Share

4. Asap

Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.

“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.

“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.

“Asem!”

Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima.

Begitu aku masuk kantor, aku melihat Hamzah yang sudah ada di sana. Kali ini wajah dia seperti kekurangan tidur. Sayu dengan mata hitam di area kelopak. Dia tersenyum, lalu menyapaku dengan ramah seperti biasa.

“Habis begadang?” tanyaku.

“Ah, enggak. Semalam, habis ketemu elo di depan pintu gue langsung tidur.”

“Masa sih? Kok mata lo item?” tanyaku. Syarifah Pun ikut memperhatikan, tapi kemudian mengedikkan bahu. Dia pasti sudah tahu, Hamzah memang sedang dijadikan target mistis Munaroh.

“Besok nggak usah kerja kalau sakit, Mas,” ucap Syarifah menepuk bahu Hamzah.

“Makasih, Dek,” ucap Hamzah lembut.

Syarifah tersenyum dan berlalu menuju ke meja kerjanya. Hari ini, aku seperti kasihan dengannya. Semalam pasti Hamzah sudah melakukan sesuatu sampai matanya menghitam begitu.

Pekerjaan kami hari ini sangat padat. Bos berkunjung membuatku tak sempat mengajak berbincang Hamzah. Di jam makan siang pun, lelaki itu langsung pergi entah ke mana. Aku tak melihatnya. Ku putuskan jam pulang berembuk dengan Syarifah, bagaimana mengatasi hal seperti ini.

“Beneran di sirep kali ya? Masa Hamzah nggak tahu apa yang sudah dia lakukan semalam,” ucap Syarifah.

“Lo sudah tahu?” tanyaku.

“Gue sempat tanya tadi pas dia makan bekalnya di toilet kantor.”

“Toilet? Makan kok di toilet, aneh aneh saja,” ucapku.

“Dia bilang enak makan di sana, nggak ada yang ganggu. Bekal yang dibawa juga sama seperti yang kemarin, bedanya yang sekarang lebih sangat bau. Lo pas pulang dan sampai ke rumah jam berapa?”

“Habis magrib, gue disasarin ke dunia lain kayaknya. Jalannya ke mana, pulangnya ke mana. Tahu tahu di depan gerbang kosan. Mau bingung, tapi udah biasa begitu,” ucapku yang memang sering mengalami hal semacam ini.

“Apa ini nggak bahaya ya? Gue khawatir Hamzah semakin kacau. Auranya udah lain,” ucap Syarifah.

“Nanti kita ketemu Nenek Munaroh aja deh, gimana?”

“Nenek? Udah tua memangnya?”

“Belum banget, sekitar mendekati 60 an kayaknya. Soalnya kendor luar dalam,” jawabku.

“Memang dalamanya udah liat?” lirik Syarifah.

“Belum sih, tapi kalau dikasih liat gratis juga gue ogah. Mending sama elo daripada sama nenek nenek, mana enak. Ya nggak?” ucapku menaik turunkan alis padanya.

“Najis!” Syarifah menggetok kepalaku kembali. Aku hanya merenges dan mengusapnya pelan. “Jadi, kita ke sana?”

“Besok kan libur. Nanti malam kita ke sana. Pas tuh, silaturahmi sekaligus gue bayar kontrakan. Kan ada alasannya korek informasi,” ucapku.

“Memang udah gajian mau bayar kontrakan?” tanyanya.

“Belum, kan ajak elu. Elu bayarin kontrakan gue dulu, oke?”

“Dih, ngayal! Mana ada cewek bayarin kontrakan cowok. Harga diri lo di mana? Bisa bisanya,” ucap Syarifah menertawakanku.

“Perkara uang mah harga diri nomor sekian, yang penting tagihan aman. Gimana? Besok pas gajian gue ganti lah. Gajian kan tinggal seminggu lagi. Sayang kan kalau seminggu kita nggak gercep, bisa ambyar tuh si Hamzah.”

“Hm, awas aja kalau nggak dibalikin!” Syarifah mengacungkan jarinya di depanku.

“Siap! Makasih Ifah yang comel!” Aku memeluknya manja dan dia mendorongku kuat hingga terjungkal.

“Galaknya calon bini,” kekehku mengejarnya yang sudah dulu menuju parkiran.

*

Jam 7 aku menjemput Syarifah. Kontrakan Hamzah sudah sepi dan nyatanya sejak pulang aku tak bertemu dengannya. Hanya bertemu di kantor, itupun saat dia kerja. Selebihnya, kami tak bercakap seperti biasanya.

“Hamzah nggak di kamarnya?” tanya Syarifah.

“Nggak ada, nggak ketemu sejak pulang kerja tadi. Ke mana ya? Ponselnya nggak bisa dihubungi,” jawabku.

“Langsung ke rumahnya Munaroh aja?” tanyaku.

“Boleh, kan tujuannya mau ke sana.”

“Ah iya juga, kenapa gue bisa lupa. Gara gara elo sih,” ucapku memakai helm kembali.

“Kok gue?”

“Habisnya cantiknya kelewatan sampe bikin gue lupa diri,” gombalku asal.

Dia kembali menggeplak ku dan langsung membonceng di belakangku. Dia tersenyum dan aku memintanya berpegangan.

“Padahal deket loh dari sini ke rumahnya Mpok Munaroh,” ucapku.

“Kenapa minta pegangan!?” serunya melepas pegangan nya.

“Supaya lo tau, selain berpegang teguh pada agama kita juga harus berpegang teguh dengan janji sang calon masa depan. Ea…” kekehku.

“Gelo,” umpatnya.

Kembali melewati jalan biasa. Aku merasa aneh dengan suasananya. Hanya saja, saat melintasi gerbang kosan, aku seperti sedang memasuki daerah lain. Kabut asap kembali terlihat.

Aku mendengar Syarifah yang terus merapalkan doa. Dari spion aku melihat dia memejamkan mata. Mungkin takut atau modus biar aku melihatnya anak alim.

“Doa apa sih? Panjang banget nggak selesai selesai,” tanyaku.

“Diem!” ucapnya tegas dan memegang bajuku cukup kuat. Aku pun merasa motor ini berjalan dengan kecepatan tinggi, tapi kenapa justru terlihat pelan sekali. Aku mencoba menengok dari samping, kembali ada sosok gaib yang ternyata sedang mengerjai kami. Badanya penuh darah dan kukunya sangat tajam. Mata merah dan sedang menggerogoti ban belakang motor. Aku punya ide.

Aku berhenti, lalu mengerem dan menggerbernya dengan kuat.

“Ngeng ngeng nggeng nggeng nggeng …!”

Geberan membuat asap mengepul dan setelah itu, aku langsung tancap gas dengan kuat. Syarifah kaget dan hampir terjungkal jika tak berpegangan.

“Randu!!” teriaknya. Aku hanya tersenyum saja. Makhluk tadi sudah hilang seiring dengan asap buatan dari knalpot motor yang aku geberkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status