Kuseret tubuh Hamzah perlahan karena tentu berat jika harus membopongnya sendirian. Aku bawa dia ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di sana. Aku hendak menutup pintu niatnya, tapi sosok besar dan hitam hendak menerobos kamar Hamzah. Sepertinya makhluk itu tak menyerah ingin mengganggu Hamzah dan aku.
Aku pun membaca doa kembali, berharap makhluk menyeramkan itu sudah menghilang setelah aku beri ajian yang satu ini. Byuh! Aku menyiram dengan air yang tadinya aku gunakan untuk membuat Hamzah terbangun. Seketika hilang dan aku pun merasa lega. Aku langsung berlari menutup pintu, lalu mengambilkan baju untuk Hamzah. Malam ini aku menjaganya tanpa tidur, hingga subuh menjelang mata ini barulah datang ngantuknya. Bunyi gedoran pintu terdengar sangat keras sampai membangunkanku. Aku mengucek mataku dan melirik ke sisiku, kaget bukan kepalang. Di mana Hamzah? Sontak aku bangkit dan membuka pintu. “Lama banget sih?” sungut Syarifah ternyata si pembuat bunyi berisik pintu ini. “Ke pintu sebelah, lo nggak nyaut. Jadi gedor di pintu ini. Eh ternyata lo di sini. Mana Hamzah? Sudah pulang?’ “Nah ntu dia. Semalam pulang. Bahkan sampe pagi gue jagaian, tapi kok nggak ada,” laporku. Syarifah mengecek keningku. “Waras kan?” “Sialan! Serius, ada loh. Apa ntu anak sembunyi di kamar mandi ya?” Aku dan Syarifah kembali masuk. Tak ada di mana mana saat aku periksa. Lalu, yang semalam pulang siapa? Aku masih ingat betul kalau itu Hamzah. Wajahnya yang pucat, tangannya yang dingin dan tubuhnya yang tel4nja4ng bulat. Aku bahkan yang memakaikan baju untuknya. “Coba di telepon,” ucap Syarifah serius. Panggilan itu tak tersambung. Berulang kali bahkan sampai Syarifah pun mungkin kesal karena selalu tak terhubung. “Bisa?” “Enggak.” Aku berusaha berpikir jernih. “Bukannya dulu lo juga pernah ditutup mata batinnya sama Ustad Gabungan di dusun seberang?” tanyaku pada Syarifah. “Dia pasti bisa dong menetralkan ilmu sihir yang ada pada Hamzah dan bantu kita.” “Nggak tahu, sejak rukyah dan penutupan portal indra keenam ku, aku udah nggak mau lagi ketemu. Soalnya takut dipinang jadi istri,” jawab Syarifah merenges. “Coba ke sana aja kali ya? Minta penangkalnya. Siapa tahu, Hamzah bisa sadar dengan cepat.” “Jauh kan? Satu jam kita ke sana.” “Daripada Hamzah ngilang ngilang gini? Mending kalau ngilangnya karena sedang ditagih hutang, ini di bawa mahluk tak berkutang. Kan ngeri,” ucapku. Syariah mengangguk. Kami berdua beranjak dari kosan Hamzah dan hendak pergi ke dusun tempat kami dibesarkan. Satu jam perjalanan untuk sampai di sana karena memang pelosok dan jauh dari kota. Beruntung hari ini hari minggu. Aku bisa jalan jalan sekalian mencari penangkal sihir dari si Munaroh itu. Aku hanya cuci muka dan gosok gigi saja, tak ada waktu untuk mandi karena Syariah pun tak mau menungguku lama lama. Demi kekompakan dan keefektifan, aku pun manut. Mandi dengan cara cepat bebek berenang. Syarifah sudah ada di atas motor saat aku baru selesai ganti baju. Dia nampaknya sudah tak sabar pergi denganku. Aku mengunci pintu, lalu menaiki motor yang terparkir di halaman kontrakan. “Pegangan,” ucapku pada Syarifah. “Jangan ngebut ya? Gue masih pengin kawin dan punya anak,” ucapnya. “Siap, habis ini kita bikin,” jawabku membuat Syarifah mencubit perutku pelan. Perjalanan pagi ini terpantau ramai lancar. Tak ada poci atau miskun yang mengikuti karena mungkin mereka belum terbiasa memakai sunblock atau takut paparan sinar matahari. Aku dan Syariah mengendarai motor berdua layaknya suami istri, dia aku paksa pegangan dan aku merasa tertantang. Syahdunya. “Kira kira ustad Husni di rumah nggak ya?” tanya Syarifah. Kulirik dia lewat spion, dia terlihat sangat cemas. “Pasti di rumah, ustad biasanya nggak ambil jalir rantauan. Mereka terbiasa bekerja lewat jalur pasrah lillah biasanya.” “Hm, semoga ada jalan keluar. Sudah nggak tega banget. Seperti gue yang dulunya sering pingsan saat dikasih penampakan hantu, rasanya tuh kayak hidup segan matipun tak mau. Ya kan?” Aku mengangguk. Memang begitu adanya. Menjadi orang yang punya kelebihan tentu akan menjadi sebuah rasa tak nyaman saat dihadapkan pada mahluk mahluk yang seharusnya tak nampak dalam penglihatan. Kadang ingin kelebihan ini benar benar sirna agar hidup normal layaknya orang biasa. Namun, semua tak semudah yang dibayangkan. Syarifah saja yang sudah begitu banyak melakukan uji coba penutupan portal gaib masih bisa merasakan meski sudah tak bisa melihat keberadaan mereka. Kami sampai di Dusun Kali Bangun, Desa Mentasan. Desa di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Desa di mana aku pertama kali dikenalkan dengan indra keenam yang merisaukan. Suara belalang pohon dan rindangnya pohon Randu menjadi pertanda kami sudah sampai. Desaku ini memang penghasil kapuk yang cukup dikenal di berbagai tempat. Alasanku diberi nama Randu karena orang tuaku saat itu panen kapuk dan akhirnya mengambil nama itu sebagai namaku. Terdengar tak kreatif memang, tapi itulah orang tua jaman dulu. Tak mau pusing mencari nama yang susah untuk diingat dan dikenal banyak orang, tak seperti sekarang ini. Kami menghentikan motor tepat di depan surau, tempat di mana Ustadz Husni tinggal. Kami sengaja tak mampir ke rumah agar Ayah dan Ibu tak memaksa kami menginap. Niatnya, kami hanya akan sebentar ke sini. Setelah itu, kembali untuk melihat keadaan Hamzah. Aku dan Syarifah turun, lalu mengucapkan salam setelah melihat wanita tua yang merupakan Ibu dari Ustad Husni. Wanita teduh itu tersenyum saat kami datang. “Wah, tamu jauh ini. Sehat, Nak Randu, Nak Ifah?” tanya Bu Hannah. “Alhamdulillah, Umi sehat?” Kami berdua kompak menjawab. “Alhamdulillah. Ini datang berdua bareng bareng begini, ada apa? Umi lama loh nggak ketemu, makin gagah dan cantik saja kalian.” Kami berdua tersenyum. “Ustad Husninya ada, Umi?” tanyaku to the point. “Ada, tapi lagi di sawah. Bentar, Umi minta Manang panggilkan. Kalian masuk dulu, medang medang,” ucap Umi. Medang adalah bahasa jawa untuk aktivitas jamuan yang biasanya dilakukan para tamu. Kami berdua dibuatkan teh dan diberikan jamuan makanan tradisional dari ubi. “Tunggu ya, paling nanti langsung pulang. Kerjanya di sana lancar, Fah?” tanya Umi pada Syarifah. “Alhamdulillah, Umi.” Aku mendengarkan saja percakapan Umi dan Syariah. Aku malah fokus pada rumah yang dihuni Ustadz Husni ini. Semua hiasan di dinding hanya kali grafi, tapi aroma minyak kasturi sungguh sangat mendominasi. Aku melihat lubang yang ada di dinding rumah. Lubang hitam yang terlihat sangat aneh. Seperti lubang besar, tapi kok … Lekat … Lekat … Lekat …“Astagfirullah,” gumamku mundur. Ada mahluk comel mengintip kedatangan kami ternyata. Bocah kecil imut menggemaskan tetapi mata dan kakinya tak memiliki ukuran yang sama. Sebaik baiknya bentuk, manusialah yang sangat sempurna penciptaannya. Maka sebagai manusia, kita wajib bersyukur dengan kesempurnaan yang didapatkan.Aku pun duduk kembali dengan tenang, lalu kembali menyimak obrolan. Suara salam dari arah belakang membuat kami semua menengok dan ternyata Ustad Husni sudah kembali“Nah, ini Mas Husninya udah balik. Umi tinggal dulu ya ke belakang, kalian ngobrol lah dulu.”“Wah, Ifah pulang kampung. Sama Randu ternyata. Kalian sehat?” Ustad Husni menjawab tanganku dan mengatupkan tangan dengan Ifa.“Alhamdulillah, masih bisa napas sampe sini artinya sehat, Tad. Sibuk nyawah?” tanyaku.“Ya biasa lah, di desa memang ada pekerjaan kantoran? Yang ada di balai desa, Ustad malas karena banyak korupsinya kalau di desa.”Aku dan Syarifah hanya menanggapi dengan senyuman saja karena sudah jel
Kami pulang dari rumah Ustad Husni setelah mendapatkan banyak pencerahan. Ternyata belatung yang aku lihat memang kiriman dan guna guna yang digunakan seseorang untuk membuat temanku itu nyaman bersama si pemberi makanan. Dia akan ketagihan masakannya, akan merasa terpuaskan setelah makan bekal itu dan akhirnya bisa jadi tumbal yang entah apa tujuannya. Ilmu ilmu gaib yang mengerikan itu tentu adalah tipu daya setan di mana manusia melakukan perjanjian untuk bisa memperkaya hidupnya sendiri. Mendapatkan manfaat dan kemudahan instan tanpa mau berusaha.“Anter pulang atau anter ke KUA nih?” tanyaku pada Syarifah.“Anter lo ke kuburan!” sembur Syarifah. Aku terkekeh mendengarnya lalu kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengantar Syarifah terlebih dahulu sebelum kembali ke kontrakanku sendiri.“Jam 4 ke sini lagi, biar nggak kesorean ke rumahnya Tante Munaroh,” ucap Syarifah.“Nenek Munaroh, sebutan tante itu cocoknya kamu. Bukan dia yang nini nini,” kekehku."Aku belum setua
“Duh, air apa sih ini? Wajah gue panas, Ran.”Hamzah terlihat kelabakan. Ada asap yang keluar dari wajahnya, aku pun tersenyum dan ternyata doa ustad sainganku itu manjur juga. Aku pun berpura pura panik, lalu mengambil kipas yang cukup besar.“Coba dikipasin sambil bilang ‘Munaroh … Bang Hamzah datang, prepet prepet prepet,” kekehku.“Ck! Serius ini, panas banget," ucapnya.“Ssh … kau menggangguku!” Suara bisikan itu diiringi gemlotek batu dari kamar mandi. Aku pun bangkit, lalu menendang pintu kamar mandi cukup keras.“Hantu itu keluarnya malam, jangan siang siang begini. Gantian manusia kayak gue yang ganggu, bukan kalian yang nggak ada napasnya,” omelku.Suara itu berhenti, aku kembali dan melihat Hamzah yang ternyata pingsan lagi. Wajahnya memerah seperti melepuh, mungkin efek dari air itu. Namun, hanya aku yang melihat asap dari wajahnya. Jelas, aku bisa melihat semua yang terjadi pada tubuhnya.Sebelum sore menjelang, aku harus bisa membawa Hamzah pergi dari kosan ini. Dia baha
Aku lepas baju yang sudah ditempeli makhluk seperti ubur ubur itu. Aku buang dan aku tendang dengan kuat. Entah kemana hilangnya, jelas aku tak peduli. Kalau sudah begini, bukan tubuh Hamzah saja yang remuk tapi aku juga. Cakaran bahkan sabetan mahluk mahluk tadi berbekas meski mereka tak terlihat oleh mata. Maka tak jarang ada orang yang kaget saat baru bangn tidur terdapat jejak hitam di tubuhnya. Bisa jadi dia sedang dijamah, akan dijamah atau sudah dijamah oleh mahluk gaib. Emaku bilang, orang yang disukai lelembut akan sering ditinggali jejak di tubuhnya.“Tok tok tok!”Suara ketukan pintu terdengar dan Syarifah terdengar memanggil kami. Aku langsung bangkit dan meninggalkan Hamzah yang kini sudah tenang. Aku membuka pintu dan saat Syarifah melihatku, dia langsung menutup wajahnya.“Astaghfirullah,” ucapnya.“Kenapa? Setan apalagi yang datang?” tanyaku.“Itu, lo kenapa nggak pake baju sih? Geli liatnya!” ucapnya.Ah, aku kira ada mahluk halus yang menempel. Aku pun memasang waj
..Aku melihat deretan pedagang kaki lima yang sedang menjajakan makanannya. Semua terlihat ramai, kecuali satu pedagang yang sepi pembeli. Sama sama menjual makanan olahan, tapi kenapa tak ada yang membeli.Sudah biasa. Aku melihat ada banyak sekali keganjilan jika melihatnya. Yang sepi, kadang ditutupi jin dari lawan pedagang yang lain. Ada juga yang sengaja menariknya dengan ilmu gaib yang membuat kedai tak nampak. Di tempat yang ramai, aku mencoba menengok. Makhluk apa yang sebenarnya menunggu di sana.Saat ikut menerobos di antara kerumunan orang mengantri, ada sosok makhluk gaib berlidah panjang yang sedang menjilati sendok pada pembeli yang sedang makan di sana. Ada juga yang bertugas meludahi sayuran agar nikmat di perut pembelinya. Awalnya aku pikir karena makanan itu enak, makanya laris. Tapi saat melihat mahluk mahluk itu, aku pun urung membeli.Aku keluar lagi dari kedai. Berjalan menuju ke warung yang sepi tanpa pembeli. Penjualnya seorang nenek tua, dia tampak nelangsa
“Enak banget, beli di mana?” tanya Syarifah.“Depan.”“Ya tahu, emang di belakang ada bakul? Kosan semua pan. Maksudnya pedagang ya mana? Gue biasa beli nasi bakar nggak gini rasanya.”“Besok gue beliin lagi,” jawabku datar. Aku tetap memakan gorengan dan nasi bakarku, lalu melirik pada Hamzah yang sepertinya belum bernafsu makan.“Mas, dimakan sih. Di liatin nggak bikin kenyang loh,” ucap Syarifah.“Kayak nggak pengen makan, perut gue kembung. Gak enak banget,” ucap Hamzah.“Mau Ifah suapin?” tanya Syarifah menyodorkan sendok berisi nasi miliknya.Heleh! Modus.“Gak, Fah. Gue nggak pengin makan,” tolak Hamzah.“Setidaknya makan kalau masih mau hidup. Gue dan Syarifah udah bela belain nggak kencan bareng demi lo loh. Nih, pipi gue ampe merah dicakar cakar peliharaan lo, nih nih nih, apa nggak kasihan?” tunjukku pada luka luka memar yang masih ada di sana.“Ini gue yang lakuin?” tanya Hamzah kaget.“Memangnya siapa manusia laknat yang hobi nyiksa gue kalau bukan kalian berdua? Dimakan,
..“Gimana semalam?” tanya Syarifah saat aku baru memasuki ruang kerjaku."Yang nggak beda jauh lah sama orang yang lagi jatuh cinta, deg-degan," jawabku sambil melayangkan boxong yang sudah lelah ingin duduk di tempatnya."Nggak diganggu lagi sama penunggu kosannya Tante Munaroh?" Syarifah masih terlihat penasaran."Gak, yang ganggu cuman kembarannya elu doang.""Siapa?""Kunti," jawabku sambil terkekeh.Semalam Hamzah tidur sangat lelap sedangkan aku tidak bisa tidur karena menjaganya dari gangguan-gangguan makhluk halus yang berusaha untuk kembali merasuki tubuh Hamzah. Bahkan aku hanya tidur beberapa jam saja setelah dirasa aman dari gangguan mereka semua. Nasib jadi orang yang gak tegaan, beberapa kali Hamzah mengigau membuat aku tidak bisa meninggalkan dia tidur begitu saja."Hai, Ifah," sapa Hamzah yang kini sudah mulai menunjukkan raut wajah yang normal."Pagi, Mas. Kayaknya cerah banget pagi ini," balas Syarifah sambil tersenyum dengan manis. Padahal tadi sama aku dia biasa
“Nih minum.” Syarifah menyodorkan minuman untukku, aku pun menyingkirkannya. Aku gegas kembali ke kursiku, mengambil berkas yang diminta Bu Bos.”“Nggak mau minum ya udah, nggak usah masang wajah jelek gitu,” ucap Syarifah yang langsung kembali ke kursinya dengan wajah kesal.Sebenarnya yang sedang aku pikirkan adalah kerikil yang diambil oleh Bu Bos. Bukan aku yang sedang kesal dengan Syariah. Cuma ya, dia emang lagi nyebelin sih tapi gak aku terlalu Hiraukan. Hamzah masih dalam masa pemantauan, tapi gara gara aku nggak teliti akhirnya kena sita barang yang berguna sebagai penangkal mahluk gaib itu. Meski begitu, mendapatkan kerikil kecil di kantor kan tak akan mungkin. Aku pun harus mencari cara untuk bisa meminta kerikil itu kembali.Aku mengetuk pintu. Kudorong dan kupasang wajah seramah mungkin. “Ini berkas yang dibutuhkan, Bu,” ucapku pada Bu Bos yang sedang fokus dengan ponselnya.“Udah push upnya?”“Sudah, Bu.” Aku meletakkan berkas yang diberikan oleh Bu Bos di atas meja,