Share

Bab 3. When Love Becomes Hate

*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*

Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.

“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.

“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.

“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interior itu memiliki kemampuan yang bagus. Tujuanku meminta kalian mencari designer interior karena designer interior yang kemarin, kurang aku sukai.” Selena berkata dengan nada yang pelan namun tersirat tegas.

“Baik, Nona. Kami mengerti.” Manager pemasaran yang ada di ruang meeting itu menjawab patuh apa tang dikatakan oleh Selena.

“Nona Selena.” Jenia—asisten pribadi Selena menghampiri Selena dengan terburu-buru.

“Ada apa kau berlari seperti itu, Jenia?” Selena menatap asistennya yang berjalan terburu-buru menghampirinya. Raut wajah Selena sedikit bingung. Pasalnya Jenia terlihat panik.

“Nona … saya ingin memberitahu sesuatu pada Anda,” ucap Jenia cepat dan tersirat panik.

“Katakan, apa yang ingin kau katakan padaku?” Kening Selena mengerut. Tatapan matanya menatap lekat asistennya itu, menuntut agar segera menjelaskan padanya.

“Tanah yang Anda beli bulan lalu ada sedikit masalah. Tadi saya baru saja mendapatkan kabar ternyata tanah itu sudah dibeli oleh seorang pengacara yang berniat membuka cabang perusahaan pengacaranya di London. Tuan Mika Mads dan Tuan Ezra Mads adalah kakak beradik. Tuan Mika menjual tanah itu pada seorang pengacara sedangkan Tuan Ezra menjual tanah itu pada Anda. Lokasi strategis membuat pengacara itu membeli tanah yang Anda sudah beli dengan harga dua kali lipat, Nona,” tutur Jenia menjelaskan dengan nada yang cemas.

Seketika raut wajah Selena berubah kala mendengar apa yang diucapkan oleh Jenia. Sepasang iris mata birunya tampak begitu tajam memendung amarah. “Bagaimana bisa! Aku sudah membayar setengahnya! Tidak mungkin mereka bisa bertindak seperti itu! Meski ada yang menawarkan dengan harga dua kali lipat sekalipun tapi tanah itu sudah menjadi milikku!” serunya dengan nada tinggi.

Jenia menggaruk kepalanya tak gatal. Wanita itu masih menunduk tak berani menatap Selena. “Maaf, Nona. Tapi yang saya dengar pengacara itu membelinya ditanggal yang sama dengan Anda, Nona. Sekarang Tuan Mika dan Tuan Ezra sedang bertemu dengan pengacara itu. Mereka ingin Anda juga turut hadir, Nona. Masalah ini cukup rumit karena hubungan Tuan Mika dan Tuan Ezra tidak baik.”

‘Shit!’ Selena mengumpat dalam hati. Ya, Dalam waktu lima tahun, Selena berhasil membangun perusahaan property miliknya sendiri dengan hasil jerih payahnya. Tak hanya usaha property saja tetapi Selena pun memiliki usaha design interior. Dan tepatnya bulan lalu Selena baru saja membeli tanah dengan lokasi yang stragis untuk membangun perusahannya. Mengingat saat ini perusahaan Selena masih sewa. Namun, rencana Selena tak berjalan mulus. Ada saja masalah yang datang menghampiri hidupnya. Seperti saat ini.

“Berikan aku alamatnya. Aku akan bertemu dengan mereka!” tukas Selena menahan kesal.

“B-Baik, Nona. Saya akan segera mengirimkan alamatnya lewat pesan,” jawab Jenia cepat.

Tanpa berkata lagi, Selena berjalan cepat meninggalkan ruang meeting. Tampak raut wajah Selena menahan emosi yang terbendung dalam dirinya.

***

Selena membanting kasar pintu mobilnya. Wanita itu turun dari mobil—lalu melangkah memasuki lobby perusaahaan di mana dirinya akan bertemu dengan sang pemilik tanah sekaligus pengacara yang berani menawarkan harga tanah dua kali lipat darinya. Sepasang iris mata biru Selena terlihat tajam. Bahkan dikala ada yang menyapanya saja, dia mengabaikan itu semua. Bukan bermaksud untuk tidak ramah tapi Selena ingin segera menyelesaikan masalahnya.

“Nona Selena?” Ezra—salah satu pemilik tanah menyapa Selena dengan sopan kala Selena memasuki ruangan meeting.

“Aku tidak suka berbasa basi. Jelaskan kenapa ini bisa terjadi?” Selena melangkah memasuki ruangan meeting. Wanita itu duduk di ujung berhadapan dengan Mika dan Ezra.  

Mika mengembuskan napas panjang. “Nona Selena, saya minta maaf tapi memang tanah itu sudah saya jual pada salah satu kenalan saya. Uang pembayaran Anda akan saya transfer hari ini juga. Ini murni kesalahan adik saya yang tidak memberitahukan saya lebih dulu.”

“Mudah sekali Anda berbicara seperti itu? Aku sudah membayarnya satu bulan lalu. Pelunasan akan dilakukan besok. Tapi sekarang Anda dengan mudahnya mengatakan ini kesalahan adik Anda yang tidak bilang pada Anda? Aku rasa di sini Anda yang tidak bisa professional!” seru Selena dengan nada satu oktaf lebih tinggi.

“Nona, saya minta maaf. Pengacara itu telah membeli tanah kami pada hari yang sama dengan Anda, Nona,” ujar Ezra yang kali ini meminta maaf.

Selena menggeram penuh emosi. “Di mana pengacara itu! Sekarang tunjukan padaku!”

“Apa kau mencariku?” Seorang pria dengan balutan jas berwarna navy melangkah masuk ke dalam ruang meeting. Aura wajah dingin dan sepasang iris mata cokelatnya tampak tajam kala ada yang membicarakan tentangnya.

Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang baru masuk. Namun … tiba-tiba jantung Selena seakan ingin berhenti kala melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya. Wajah itu. Mata itu. Semua masih sama. Tak ada yang berubah. Seakan bumi berhenti pada porosnya, tubuh Selena nyaris terhuyung jatuh. Beruntung, Selena masih mampu berdiri tegak meski harus dengan bersusah payah.

“S-Samuel,” gumam Selena lirih.

Ya, di hadapan Selena adalah Samuel Maxton—pria yang bertahun-tahun dia hindari. Bagi Selena; Samuel adalah racun paling mematikan di dunia ini. Terlihat indah diluar namun jika berada didekatnya maka hanya kematian yang akan datang.

Samuel bergeming di tempatnya. Sepasang iris mata cokelat tajamnya menangkap iris mata biru Selena. Dalam diam, Samuel terkejut melihat Selena ada di hadapannya. Sudah lama sekali Samuel tidak melihat Selena. Wanita itu terlihat berbeda. Tubuhnya sedikit berisi dari lima tahun lalu. Tak menampik, Samuel menilai Selena bagaikan jelmaan iblis yang menggoda para kaum adam. Cantik, seksi, dan memesona.

“Jadi kau yang membeli tanah yang aku inginkan?” ujar Samuel bertanya dengan nada angkuh dan tersirat terkejut. Tak memungkiri dia tak menyangka bertemu Selena kembali.

Selena tediam sejenak. Jantungnya seketika berpacu dengan keras melihat sosok pria yang ada di hadapannya. Beberapa saat, Selena nyaris mengeluarkan air mata. Namun, dia tak membiarkan itu. Lima tahun telah mengajarkannya banyaknya. Berjuang dengan hati yang hancur membuat dirinya menjadi tangguh.

“Dan kau pengacara yang membeli tanah yang aku inginkan? Dengarkan aku, tanah itu adalah milikku. Kalau kau ingin memiliki tanah di London, kau bisa membeli di tempat lain, Tuan Maxton,” jawab Selena anggun dan tegas.

Samuel tersenyum penuh arti. “Well, aku sudah membeli dengan harga dua kali lipat, Nona. Kau kalah dariku. Lebih baik kau yang mencari tanah lain.”

“Tuan Samuel? Anda mengenal Nona Selena?” tanya Mika seraya menatap Samuel dengan serius dan bingung.

“Tidak. Aku tidak mengenalnya. Beberapa tahun lalu aku hanya pernah ingin menggunakan jasa pengacaranya.” Belum juga Samuel menjawab, Selena sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Mika. Nada bicara Selena tenang bagaikan aliran sungai yang menyejukan.

Samuel terdiam kala mendengar ucapan Selena. Rupanya wanita yang dia kenal dulu telah berubah. Lihat saja cara Selena menatapnya begitu dingin seolah tak mengenalnya sama sekali. Tatapan yang dulu tak pernah Selena berikan padanya. Namun, Samuel tetap bersikap tak peduli. Walau tak dipungkiri banyak ribuan pertanyaan muncul di benak Samuel. Terutama tentang kepergian Selena yang tiba-tiba.

“Alright, aku rasa tidak perlu ada yang dibahas. Sudah cukup jelas kalau tanah itu adalah milikku,” tegas Samuel penuh dengan penekanan.

“Tiga kali lipat. Aku akan membeli dengan harga Tiga kali lipat. Serahkan tanah itu padaku.” Selena berucap dengan lantang dan sontak membuat sang pemilik tanah terkejut.

Samuel menyeringai kala Selena menantangnya. Sebelah alis Samuel terangkat. “Great, penawaran yang bagus. Aku sudah terbiasa mengikuti acara lelang. Aku tawar dengan harga empat kali lipat. Apa kau masih berani menantangku, Nona Selena?”

“Lima kali lipat. Berikan tanah itu padaku. Aku akan membayar lima kali lipat,” jawab Selena dengan suara tenang. Sepasang iris mata birunya tak lepas menatap iris mata cokelat Samuel.

Samuel kembali tersenyum penuh arti. “Aku tutup dengan penawaran sepuluh kali lipat. Apa kau masih berani menentangku?”

Selena membeku kala Samuel berani mengajukan harga tanah sepuluh kali lipat. Uang jerih payahnya sendiri tidak mungkin sebanyak itu. Bahkan menantang lima kali lipat pun, Selena masih memikirkan cara untuk membayarnya.

Samuel mendekat pada Selena. Mengikis jarak di antara mereka. Pria itu menatap lekat-lekat raut wajah Selena yang tampak tersudut karena dirinya. Detik selanjutnya Samuel mendekatkan bibirnya ke telinga Selena dan berbisik,

“Pada akhirnya, aku akan mendapatkan apa yang aku mau. Aku rasa kau juga tahu itu kan, Selena?”  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status