Share

Bab 4. He is Oliver Nicholas

Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.

“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”

Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.

“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarikan lahan baru. Selamat kau berhasil mendapatkan tanah itu dengan harga yang fantastis. Semoga kau tidak mengalami kerugian, Tuan Maxton.” Selena menjawab dengan suara tenang dan tersirat anggun serta tegas. Dada Selena memanas. Mati-matian wanita itu mengendalikan dirinya.

Senyuman samar di wajah Samuel terlukis kala mendengar jawaban Selena. Rupanya wanita di hadapannya itu banyak sekali perubahan. Dari segi cara bicara dan tatapannya tak lagi sama. Bahkan Samuel merasa seperti tak mengenal sosok wanita di hadapannya itu.

Well, rupanya kau banyak berubah. Aku tidak menyangka kau bisa menjawab pertanyaanku,” jawab Samuel dengan tatapan tak lepas menatap Selena.

“Aku tidak butuh komentarmu, Tuan Maxton,” jawab Selena lagi dengan suara tenang.

Samuel mengangkat bahunya tak acuh. “Alright, I have to go. Aku berharap kau bisa menemukan lahan untuk pengganti tanah yang telah aku beli.”

Samuel tersenyum sinis. Lantas pria itu melangkah masuk ke dalam mobil sport mahal miliknya. Detik selanjutnya, Samel mulai melajukan mobil meninggalkan Selena yang masih bergeming di tempatnya. Tubuh Selena nyaris ambruk kala Samuel sudah pergi. Napas Selena memburu. Jantungnya melemah. Tampak mata Selena memanas dan hendak mengeluarkan air mata. Lagi. Selena berjuang untuk tak menangis. Dia tidak mau untuk kembali menjadi wanita lemah dan bodoh seperti dulu.

***

“Nona Selena?” Jenia—asisten Selena berlari menghampiri Selena dengan terburu-buru kala Selena baru saja keluar dari lift.

“Jangan menggangguku, Jenia. Kepalaku pusing.” Selena melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, mengabaikan kebaradaan Jenia. Refleks, Jenia segera mengikuti Selena masuk ke dalam ruang kerjanya.

“Nona, tunggu ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ujar Jenia cepat.

Selena menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya. Wanita itu memijat pelipisnya. Kepalanya nyaris pecah. “Ada apa, Jenia?” tanyanya kesal pada sang asisten yang terus mengganggunya itu.

Jenia menggaruk kepalanya tidak gatal. Dia tampak ragu untuk mengatakan. Akan tetapi dia tidak mungkin menunda untuk berbicara. Karena jika sampai dia menunda maka Selena akan semakin marah padanya.

“Nona, tadi saat Anda pergi saya baru saja mendapatkan kabar dari manager marketing kalau kita memiliki project baru. Ada sebuah perusahaan yang ingin menyewa jasa design interior kita untuk gedung kantornya yang baru mereka buka di London. Project ini bernilai besar, Nona. Jadi manager marketing kita langsung menyetujui mengambil project ini. Pembayaran uang dimuka pun sudah kita terima sekitar lima puluh persen, Nona.” Jenia menjeda sebentar, raut wajahnya semakin ketakutan dan dilanda kebingungan hebat. “Tapi, Nona … hm …” Lidah Jenia tiba-tiba saja kelu. Tidak bisa merangkai sebuah kata.

“Tapi apa, Jenia?” tegur Selena mulai kesal. Selama ini memang Selena memercayakan keputusan pengambilan project design interior pada manager marketing-nya. Tentu karena sang manager marketing sudah cukup lama bekerja dengannya dan memahami bidang design interior. 

Jenia menelan salivanya susah payah. Lalu dia berkata, “Perusahaan yang menyewa jasa design interior kita adalah Maxton & Maxton Company. Perusahaan pengacara terbesar di Amerika, Nona. Saya juga baru saja memeriksa kalau pengacara yang membeli tanah milik Anda adalah Samuel Maxton, pemilik Maxton & Maxton Company. Pengacara ternama itu membuka kantor pengacara di London, Nona.”

Selena membeku kala mendengar ucapan Jenia. Wajah wanita itu tampak begitu terkejut mendengar ucapan Jania. Lagi dia harus kembali terlibat dengan Samuel Maxton. Dia tidak akan mau bekerja sama dengan iblis sialan itu!

“Tolak project ini! Kembalikan uang mereka! Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengacara itu!” seru Selena dengan nada satu oktaf lebih tinggi.

“Nona, sebelumnya saya harus minta maaf. Tapi kita tidak bisa menolak project ini. Terlebih kita sudah menerima uang dari mereka. Bukankah itu tidak bagus, Nona? Maksud saya … saya hanya tidak mau kalau sampai Maxton & Maxton Company mengatakan kita tidak professional dalam berbisnis. Saya tahu Nona pasti marah karena tanah yang Anda beli telah dimiliki oleh orang lain. Tapi, pikirkan sisi nama baik Nicholas Design Interior. Belakangan ini perusahaan milik Anda memiliki cukup nama dijajaran pengusaha besar. Akan sangat berdampak buruk jika Anda sampai membatalkan project secara sepihak, Nona.” Jenia berujar memberi nasihat pada Selena.

Ya, Nicholas Design Interior adalah perusahaan milik Selena yang bergerak di bidang jasa design interior. Salah satu perusahaan Selena ini belakangan memang cukup memiliki nama yang dikenal banyak perusahaan besar. Adapun nama Nicholas diambil dari nama keluarga dari Ibu Selena. Sudah lima tahun Selena meninggalkan nama ‘Geovan’ nama besar sang ayah.

Terpaksa Selena meninggalkan nama Geovan sesuai permintaan sang ayah. Menolak permintaan sang ayah yang ingin menjodohkannya, membuat Selena telah kehilangan banyak hal. Termasuk segala kemewahan yang diberikan sang ayah. Selena memulai semuanya dari bawah. Merintih usahanya dengan jerih payahnya sendiri. Meski ibu dan kakaknya selalu ingin membantu tapi Selena menolak. Wanita itu tinggal di London karena dia ingin membuktikan kalau dirinya mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Namun, ketika Selena telah berdamai dengan takdir; semesta kembali mempertemukannya dengan sosok iblis yang telah menghancurkan hidupnya. Sosok iblis yang membuangnya layaknya seonggok sampah. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Mampukah Selena terus-terusan bertemu dengan iblis itu?

“Keluarlah, Jenia. Biarkan aku memikirkan ini,” ucap Selena dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

“Baik, Nona.” Jenia segera menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Selena.

Selena menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan mata lelah. Pikiran Selena begitu kacau. Hatinya seolah tercabik. Apa yang Selena rasakan saat ini seperti luka bakar yang terkena siraman alkohol. Begitu perih tapi luka itu tidak akan pernah mampu melumpuhkannya.

“Mama…” Suara bocah laki-laki dengan wajah begitu tampan melangkah masuk ke dalam ruang kerja Selena. Refleks, Selena membuka matanya kala mendengar suara yang menyebutnya ‘Mama’

“Oliver?” Selena tampak terkejut melihat putra kecilnya berada di kantornya.

“Mama … I miss you, Mama. I miss you so much.” Bocah laki-laki itu langsung memeluk erat tubuh Selena. Luluh. Kemarahan Selena lenyap kala Oliver—putranya memeluk dirinya.

“Nona Selena … maafkan saya tapi Tuan Muda Oliver memaksa ingin ke sini,” ucap sang pengasuh seraya menundukan kepalanya pada Selena.

Selena mengangguk singkat. “Keluarlah, biarkan putraku di sini bersaama denganku.”

Sang pengasuh itu kembali menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Selena.

“Oliver, kenapa kau di sini, Nak? Mama kan kerja, Sayang.” Selena tersenyum begitu lembut. Dalam sekejap emosi Selena sirna melihat putra tampannya ada di depannya.

I’m here because I miss you, Mama. Aku tidak mau bermain. Aku hanya ingin memeluk Mama.” Oliver semakin mengeratkan pelukannya pada Selena.

Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar ucapan putra kecilnya. Ya, selama ini sumber kekuatan Selena adalah Oliver. Tidak ada yang lain. Putranya itu adalah hidupnya. Selena bisa sekuat sekarang semua serta merta bertahan demi Oliver.

“Maaf belakangan ini Mama sibuk, Sayang. Mama berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu untukmu,” ucap Selena pelan dan begitu lembut.

It’s okay, Mama. Aku mengerti Mama sibuk karena Mama ingin memberikanku yang terbaik. I love you, Mama.” Oliver menjawab dengan suara polosnya.

I love you more, Sayang.” Selena mengeratkan pelukan Oliver. Wanita itu memberikan kecupan bertubi-tubi di puncak kepala putra kecilnya itu.

Sejenak, Selena terdiam. Dalam benak Selena memikirkan kembali pertemuannya dengan Samuel—ayah biologis putra kesayaangannya. Apa jadinya kalau sampai Samuel mengetahui tentang Oliver? Tidak. Selena tidak akan pernah membiarkan itu terjadi.

‘Sampai kematian menjemputmu, kau tidak akan pernah tahu tentang Oliver, Samuel. Tidak akan pernah,’ batin Selena dengan sorot mata yang memendung kebencian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status