“Astagaaaaa gaunku!! Kau itu bodoh atau apa hah?! Gaunku ini mahal!!”Suara Iris berteriak begitu keras kala melihat saus burger mengenai gaun mahalnya itu. Noda di dress itu begitu terlihat jelas. Kini tatapan Iris menajam menatap bocah laki-laki yang menabraknya. Tampak jelas kemarahan ada di wajah Iris. “Aku minta maaf, Bibi. Aku tidak sengaja.” Bocah laki-laki itu polos sambil menatap Iris yang tengah marah-marah padanya. Mata cokelat bocah laki-laki itu mengerjap beberapa kali Menatap Iris yang memberikan tatapan tajam padanya. “Shit! Maaf kau bilang? Gaunku ini mahal! Dan kau merusak gaun kesayanganku!” bentak Iris keras. “Anak bodoh! Di mana matamu itu! Kenapa kau jalan tidak menggunakan matamu dengan baik!!!” Iris memaki bocah laki-laki di hadapannya. Emosinya tumpah tak lagi tertahan. Gaun yang dia beli dari designer ternama harus rusak akibat bocah laki-laki bodoh di hadapannya itu. “Bibi … aku salah, aku sudah minta maaf. Nanti aku akan bilang Mama untuk mengganti gaun B
“Mama…” Oliver menghamburkan tubuhnya ke pelukan Selena yang baru saja tiba di penthouse. Tampak bocah laki-laki itu begitu senang karena ibunya sudah pulang. Karena sejak tadi Oliver menunggu Selena untuk pulang. Senyuman di wajah Selena terlukis kala sudah disambut oleh putranya itu. Kini Selena menundukan tubuhnya, mensejajarkan pada tubuh putra kecilnya. “Apa kau sudah makan, Sayang?” ucapnya sembari memberikan di pipi bulat Oliver. Oliver menganggukan kepalanya. Lalu dia melingkarkan tangan mungilnya ke leher Selena sambil berkata, “Sudah, Mama. Aku tadi makan salmon dan pasta. Aku sudah makan banyak, Ma. Aku juga sudah selesai khursus Bahasa Russia dan Jepang, Ma. Aku akan menjadi anak yang pintar dan hebat.” Selena mengulum senyumannya mendengar ucapan Oliver. Selama ini memang Selena selalu mengatakan kalau Oliver mampu menguasai banyak bahasa maka putranya itu akan menjadi anak yang hebat. Dan Selena pun selalu memberikan yang terbaik untuk Oliver. Putra kecilnya itu meman
Sebuah klub malam mewah yang teletak di Kawasan South Kensington, London adalah tempat yang saat ini tengah dikunjungi oleh Samuel. Malam ini Samuel ingin menemui salah satu teman lamanya yang sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Sekaligus Samuel ingin melepaskan penat yang mengganggu pikirannya.Suara detuman musik menghentak dari dalam. Lampu warna-warni menyorot. Suasana klub malam itu cukup ramai didatangi oleh para pengunjung. Mulai dari artis, model, hingga jajaran pengusaha ternama kerap datang ke klub malam ini. Tampak para pelayan hilir mudik mengantarkan minuman dengan pakaian yang seksi. Beberapa kali para wanita mengajak Samuel untuk one night stand, namun sayangnya tak ada satu pun yang dilirik oleh Samuel. Lebih tepatnya Samuel selalu menolak para wanita-wanita yang menggodanya itu. Hari ini Samuel sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Bahkan dia pun meminta Iris untuk tidak mengganggunya. Biasanya dikala Samuel jenuh maka Samuel akan berkencan dengan wanita
Napas Selena nyaris putus kala Samuel mencium bibirnya dengan begitu liar. Otak Selena seakan tak bekerja kala Samuel tak henti-henti mencium bibirnya. Lagi. Setelah sekian lama Selena kembali merasakan bibir hangat ini. Bibir yang begitu dia rindukan. Dan bibir ini juga yang membuat syarafnya seakan lumpuh. Namun tiba-tiba Selena menyadari aroma alkohol dari bibir Samuel begitu menyeruak ke indra penciumannya. Detik itu juga Selena menggigit bibir Samuel sekeras mungkin. Hingga membuat pagutan yang diciptakan oleh Samuel terlepas. Plakkkk Sebuah tamparan keras melayang di pipi Samuel. Emosi Selena memuncak kala Samuel dengan kurang ajar berani menciumnya. “Apa kau sudah gila, Maxton!” seru Selena meninggikan suaranya. Emosi Samuel pun terpancing kala Selena berani menamparnya. Sepasang iris mata cokelat Samuel menatap dingin Selena. Perlahan senyuman sinis di wajah Samuel mulai terlukis. Pria itu menangkup kedua rahang Selena dengan sedikit kasar. “Bukankah ini yang dulu kau
“Fuck!” Samuel mengumpat kasar. Pria itu menyambar wine di hadapannya, dan menegaknya kasar. Kini Samuel tengah berada di ruang kerja yang ada di apartemen pribadinya. Sepulang mengantar Selena, dia segera kembali ke apartemennya. Pikiran Samuel benar-benar kacau. Samuel tak menyangka kalau dirinya sampai tak bisa mengendalikan diri seperti tadi. Amarah Selena. Luapan emosi wanita itu. Serta kata-kata Selena selalu melayang-layang dipikiran Samuel. Dan hal ini yang membuat Samuel tak henti-hentinya mengumpat. Samuel seperti merasakan relung hatinya tertampar oleh kata-kata Selena. Sebuah kata yang seperti megisyaratkan betapa berengseknya dirinya. Berengsek? Samuel memang tahu kalau dirinya bukan pria yang baik. Banyak wanita yang hanya dijadikan sebagai penghangat ranjangnya. Akan tetapi kali ini berbeda. Ketika Samuel kembali bertemu dengan Selena, dia seperti merasakan ada magnet yang menariknya agar tak jauh dari sang pemilik mata biru itu. Samuel kembali menegak kasar wine di
“Dean, terima kasih sudah mengantarku. Maaf merepotkanmu.” Selena berucap pada Dean kala mobil yang dilajukan oleh Dean mulai memasuki gedung apartemen di mana penthouse-nya berada. Ya, Selena memang tidak jadi meminta Dean mengantarnya ke kantornya. Setelah bertemu dengan Samuel dan Iris tadi membuat Selena memilih beristirahat di rumah. Saat ini yang Selena butuhkan adalah ketenangan diri. “Tidak usah berterima kasih, Selena. Ini memang tanggung jawabku mengantarkanmu pulang.” Dean menjawab dengan senyuman ramah di wajahnya. “Lain kali kau mau kan makan siang bersama denganku lagi?” Selena pun tersenyum. “Asalkan waktunya memang tepat, pasti aku mau, Dean. Yasudah, aku turun dulu, ya, Dean. Sampai jumpa.” “Sampai jumpa, Selena.” Dean membalas ucapan Selena. Pria itu menatap Selena yang sudah turun dari mobilnya. Tampak pancaran mata Dean menatap Selena penuh kekaguman. Dean tak berkedip sedikit pun. Hingga ketika Selena sudah memasuki lobby apartemen, Dean mulai melajukan mobiln
Selena menelan salivanya susah payah kala mendapatkan tatapan dingin dari sang ayah. Wanita itu masih menunduk dan tak berani melihat ayahnya. Kini Selena tengah duduk di ruang keluarga tepat di hadapan kedua orang tuanya. Selena masih diam dan tak tahu harus memulai percakapan apa dengan ayahnya. Jelas saja kecanggungan terjadi karena sudah lama Selena tidak berbicara dengan ayahnya. “Dad, bagaimana kabarmu?” Akhirnya Selena berusaha untuk memulai percakapan ringan. Pun Selena mulai memberanikan diri menatap sang ayah. “Aku rasa tanpa harus menjawab, kau sudah tahu bagaimana kabarku,” ucap William dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Selena terdiam sejenak. Dia sudah menduga ayahnya pasti akan menjawab seperti ini. Terlihat dari nada bicara ayahnya, masih sangat marah padanya. Meski telah lima tahun, tetapi kenyataannya amarah sang ayah tak kunjung menyurut. “Maafkan aku, Daddy. Aku sungguh minta maaf. Maaf karena telah membuatmu malu. Maaf karena tidak bisa menjadi anak yang
“Nona Selena, apa Anda sakit? Kalau memang Anda sedang kurang sehat, biar saya saja yang menggantikan pekerjaan Anda, Nona.” Suara Jenia—asisten Selena berujar mencemaskan keadaan Selena. Pasalnya sejak tadi pagi Selena seperti kurang sehat. Itu yang membuat Jenia menawarkan diri dan meminta bosnya untuk beristirahat. “Tidak … aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit lelah,” jawab Selena pelan. Pertemuan kemarin dengan kedua orang tuanya memang membuat Selena memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang membuatnya menjadi kurang sehat. Hanya saja Selena tidak bisa bersantai-santai. Banyak pekerjaan menunggu dirinya. Jenia menganggukan kepalanya. “Nona Selena, saya ingin melaporkan tentang uang yang Anda minta untuk dikirimkan ke rekening Maxton & Maxton Company.” “Kau sudah mentransfer mereka kan?” tanya Selena memastikan. Beberapa hari lalu tepat kejadian di mana Samuel merobek cek tunai pemberiannya, Selena langsung meminta Jenia mentransfer uang sejumlah dua puluh ribu pound sterling k