Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.
“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan. “Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku. “Asem!” Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu aku masuk kantor, aku melihat Hamzah yang sudah ada di sana. Kali ini wajah dia seperti kekurangan tidur. Sayu dengan mata hitam di area kelopak. Dia tersenyum, lalu menyapaku dengan ramah seperti biasa. “Habis begadang?” tanyaku. “Ah, enggak. Semalam, habis ketemu elo di depan pintu gue langsung tidur.” “Masa sih? Kok mata lo item?” tanyaku. Syarifah Pun ikut memperhatikan, tapi kemudian mengedikkan bahu. Dia pasti sudah tahu, Hamzah memang sedang dijadikan target mistis Munaroh. “Besok nggak usah kerja kalau sakit, Mas,” ucap Syarifah menepuk bahu Hamzah. “Makasih, Dek,” ucap Hamzah lembut. Syarifah tersenyum dan berlalu menuju ke meja kerjanya. Hari ini, aku seperti kasihan dengannya. Semalam pasti Hamzah sudah melakukan sesuatu sampai matanya menghitam begitu. Pekerjaan kami hari ini sangat padat. Bos berkunjung membuatku tak sempat mengajak berbincang Hamzah. Di jam makan siang pun, lelaki itu langsung pergi entah ke mana. Aku tak melihatnya. Ku putuskan jam pulang berembuk dengan Syarifah, bagaimana mengatasi hal seperti ini. “Beneran di sirep kali ya? Masa Hamzah nggak tahu apa yang sudah dia lakukan semalam,” ucap Syarifah. “Lo sudah tahu?” tanyaku. “Gue sempat tanya tadi pas dia makan bekalnya di toilet kantor.” “Toilet? Makan kok di toilet, aneh aneh saja,” ucapku. “Dia bilang enak makan di sana, nggak ada yang ganggu. Bekal yang dibawa juga sama seperti yang kemarin, bedanya yang sekarang lebih sangat bau. Lo pas pulang dan sampai ke rumah jam berapa?” “Habis magrib, gue disasarin ke dunia lain kayaknya. Jalannya ke mana, pulangnya ke mana. Tahu tahu di depan gerbang kosan. Mau bingung, tapi udah biasa begitu,” ucapku yang memang sering mengalami hal semacam ini. “Apa ini nggak bahaya ya? Gue khawatir Hamzah semakin kacau. Auranya udah lain,” ucap Syarifah. “Nanti kita ketemu Nenek Munaroh aja deh, gimana?” “Nenek? Udah tua memangnya?” “Belum banget, sekitar mendekati 60 an kayaknya. Soalnya kendor luar dalam,” jawabku. “Memang dalamanya udah liat?” lirik Syarifah. “Belum sih, tapi kalau dikasih liat gratis juga gue ogah. Mending sama elo daripada sama nenek nenek, mana enak. Ya nggak?” ucapku menaik turunkan alis padanya. “Najis!” Syarifah menggetok kepalaku kembali. Aku hanya merenges dan mengusapnya pelan. “Jadi, kita ke sana?” “Besok kan libur. Nanti malam kita ke sana. Pas tuh, silaturahmi sekaligus gue bayar kontrakan. Kan ada alasannya korek informasi,” ucapku. “Memang udah gajian mau bayar kontrakan?” tanyanya. “Belum, kan ajak elu. Elu bayarin kontrakan gue dulu, oke?” “Dih, ngayal! Mana ada cewek bayarin kontrakan cowok. Harga diri lo di mana? Bisa bisanya,” ucap Syarifah menertawakanku. “Perkara uang mah harga diri nomor sekian, yang penting tagihan aman. Gimana? Besok pas gajian gue ganti lah. Gajian kan tinggal seminggu lagi. Sayang kan kalau seminggu kita nggak gercep, bisa ambyar tuh si Hamzah.” “Hm, awas aja kalau nggak dibalikin!” Syarifah mengacungkan jarinya di depanku. “Siap! Makasih Ifah yang comel!” Aku memeluknya manja dan dia mendorongku kuat hingga terjungkal. “Galaknya calon bini,” kekehku mengejarnya yang sudah dulu menuju parkiran. * Jam 7 aku menjemput Syarifah. Kontrakan Hamzah sudah sepi dan nyatanya sejak pulang aku tak bertemu dengannya. Hanya bertemu di kantor, itupun saat dia kerja. Selebihnya, kami tak bercakap seperti biasanya. “Hamzah nggak di kamarnya?” tanya Syarifah. “Nggak ada, nggak ketemu sejak pulang kerja tadi. Ke mana ya? Ponselnya nggak bisa dihubungi,” jawabku. “Langsung ke rumahnya Munaroh aja?” tanyaku. “Boleh, kan tujuannya mau ke sana.” “Ah iya juga, kenapa gue bisa lupa. Gara gara elo sih,” ucapku memakai helm kembali. “Kok gue?” “Habisnya cantiknya kelewatan sampe bikin gue lupa diri,” gombalku asal. Dia kembali menggeplak ku dan langsung membonceng di belakangku. Dia tersenyum dan aku memintanya berpegangan. “Padahal deket loh dari sini ke rumahnya Mpok Munaroh,” ucapku. “Kenapa minta pegangan!?” serunya melepas pegangan nya. “Supaya lo tau, selain berpegang teguh pada agama kita juga harus berpegang teguh dengan janji sang calon masa depan. Ea…” kekehku. “Gelo,” umpatnya. Kembali melewati jalan biasa. Aku merasa aneh dengan suasananya. Hanya saja, saat melintasi gerbang kosan, aku seperti sedang memasuki daerah lain. Kabut asap kembali terlihat. Aku mendengar Syarifah yang terus merapalkan doa. Dari spion aku melihat dia memejamkan mata. Mungkin takut atau modus biar aku melihatnya anak alim. “Doa apa sih? Panjang banget nggak selesai selesai,” tanyaku. “Diem!” ucapnya tegas dan memegang bajuku cukup kuat. Aku pun merasa motor ini berjalan dengan kecepatan tinggi, tapi kenapa justru terlihat pelan sekali. Aku mencoba menengok dari samping, kembali ada sosok gaib yang ternyata sedang mengerjai kami. Badanya penuh darah dan kukunya sangat tajam. Mata merah dan sedang menggerogoti ban belakang motor. Aku punya ide. Aku berhenti, lalu mengerem dan menggerbernya dengan kuat. “Ngeng ngeng nggeng nggeng nggeng …!” Geberan membuat asap mengepul dan setelah itu, aku langsung tancap gas dengan kuat. Syarifah kaget dan hampir terjungkal jika tak berpegangan. “Randu!!” teriaknya. Aku hanya tersenyum saja. Makhluk tadi sudah hilang seiring dengan asap buatan dari knalpot motor yang aku geberkan.“Kalau mau mati, nggak usah ngajak ngajak napa! Setan emang lo!” sungut Syarifah.“Ya kan gue setia, apapun keadaannya lo selalu gue ajak.” Aku merenges saja. Syarifah nampak kesal, tapi rautnya mendadak bingung saat baru melihat area tempat kami turun.“Eh, rumahnya yang mana?” tanya Sarifah. Baru kusadari ternyata kita sudah sampai di depan rumah Munaroh. Sepertinya sampai sekarang Bang Ocit belum datang. Soalnya rumahnya masih sepi kayak kuburan.“Tuh,” tunjukku dengan dagu tanpa berani menunjuk dengan jari. Ada dua makhluk bermata besar yang mengawasi kedatangan kami. Jika sampai aku menunjukan jari, mereka akan menganggapnya ini ancaman dan mungkin akan membuat kami diburu sebelum mendekat ke rumah itu.Rumah berlantai dua itu terlihat sangat mencekam dari auranya. Meskipun terkesan mewah karena berlantai dua, bagiku rumah ini cenderung angker jika dilihat dari indra ke-6 ku. Ada pohon asem di depan rumah itu dan banyak pohon pohon rindang yang menutupi sisi gerbang rumah Munar
Benar-benar Miss kunkun nggak punya akhlak. Sudah diusir berulang kali masih saja ngeyel jadi bodyguard gratisanku. Napasku sampai ngos-ngosan karena berusaha berlari mendorong motorku yang dasarnya susah menyala. Aku sampai di kosan jam 20.30 malam. Kamar Hamzah yang ada di sebelahku juga masih gelap dan sepertinya Hamzah belum pulang.Aku buka pintu kamarku perlahan dan masuk ke dalam kontrakan kecilku. Membayangkan kejadian demi kejadian yang aneh pada Hamzah membuatku benar-benar ingin mencari solusi untuk membebaskannya. Dibiarkan akan membuat dia semakin kasihan dan mungkin saja nasibnya tidak jauh dari Memet yang menjadi tumbal pesugihan. Meski ada perbedaan dengan kasus Memet dengan Hamzah, tapi aku rasa ini sama saja tindakkan perdukunan yang sangat riskan untuk dicari tahu.Aku merebahkan diri di atas kasur. Ditemani suara berisik dari para lembut yang biasanya wara wiri melewati kontrakanku. Bagi mereka keluar masuk ke tempat-tempat seperti ini sudah biasa dan bahkan kadan
Kuseret tubuh Hamzah perlahan karena tentu berat jika harus membopongnya sendirian. Aku bawa dia ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di sana. Aku hendak menutup pintu niatnya, tapi sosok besar dan hitam hendak menerobos kamar Hamzah. Sepertinya makhluk itu tak menyerah ingin mengganggu Hamzah dan aku.Aku pun membaca doa kembali, berharap makhluk menyeramkan itu sudah menghilang setelah aku beri ajian yang satu ini. Byuh!Aku menyiram dengan air yang tadinya aku gunakan untuk membuat Hamzah terbangun. Seketika hilang dan aku pun merasa lega. Aku langsung berlari menutup pintu, lalu mengambilkan baju untuk Hamzah. Malam ini aku menjaganya tanpa tidur, hingga subuh menjelang mata ini barulah datang ngantuknya.Bunyi gedoran pintu terdengar sangat keras sampai membangunkanku. Aku mengucek mataku dan melirik ke sisiku, kaget bukan kepalang. Di mana Hamzah? Sontak aku bangkit dan membuka pintu.“Lama banget sih?” sungut Syarifah ternyata si pembuat bunyi berisik pi
“Astagfirullah,” gumamku mundur. Ada mahluk comel mengintip kedatangan kami ternyata. Bocah kecil imut menggemaskan tetapi mata dan kakinya tak memiliki ukuran yang sama. Sebaik baiknya bentuk, manusialah yang sangat sempurna penciptaannya. Maka sebagai manusia, kita wajib bersyukur dengan kesempurnaan yang didapatkan.Aku pun duduk kembali dengan tenang, lalu kembali menyimak obrolan. Suara salam dari arah belakang membuat kami semua menengok dan ternyata Ustad Husni sudah kembali“Nah, ini Mas Husninya udah balik. Umi tinggal dulu ya ke belakang, kalian ngobrol lah dulu.”“Wah, Ifah pulang kampung. Sama Randu ternyata. Kalian sehat?” Ustad Husni menjawab tanganku dan mengatupkan tangan dengan Ifa.“Alhamdulillah, masih bisa napas sampe sini artinya sehat, Tad. Sibuk nyawah?” tanyaku.“Ya biasa lah, di desa memang ada pekerjaan kantoran? Yang ada di balai desa, Ustad malas karena banyak korupsinya kalau di desa.”Aku dan Syarifah hanya menanggapi dengan senyuman saja karena sudah jel
Kami pulang dari rumah Ustad Husni setelah mendapatkan banyak pencerahan. Ternyata belatung yang aku lihat memang kiriman dan guna guna yang digunakan seseorang untuk membuat temanku itu nyaman bersama si pemberi makanan. Dia akan ketagihan masakannya, akan merasa terpuaskan setelah makan bekal itu dan akhirnya bisa jadi tumbal yang entah apa tujuannya. Ilmu ilmu gaib yang mengerikan itu tentu adalah tipu daya setan di mana manusia melakukan perjanjian untuk bisa memperkaya hidupnya sendiri. Mendapatkan manfaat dan kemudahan instan tanpa mau berusaha.“Anter pulang atau anter ke KUA nih?” tanyaku pada Syarifah.“Anter lo ke kuburan!” sembur Syarifah. Aku terkekeh mendengarnya lalu kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengantar Syarifah terlebih dahulu sebelum kembali ke kontrakanku sendiri.“Jam 4 ke sini lagi, biar nggak kesorean ke rumahnya Tante Munaroh,” ucap Syarifah.“Nenek Munaroh, sebutan tante itu cocoknya kamu. Bukan dia yang nini nini,” kekehku."Aku belum setua
“Duh, air apa sih ini? Wajah gue panas, Ran.”Hamzah terlihat kelabakan. Ada asap yang keluar dari wajahnya, aku pun tersenyum dan ternyata doa ustad sainganku itu manjur juga. Aku pun berpura pura panik, lalu mengambil kipas yang cukup besar.“Coba dikipasin sambil bilang ‘Munaroh … Bang Hamzah datang, prepet prepet prepet,” kekehku.“Ck! Serius ini, panas banget," ucapnya.“Ssh … kau menggangguku!” Suara bisikan itu diiringi gemlotek batu dari kamar mandi. Aku pun bangkit, lalu menendang pintu kamar mandi cukup keras.“Hantu itu keluarnya malam, jangan siang siang begini. Gantian manusia kayak gue yang ganggu, bukan kalian yang nggak ada napasnya,” omelku.Suara itu berhenti, aku kembali dan melihat Hamzah yang ternyata pingsan lagi. Wajahnya memerah seperti melepuh, mungkin efek dari air itu. Namun, hanya aku yang melihat asap dari wajahnya. Jelas, aku bisa melihat semua yang terjadi pada tubuhnya.Sebelum sore menjelang, aku harus bisa membawa Hamzah pergi dari kosan ini. Dia baha
Aku lepas baju yang sudah ditempeli makhluk seperti ubur ubur itu. Aku buang dan aku tendang dengan kuat. Entah kemana hilangnya, jelas aku tak peduli. Kalau sudah begini, bukan tubuh Hamzah saja yang remuk tapi aku juga. Cakaran bahkan sabetan mahluk mahluk tadi berbekas meski mereka tak terlihat oleh mata. Maka tak jarang ada orang yang kaget saat baru bangn tidur terdapat jejak hitam di tubuhnya. Bisa jadi dia sedang dijamah, akan dijamah atau sudah dijamah oleh mahluk gaib. Emaku bilang, orang yang disukai lelembut akan sering ditinggali jejak di tubuhnya.“Tok tok tok!”Suara ketukan pintu terdengar dan Syarifah terdengar memanggil kami. Aku langsung bangkit dan meninggalkan Hamzah yang kini sudah tenang. Aku membuka pintu dan saat Syarifah melihatku, dia langsung menutup wajahnya.“Astaghfirullah,” ucapnya.“Kenapa? Setan apalagi yang datang?” tanyaku.“Itu, lo kenapa nggak pake baju sih? Geli liatnya!” ucapnya.Ah, aku kira ada mahluk halus yang menempel. Aku pun memasang waj
..Aku melihat deretan pedagang kaki lima yang sedang menjajakan makanannya. Semua terlihat ramai, kecuali satu pedagang yang sepi pembeli. Sama sama menjual makanan olahan, tapi kenapa tak ada yang membeli.Sudah biasa. Aku melihat ada banyak sekali keganjilan jika melihatnya. Yang sepi, kadang ditutupi jin dari lawan pedagang yang lain. Ada juga yang sengaja menariknya dengan ilmu gaib yang membuat kedai tak nampak. Di tempat yang ramai, aku mencoba menengok. Makhluk apa yang sebenarnya menunggu di sana.Saat ikut menerobos di antara kerumunan orang mengantri, ada sosok makhluk gaib berlidah panjang yang sedang menjilati sendok pada pembeli yang sedang makan di sana. Ada juga yang bertugas meludahi sayuran agar nikmat di perut pembelinya. Awalnya aku pikir karena makanan itu enak, makanya laris. Tapi saat melihat mahluk mahluk itu, aku pun urung membeli.Aku keluar lagi dari kedai. Berjalan menuju ke warung yang sepi tanpa pembeli. Penjualnya seorang nenek tua, dia tampak nelangsa
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber