“Ssh…”Syarifah menggeliat. Dia nampak sudah bergerak dan memegangi kepalanya. Hanya saja tak membuka mata. Sepanjang perjalanan dia tak bangun dan bersyukur tak ada yang mengganggu perjalanan kami sampai di pesantren. Mungkin setan dan demit takut dengan Ustad Husni atau mungkin insecure dengan kegantenganku yang hakiki.Kami mengantar mereka menuju ke pondok pesantren di mana biasanya Ustadz Husni mengajar. DI sana, mereka langsung di bawa ke ruangan khusus di mana biasanya akan diruqyah akbar. Para santri ikhlas membantu dan biasanya akan berlangsung 7 hari berturut turut. Setelah shalat Isya selesai, Semua santri yang berkenan ikut, berkumpul. Mereka diminta membacakan doa dan bacaan bacaan yang biasa diamalkan untuk ruqyah. Aku pun ikut membersamai karena ingin melihat bagaimana prosesi ruqyah akbar ini berlangsung.Awalnya, biasa saja. Namun, saat bacaan bacaan mulai dilantunkan aku melihat ada angin bertiup cukup kencang di sekitar kami. Para santri yang membacakan semua itu,
Niatnya aku akan pamit pada Syarifah tetapi ustazah yang menemaninya bilang bahwa Syarifah sudah istirahat di kamar. Aku pun memutuskan untuk pulang sendiri malam ini dengan segala keberanian setelah mendengarkan tentang saran dari ustaz Husni.Jalanan kali ini cukup lengang karena aku pulang di jam 21.00 lebih. Suasana malam yang mencekam mendadak membuat dadaku berdebar tidak karuan. Antara berani dan tidak berani aku pun mencoba untuk menerapkan apa yang disarankan ustadz Husni agar aku perbanyak dzikir dan berdoa serta tidak meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim.Sebelum berangkat aku wudhu terlebih dahulu sehingga saat banyak sekali makhluk gaib hendak menumpang di mobilku, mereka hanya singgah tanpa berlama-lama. Aku lagi saat murottal aku bunyikan di dalam mobil, jelas mereka tidak akan ada yang berani untuk mendekat apalagi menggangguku.Satu jam perjalanan dari desa menuju ke kota yang sangat panjang menurutku. Begitu sampai di kosan aku langsung membuka laptop dan
Aku mengetuk pintu sebelum masuk setelah itu membuka pintu perlahan dan melihat Bu Bos yang sedang duduk d i depan meja kerjanya. Aku melirik pada Nona Lisa yang sedang bermain ponsel di sofa sudut ruangan ini. Aku mengangguk sopan kepada Nona Lisa dan tersenyum semanis madu meskipun balasan dia Justru malah melengos dan membuang muka.Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Mungkin awalnya benci. Siapa tahu besoknya Jadi cinta. Ea…"Sudah dikerjakan semua?" Tanya Bu Bos."Sudah, Bu. Semalam saya begadang sampai jam 01.00 buat garap ini. Silakan dicek dulu dan kalau memang ada yang salah biar saya koreksi Sebelum saya pergi mengantar anak ibu yang sepertinya sudah nggak sabar pengen saya antar jalan-jalan," ucapku sambil tersenyum dan melempar lirikan kepada Nona Lisa yang tampak berdecih mendengarkan ucapan ku.Bu Bos seperti sedang memeriksa pekerjaanku dan aku pun harap-harap cemas karena semalam mengerjakannya dengan banyak sekali drama yang sudah terjadi. Dari suara-suara aneh hingga dima
Setelah selesai perawatan aku merasa wajah ini begitu segar. Tidak pernah aku merasakan wajah se enteng ini bahkan minyak-minyak yang biasanya hampir bisa dibuat untuk menggoreng telur kini sudah keset seperti lantai baru dipel. Aku bercermin dan melihat wajahku sendiri. Ternyata gantengku maksimal setelah masuk ke salon perawatan. Kayaknya kalau sering-sering begini sudah pasti Jimin atau Jungkook bakal insecure dan sungkeman sama aku karena kalah ganteng denganku. Dan yang pasti semua ciwi-ciwi akan klepek-klepek melihat wajah ini."Udah?" Suara Nona Lisa mengagetkanku yang sedang bercermin di ruang tunggu. Aku pun berbalik dan melihat dia yang juga sudah terlihat sangat cantik dan fresh. "Aduh mamae, Apakah saya sedang berada di surga?" Aku menepuk nepuk kedua pipiku berkali-kali untuk meyakinkan bahwa wanita yang ada di depanku ini adalah manusia bukan makhluk jadi-jadian. Aku disentil hidungnya oleh Nona Lisa, lalu ditarik dari ruang tunggu."Bikin malu!" Gumamnya. Aku merenge
“Hus! Pergi sana,” usirku pada sosok usil di belakangku. “Kamu ngusir aku?” omel Nona Lisa yang ternyata salah paham dengan maksudku.Aku pun merenges dan menggeleng. “Bukan Nona, tapi penghuni jok belakang. Tuh!” tunjukku dengan dagu yang ternyata sudah menghilang. Syukurlah makhluk itu tahu diri. "Emang stres kamu!" umpat Nona Lisa yang hanya aku tanggapi dengan senyuman.Aku pun kembali melajukan mobil, hendak menuju ke pantai yang ada di kota ini. Seperti janjiku pada Nona Lisa, melihat matahari tenggelam dengan pemandangan yang indah indah tentunya. Membayangkan saja, aku sudah merasa bahagia karena baru kali ini jalan berdua dengan cewek cantik. Meskipun dia berstatus anak bos, bagiku tak masalah. Yang penting layak digandeng. Selain itu, Nona Lisa juga seperti nggak keberatan aku ajak ke mana mana. Meski protes, sikapnya cukup menghormati aku yang hanya jadi jongosnya itu.Ponselku berdering berulang kali. Aku yang sedang menyetir pun tak bisa mengangkatnya karena ada di dal
Perjalanan kali ini benar-benar sangat menyenangkan karena Nona Lisa ternyata orang yang sangat asik dan menyenangkan. Di pantai kami hanya duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sambil menyeruput nikmatnya kelapa muda dicampur susu. Seumur-umur baru merasakan bagaimana nikmatnya plesiran ala-ala orang kaya."Kayaknya udah malam, pulang aja yuk!' ajak Nona Lisa saat matahari tenggelam sudah habis dari peraduan."Hayuk! Pulangnya ke mana nih?""Ya ke rumah aku lah, masa rumah kamu. Memang kamu punya rumah?" Ejeknya."Ya nanti kalau nona Lisa jadi istrinya saya, pasti saya punya rumah karena rumah Nona pasti jadi rumah saya. Ya nggak?""Dih, niat Mau numpang hidup? Nggak punya harga diri blast!" Dia jalan mendahuluiku sambil memakai topi dan juga kacamatanya. Padahal hari juga sudah lumayan gelap dan aku pun memutuskan untuk mengantar Nona Lisa kembali ke rumah. Hal yang paling aku syukuri pada perjalanan hari ini adalah aku yang bisa menikmati kemewahan ala-ala orang ka
..Bab 25"Untung suami saya sedang dinas malam kerjanya kalau nggak bisa jadi salah paham masnya numpang mandi di rumah saya," ucap si Ibu setelah aku selesai mandi dan berterima kasih atas kebaikannya."Sekali lagi saya minta maaf ya Bu karena saya juga tidak menyangka kalau keran di kamar mandi saya macet sendiri. Besok deh saya protes sama Bu kosnya, Semoga ibu bisa dikasih keringanan karena sudah bantu saya." Aku pun tersenyum dan memasang wajah lugu agar tidak kembali dimarahi oleh si Ibu."Lain kali mending ke WC umum saja di depan sana daripada ke sini, takutnya suami saya salah paham.""Siap Ibu, Semoga rumah tangganya selalu rukun, harmonis dan rezekinya dilipat gandakan sama Allah karena kebaikan ibu ini. Saya permisi assalamualaikum," pamitku.Meskipun terlihat galak tetapi ibu-ibu itu baik juga. Mungkin karena dia ketakutan dan khawatir jika sampai ada yang lihat aku masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan tidak memakai baju yang lengkap. Masyarakat zaman sekarang suka seka
"Pak, saya pun bingung kenapa saya dipecat, saya hanya menerima tawaran dari Nona Lisa. Dia sendiri yang meminta saya menemani jalan-jalan. Bapak bisa tanyakan langsung dengan Bu Bos, Bu Bos sendiri yang meminta saya untuk menuruti semua keinginan Nona Lisa," ucapku tak terima.Tentu saja Ini hal yang mengejutkanlah dan aku tidak terima dipecat begitu saja setelah bertahun-tahun mengabdikan diri di perusahaan ini. Mungkin Jika aku dipecat karena kesalahan fatal dan merugikan perusahaan aku terima tetapi aku dipecat gara-gara melakukan perintah dari anak Bu Bos dan Pak Bos sendiri. Kan aneh."Saya tidak perlu menjelaskan kenapa kamu harus dipecat dari sini dan intinya saya sudah tidak bisa lagi menerima karyawan yang tidak bisa fokus dengan pekerjaan dan malah tergiur dengan ajakan nggak penting seperti itu. Saya tahu, kamu pasti memanfaatkan anak saya untuk mau membiayai dan memfasilitasi kamu selama ikut dengannya kan. Buktinya, istri saya sampai membuatkan ATM khusus untuk kam
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber