Satu bulan kemudian…
Selena memuntahkan semua isi perutnya. Sudah tak lagi terhitung berapa kali wanita itu bolak-balik kamar mandi. Tampak wajah Selena terlihat pucat. Peluh membanjiri pelipisnya. Kepala Selena memberat. Beberapa kali tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Namun, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi demi menjaga keseimbangan tubuhnya.
Selena menatap nanar sebuah tespack dua garis. Sorot mata Selena terlihat melemah. Sudah lebih dari lima kali Selena melakukan test kehamilan, dan hasilnya tetap sama. Positif. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya.
Bulir air mata Selena mulai jatuh membasahi pipinya. Kejadian malam itu memang Samuel tak memakai pengaman. Akan tetapi Selena tidak pernah menyangka akan mengandung anak Samuel. Apa mungkin pria itu mau menerima anak ini? Atau malah Samuel memintanya menggugurkan kandungannya? Selena diambang kebingungan bercampur dengan kehancuran. Selena tak akan mungkin menggugurkan kandungan ini. Pun dia tak mungkin menyembunyikan kandungannya ini. Samuel berhak tahu tentang kandungannya.
“Aku harus menemui Samuel sekarang. Dia harus tahu tentang kehamilanku.”
Selena menyeka air matanya. Ya, Selena bertekad kuat untuk memberitahukan pada Samuel. Bagaimanapun Samuel adalah ayah dari bayi yang ada di kandungannya. Meski Selena tahu Samuel tidak pernah menginginkannya tapi darah yang mengalir di janinnya adalah darah Samuel.
Di perjalanan, Selena melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Wanita itu ingin segera tiba di kantor Samuel. Hingga saat mobil yang dilajukan Selena memasuki gedung pencakar langit yang ada di Manhattan; Selena segera turun dari mobil dan memasuki Maxton & Maxton Company. Perusahaan pengacara milik Samuel ini adalah perusahaan pengacara terbesar di Amerika.
Selena melangkahkan kakinya memasuki lobby perusahaan. Dia tampak sedikit canggung kala ada beberapa orang yang menatap dirinya. Ada ketakutan dalam hati Selena kalau ada yang mengenali dirinya. Namun, dikala Selena melangkah tiba-tiba tanpa sengaja Selena menabrak seorang wanita hingga membuat ponsel wanita itu terjatuh.
Brakkk
Raut wajah Selena berubah kala dia menabrak seorang wanita. Buru-buru Selena mengambil ponsel yang terjatuh di lantai itu, dan memberikan pada sang pemilik ponsel. “Nona, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Jika ponselmu mengalami kerusakan aku akan menggantinya,” ucapnya dengan nada yang merasa tidak enak bercampur cemas.
Wanita itu menatap kesal Selena. Dia mengambil ponsel yang diberikan Selena sambil berkata dingin, “Lain kali gunakan matamu dengan baik!”
Selena mengangguk, dan tersenyum. “Sekali lagi maafkan aku. Aku akan mengganti ponselmu jika memang mengalami kerusakan.”
“Tidak perlu. Aku tidak kekurangan uang,” ketus wanita itu. Lalu dia berjalan meninggalkan Selena begitu saja menuju lift. Tampak Selena mengembuskan napas panjang kala wanita yang dia tabrak tadi sudah pergi meninggalkannya. Padahal Selena berniat mengganti kerusakan ponsel wanita itu sebagai bentuk tanggung jawab. Dia tak berniat untuk merendahkan wanita itu. Namun, rupanya niat baiknya membuat wanita yang dia tabrak tadi tersinggung.
Saat Selena tiba di lantai di mana ruang kerja Samuel berada, dia mengendarkan pandangannya mencari sekretaris Samuel. Lantai itu begitu besar dan luas membuatnya sedikit kesulitan.
“Selamat pagi, Nona. Maaf Anda siapa?” tanya sang sekretaris dengan sopan pada Selena.
“Ah, pagi. Aku Selena. Aku ke sini ingin bertemu Samuel. Apa Samuel ada di kantor?” Selena bertanya dengan senyuman ramah di wajahnya.
“Nona, apa Anda sudah membuat janji pada Tuan Samuel?” Sang sekretaris kembali bertanya.
Selena terdiam beberapa saat. Raut wajahnya mulai berubah. Tentu saja dia tidak mungkin membuat janji. Karena jika dia menghubungi Samuel maka pria itu pasti akan mengabaikan telepon darinya.
“Belum, aku belum membuat janji. Tapi ada hal penting yang ingin aku katakan pada Samuel. Apa kau bisa membantuku untuk menyampaikan padanya kalau aku ingin menemuinya?” Selena berucap dengan suara pelan, dan lembut.
“Nona—” Perkataan sang sekretaris itu terpotong kala mendengar suara pintu ruang kerja terbuka. Refleks, dia menundukan kepalanya ketika melihat Samuel melangkah keluar. “Tuan,” sapanya sopan.
Tubuh Selena mematung melihat Samuel melangkah keluar dari ruang kerjanya bersama dengan seorang wanita yang tadi dia tabrak kala di lobby. Tatapan mata Selena mulai menunjukan kerapuhan melihat wanita itu memeluk possessive lengan Samuel dengan erat. Tanpa harus bertanya, Selena sudah menduga hubungan yang dimiliki wanita itu dengan Samuel.
“Kau? Kenapa kau di sini?” Iris—tunangan Samuel menatap dingin Selena yang ada di hadapannya.
Selena bergeming. Dia mengabaikan ucapan Iris. Selena menatap dalam manik mata cokelat gelap Samuel. Pun Samuel membalas tatapan Selena. Ya, beberapa detik mereka saling melemparkan tatapan yang menghanyutkan. Tatapan seakan tersirat penuh makna.
“Sayang? Kau mengenalnya? Dia siapa?” Iris bertanya dengan nada tak suka bercampur cemburu kala Samuel menatap sosok wanita yang menabraknya tadi di lobby.
“Bukan siapa-siapa, hanya orang asing,” jawab Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Bagai tersambar petir, tubuh Selena nyaris ambruk kala Samuel tidak mengakui mengenal dirinya. Mata Selena memanas. Air mata hendak jatuh dari pelupuk matanya. Namun, mati-matian Selena menahan air matanya agar tak tumpah. Pria itu telah menghancurkan hatinya sampai tak lagi tersisa.
“Apa yang dikatakan Tuan Samuel Maxton benar. Kita tidak saling mengenal. Tujuanku ke sini tadinya ingin memakai jasa pengacaranya. Tapi sepertinya aku mengurungkan niatku. Maaf sudah mengganggu kalian.”
Selena berbalik, dia langsung berjalan meninggalkan Samuel dan Iris yang masih bergeming di tempat mereka. Tepat dikala Selena membalikan tubuhnya, bulir air mata Selena menetes jatuh membasahi pipinya. Selena tak lagi bisa menahan air matanya. Namun, Selena pun tak membiarkan Samuel melihatnya menangis.
Samuel masih terdiam melihat Selena yang mulai menjauh darinya. Tampak Samuel seperti merasakan sesuatu. Tapi entah pria itu tak bisa menjabarkannya.
“Sayang, ayo kita pergi. Hari ini aku harus fitting gaun pengantinku.” Iris menarik lengan Samuel, mengajak calon suaminya itu untuk pergi. Refleks, Samuel membuyarkan lanunannya kala Iris menarik-narik legannya. Detik selanjutnya, Samuel tak berkata apa pun. Pria itu hanya membawa Iris pergi dari kantornya. Akan tetapi jauh dari dalam lubuk hati Samuel, dia merasa sedikit ada yang berbeda.
***
Selena melangkahkan kakinya gontai memasuki lobby apartemennya. Wajah wanita itu tampak pucat. Mata sembab. Terlihat jelas wajah cantik Selena sangat lemah. Pancaran manik mata biru Selena telah meredup. Kebahagiaan tak lagi ada di mata indah itu. Yang tersisa hanya sebuah keputusasaan.
Seketika bulir air mata Selena menetes jatuh membasahi pipinya. Setiap kali Selena mengingat tentang Samuel maka hatinya akan selalu hancur berkeping-keping. Ya, pria yang begitu dia cintai adalah pria yang memperilakukan dirinya layaknya boneka yang sudah tak lagi layak dipakai. Samuel membuangnya seperti sampah. Pria itu telah berhasil membuat menghancurkan dirinya hingga tak lagi tersisa.
Selena menyeka air matanya. Wanita itu meneguhkan hatinya bahwa dia mampu membesarkan anak yang ada di dalam kandungannya. Dia sama sekali tidak membutuhkan Samuel untuk membesarkan anak ini. Dengan atau tanpa ada Samuel di hidupnya Selena bisa menjalani kehidupan bersama dengan anak yang ada di kandungannya.
Saat Selena tiba di unit apartemennya, dia tampak terkejut karena pintu apartemennya terbuka. Wajah Selena sedikit panik. Dia segera masuk ke dalam apartemennya itu. Namun, tiba-tiba raut wajah Selena berubah mendapati ayahnya berdiri dengan memberikan tatapan tajam padanya. Lalu ibunya menatapnya dengan mata yang memerah seperti habis menangis.
“D-Dad? Mom? K-Kalian di sini? Kapan kalian datang?” Selena bertanya susah payah. Tenggorokannya seakan tercekat, dan sulit merangkat kata.
“Testpack milik siapa ini, Selena?” William—sang ayah berteriak begitu menggelegar seraya melempar lima buah testpack yang ada di tangannya tepat mengenai wajah Selena.
Wajah Selena memucat. Matanya menunjukan keterkejutan kala ayahnya menemukan testpack miliknya. “Dad, ini—”
“Jangan berani kau membohongiku, Selena!” bentak William begitu keras, dan kencang.
Air mata Selena tak mampu tertahan. Dia tahu sekeras apa pun membohongi ayahnya adalah sia-sia. Karena pada akhirnya kedua orang tuanya akan tahu tentang kehamilannya. “Dad…” Selena bersimpuh di kaki ayahnya dengan tangis yang mendera. “Maafkan aku, Dad. Maaf.”
Rahang Willian mengetat. Sepasang iris matanya menunjukan kemarahan yang tak bisa lagi tertahan. “Beraninya kau!” Willian menarik kasar tangan Selena. Dia hendak melayangkan tamparan pada putrinya itu, namun Marsha—istrinya langsung menahan lengan William.
“Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, William!” seru Marsha dengan air mata yang berlinang jatuh membasahi pipinya.
Selena menangis di depan kedua orang tuanya. Dia tahu dirinya telah melakukan kesalahan besar. “Dad … Mom … maafkan aku. Maaf.”
Marsha menatap lirih putrinya yang meminta maaf. Dia hendak mendekati putrinya, namun William menarik kasar lengan Marsha, membuat wanita paruh baya itu tak bisa mendekati putrinya.
“Jawab aku, Selena! Siapa ayah dari kandunganmu!” seru William meninggikan suaranya.
“A-Aku mabuk, Dad. Aku tidak mengenal pria itu. Aku mohon, Dad. Maafkan aku.” Selena berucap lirih. Dia tak mau menyebut nama Samuel di depan ayahnya. Selena telah memutuskan untuk melupakan nama itu selamanya.
Sepasang iris mata William semakin tajam. Amarahnya seakan ingin meledakan isi rumah. “Mabuk? Bagaimana bisa kau tidur dengan pria asing, hah? Sejak kapan kau menjadi wanita murahan, Selena!” gelegarnya keras.
Selena semakin terisak mendengar perkataan kasar ayahnya itu. Selena tak melawan sedikit pun. Dia tahu dirinya bersalah. “Maafkan ku, Dad. Sungguh, aku minta maaf.”
“Gugurkan bayi itu! Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi yang ada di kandunganmu!” seru William dengan tatapan yang kian menatap tajam putrinya.
Wajah Selena memucat. Air matanya tak henti berlinang. Dia menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak, Dad. Aku tidak mungkin membunuh kandunganku,” ucapnya dengan isak tangisnya. Tatapan Selena menatap sang ayah dengan tatapan penuh permohonan.
“Aku bilang gugurkan kandunganmu, Selena!” bentak William keras.
“William! Jangan seperti ini. Bayi yang ada di kandungan Selena tidak bersalah,” seru Marsha dengan air mata yang berlinang, menatap permohonan sang suami.
William meremas rambutnya dengan kasar. Wajahnya tampak begitu frustasi. Pria paruh baya itu mengepalkan tangan dengan kuat. Memejamkan matanya meredakan emosi yang terbendung dalam dirinya.
“Fine, jika kau ingin tetap mempertahankan kandunganmu maka kau harus menuruti perkataanku!” William menatap tajam Selena. Geraman kemarahan begitu terlihat.
“A-Apa, Dad? Apa yang harus aku lakukan?” tanya Selena lirih.
“Menikah dengan pria yang aku pilihkan untukmu,” tegas William penuh penekanan.
Air mata Selena mengalir semakin deras mendengar apa yang diminta oleh William. Wanita itu melangkah mundur. Dia menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak! Aku tidak mau menikah dengan siapa pun! Aku mampu membesarkan anak ini sendiri!”
William menatap Selena begitu tajam. Amarahnya semakin tersulut kala Selena menolak perintahnya. “Jika kau menolak, maka aku akan pastikan kau kehilangan segalanya. Harta yang aku dan ibumu berikan padamu akan hilang! Kau besarkan anak itu sendirian tanpa bantuan siapa pun!”
“Baik, Dad. Aku tidak akan menggunakan uangmu atau uang Mom sepeser pun. Aku akan meninggalkan semua harta pemberian dari kalian. Maafkan aku karena aku membuat kalian malu,” ucap Selena dengan senyuman rapuh. Dia langsung berlari meninggalkan kedua orang tuanya. Marsha hendak mengejar Selena, namun William menarik kasar tangan Marsha, menahan istrinya untuk tidak mengejar putri mereka.
*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interi
Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarik
“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.“Sayang
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
She’s so damn beautiful! Sepasang iris mata cokelat Samuel tak henti menatap keindahan yang ada di hadapannya. Gerak yang diberikan Selena membuat wanita itu memang diciptakan layaknya seorang penggoda. Tapi tunggu, dikala Samuel tengah menatap Selena tatapan Samuel teralih pada sosok pria yang ada di samping Selena. Seketika tatapan Samuel menjadi dingin kala melihat Selena bersama dengan pria lain. Tampak aura wajah Samuel persis seperti ingin membunuh. Selena tetap berdiri di tempatnya. Wanita itu menatap pasangan sempurna yang ada di hadapannya. Namun tak dipungkiri Selena seperti merasakan api yang membakar tubuhnya. Hanya saja api yang telah membakar itu telah mampu Selena padamkan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu Selena tahu bagaimana mengendalikan diri. “Tuan Samuel?” Dean menyapa kala melihat Samuel dan Iris semakin mendekat. Samuel tersenyum tipis kala Dean menyapanya. “Ya, Tuan Dean.” “Kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Iris menatap wajah Selena.
“Sayang … aku sudah meminta asistenku mengurus segala persiapan pernikahan kita. Aku ingin pernikahan kita adalah pernikahan termewah tahun ini, Sayang. Gaun pengantin dan perhiasan juga sudah aku pesan.” Suara Iris berseru merdu seraya menatap Samuel yang tengah melajukan mobilnya. Kini Iris dan Samuel tengah berada di perjalanan. Mereka baru saja kembali dari pesta. Tentu Samuel mengantar Iris ke penthouse. Selama di London, Iris memang tinggal di penthouse milik Samuel. Hanya saja Samuel tidak tanggal di sana. Samuel lebih memilih tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. Pasalnya Samuel terkadang bekerja hingga larut malam. Pun dia lebih suka menyendiri jika tengah fokus dalam pekerjaannya. Itu yang membuat Samuel memilih untuk tinggal di apartemennya yang tak terlalu besar. “Kau atur saja,” ucap Samuel datar. Tatapannya terus menatap ke hamparan jalanan yang luas. Pria itu tampak tak begitu menanggapi ucapan Iris. Pikirannya seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit un