan tid
Selena duduk di kursi kerjanya dengan tatapan kosong dan pikiran menerawang. Kali ini wajah Selena terlihat sedikit muram. Wanita itu seperti memiliki jutaan hal yang mengusik pikirannya. Salah satu hal yang Selena pikirkan adalah kata-kata Samuel. Harusnya Selena tidak terluka. Namun tak dipungkiri hati Selena seolah tercabik. Lagi. Samuel selalu berhasil melemparkan dirinya ke lautan lepas. Bertahun-tahun, Selena memang selalu berusaha menjadi wanita yang kuat. Selena tidak mau sampai ada orang yang mampu menjatuhkan dirinya. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Hanya dengan sebuah kata sarkas yang dikeluarkan oleh Samuel telah berhasil membuat hati Selena kembali merasakan luka dalam. “Nona Selena?” Jenia—asisten menyapa sontak membuat Selena membuyarkan lamunannya. “Ya?” Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika kening Selena mengerut melihat sebuah rangkaian bunga mawar merah yang ada di tangan Selena. “Nona Selena maaf mengganggu Anda. Saya hanya
“Astagaaaaa gaunku!! Kau itu bodoh atau apa hah?! Gaunku ini mahal!!”Suara Iris berteriak begitu keras kala melihat saus burger mengenai gaun mahalnya itu. Noda di dress itu begitu terlihat jelas. Kini tatapan Iris menajam menatap bocah laki-laki yang menabraknya. Tampak jelas kemarahan ada di wajah Iris. “Aku minta maaf, Bibi. Aku tidak sengaja.” Bocah laki-laki itu polos sambil menatap Iris yang tengah marah-marah padanya. Mata cokelat bocah laki-laki itu mengerjap beberapa kali Menatap Iris yang memberikan tatapan tajam padanya. “Shit! Maaf kau bilang? Gaunku ini mahal! Dan kau merusak gaun kesayanganku!” bentak Iris keras. “Anak bodoh! Di mana matamu itu! Kenapa kau jalan tidak menggunakan matamu dengan baik!!!” Iris memaki bocah laki-laki di hadapannya. Emosinya tumpah tak lagi tertahan. Gaun yang dia beli dari designer ternama harus rusak akibat bocah laki-laki bodoh di hadapannya itu. “Bibi … aku salah, aku sudah minta maaf. Nanti aku akan bilang Mama untuk mengganti gaun B
“Mama…” Oliver menghamburkan tubuhnya ke pelukan Selena yang baru saja tiba di penthouse. Tampak bocah laki-laki itu begitu senang karena ibunya sudah pulang. Karena sejak tadi Oliver menunggu Selena untuk pulang. Senyuman di wajah Selena terlukis kala sudah disambut oleh putranya itu. Kini Selena menundukan tubuhnya, mensejajarkan pada tubuh putra kecilnya. “Apa kau sudah makan, Sayang?” ucapnya sembari memberikan di pipi bulat Oliver. Oliver menganggukan kepalanya. Lalu dia melingkarkan tangan mungilnya ke leher Selena sambil berkata, “Sudah, Mama. Aku tadi makan salmon dan pasta. Aku sudah makan banyak, Ma. Aku juga sudah selesai khursus Bahasa Russia dan Jepang, Ma. Aku akan menjadi anak yang pintar dan hebat.” Selena mengulum senyumannya mendengar ucapan Oliver. Selama ini memang Selena selalu mengatakan kalau Oliver mampu menguasai banyak bahasa maka putranya itu akan menjadi anak yang hebat. Dan Selena pun selalu memberikan yang terbaik untuk Oliver. Putra kecilnya itu meman
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam
“Dean? Kau dari mana saja? Kenapa bertemu dokter lama sekali?” ujar Juliet bertanya seraya menatap Dean yang baru saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Hampir satu jam Juliet menunggu Dean. Padahal sebelumnya, Dean hanya berpamitan padanya pergi keluar hanya sebentar saja. “Maaf, tadi aku sempat bertemu dengan temanku sebentar.” Dean duduk di tepi ranjang Juliet, menatap lekat Juliet. Dean memilih untuk beralasan bertemu dengan temannya di luar. Pasalnya, Dean tak mungkin menceritakan tentang Brianna pada Juliet. “Oh, begitu. Yasudah tidak apa-apa,” jawab Juliet yang mengerti. “Juliet, apa kau sudah makan?” “Belum, Dean. Aku belum makan. Aku menunggumu.”“Harusnya kau jangan menungguku, Juliet. Kau sedang sakit. Kalau kau terlambat makan, kapan kondisimu bisa cepat pulih?” “Maaf, Dean. Lain kali aku tidak akan terlambat makan.” “Yasudah, makanlah sekarang.” Dean mengalihkan pandangannya ke atas nakas, pria itu melihat ada makanan yang sudah tersedia di sana—lalu Dean mengambil ma
“Dean, kenapa kau di sini? Bukannya harusnya kau ada di ruang rawat Juliet?” ujar Brianna lembut dan pelan kala Dean baru saja selesai mengompres rahangnya dengan handuk hangat. Ya, kini Brianna tengah berada di ruangan yang sengaja Dean minta perawat untuk menyiapkan. Ruangan di mana Dean membantu Brianna mengompreskan handuk hangat ke rahang Brianna. Pun Dean meminta dokter untuk memeriksa kondisi rahang Brianna. Pasalnya warna merah di rahang Brianna sebagian sudah memar biru akibat cengkaraman kuat Ivan. Awalnya, Brianna tak mau diperiksa oleh dokter, tetapi Dean memaksa. Hingga akhirnya mau tak mau Brianna diperiksa oleh dokter. Terdengar berlebihan tetapi Brianna tak enak kalau menolak niat baik Dean. Terlebih tadi Dean sudah menyelamatkannya dari Ivan. Kalau saja Dean tak ada, entah apa yang akan terjadi pada Brianna. Dean duduk di samping Brianna, menatap hangat wanita itu. “Tadi aku ingin bertemu dengan dokter. Tapi aku tidak sengaja melihatmu bersama dengan seorang pria di