..Aku melihat deretan pedagang kaki lima yang sedang menjajakan makanannya. Semua terlihat ramai, kecuali satu pedagang yang sepi pembeli. Sama sama menjual makanan olahan, tapi kenapa tak ada yang membeli.Sudah biasa. Aku melihat ada banyak sekali keganjilan jika melihatnya. Yang sepi, kadang ditutupi jin dari lawan pedagang yang lain. Ada juga yang sengaja menariknya dengan ilmu gaib yang membuat kedai tak nampak. Di tempat yang ramai, aku mencoba menengok. Makhluk apa yang sebenarnya menunggu di sana.Saat ikut menerobos di antara kerumunan orang mengantri, ada sosok makhluk gaib berlidah panjang yang sedang menjilati sendok pada pembeli yang sedang makan di sana. Ada juga yang bertugas meludahi sayuran agar nikmat di perut pembelinya. Awalnya aku pikir karena makanan itu enak, makanya laris. Tapi saat melihat mahluk mahluk itu, aku pun urung membeli.Aku keluar lagi dari kedai. Berjalan menuju ke warung yang sepi tanpa pembeli. Penjualnya seorang nenek tua, dia tampak nelangsa
“Enak banget, beli di mana?” tanya Syarifah.“Depan.”“Ya tahu, emang di belakang ada bakul? Kosan semua pan. Maksudnya pedagang ya mana? Gue biasa beli nasi bakar nggak gini rasanya.”“Besok gue beliin lagi,” jawabku datar. Aku tetap memakan gorengan dan nasi bakarku, lalu melirik pada Hamzah yang sepertinya belum bernafsu makan.“Mas, dimakan sih. Di liatin nggak bikin kenyang loh,” ucap Syarifah.“Kayak nggak pengen makan, perut gue kembung. Gak enak banget,” ucap Hamzah.“Mau Ifah suapin?” tanya Syarifah menyodorkan sendok berisi nasi miliknya.Heleh! Modus.“Gak, Fah. Gue nggak pengin makan,” tolak Hamzah.“Setidaknya makan kalau masih mau hidup. Gue dan Syarifah udah bela belain nggak kencan bareng demi lo loh. Nih, pipi gue ampe merah dicakar cakar peliharaan lo, nih nih nih, apa nggak kasihan?” tunjukku pada luka luka memar yang masih ada di sana.“Ini gue yang lakuin?” tanya Hamzah kaget.“Memangnya siapa manusia laknat yang hobi nyiksa gue kalau bukan kalian berdua? Dimakan,
..“Gimana semalam?” tanya Syarifah saat aku baru memasuki ruang kerjaku."Yang nggak beda jauh lah sama orang yang lagi jatuh cinta, deg-degan," jawabku sambil melayangkan boxong yang sudah lelah ingin duduk di tempatnya."Nggak diganggu lagi sama penunggu kosannya Tante Munaroh?" Syarifah masih terlihat penasaran."Gak, yang ganggu cuman kembarannya elu doang.""Siapa?""Kunti," jawabku sambil terkekeh.Semalam Hamzah tidur sangat lelap sedangkan aku tidak bisa tidur karena menjaganya dari gangguan-gangguan makhluk halus yang berusaha untuk kembali merasuki tubuh Hamzah. Bahkan aku hanya tidur beberapa jam saja setelah dirasa aman dari gangguan mereka semua. Nasib jadi orang yang gak tegaan, beberapa kali Hamzah mengigau membuat aku tidak bisa meninggalkan dia tidur begitu saja."Hai, Ifah," sapa Hamzah yang kini sudah mulai menunjukkan raut wajah yang normal."Pagi, Mas. Kayaknya cerah banget pagi ini," balas Syarifah sambil tersenyum dengan manis. Padahal tadi sama aku dia biasa
“Nih minum.” Syarifah menyodorkan minuman untukku, aku pun menyingkirkannya. Aku gegas kembali ke kursiku, mengambil berkas yang diminta Bu Bos.”“Nggak mau minum ya udah, nggak usah masang wajah jelek gitu,” ucap Syarifah yang langsung kembali ke kursinya dengan wajah kesal.Sebenarnya yang sedang aku pikirkan adalah kerikil yang diambil oleh Bu Bos. Bukan aku yang sedang kesal dengan Syariah. Cuma ya, dia emang lagi nyebelin sih tapi gak aku terlalu Hiraukan. Hamzah masih dalam masa pemantauan, tapi gara gara aku nggak teliti akhirnya kena sita barang yang berguna sebagai penangkal mahluk gaib itu. Meski begitu, mendapatkan kerikil kecil di kantor kan tak akan mungkin. Aku pun harus mencari cara untuk bisa meminta kerikil itu kembali.Aku mengetuk pintu. Kudorong dan kupasang wajah seramah mungkin. “Ini berkas yang dibutuhkan, Bu,” ucapku pada Bu Bos yang sedang fokus dengan ponselnya.“Udah push upnya?”“Sudah, Bu.” Aku meletakkan berkas yang diberikan oleh Bu Bos di atas meja,
..Sesampainya di bandara, aku menghubungi anaknya si Bos yang nomornya sudah dikirimkan Bu Bos. Terdengar langsung diangkat dan suara dia yang berteriak membuatku langsung menjauhkan ponselku dari telinga.“Lama banget sih?” sungutnya.“Sabar, Non. Ini udah nyampe kok. Nona Lisa di mana?” tanyaku yang baru dikasih tahu sama Bu Bos nama anaknya. Ternyata cewek.“Di kursi tunggu tengah, baju merah,” ucapnya.“Oke, otewe ke sana. Saya yang pake kemeja biru laut dan muka ganteng ya.”“Nggak tanya! Buruan!”Telepon langsung dimatikan dan yang membuatku kaget karena ternyata anaknya Bu Bos sama galaknya dengan ibunya. Aku langsung masuk ke dalam bandara dan mencari tanda-tanda wanita berbaju merah. Aku celingukan di dalam ruang tunggu karena yang memakai baju merah sangat banyak. Aku mencoba kembali mencari dengan panggilan telepon dan terlihat wanita berambut pirang yang nampak sedang mengangkat telepon. Mungkin dia orang nya."Nona Lisa ya?" tanyaku."Randu?" Dia meyakinkan."Ya, Non. S
..“Bu, maaf mau tanya. Hamzah sama Syarifah sudah pulang ‘kah? Saya tadi lewat kosong bangkunya?” tanyaku memaksakan diri dengan rasa penasaran ini.“Oh iya, tadi Hamzah mendadak pingsan setelah sakit perut. Jadi Syarifah mau mengantarnya ke rumah sakit. Sudah diobati di ruang istirahat, tetap saja masih sakit katanya. Jadi, ya saya minta Syarifah temani Hamzah. Ada apa? Kamu mau menyusul mereka?” tanya Bu Bos.“Iya, Bu. Soalnya saya takut ada hal buruk pada teman saya itu. Kemarin juga habis sakit perut, takutnya itu … hm, gejala ayan.” Duh, cari alasan apa ya agar aku juga diperbolehkan untuk menyusul mereka. Perasaanku sungguh tak enak.“Ayan? Memang Hamzah punya penyakit ayan? Perasaan cuma sakit perut biasa. Katanya semalam sama kamu dibelikan seblak ‘kan?”Aku hanya merenges dan akhirnya punya alasan untuk pamit dari kantor.“Iyakah, Bu? Kalau begitu, saya yang harus tanggung jawab dong. Gara gara saya yang kasih seblak, Hamzah sakit perut. Saya mohon izin ya? Urgent, Bu.”“Mem
“Kenapa, Fah?” tanyaku.Bukannya menjawab, ternyata dia sudah kesurupan. Entah mahluk apa yang merasukinya, tapi aku tahu dia hendak menguasai jiwa Syarifah. Dia menyerangku secara membabi buta, memukul, mencakar bahkan mengajakku berkelahi seperti seorang musuh yang ingin membunuh. Matanya merah, suaranya jelas bukanlah suara Syarifah.“Matilah kau …”“Matilah kau …”Ternyata makhluk ini adalah makhluk yang selalu membisik di telingaku. Dia yang diperintahkan Munaroh untuk membunuhku. Tenaganya begitu kuat, bahkan aku sampai tak bisa berkutik saat badanku terkunci tubuh Syarifah yang dikuasai mahluk itu. Hendak melawan brutal, takutnya Syarifah terluka. Akhirnya aku hanya bisa mencoba membentengi diri dengan tidak melawan melainkan berusaha untuk menenangkan Syarifah. Sayangnya doa yang aku rapalkan biasanya tidak berfungsi sama sekali untuk kali ini.Ya Allah, aku hanya memohon pada-Mu. Singkirkan para mahluk yang menggangguku ini. Jika bukan Engkau yang membantuku, siapa lagi? Di l
“Ssh…”Syarifah menggeliat. Dia nampak sudah bergerak dan memegangi kepalanya. Hanya saja tak membuka mata. Sepanjang perjalanan dia tak bangun dan bersyukur tak ada yang mengganggu perjalanan kami sampai di pesantren. Mungkin setan dan demit takut dengan Ustad Husni atau mungkin insecure dengan kegantenganku yang hakiki.Kami mengantar mereka menuju ke pondok pesantren di mana biasanya Ustadz Husni mengajar. DI sana, mereka langsung di bawa ke ruangan khusus di mana biasanya akan diruqyah akbar. Para santri ikhlas membantu dan biasanya akan berlangsung 7 hari berturut turut. Setelah shalat Isya selesai, Semua santri yang berkenan ikut, berkumpul. Mereka diminta membacakan doa dan bacaan bacaan yang biasa diamalkan untuk ruqyah. Aku pun ikut membersamai karena ingin melihat bagaimana prosesi ruqyah akbar ini berlangsung.Awalnya, biasa saja. Namun, saat bacaan bacaan mulai dilantunkan aku melihat ada angin bertiup cukup kencang di sekitar kami. Para santri yang membacakan semua itu,
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber