Share

bab 5

“Kalau mau mati, nggak usah ngajak ngajak napa! Setan emang lo!” sungut Syarifah.

“Ya kan gue setia, apapun keadaannya lo selalu gue ajak.” Aku merenges saja. Syarifah nampak kesal, tapi rautnya mendadak bingung saat baru melihat area tempat kami turun.

“Eh, rumahnya yang mana?” tanya Sarifah. Baru kusadari ternyata kita sudah sampai di depan rumah Munaroh. Sepertinya sampai sekarang Bang Ocit belum datang. Soalnya rumahnya masih sepi kayak kuburan.

“Tuh,” tunjukku dengan dagu tanpa berani menunjuk dengan jari. Ada dua makhluk bermata besar yang mengawasi kedatangan kami. Jika sampai aku menunjukan jari, mereka akan menganggapnya ini ancaman dan mungkin akan membuat kami diburu sebelum mendekat ke rumah itu.

Rumah berlantai dua itu terlihat sangat mencekam dari auranya. Meskipun terkesan mewah karena berlantai dua, bagiku rumah ini cenderung angker jika dilihat dari indra ke-6 ku. Ada pohon asem di depan rumah itu dan banyak pohon pohon rindang yang menutupi sisi gerbang rumah Munaroh. Anehnya, kontrakan dia tak semenyeramkan rumahnya. Kontrakan yang aku tempati ini dikelola oleh Pak RT di mana Munaroh hanya akan datang untuk menagih pada Pak RT selaku pengelola. Selain di kontrakan yang aku tempati, Munaroh juga punya banyak kontrakan lain yang tersebar di beberapa desa.

“Serius ini rumahnya?” tanya Syarifah sambil mengusap tengkuknya.

“Iya, ini sih yang gue tahu. Pernah dikasih tahu sama Pak RT kalau rumahnya yang ujung ini.”

“Pulang aja yuk! Rumahnya kayak serem gini,” ajak Syariah.

“Tadi katanya mau masuk cari Hamzah. Gimana sih? Kalau si Hamzah itu kena gangguan mahluk halus, pasti seremnya tuh sampai sini,” tunjukku pada tengkuknya. “Kalau diganggu cewek culun dan resek kayak elu, baru deh. Nyampenya ke sini,” tunjukku ke arah dada.

Syarifah berdecak, lalu ikut turun bersamaku.

“Nggak jadi deh, Ran. Gue takut, lo pasti liat banyak penampakan kan?” Syarifah berubah pikiran.

“Oh, ya jelas. Mau gue absen?” kekehku.

“Jangan bercanda deh! Kita atur rencana lain. Kita pulang sekarang!” Syariah mengajakku kembali menaiki motor, memintaku menyalakan motor dengan cepat.

“Payah lo! Padahal tadi ada monyet kerdil yang kemarin jilatin celana dalam lo!” kekehku.

“Randu! Cepet jalan nggak?!” Aku digetok berkali kali oleh Syarifah dan akhirnya aku hanya bisa pasrah saat diajak kembali.

Makhluk seperti mereka tak akan mengganggu kalau kita tak mengganggu. Kecuali mereka mereka yang memang punya perjanjian dengan manusia untuk mengganggu seseorang yang memang ditujukan untuk diganggu. Seperti halnya aku yang beberapa kali didatangi Miss Kun kun yang hobi nongol tanpa diminta. Mungkin itu jelmaan Munaroh yang nggak bisa dapatin aku, lelaki gagah nan tampan tanpa obat yang hobinya main panco sama mahluk tak kasat mata.

“Berani nggak tidur sendiri?” tanyaku saat sudah sampai di kontrakan Syarifah.

“Berani lah, gue kan bukan elo yang bisa liat mahluk aneh aneh. Pulang sono! Besok kita bahas gimana bikin Hamzah bisa ceritakan semuanya,” ucap Syariah.

“Kalau udah makan belatungnya, mana sadar dia kalau udah di ena ena sama Munaroh. Lo besok bawakan bekalnya, kita tukar aja. Gimana?” tanyaku mencoba membantu Hamzah untuk tidak terlalu jauh dibuat tak sadar.

“Mana bisa? Gue nggak tahu apa bekal yang dia bawa.”

“Sama, ramen dengan kotak makan warna biru. Kita tukar dan kita buang ke pemakaman.”

“Kok pemakaman sih, Ran?” Syarifah pun memegangi tengkuknya.

“Di sana pusat energi astralnya, biar dikirim balik aja. Bisa?”

Syarifah terlihat nggak yakin. Namun, aku pun memeluknya spontan untuk menyemangatinya. Niatnya sih. Hanya saja, Syarifah mendorongku kuat hingga aku terjungkal ke belakang.

“Modus banget sih?” sungutnya.

“Hehehe, biar calon istri gue mau buatkan bekal dong. Sekalian, simulasi sebelum jadi istri babang tamvan ini,” selorohku.

“Tampan dari hongkong? Kalau tamvan nggak mungkin jomblo sampe jenggotan gitu,” ejeknya.

“Eits, jangan salah. Jenggot bukan sembarang jenggot. INi tuh bukti kalau gue setia hanya pada satu wanita saja. Makanya belum nikah sampai sekarang,” jawab aku penuh percaya diri.

“Siapa memangnya wanitanya?” Dia terlihat penasaran, padahal aku hanya bercanda saja.

“Kasih tahu nggak ya?” Aku pun mengusap daguku, menatap langit di mana ada sosok yang sedang menguping pembicaraan kami.

“Mau tahu nggak?” tanyaku.

Syarifah diam, tapi kemudian aku pun melirik lirikkan ke atas.

“Apa?” tanyanya.

Aku mendekat pada Syariah dan berbisik di telinganya. “Monyet kerdil ngikutin lo. Ati ati, celana dalam amankan,” bisikku membuat Syariah menendang kakiku dengan keras dan aku pun tertawa puas.

“Randu! Kampret lo ya?!” Aku berlari dengan riang gembira. Rasanya senang sekali mengerjainya. Aku pun naik kembali ke atas motor dan menyalakan mesin motornya. Hingga saat aku hendak mengegasnya, mendadak tak mau jalan padahal sudah sudah masuk gigi rodanya. Kugeber, tetap tak mau jalan hingga saat aku menengok, lagi lagi penampakan itu membuatku kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status