Benar-benar Miss kunkun nggak punya akhlak. Sudah diusir berulang kali masih saja ngeyel jadi bodyguard gratisanku. Napasku sampai ngos-ngosan karena berusaha berlari mendorong motorku yang dasarnya susah menyala. Aku sampai di kosan jam 20.30 malam. Kamar Hamzah yang ada di sebelahku juga masih gelap dan sepertinya Hamzah belum pulang.
Aku buka pintu kamarku perlahan dan masuk ke dalam kontrakan kecilku. Membayangkan kejadian demi kejadian yang aneh pada Hamzah membuatku benar-benar ingin mencari solusi untuk membebaskannya. Dibiarkan akan membuat dia semakin kasihan dan mungkin saja nasibnya tidak jauh dari Memet yang menjadi tumbal pesugihan. Meski ada perbedaan dengan kasus Memet dengan Hamzah, tapi aku rasa ini sama saja tindakkan perdukunan yang sangat riskan untuk dicari tahu. Aku merebahkan diri di atas kasur. Ditemani suara berisik dari para lembut yang biasanya wara wiri melewati kontrakanku. Bagi mereka keluar masuk ke tempat-tempat seperti ini sudah biasa dan bahkan kadang mereka bisa menjahili ku yang sedang tidur. Gimana, gimana, gimana. Terus saja otak ini berkata demikian. Saat mata hendak memejam suara kaki yang melangkah membuatku menyempitkan mata dan sedikit membukanya. Tidak ada siapa-siapa. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku. Namun, bisikan itu membuatku merasa kembali diperhatikan. 'jangan halangi aku.' Oh dia lagi. Aku menyibak selimut lalu melihat sosok Mis kun kun yang sudah ada di depanku. Aku menengok pada air yang ada di sampingku lalu menyiramnya dengan air setelah aku bacakan bismillah. Dia langsung menghilang setelah menertawakanku. Kunti nggak ada akhlak, batinku kesal. Hampir jam satu dini hari aku tidak pula memejamkan mata. Entah kenapa tidak mau tidur padahal sudah berusaha untuk berpikir mesum, menonton video, bahkan membayangkan Syarifah aku kawini. Tetap saja, mata ini mengajak untuk terus begadang semalam suntuk. Terdengar suara gesekan kaki kembali di sekitar sini beserta aroma Damen terbakar. Aku memutuskan untuk bangkit dan membuka pintu untuk melihat apakah itu suara Hamzah yang sudah pulang diantar lelembut atau hanya lelembutnya saja yang ingin mengajakku gelut. Mengingat ini sudah cukup malam dan bahkan sudah hampir pagi. "Ham," panggilku. Lampu sudah menyala, aku pun menggedor kamarnya cukup kuat. Tidak ada sahutan membuatku terus mengetuk pintu dengan cukup keras. Tak sabar, aku dobrak dan melihat Hamzah yang sedang tidur di atas lantai. "Hamzah …" Aku membawanya menuju ke atas ranjang. Tubuhnya sangat dingin. Bahkan, pucat pasi hampir seperti mayat. Aku mencari selimut agar bisa membuatnya hangat dan mencari minyak kayu putih untuk membaluri perutnya. Tak lupa, segelas air putih untuk menetralkan auranya yang mencekam. Setelah semua aku dapatkan aku bacakan doa terlebih dahulu pada air itu lalu mengusapkannya kepada wajah dan seluruh tubuh Hamzah. Ada suara tertawa dan menangis di luar sana yang terdengar cukup nyaring tetapi aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Kondisi Hamzah sedang tidak baik-baik saja. "Hamzah, nyebut zah. La … Ilaha illallah," bisikku di telinganya. Lampu mendadak mati dan aku menggenggam tangan Hamzah seraya terus membacakan ayat kursi dan doa yang pernah aku hafalkan untuk mengusir gangguan-gangguan makhluk halus. Hawa mendadak semakin dingin dan suara memekik semakin dekat di telinga. Tawa, tawa yang sungguh menggetarkan telinga. Aku semakin kuat untuk membaca doa dan terus berikhtiar agar Allah mengirimkan bantuannya untuk menyelamatkan kami. "Wa Bikalimatillahit-tammati lati la yujawizuhunna barrun wa fajrun, min syarri ma yanzilu minas-sama’i, wa min syarri ma ya’ruju fiha, wa min syarri ma dzara’a fil ardhi, wa min syarri ma yakhruju minha, wa min syarri fitanil laili wan nahari, wa min syarri thawariqil laili, wamin syarri kulli tharinin illa thariqan yathruqu bi khairin, ya rahman." Doa terakhir yang aku hafalkan setelah ayat kursi dan falaq binnas yang tentu saja belum terlihat gangguan itu pergi. Aku mencengkeram tangan Hamzah agar tubuhnya tidak dibawa pergi kembali. Aku benar-benar merasakan tanganku seperti tercakar-cakar bahkan leherku seperti dicekik tetapi aku terus saja membaca doa. Seraya membaca doa terus saja aku berbisik di telinga Hamzah, memohon perlindungan pada Tuhan memberikan keselamatan untuk sahabatku ini. Klik! Lampu menyala. Hamzah masih ada di depanku, meski celana sudah tak terpakai lagi. Ya, tubuhnya sudah membiru dengan pakaian yang sudah terlepas. Oh my God. Pemandangan yang menggelikan.Kuseret tubuh Hamzah perlahan karena tentu berat jika harus membopongnya sendirian. Aku bawa dia ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di sana. Aku hendak menutup pintu niatnya, tapi sosok besar dan hitam hendak menerobos kamar Hamzah. Sepertinya makhluk itu tak menyerah ingin mengganggu Hamzah dan aku.Aku pun membaca doa kembali, berharap makhluk menyeramkan itu sudah menghilang setelah aku beri ajian yang satu ini. Byuh!Aku menyiram dengan air yang tadinya aku gunakan untuk membuat Hamzah terbangun. Seketika hilang dan aku pun merasa lega. Aku langsung berlari menutup pintu, lalu mengambilkan baju untuk Hamzah. Malam ini aku menjaganya tanpa tidur, hingga subuh menjelang mata ini barulah datang ngantuknya.Bunyi gedoran pintu terdengar sangat keras sampai membangunkanku. Aku mengucek mataku dan melirik ke sisiku, kaget bukan kepalang. Di mana Hamzah? Sontak aku bangkit dan membuka pintu.“Lama banget sih?” sungut Syarifah ternyata si pembuat bunyi berisik pi
“Astagfirullah,” gumamku mundur. Ada mahluk comel mengintip kedatangan kami ternyata. Bocah kecil imut menggemaskan tetapi mata dan kakinya tak memiliki ukuran yang sama. Sebaik baiknya bentuk, manusialah yang sangat sempurna penciptaannya. Maka sebagai manusia, kita wajib bersyukur dengan kesempurnaan yang didapatkan.Aku pun duduk kembali dengan tenang, lalu kembali menyimak obrolan. Suara salam dari arah belakang membuat kami semua menengok dan ternyata Ustad Husni sudah kembali“Nah, ini Mas Husninya udah balik. Umi tinggal dulu ya ke belakang, kalian ngobrol lah dulu.”“Wah, Ifah pulang kampung. Sama Randu ternyata. Kalian sehat?” Ustad Husni menjawab tanganku dan mengatupkan tangan dengan Ifa.“Alhamdulillah, masih bisa napas sampe sini artinya sehat, Tad. Sibuk nyawah?” tanyaku.“Ya biasa lah, di desa memang ada pekerjaan kantoran? Yang ada di balai desa, Ustad malas karena banyak korupsinya kalau di desa.”Aku dan Syarifah hanya menanggapi dengan senyuman saja karena sudah jel
Kami pulang dari rumah Ustad Husni setelah mendapatkan banyak pencerahan. Ternyata belatung yang aku lihat memang kiriman dan guna guna yang digunakan seseorang untuk membuat temanku itu nyaman bersama si pemberi makanan. Dia akan ketagihan masakannya, akan merasa terpuaskan setelah makan bekal itu dan akhirnya bisa jadi tumbal yang entah apa tujuannya. Ilmu ilmu gaib yang mengerikan itu tentu adalah tipu daya setan di mana manusia melakukan perjanjian untuk bisa memperkaya hidupnya sendiri. Mendapatkan manfaat dan kemudahan instan tanpa mau berusaha.“Anter pulang atau anter ke KUA nih?” tanyaku pada Syarifah.“Anter lo ke kuburan!” sembur Syarifah. Aku terkekeh mendengarnya lalu kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengantar Syarifah terlebih dahulu sebelum kembali ke kontrakanku sendiri.“Jam 4 ke sini lagi, biar nggak kesorean ke rumahnya Tante Munaroh,” ucap Syarifah.“Nenek Munaroh, sebutan tante itu cocoknya kamu. Bukan dia yang nini nini,” kekehku."Aku belum setua
“Duh, air apa sih ini? Wajah gue panas, Ran.”Hamzah terlihat kelabakan. Ada asap yang keluar dari wajahnya, aku pun tersenyum dan ternyata doa ustad sainganku itu manjur juga. Aku pun berpura pura panik, lalu mengambil kipas yang cukup besar.“Coba dikipasin sambil bilang ‘Munaroh … Bang Hamzah datang, prepet prepet prepet,” kekehku.“Ck! Serius ini, panas banget," ucapnya.“Ssh … kau menggangguku!” Suara bisikan itu diiringi gemlotek batu dari kamar mandi. Aku pun bangkit, lalu menendang pintu kamar mandi cukup keras.“Hantu itu keluarnya malam, jangan siang siang begini. Gantian manusia kayak gue yang ganggu, bukan kalian yang nggak ada napasnya,” omelku.Suara itu berhenti, aku kembali dan melihat Hamzah yang ternyata pingsan lagi. Wajahnya memerah seperti melepuh, mungkin efek dari air itu. Namun, hanya aku yang melihat asap dari wajahnya. Jelas, aku bisa melihat semua yang terjadi pada tubuhnya.Sebelum sore menjelang, aku harus bisa membawa Hamzah pergi dari kosan ini. Dia baha
Aku lepas baju yang sudah ditempeli makhluk seperti ubur ubur itu. Aku buang dan aku tendang dengan kuat. Entah kemana hilangnya, jelas aku tak peduli. Kalau sudah begini, bukan tubuh Hamzah saja yang remuk tapi aku juga. Cakaran bahkan sabetan mahluk mahluk tadi berbekas meski mereka tak terlihat oleh mata. Maka tak jarang ada orang yang kaget saat baru bangn tidur terdapat jejak hitam di tubuhnya. Bisa jadi dia sedang dijamah, akan dijamah atau sudah dijamah oleh mahluk gaib. Emaku bilang, orang yang disukai lelembut akan sering ditinggali jejak di tubuhnya.“Tok tok tok!”Suara ketukan pintu terdengar dan Syarifah terdengar memanggil kami. Aku langsung bangkit dan meninggalkan Hamzah yang kini sudah tenang. Aku membuka pintu dan saat Syarifah melihatku, dia langsung menutup wajahnya.“Astaghfirullah,” ucapnya.“Kenapa? Setan apalagi yang datang?” tanyaku.“Itu, lo kenapa nggak pake baju sih? Geli liatnya!” ucapnya.Ah, aku kira ada mahluk halus yang menempel. Aku pun memasang waj
..Aku melihat deretan pedagang kaki lima yang sedang menjajakan makanannya. Semua terlihat ramai, kecuali satu pedagang yang sepi pembeli. Sama sama menjual makanan olahan, tapi kenapa tak ada yang membeli.Sudah biasa. Aku melihat ada banyak sekali keganjilan jika melihatnya. Yang sepi, kadang ditutupi jin dari lawan pedagang yang lain. Ada juga yang sengaja menariknya dengan ilmu gaib yang membuat kedai tak nampak. Di tempat yang ramai, aku mencoba menengok. Makhluk apa yang sebenarnya menunggu di sana.Saat ikut menerobos di antara kerumunan orang mengantri, ada sosok makhluk gaib berlidah panjang yang sedang menjilati sendok pada pembeli yang sedang makan di sana. Ada juga yang bertugas meludahi sayuran agar nikmat di perut pembelinya. Awalnya aku pikir karena makanan itu enak, makanya laris. Tapi saat melihat mahluk mahluk itu, aku pun urung membeli.Aku keluar lagi dari kedai. Berjalan menuju ke warung yang sepi tanpa pembeli. Penjualnya seorang nenek tua, dia tampak nelangsa
“Enak banget, beli di mana?” tanya Syarifah.“Depan.”“Ya tahu, emang di belakang ada bakul? Kosan semua pan. Maksudnya pedagang ya mana? Gue biasa beli nasi bakar nggak gini rasanya.”“Besok gue beliin lagi,” jawabku datar. Aku tetap memakan gorengan dan nasi bakarku, lalu melirik pada Hamzah yang sepertinya belum bernafsu makan.“Mas, dimakan sih. Di liatin nggak bikin kenyang loh,” ucap Syarifah.“Kayak nggak pengen makan, perut gue kembung. Gak enak banget,” ucap Hamzah.“Mau Ifah suapin?” tanya Syarifah menyodorkan sendok berisi nasi miliknya.Heleh! Modus.“Gak, Fah. Gue nggak pengin makan,” tolak Hamzah.“Setidaknya makan kalau masih mau hidup. Gue dan Syarifah udah bela belain nggak kencan bareng demi lo loh. Nih, pipi gue ampe merah dicakar cakar peliharaan lo, nih nih nih, apa nggak kasihan?” tunjukku pada luka luka memar yang masih ada di sana.“Ini gue yang lakuin?” tanya Hamzah kaget.“Memangnya siapa manusia laknat yang hobi nyiksa gue kalau bukan kalian berdua? Dimakan,
..“Gimana semalam?” tanya Syarifah saat aku baru memasuki ruang kerjaku."Yang nggak beda jauh lah sama orang yang lagi jatuh cinta, deg-degan," jawabku sambil melayangkan boxong yang sudah lelah ingin duduk di tempatnya."Nggak diganggu lagi sama penunggu kosannya Tante Munaroh?" Syarifah masih terlihat penasaran."Gak, yang ganggu cuman kembarannya elu doang.""Siapa?""Kunti," jawabku sambil terkekeh.Semalam Hamzah tidur sangat lelap sedangkan aku tidak bisa tidur karena menjaganya dari gangguan-gangguan makhluk halus yang berusaha untuk kembali merasuki tubuh Hamzah. Bahkan aku hanya tidur beberapa jam saja setelah dirasa aman dari gangguan mereka semua. Nasib jadi orang yang gak tegaan, beberapa kali Hamzah mengigau membuat aku tidak bisa meninggalkan dia tidur begitu saja."Hai, Ifah," sapa Hamzah yang kini sudah mulai menunjukkan raut wajah yang normal."Pagi, Mas. Kayaknya cerah banget pagi ini," balas Syarifah sambil tersenyum dengan manis. Padahal tadi sama aku dia biasa