Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.
“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”
Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.
“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarikan lahan baru. Selamat kau berhasil mendapatkan tanah itu dengan harga yang fantastis. Semoga kau tidak mengalami kerugian, Tuan Maxton.” Selena menjawab dengan suara tenang dan tersirat anggun serta tegas. Dada Selena memanas. Mati-matian wanita itu mengendalikan dirinya.
Senyuman samar di wajah Samuel terlukis kala mendengar jawaban Selena. Rupanya wanita di hadapannya itu banyak sekali perubahan. Dari segi cara bicara dan tatapannya tak lagi sama. Bahkan Samuel merasa seperti tak mengenal sosok wanita di hadapannya itu.
“Well, rupanya kau banyak berubah. Aku tidak menyangka kau bisa menjawab pertanyaanku,” jawab Samuel dengan tatapan tak lepas menatap Selena.
“Aku tidak butuh komentarmu, Tuan Maxton,” jawab Selena lagi dengan suara tenang.
Samuel mengangkat bahunya tak acuh. “Alright, I have to go. Aku berharap kau bisa menemukan lahan untuk pengganti tanah yang telah aku beli.”
Samuel tersenyum sinis. Lantas pria itu melangkah masuk ke dalam mobil sport mahal miliknya. Detik selanjutnya, Samel mulai melajukan mobil meninggalkan Selena yang masih bergeming di tempatnya. Tubuh Selena nyaris ambruk kala Samuel sudah pergi. Napas Selena memburu. Jantungnya melemah. Tampak mata Selena memanas dan hendak mengeluarkan air mata. Lagi. Selena berjuang untuk tak menangis. Dia tidak mau untuk kembali menjadi wanita lemah dan bodoh seperti dulu.
***
“Nona Selena?” Jenia—asisten Selena berlari menghampiri Selena dengan terburu-buru kala Selena baru saja keluar dari lift.
“Jangan menggangguku, Jenia. Kepalaku pusing.” Selena melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, mengabaikan kebaradaan Jenia. Refleks, Jenia segera mengikuti Selena masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Nona, tunggu ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ujar Jenia cepat.
Selena menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya. Wanita itu memijat pelipisnya. Kepalanya nyaris pecah. “Ada apa, Jenia?” tanyanya kesal pada sang asisten yang terus mengganggunya itu.
Jenia menggaruk kepalanya tidak gatal. Dia tampak ragu untuk mengatakan. Akan tetapi dia tidak mungkin menunda untuk berbicara. Karena jika sampai dia menunda maka Selena akan semakin marah padanya.
“Nona, tadi saat Anda pergi saya baru saja mendapatkan kabar dari manager marketing kalau kita memiliki project baru. Ada sebuah perusahaan yang ingin menyewa jasa design interior kita untuk gedung kantornya yang baru mereka buka di London. Project ini bernilai besar, Nona. Jadi manager marketing kita langsung menyetujui mengambil project ini. Pembayaran uang dimuka pun sudah kita terima sekitar lima puluh persen, Nona.” Jenia menjeda sebentar, raut wajahnya semakin ketakutan dan dilanda kebingungan hebat. “Tapi, Nona … hm …” Lidah Jenia tiba-tiba saja kelu. Tidak bisa merangkai sebuah kata.
“Tapi apa, Jenia?” tegur Selena mulai kesal. Selama ini memang Selena memercayakan keputusan pengambilan project design interior pada manager marketing-nya. Tentu karena sang manager marketing sudah cukup lama bekerja dengannya dan memahami bidang design interior.
Jenia menelan salivanya susah payah. Lalu dia berkata, “Perusahaan yang menyewa jasa design interior kita adalah Maxton & Maxton Company. Perusahaan pengacara terbesar di Amerika, Nona. Saya juga baru saja memeriksa kalau pengacara yang membeli tanah milik Anda adalah Samuel Maxton, pemilik Maxton & Maxton Company. Pengacara ternama itu membuka kantor pengacara di London, Nona.”
Selena membeku kala mendengar ucapan Jenia. Wajah wanita itu tampak begitu terkejut mendengar ucapan Jania. Lagi dia harus kembali terlibat dengan Samuel Maxton. Dia tidak akan mau bekerja sama dengan iblis sialan itu!
“Tolak project ini! Kembalikan uang mereka! Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengacara itu!” seru Selena dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
“Nona, sebelumnya saya harus minta maaf. Tapi kita tidak bisa menolak project ini. Terlebih kita sudah menerima uang dari mereka. Bukankah itu tidak bagus, Nona? Maksud saya … saya hanya tidak mau kalau sampai Maxton & Maxton Company mengatakan kita tidak professional dalam berbisnis. Saya tahu Nona pasti marah karena tanah yang Anda beli telah dimiliki oleh orang lain. Tapi, pikirkan sisi nama baik Nicholas Design Interior. Belakangan ini perusahaan milik Anda memiliki cukup nama dijajaran pengusaha besar. Akan sangat berdampak buruk jika Anda sampai membatalkan project secara sepihak, Nona.” Jenia berujar memberi nasihat pada Selena.
Ya, Nicholas Design Interior adalah perusahaan milik Selena yang bergerak di bidang jasa design interior. Salah satu perusahaan Selena ini belakangan memang cukup memiliki nama yang dikenal banyak perusahaan besar. Adapun nama Nicholas diambil dari nama keluarga dari Ibu Selena. Sudah lima tahun Selena meninggalkan nama ‘Geovan’ nama besar sang ayah.
Terpaksa Selena meninggalkan nama Geovan sesuai permintaan sang ayah. Menolak permintaan sang ayah yang ingin menjodohkannya, membuat Selena telah kehilangan banyak hal. Termasuk segala kemewahan yang diberikan sang ayah. Selena memulai semuanya dari bawah. Merintih usahanya dengan jerih payahnya sendiri. Meski ibu dan kakaknya selalu ingin membantu tapi Selena menolak. Wanita itu tinggal di London karena dia ingin membuktikan kalau dirinya mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri.
Namun, ketika Selena telah berdamai dengan takdir; semesta kembali mempertemukannya dengan sosok iblis yang telah menghancurkan hidupnya. Sosok iblis yang membuangnya layaknya seonggok sampah. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Mampukah Selena terus-terusan bertemu dengan iblis itu?
“Keluarlah, Jenia. Biarkan aku memikirkan ini,” ucap Selena dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Baik, Nona.” Jenia segera menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Selena.
Selena menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan mata lelah. Pikiran Selena begitu kacau. Hatinya seolah tercabik. Apa yang Selena rasakan saat ini seperti luka bakar yang terkena siraman alkohol. Begitu perih tapi luka itu tidak akan pernah mampu melumpuhkannya.
“Mama…” Suara bocah laki-laki dengan wajah begitu tampan melangkah masuk ke dalam ruang kerja Selena. Refleks, Selena membuka matanya kala mendengar suara yang menyebutnya ‘Mama’
“Oliver?” Selena tampak terkejut melihat putra kecilnya berada di kantornya.
“Mama … I miss you, Mama. I miss you so much.” Bocah laki-laki itu langsung memeluk erat tubuh Selena. Luluh. Kemarahan Selena lenyap kala Oliver—putranya memeluk dirinya.
“Nona Selena … maafkan saya tapi Tuan Muda Oliver memaksa ingin ke sini,” ucap sang pengasuh seraya menundukan kepalanya pada Selena.
Selena mengangguk singkat. “Keluarlah, biarkan putraku di sini bersaama denganku.”
Sang pengasuh itu kembali menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Selena.
“Oliver, kenapa kau di sini, Nak? Mama kan kerja, Sayang.” Selena tersenyum begitu lembut. Dalam sekejap emosi Selena sirna melihat putra tampannya ada di depannya.
“I’m here because I miss you, Mama. Aku tidak mau bermain. Aku hanya ingin memeluk Mama.” Oliver semakin mengeratkan pelukannya pada Selena.
Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar ucapan putra kecilnya. Ya, selama ini sumber kekuatan Selena adalah Oliver. Tidak ada yang lain. Putranya itu adalah hidupnya. Selena bisa sekuat sekarang semua serta merta bertahan demi Oliver.
“Maaf belakangan ini Mama sibuk, Sayang. Mama berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu untukmu,” ucap Selena pelan dan begitu lembut.
“It’s okay, Mama. Aku mengerti Mama sibuk karena Mama ingin memberikanku yang terbaik. I love you, Mama.” Oliver menjawab dengan suara polosnya.
“I love you more, Sayang.” Selena mengeratkan pelukan Oliver. Wanita itu memberikan kecupan bertubi-tubi di puncak kepala putra kecilnya itu.
Sejenak, Selena terdiam. Dalam benak Selena memikirkan kembali pertemuannya dengan Samuel—ayah biologis putra kesayaangannya. Apa jadinya kalau sampai Samuel mengetahui tentang Oliver? Tidak. Selena tidak akan pernah membiarkan itu terjadi.
‘Sampai kematian menjemputmu, kau tidak akan pernah tahu tentang Oliver, Samuel. Tidak akan pernah,’ batin Selena dengan sorot mata yang memendung kebencian.
“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.“Sayang
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy
Samuel menegak kasar wine di tangannya. Pria itu beberapa kali memejamkan mata seraya meloloskan umpatan kasar. Tampak pikiran Samuel begitu kacau. Benaknya tak henti-hentinya memikirkan tentang Selena yang ternyata memiliki seorang anak. Harusnya Samuel tak peduli akan hal ini. Akan tetapi entah kenapa semuanya begitu mengganggu pikirannya. Oliver … Bocah laki-laki itu memiliki iris mata cokelat tidak menuruni manik mata biru Selena. Alis tebal. Hidung mancung. Rambut cokelat gelap. Wajah bocah laki-laki itu tampak tak asing. “Shit!” Samuel mencengkram kuat gelas sloki di tangannya dan nyaris meremukan. Entah kenapa Selena telah memiliki anak membuat hati Samuel merasa tak nyaman. Samuel kembali menegak kasar wine-nya. Beberapa kali Samuel berusaha menepis pikirannya yang tengah dibayang-bayangi tentang Selena. Namun, kenyataannya Selena selalu muncul di pikirannya itu. Samuel mengatur napasnya. Berusaha untuk mengosongkan pikirannya. Kalau pun Selena sudah menikah apa peduliny