Share

Bab 2. He Dumps Her Like a Piece of Garbage    

Satu bulan kemudian…

Selena memuntahkan semua isi perutnya. Sudah tak lagi terhitung berapa kali wanita itu bolak-balik kamar mandi. Tampak wajah Selena terlihat pucat. Peluh membanjiri pelipisnya. Kepala Selena memberat. Beberapa kali tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Namun, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi demi menjaga keseimbangan tubuhnya.

Selena menatap nanar sebuah tespack dua garis. Sorot mata Selena terlihat melemah. Sudah lebih dari lima kali Selena melakukan test kehamilan, dan hasilnya tetap sama. Positif. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya.

Bulir air mata Selena mulai jatuh membasahi pipinya. Kejadian malam itu memang Samuel tak memakai pengaman. Akan tetapi Selena tidak pernah menyangka akan mengandung anak Samuel. Apa mungkin pria itu mau menerima anak ini? Atau malah Samuel memintanya menggugurkan kandungannya? Selena diambang kebingungan bercampur dengan kehancuran. Selena tak akan mungkin menggugurkan kandungan ini. Pun dia tak mungkin menyembunyikan kandungannya ini. Samuel berhak tahu tentang kandungannya.

“Aku harus menemui Samuel sekarang. Dia harus tahu tentang kehamilanku.”

Selena menyeka air matanya. Ya, Selena bertekad kuat untuk memberitahukan pada Samuel. Bagaimanapun Samuel adalah ayah dari bayi yang ada di kandungannya. Meski Selena tahu Samuel tidak pernah menginginkannya tapi darah yang mengalir di janinnya adalah darah Samuel.

Di perjalanan, Selena melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Wanita itu ingin segera tiba di kantor Samuel. Hingga saat mobil yang dilajukan Selena memasuki gedung pencakar langit yang ada di Manhattan; Selena segera turun dari mobil dan memasuki Maxton & Maxton Company. Perusahaan pengacara milik Samuel ini adalah perusahaan pengacara terbesar di Amerika.

Selena melangkahkan kakinya memasuki lobby perusahaan. Dia tampak sedikit canggung kala ada beberapa orang yang menatap dirinya. Ada ketakutan dalam hati Selena kalau ada yang mengenali dirinya. Namun, dikala Selena melangkah tiba-tiba tanpa sengaja Selena menabrak seorang wanita hingga membuat ponsel wanita itu terjatuh.

Brakkk

Raut wajah Selena berubah kala dia menabrak seorang wanita. Buru-buru Selena mengambil ponsel yang terjatuh di lantai itu, dan memberikan pada sang pemilik ponsel.  “Nona, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Jika ponselmu mengalami kerusakan aku akan menggantinya,” ucapnya dengan nada yang merasa tidak enak bercampur cemas.

Wanita itu menatap kesal Selena. Dia mengambil ponsel yang diberikan Selena sambil berkata dingin, “Lain kali gunakan matamu dengan baik!”

Selena mengangguk, dan tersenyum. “Sekali lagi maafkan aku. Aku akan mengganti ponselmu jika memang mengalami kerusakan.”

“Tidak perlu. Aku tidak kekurangan uang,” ketus wanita itu. Lalu dia berjalan meninggalkan Selena begitu saja menuju lift. Tampak Selena mengembuskan napas panjang kala wanita yang dia tabrak tadi sudah pergi meninggalkannya. Padahal Selena berniat mengganti kerusakan ponsel wanita itu sebagai bentuk tanggung jawab. Dia tak berniat untuk merendahkan wanita itu. Namun, rupanya niat baiknya membuat wanita yang dia tabrak tadi tersinggung.

Saat Selena tiba di lantai di mana ruang kerja Samuel berada, dia mengendarkan pandangannya mencari sekretaris Samuel. Lantai itu begitu besar dan luas membuatnya sedikit kesulitan.

“Selamat pagi, Nona. Maaf Anda siapa?” tanya sang sekretaris dengan sopan pada Selena.

“Ah, pagi. Aku Selena. Aku ke sini ingin bertemu Samuel. Apa Samuel ada di kantor?” Selena bertanya dengan senyuman ramah di wajahnya.

“Nona, apa Anda sudah membuat janji pada Tuan Samuel?” Sang sekretaris kembali bertanya.

Selena terdiam beberapa saat. Raut wajahnya mulai berubah. Tentu saja dia tidak mungkin membuat janji. Karena jika dia menghubungi Samuel maka pria itu pasti akan mengabaikan telepon darinya.

“Belum, aku belum membuat janji. Tapi ada hal penting yang ingin aku katakan pada Samuel. Apa kau bisa membantuku untuk menyampaikan padanya kalau aku ingin menemuinya?” Selena berucap dengan suara pelan, dan lembut.

“Nona—” Perkataan sang sekretaris itu terpotong kala mendengar suara pintu ruang kerja terbuka. Refleks, dia menundukan kepalanya ketika melihat Samuel melangkah keluar. “Tuan,” sapanya sopan.

Tubuh Selena mematung melihat Samuel melangkah keluar dari ruang kerjanya bersama dengan seorang wanita yang tadi dia tabrak kala di lobby. Tatapan mata Selena mulai menunjukan kerapuhan melihat wanita itu memeluk possessive lengan Samuel dengan erat. Tanpa harus bertanya, Selena sudah menduga hubungan yang dimiliki wanita itu dengan Samuel.

“Kau? Kenapa kau di sini?” Iris—tunangan Samuel menatap dingin Selena yang ada di hadapannya.

Selena bergeming. Dia mengabaikan ucapan Iris. Selena menatap dalam manik mata cokelat gelap Samuel. Pun Samuel membalas tatapan Selena. Ya, beberapa detik mereka saling melemparkan tatapan yang menghanyutkan. Tatapan seakan tersirat penuh makna.

“Sayang? Kau mengenalnya? Dia siapa?” Iris bertanya dengan nada tak suka bercampur cemburu kala Samuel menatap sosok wanita yang menabraknya tadi di lobby.

“Bukan siapa-siapa, hanya orang asing,” jawab Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Bagai tersambar petir, tubuh Selena nyaris ambruk kala Samuel tidak mengakui mengenal dirinya. Mata Selena memanas. Air mata hendak jatuh dari pelupuk matanya. Namun, mati-matian Selena menahan air matanya agar tak tumpah. Pria itu telah menghancurkan hatinya sampai tak lagi tersisa.

“Apa yang dikatakan Tuan Samuel Maxton benar. Kita tidak saling mengenal. Tujuanku ke sini tadinya ingin memakai jasa pengacaranya. Tapi sepertinya aku mengurungkan niatku. Maaf sudah mengganggu kalian.”

Selena berbalik, dia langsung berjalan meninggalkan Samuel dan Iris yang masih bergeming di tempat mereka. Tepat dikala Selena membalikan tubuhnya, bulir air mata Selena menetes jatuh membasahi pipinya. Selena tak lagi bisa menahan air matanya. Namun, Selena pun tak membiarkan Samuel melihatnya menangis.

Samuel masih terdiam melihat Selena yang mulai menjauh darinya. Tampak Samuel seperti merasakan sesuatu. Tapi entah pria itu tak bisa menjabarkannya.

“Sayang, ayo kita pergi. Hari ini aku harus fitting gaun pengantinku.” Iris menarik lengan Samuel, mengajak calon suaminya itu untuk pergi. Refleks, Samuel membuyarkan lanunannya kala Iris menarik-narik legannya. Detik selanjutnya, Samuel tak berkata apa pun. Pria itu hanya membawa Iris pergi dari kantornya. Akan tetapi jauh dari dalam lubuk hati Samuel, dia merasa sedikit ada yang berbeda.

***

Selena melangkahkan kakinya gontai memasuki lobby apartemennya. Wajah wanita itu tampak pucat. Mata sembab. Terlihat jelas wajah cantik Selena sangat lemah. Pancaran manik mata biru Selena telah meredup. Kebahagiaan tak lagi ada di mata indah itu. Yang tersisa hanya sebuah keputusasaan.

Seketika bulir air mata Selena menetes jatuh membasahi pipinya. Setiap kali Selena mengingat tentang Samuel maka hatinya akan selalu hancur berkeping-keping. Ya, pria yang begitu dia cintai adalah pria yang memperilakukan dirinya layaknya boneka yang sudah tak lagi layak dipakai. Samuel membuangnya seperti sampah. Pria itu telah berhasil membuat menghancurkan dirinya hingga tak lagi tersisa.

Selena menyeka air matanya. Wanita itu meneguhkan hatinya bahwa dia mampu membesarkan anak yang ada di dalam kandungannya. Dia sama sekali tidak membutuhkan Samuel untuk membesarkan anak ini. Dengan atau tanpa ada Samuel di hidupnya Selena bisa menjalani kehidupan bersama dengan anak yang ada di kandungannya.

Saat Selena tiba di unit apartemennya, dia tampak terkejut karena pintu apartemennya terbuka. Wajah Selena sedikit panik. Dia segera masuk ke dalam apartemennya itu.  Namun, tiba-tiba raut wajah Selena berubah mendapati ayahnya berdiri dengan memberikan tatapan tajam padanya. Lalu ibunya menatapnya dengan mata yang memerah seperti habis menangis.

“D-Dad? Mom? K-Kalian di sini? Kapan kalian datang?” Selena bertanya susah payah. Tenggorokannya seakan tercekat, dan sulit merangkat kata.

“Testpack milik siapa ini, Selena?” William—sang ayah berteriak begitu menggelegar seraya melempar lima buah testpack yang ada di tangannya tepat mengenai wajah Selena.

Wajah Selena memucat. Matanya menunjukan keterkejutan kala ayahnya menemukan testpack miliknya. “Dad, ini—”

“Jangan berani kau membohongiku, Selena!” bentak William begitu keras, dan kencang.

Air mata Selena tak mampu tertahan. Dia tahu sekeras apa pun membohongi ayahnya adalah sia-sia. Karena pada akhirnya kedua orang tuanya akan tahu tentang kehamilannya. “Dad…” Selena bersimpuh di kaki ayahnya dengan tangis yang mendera. “Maafkan aku, Dad. Maaf.”

Rahang Willian mengetat. Sepasang iris matanya menunjukan kemarahan yang tak bisa lagi tertahan. “Beraninya kau!” Willian menarik kasar tangan Selena. Dia hendak melayangkan tamparan pada putrinya itu, namun Marsha—istrinya langsung menahan lengan William.

“Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, William!” seru Marsha dengan air mata yang berlinang jatuh membasahi pipinya.

Selena menangis di depan kedua orang tuanya. Dia tahu dirinya telah melakukan kesalahan besar. “Dad … Mom … maafkan aku. Maaf.”

Marsha menatap lirih putrinya yang meminta maaf. Dia hendak mendekati putrinya, namun William menarik kasar lengan Marsha, membuat wanita paruh baya itu tak bisa mendekati putrinya.

“Jawab aku, Selena! Siapa ayah dari kandunganmu!” seru William meninggikan suaranya.

“A-Aku mabuk, Dad. Aku tidak mengenal pria itu. Aku mohon, Dad. Maafkan aku.” Selena berucap lirih. Dia tak mau menyebut nama Samuel di depan ayahnya. Selena telah memutuskan untuk melupakan nama itu selamanya.

Sepasang iris mata William semakin tajam. Amarahnya seakan ingin meledakan isi rumah. “Mabuk? Bagaimana bisa kau tidur dengan pria asing, hah? Sejak kapan kau menjadi wanita murahan, Selena!” gelegarnya keras.

Selena semakin terisak mendengar perkataan kasar ayahnya itu. Selena tak melawan sedikit pun. Dia tahu dirinya bersalah. “Maafkan ku, Dad. Sungguh, aku minta maaf.”

“Gugurkan bayi itu! Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi yang ada di kandunganmu!” seru William dengan tatapan yang kian menatap tajam putrinya.

Wajah Selena memucat. Air matanya tak henti berlinang. Dia menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak, Dad. Aku tidak mungkin membunuh kandunganku,” ucapnya dengan isak tangisnya. Tatapan Selena menatap sang ayah dengan tatapan penuh permohonan.

“Aku bilang gugurkan kandunganmu, Selena!” bentak William keras.

“William! Jangan seperti ini. Bayi yang ada di kandungan Selena tidak bersalah,” seru Marsha dengan air mata yang berlinang, menatap permohonan sang suami.

William meremas rambutnya dengan kasar. Wajahnya tampak begitu frustasi. Pria paruh baya itu mengepalkan tangan dengan kuat. Memejamkan matanya meredakan emosi yang terbendung dalam dirinya.

“Fine, jika kau ingin tetap mempertahankan kandunganmu maka kau harus menuruti perkataanku!” William menatap tajam Selena. Geraman kemarahan begitu terlihat.

“A-Apa, Dad? Apa yang harus aku lakukan?” tanya Selena lirih.

“Menikah dengan pria yang aku pilihkan untukmu,” tegas William penuh penekanan.

Air mata Selena mengalir semakin deras mendengar apa yang diminta oleh William. Wanita itu melangkah mundur. Dia menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak! Aku tidak mau menikah dengan siapa pun! Aku mampu membesarkan anak ini sendiri!”

William menatap Selena begitu tajam. Amarahnya semakin tersulut kala Selena menolak perintahnya. “Jika kau menolak, maka aku akan pastikan kau kehilangan segalanya. Harta yang aku dan ibumu berikan padamu akan hilang! Kau besarkan anak itu sendirian tanpa bantuan siapa pun!”

“Baik, Dad. Aku tidak akan menggunakan uangmu atau uang Mom sepeser pun. Aku akan meninggalkan semua harta pemberian dari kalian.  Maafkan aku karena aku membuat kalian malu,” ucap Selena dengan senyuman rapuh. Dia langsung berlari meninggalkan kedua orang tuanya. Marsha hendak mengejar Selena, namun William menarik kasar tangan Marsha, menahan istrinya untuk tidak mengejar putri mereka.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status