..Sesampainya di bandara, aku menghubungi anaknya si Bos yang nomornya sudah dikirimkan Bu Bos. Terdengar langsung diangkat dan suara dia yang berteriak membuatku langsung menjauhkan ponselku dari telinga.“Lama banget sih?” sungutnya.“Sabar, Non. Ini udah nyampe kok. Nona Lisa di mana?” tanyaku yang baru dikasih tahu sama Bu Bos nama anaknya. Ternyata cewek.“Di kursi tunggu tengah, baju merah,” ucapnya.“Oke, otewe ke sana. Saya yang pake kemeja biru laut dan muka ganteng ya.”“Nggak tanya! Buruan!”Telepon langsung dimatikan dan yang membuatku kaget karena ternyata anaknya Bu Bos sama galaknya dengan ibunya. Aku langsung masuk ke dalam bandara dan mencari tanda-tanda wanita berbaju merah. Aku celingukan di dalam ruang tunggu karena yang memakai baju merah sangat banyak. Aku mencoba kembali mencari dengan panggilan telepon dan terlihat wanita berambut pirang yang nampak sedang mengangkat telepon. Mungkin dia orang nya."Nona Lisa ya?" tanyaku."Randu?" Dia meyakinkan."Ya, Non. S
..“Bu, maaf mau tanya. Hamzah sama Syarifah sudah pulang ‘kah? Saya tadi lewat kosong bangkunya?” tanyaku memaksakan diri dengan rasa penasaran ini.“Oh iya, tadi Hamzah mendadak pingsan setelah sakit perut. Jadi Syarifah mau mengantarnya ke rumah sakit. Sudah diobati di ruang istirahat, tetap saja masih sakit katanya. Jadi, ya saya minta Syarifah temani Hamzah. Ada apa? Kamu mau menyusul mereka?” tanya Bu Bos.“Iya, Bu. Soalnya saya takut ada hal buruk pada teman saya itu. Kemarin juga habis sakit perut, takutnya itu … hm, gejala ayan.” Duh, cari alasan apa ya agar aku juga diperbolehkan untuk menyusul mereka. Perasaanku sungguh tak enak.“Ayan? Memang Hamzah punya penyakit ayan? Perasaan cuma sakit perut biasa. Katanya semalam sama kamu dibelikan seblak ‘kan?”Aku hanya merenges dan akhirnya punya alasan untuk pamit dari kantor.“Iyakah, Bu? Kalau begitu, saya yang harus tanggung jawab dong. Gara gara saya yang kasih seblak, Hamzah sakit perut. Saya mohon izin ya? Urgent, Bu.”“Mem
“Kenapa, Fah?” tanyaku.Bukannya menjawab, ternyata dia sudah kesurupan. Entah mahluk apa yang merasukinya, tapi aku tahu dia hendak menguasai jiwa Syarifah. Dia menyerangku secara membabi buta, memukul, mencakar bahkan mengajakku berkelahi seperti seorang musuh yang ingin membunuh. Matanya merah, suaranya jelas bukanlah suara Syarifah.“Matilah kau …”“Matilah kau …”Ternyata makhluk ini adalah makhluk yang selalu membisik di telingaku. Dia yang diperintahkan Munaroh untuk membunuhku. Tenaganya begitu kuat, bahkan aku sampai tak bisa berkutik saat badanku terkunci tubuh Syarifah yang dikuasai mahluk itu. Hendak melawan brutal, takutnya Syarifah terluka. Akhirnya aku hanya bisa mencoba membentengi diri dengan tidak melawan melainkan berusaha untuk menenangkan Syarifah. Sayangnya doa yang aku rapalkan biasanya tidak berfungsi sama sekali untuk kali ini.Ya Allah, aku hanya memohon pada-Mu. Singkirkan para mahluk yang menggangguku ini. Jika bukan Engkau yang membantuku, siapa lagi? Di l
“Ssh…”Syarifah menggeliat. Dia nampak sudah bergerak dan memegangi kepalanya. Hanya saja tak membuka mata. Sepanjang perjalanan dia tak bangun dan bersyukur tak ada yang mengganggu perjalanan kami sampai di pesantren. Mungkin setan dan demit takut dengan Ustad Husni atau mungkin insecure dengan kegantenganku yang hakiki.Kami mengantar mereka menuju ke pondok pesantren di mana biasanya Ustadz Husni mengajar. DI sana, mereka langsung di bawa ke ruangan khusus di mana biasanya akan diruqyah akbar. Para santri ikhlas membantu dan biasanya akan berlangsung 7 hari berturut turut. Setelah shalat Isya selesai, Semua santri yang berkenan ikut, berkumpul. Mereka diminta membacakan doa dan bacaan bacaan yang biasa diamalkan untuk ruqyah. Aku pun ikut membersamai karena ingin melihat bagaimana prosesi ruqyah akbar ini berlangsung.Awalnya, biasa saja. Namun, saat bacaan bacaan mulai dilantunkan aku melihat ada angin bertiup cukup kencang di sekitar kami. Para santri yang membacakan semua itu,
Niatnya aku akan pamit pada Syarifah tetapi ustazah yang menemaninya bilang bahwa Syarifah sudah istirahat di kamar. Aku pun memutuskan untuk pulang sendiri malam ini dengan segala keberanian setelah mendengarkan tentang saran dari ustaz Husni.Jalanan kali ini cukup lengang karena aku pulang di jam 21.00 lebih. Suasana malam yang mencekam mendadak membuat dadaku berdebar tidak karuan. Antara berani dan tidak berani aku pun mencoba untuk menerapkan apa yang disarankan ustadz Husni agar aku perbanyak dzikir dan berdoa serta tidak meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim.Sebelum berangkat aku wudhu terlebih dahulu sehingga saat banyak sekali makhluk gaib hendak menumpang di mobilku, mereka hanya singgah tanpa berlama-lama. Aku lagi saat murottal aku bunyikan di dalam mobil, jelas mereka tidak akan ada yang berani untuk mendekat apalagi menggangguku.Satu jam perjalanan dari desa menuju ke kota yang sangat panjang menurutku. Begitu sampai di kosan aku langsung membuka laptop dan
Aku mengetuk pintu sebelum masuk setelah itu membuka pintu perlahan dan melihat Bu Bos yang sedang duduk d i depan meja kerjanya. Aku melirik pada Nona Lisa yang sedang bermain ponsel di sofa sudut ruangan ini. Aku mengangguk sopan kepada Nona Lisa dan tersenyum semanis madu meskipun balasan dia Justru malah melengos dan membuang muka.Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Mungkin awalnya benci. Siapa tahu besoknya Jadi cinta. Ea…"Sudah dikerjakan semua?" Tanya Bu Bos."Sudah, Bu. Semalam saya begadang sampai jam 01.00 buat garap ini. Silakan dicek dulu dan kalau memang ada yang salah biar saya koreksi Sebelum saya pergi mengantar anak ibu yang sepertinya sudah nggak sabar pengen saya antar jalan-jalan," ucapku sambil tersenyum dan melempar lirikan kepada Nona Lisa yang tampak berdecih mendengarkan ucapan ku.Bu Bos seperti sedang memeriksa pekerjaanku dan aku pun harap-harap cemas karena semalam mengerjakannya dengan banyak sekali drama yang sudah terjadi. Dari suara-suara aneh hingga dima
Setelah selesai perawatan aku merasa wajah ini begitu segar. Tidak pernah aku merasakan wajah se enteng ini bahkan minyak-minyak yang biasanya hampir bisa dibuat untuk menggoreng telur kini sudah keset seperti lantai baru dipel. Aku bercermin dan melihat wajahku sendiri. Ternyata gantengku maksimal setelah masuk ke salon perawatan. Kayaknya kalau sering-sering begini sudah pasti Jimin atau Jungkook bakal insecure dan sungkeman sama aku karena kalah ganteng denganku. Dan yang pasti semua ciwi-ciwi akan klepek-klepek melihat wajah ini."Udah?" Suara Nona Lisa mengagetkanku yang sedang bercermin di ruang tunggu. Aku pun berbalik dan melihat dia yang juga sudah terlihat sangat cantik dan fresh. "Aduh mamae, Apakah saya sedang berada di surga?" Aku menepuk nepuk kedua pipiku berkali-kali untuk meyakinkan bahwa wanita yang ada di depanku ini adalah manusia bukan makhluk jadi-jadian. Aku disentil hidungnya oleh Nona Lisa, lalu ditarik dari ruang tunggu."Bikin malu!" Gumamnya. Aku merenge
“Hus! Pergi sana,” usirku pada sosok usil di belakangku. “Kamu ngusir aku?” omel Nona Lisa yang ternyata salah paham dengan maksudku.Aku pun merenges dan menggeleng. “Bukan Nona, tapi penghuni jok belakang. Tuh!” tunjukku dengan dagu yang ternyata sudah menghilang. Syukurlah makhluk itu tahu diri. "Emang stres kamu!" umpat Nona Lisa yang hanya aku tanggapi dengan senyuman.Aku pun kembali melajukan mobil, hendak menuju ke pantai yang ada di kota ini. Seperti janjiku pada Nona Lisa, melihat matahari tenggelam dengan pemandangan yang indah indah tentunya. Membayangkan saja, aku sudah merasa bahagia karena baru kali ini jalan berdua dengan cewek cantik. Meskipun dia berstatus anak bos, bagiku tak masalah. Yang penting layak digandeng. Selain itu, Nona Lisa juga seperti nggak keberatan aku ajak ke mana mana. Meski protes, sikapnya cukup menghormati aku yang hanya jadi jongosnya itu.Ponselku berdering berulang kali. Aku yang sedang menyetir pun tak bisa mengangkatnya karena ada di dal