*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*
Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.
“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.
“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.
“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interior itu memiliki kemampuan yang bagus. Tujuanku meminta kalian mencari designer interior karena designer interior yang kemarin, kurang aku sukai.” Selena berkata dengan nada yang pelan namun tersirat tegas.
“Baik, Nona. Kami mengerti.” Manager pemasaran yang ada di ruang meeting itu menjawab patuh apa tang dikatakan oleh Selena.
“Nona Selena.” Jenia—asisten pribadi Selena menghampiri Selena dengan terburu-buru.
“Ada apa kau berlari seperti itu, Jenia?” Selena menatap asistennya yang berjalan terburu-buru menghampirinya. Raut wajah Selena sedikit bingung. Pasalnya Jenia terlihat panik.
“Nona … saya ingin memberitahu sesuatu pada Anda,” ucap Jenia cepat dan tersirat panik.
“Katakan, apa yang ingin kau katakan padaku?” Kening Selena mengerut. Tatapan matanya menatap lekat asistennya itu, menuntut agar segera menjelaskan padanya.
“Tanah yang Anda beli bulan lalu ada sedikit masalah. Tadi saya baru saja mendapatkan kabar ternyata tanah itu sudah dibeli oleh seorang pengacara yang berniat membuka cabang perusahaan pengacaranya di London. Tuan Mika Mads dan Tuan Ezra Mads adalah kakak beradik. Tuan Mika menjual tanah itu pada seorang pengacara sedangkan Tuan Ezra menjual tanah itu pada Anda. Lokasi strategis membuat pengacara itu membeli tanah yang Anda sudah beli dengan harga dua kali lipat, Nona,” tutur Jenia menjelaskan dengan nada yang cemas.
Seketika raut wajah Selena berubah kala mendengar apa yang diucapkan oleh Jenia. Sepasang iris mata birunya tampak begitu tajam memendung amarah. “Bagaimana bisa! Aku sudah membayar setengahnya! Tidak mungkin mereka bisa bertindak seperti itu! Meski ada yang menawarkan dengan harga dua kali lipat sekalipun tapi tanah itu sudah menjadi milikku!” serunya dengan nada tinggi.
Jenia menggaruk kepalanya tak gatal. Wanita itu masih menunduk tak berani menatap Selena. “Maaf, Nona. Tapi yang saya dengar pengacara itu membelinya ditanggal yang sama dengan Anda, Nona. Sekarang Tuan Mika dan Tuan Ezra sedang bertemu dengan pengacara itu. Mereka ingin Anda juga turut hadir, Nona. Masalah ini cukup rumit karena hubungan Tuan Mika dan Tuan Ezra tidak baik.”
‘Shit!’ Selena mengumpat dalam hati. Ya, Dalam waktu lima tahun, Selena berhasil membangun perusahaan property miliknya sendiri dengan hasil jerih payahnya. Tak hanya usaha property saja tetapi Selena pun memiliki usaha design interior. Dan tepatnya bulan lalu Selena baru saja membeli tanah dengan lokasi yang stragis untuk membangun perusahannya. Mengingat saat ini perusahaan Selena masih sewa. Namun, rencana Selena tak berjalan mulus. Ada saja masalah yang datang menghampiri hidupnya. Seperti saat ini.
“Berikan aku alamatnya. Aku akan bertemu dengan mereka!” tukas Selena menahan kesal.
“B-Baik, Nona. Saya akan segera mengirimkan alamatnya lewat pesan,” jawab Jenia cepat.
Tanpa berkata lagi, Selena berjalan cepat meninggalkan ruang meeting. Tampak raut wajah Selena menahan emosi yang terbendung dalam dirinya.
***
Selena membanting kasar pintu mobilnya. Wanita itu turun dari mobil—lalu melangkah memasuki lobby perusaahaan di mana dirinya akan bertemu dengan sang pemilik tanah sekaligus pengacara yang berani menawarkan harga tanah dua kali lipat darinya. Sepasang iris mata biru Selena terlihat tajam. Bahkan dikala ada yang menyapanya saja, dia mengabaikan itu semua. Bukan bermaksud untuk tidak ramah tapi Selena ingin segera menyelesaikan masalahnya.
“Nona Selena?” Ezra—salah satu pemilik tanah menyapa Selena dengan sopan kala Selena memasuki ruangan meeting.
“Aku tidak suka berbasa basi. Jelaskan kenapa ini bisa terjadi?” Selena melangkah memasuki ruangan meeting. Wanita itu duduk di ujung berhadapan dengan Mika dan Ezra.
Mika mengembuskan napas panjang. “Nona Selena, saya minta maaf tapi memang tanah itu sudah saya jual pada salah satu kenalan saya. Uang pembayaran Anda akan saya transfer hari ini juga. Ini murni kesalahan adik saya yang tidak memberitahukan saya lebih dulu.”
“Mudah sekali Anda berbicara seperti itu? Aku sudah membayarnya satu bulan lalu. Pelunasan akan dilakukan besok. Tapi sekarang Anda dengan mudahnya mengatakan ini kesalahan adik Anda yang tidak bilang pada Anda? Aku rasa di sini Anda yang tidak bisa professional!” seru Selena dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
“Nona, saya minta maaf. Pengacara itu telah membeli tanah kami pada hari yang sama dengan Anda, Nona,” ujar Ezra yang kali ini meminta maaf.
Selena menggeram penuh emosi. “Di mana pengacara itu! Sekarang tunjukan padaku!”
“Apa kau mencariku?” Seorang pria dengan balutan jas berwarna navy melangkah masuk ke dalam ruang meeting. Aura wajah dingin dan sepasang iris mata cokelatnya tampak tajam kala ada yang membicarakan tentangnya.
Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang baru masuk. Namun … tiba-tiba jantung Selena seakan ingin berhenti kala melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya. Wajah itu. Mata itu. Semua masih sama. Tak ada yang berubah. Seakan bumi berhenti pada porosnya, tubuh Selena nyaris terhuyung jatuh. Beruntung, Selena masih mampu berdiri tegak meski harus dengan bersusah payah.
“S-Samuel,” gumam Selena lirih.
Ya, di hadapan Selena adalah Samuel Maxton—pria yang bertahun-tahun dia hindari. Bagi Selena; Samuel adalah racun paling mematikan di dunia ini. Terlihat indah diluar namun jika berada didekatnya maka hanya kematian yang akan datang.
Samuel bergeming di tempatnya. Sepasang iris mata cokelat tajamnya menangkap iris mata biru Selena. Dalam diam, Samuel terkejut melihat Selena ada di hadapannya. Sudah lama sekali Samuel tidak melihat Selena. Wanita itu terlihat berbeda. Tubuhnya sedikit berisi dari lima tahun lalu. Tak menampik, Samuel menilai Selena bagaikan jelmaan iblis yang menggoda para kaum adam. Cantik, seksi, dan memesona.
“Jadi kau yang membeli tanah yang aku inginkan?” ujar Samuel bertanya dengan nada angkuh dan tersirat terkejut. Tak memungkiri dia tak menyangka bertemu Selena kembali.
Selena tediam sejenak. Jantungnya seketika berpacu dengan keras melihat sosok pria yang ada di hadapannya. Beberapa saat, Selena nyaris mengeluarkan air mata. Namun, dia tak membiarkan itu. Lima tahun telah mengajarkannya banyaknya. Berjuang dengan hati yang hancur membuat dirinya menjadi tangguh.
“Dan kau pengacara yang membeli tanah yang aku inginkan? Dengarkan aku, tanah itu adalah milikku. Kalau kau ingin memiliki tanah di London, kau bisa membeli di tempat lain, Tuan Maxton,” jawab Selena anggun dan tegas.
Samuel tersenyum penuh arti. “Well, aku sudah membeli dengan harga dua kali lipat, Nona. Kau kalah dariku. Lebih baik kau yang mencari tanah lain.”
“Tuan Samuel? Anda mengenal Nona Selena?” tanya Mika seraya menatap Samuel dengan serius dan bingung.
“Tidak. Aku tidak mengenalnya. Beberapa tahun lalu aku hanya pernah ingin menggunakan jasa pengacaranya.” Belum juga Samuel menjawab, Selena sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Mika. Nada bicara Selena tenang bagaikan aliran sungai yang menyejukan.
Samuel terdiam kala mendengar ucapan Selena. Rupanya wanita yang dia kenal dulu telah berubah. Lihat saja cara Selena menatapnya begitu dingin seolah tak mengenalnya sama sekali. Tatapan yang dulu tak pernah Selena berikan padanya. Namun, Samuel tetap bersikap tak peduli. Walau tak dipungkiri banyak ribuan pertanyaan muncul di benak Samuel. Terutama tentang kepergian Selena yang tiba-tiba.
“Alright, aku rasa tidak perlu ada yang dibahas. Sudah cukup jelas kalau tanah itu adalah milikku,” tegas Samuel penuh dengan penekanan.
“Tiga kali lipat. Aku akan membeli dengan harga Tiga kali lipat. Serahkan tanah itu padaku.” Selena berucap dengan lantang dan sontak membuat sang pemilik tanah terkejut.
Samuel menyeringai kala Selena menantangnya. Sebelah alis Samuel terangkat. “Great, penawaran yang bagus. Aku sudah terbiasa mengikuti acara lelang. Aku tawar dengan harga empat kali lipat. Apa kau masih berani menantangku, Nona Selena?”
“Lima kali lipat. Berikan tanah itu padaku. Aku akan membayar lima kali lipat,” jawab Selena dengan suara tenang. Sepasang iris mata birunya tak lepas menatap iris mata cokelat Samuel.
Samuel kembali tersenyum penuh arti. “Aku tutup dengan penawaran sepuluh kali lipat. Apa kau masih berani menentangku?”
Selena membeku kala Samuel berani mengajukan harga tanah sepuluh kali lipat. Uang jerih payahnya sendiri tidak mungkin sebanyak itu. Bahkan menantang lima kali lipat pun, Selena masih memikirkan cara untuk membayarnya.
Samuel mendekat pada Selena. Mengikis jarak di antara mereka. Pria itu menatap lekat-lekat raut wajah Selena yang tampak tersudut karena dirinya. Detik selanjutnya Samuel mendekatkan bibirnya ke telinga Selena dan berbisik,
“Pada akhirnya, aku akan mendapatkan apa yang aku mau. Aku rasa kau juga tahu itu kan, Selena?”
Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarik
“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.“Sayang
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un
“Selena?” Jantung Samuel berdegup dengan kencang kala nama itu lolos di mulutnya. Tampak iris mata Samuel menunjukan jelas keterkejutannya. Pancaran mata menatap tak percaya sosok wanita yang ada di hadapannya. Beberapa kali Samuel meyakinkan kalau apa yang dia lihat itu salah. Tapi tidak. Samuel tidak mungkin salah. Manik mata biru seperti lautan itu begitu sangat Samuel kenali. Setiap gerak lekuk tubuhnya membuat Samuel yakin siapa sosok wanita di hadapannya itu. Selena melangkah mendekat pada Oliver. Namun … seketika tubuh Selena mematung menatap pria yang ada di samping Oliver. Seperti bumi yang berhenti pada porosnya. Tubuh Selena nyaris ambruk. Tenggorokan Selena tercekat. Darah yang mengalir di tubuhnya seolah tak lagi mengalir. Terlihat jelas wajah Selena memucat. Sesaat Samuel dan Selena saling melemparkan tatapan. Pancaran di manik mata keduanya jelas menunjukan rasa yang sama-sama terkejut. Mereka masih sama-sama diam. Tak mengeluarkan satu kata pun. Tatapan yang mengisy