Share

3. Dorong

Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.

Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.

“Misi, Bu. Bu,” panggilku.

Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …

Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.

“Bu … Bu.”

Aku menggedor pintu warung cukup keras, lalu terlihat wanita tua keluar dari sana. Wajahnya buram seperti kertas koran.

“Cari apa, Mas?” tanyanya pelan.

“Bensin, Ibu jualan bensin? Saya lihat ada tulisannya di sana?” tanyaku menunjuk papan bensin di depan warung dan sayangnya tulisan itu sudah nggak ada. Perasaan tadi ada.

“Bu, tadi a …”

Aku menengok kembali pada sang Ibu tadi yang ternyata adalah sosok miskun kun yang tadi mengejarku. Sontak aku pun melemparinya dengan keranjang isi jajan dan berlari membawa motorku dengan cepat. Sialan! Dikerjai mahluk tak berKTP lagi, aku mendengkus kesal.

Aku melihat mahkluk itu terus melambai lambai di atasku. Aku teringat nasihat ustad Husni bagaimana mengusir hantu. Baca doa, merem dan ambil batu. Bismillah, aku jongkok dan baca ayat kursi dan ayat ayat yang susah susah pokoknya. Aku berharap mereka tak menggangguku.

Cetek!

Suara batu yang jatuh membuatku membuka mata. Aku kira batu kerikil yang aku lemparkan mengenai miskunkun itu, tapi ternyata batu itu mengenai pintu gerbang kosan aku. Kok bisa? Perasaan tadi aku masih di jalan.

Aku parkiran motor kesayanganku di depan pintu. Aku melihat Hamzah yang sudah ada di depan pintu kamarnya. Sedang merokok dan menikmati makanan yang dibungkus plastik hitam. Enak sekali hidupnya.

“Duh, karyawan teladan udah sampai juga. Habis nge-gym, Bray?” ucapnya santai.

“Nge-gym gundulmu!”

“Lah itu berkeringat?”

“Ini gara gara peliharaan kekasih lo itu. Gue dikerjain!” sungutku. Aku meraih botol minuman yang ada di sisi Hamzah, saat aku teguk aku langsung memuntahkannya. Anyir. Saat aku lihat, darah.

“Kenapa?” tanyanya.

“Apa yang lo minum ini?” Aku melemparnya jauh.

“Air putih lah, apa lagi?” tanyanya terlihat bingung.

“Tahu ah!” Aku langsung berdiri dengan kesal munju ke kamar kosan aku yang ada di sisi kamar Hamzah. Aku yakin dia masih belum bisa melihat apa yang aku lihat juga. Aku langsung ke kamar mandi dan berkumur serta gosok gigi di sana.

‘Kamu tak akan bisa mencagahku…”

Bisikan seseorang terdengar kembali sangat lembut di telinga. Aku pun menengok, tapi tak melihat apa apa. Aku kembali berkumur dan saat hendak membuka keran, rambut panjang menjutai memenuhi ember.

“Astaghfirulloh,” ucapku.

“Kikikiki ….”

Aku tendang ember yang dijadikan creambat si kun kun. Selain doyan ganggu orang, mahluk yang satu itu ternyata doyan beredam air comberan juga. Sialnya, kedatangannya mengagetkaku.

Selepas mandi, aku duduk duduk di atas kasur. Menscrolling ponsel, sampai kepoin status WA teman kantor dan teman sekolah. Ada status Sarifah yang bikin aku gatal tak membalasnya.

‘Lagi enak enaknya makan mie rebus, kepikiran sama si teman laknat sialan. Mau enak malah jadi mual, huft.’

Status yang bikin aku terkekeh membacanya.

‘Duh enaknya, mie rebusnya jangan lupa dikasih penyedap. Biar belatungnya gak gerak gerak di usus,” balasku.

Langsung terlihat Sarifahnya mengetik dong.

‘Sialan, teman kamvret emang lo, pohon Randu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status