Dua hari sudah berlalu, sejak pesta saat itu Serra dan Gabrielle tinggal di mansion Alexander. Awalnya Reynard ingin tinggal di apartemen tapi karena kesibukannya ia putuskan untuk sementara istrinya tinggal di mansion."Mulai hari ini kau pergi ke toko sayang?" tanya Reynard pada Serra yang pagi ini sudah terlihat rapi. "He em, kau keberatan?" tanya Serra menghampiri Reynard yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dikecupnya berkali kali dada bidang setengah basah itu hingga terdengar geraman tertahan suaminya. Dia suka dengan bau sabun dari tubuh suaminya."Ckk, jangan menggodaku sayang atau kita akan berakhir di atas ranjang!"Serra tertawa mendengarnya, ancaman itu hampir setiap saat ia dengar. Karena kenyataannya pria arogan di depannya memang semesum itu."Aku sudah katakan jika akan mendukung semua keinginanmu. Asal hal itu tidak mengganggu kenyamanan jagoan kita di dalam sana," sahut Reynard berjongkok dengan dua tangan melingkar di pinggang istrinya. "Selamat pagi jagoan?
Seperti biasanya jika jam makan siang tiba maka toko rotinya akan sangat ramai. Tapi sesuai janjinya, Serra hanya duduk mengawasi toko dari balik dinding kaca satu arah ruangan kantornya. Kemudian perhatiannya teralih pada seorang pria muda yang merupakan dokter yang menangani kehamilannya. Andreas terlihat datang dan kemudian duduk di area depan toko, pria itu mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Mungkin saja ada tugas yang harus pria itu kerjakan."Nyonya Serra apakah anda menginginkan sesuatu untuk makan siang? Maaf jika saya menerobos masuk, tadi berkali kali saya ketika pintu tapi tak ada sahutan."Seorang pegawai ternyata masuk ke dalam kantor, mungkin karena terlalu memperhatikan suasana di luar ruang kantor menjadikan Serra sedikit tidak fokus."Ehh maaf aku tidak mendengarnya, aku bisa makan nanti setelah toko tidak begitu ramai. Pastikan bagian dapur bergantian tugas agar mereka tidak telat makan siang.""Kami sudah terapkan cara itu Nyonya, Kemarin Nona Naina pun mengata
"Sayang, sudah sore ayo kita pulang! Bagaimana dengan jagoan kita, apa dia rewel?"Serra menghela nafasnya ketika mendapat pertanyaan seperti itu, perutnya saja masih rata. Mana bisa ia merasakan pergerakan janinnya."Dia sangat tenang, aku rasa dia akan lebih seperti aku. Dia akan menjadi anak yang kalem dan tidak meledak ledak," ujar Serra menyindir suaminya. Bukannya tersinggung Reynard malah tersenyum dan memeluk erat tubuh istrinya.Pria itu tahu jika apa yang dia lakukan dulu masih membekas di hati istrinya. Serra sudah memaafkannya tapi tak mungkin bisa melupakan secepat ini."Bisakah aku minta bantuanmu?" tanya Serra teringat dengan kejadian siang tadi. Saat Naina bertemu dengan Dokter Andreas, siapa tahu suaminya mengetahui tentang hal ini."Bantuan? Hanya bantuan? Kau minta nyawa pun pasti akan aku kuberikan.""Ckk aku serius, ini tentang Naina. Siang tadi aku melihat dia bertemu dengan Dokter Andreas. Yang aku tahu Naina sangat tidak menyukai Andreas karena tahu jika pria
Bryan berdiri terpaku di pintu apartemennya ketika pulang dari kantor ia sudah melihat Naina duduk di sofa ruang tamunya. Gadis itu bahkan tidak. Besok adalah hari pendaftaran pernikahan mereka, dan lusa adalah hari perpisahan mereka. Hari dimana Naina akan melanjutkan pendidikannya."Kenapa kau tidak mengabari jika akan datang kesini? Kau ingin memberiku kejutan?" Bryan segera menghampiri gadisnya, dan seperti biasanya pria itu akan mengecup cukup lama kening Naina. Kemudian membimbing tubuh gadis itu kembali duduk di sofa, duduk di pangkuannya."Ada apa? Tak biasanya kau datang tiba tiba dan diam begini. Ada sesuatu yang menggangu pikiranmu? Ini sesuatu tentang asrama?" Naina tersenyum dan menggelengkan kepalanya, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak pria yang merengkuhnya erat. Bibir Bryan bahkan sudah mengecupi lengannya. Satu lengguhan lolos dari bibirnya, sungguh ia sangat merindukan calon suaminya.Entah siapa yang memulai, tapi tiba tiba saja bibir mereka sudah bertaut
"Aku bertanya sekali lagi padamu Naina Wilson! Kenapa kau batalkan rencana kita hah? Kita berjuang untuk sampai di titik ini, aku rela jika harus mengorbankan waktu tiga tahun agar kau bisa mencapai cita citamu? Apa itu kurang bagimu? Jika itu kurang maka katakan...katakan apa yang harus aku lakukan sekarang!" pekik Bryan membuat Naina ketakutan.Bryan marah karena merasa gadisnya sudah mempermainkan perasaannya, padahal dia sudah sangat bahagia karena akhirnya ia bisa memiliki sekaligus bertanggung jawab penuh pada Naina. Besok adalah hari pernikahan mereka."Kau tidak perlu melakukan apapun, lanjutkan hidupmu...hanya itu. Aku tahu akan sangat menyakitkan awalnya tapi suatu saat kau akan bersyukur karena hal ini."Bryan meraup kasar wajahnya, hatinya seperti tertindih batu seberat satu ton. Saat ini dia tak bisa bernafas karena menahan emosinya. Dia tak ingin menjadi monster di depan gadis yang dicintainya."Pergi...."Pria itu membalikkan badan memunggungi Naina, ia berpikir mungkin
"Batal? Ada apa ini, Naina sangat mencintai Bryan jadi tidak mungkin pernikahan ini dibatalkan."Paginya semua keluarga yang sudah datang ke kediaman keluarga Wilson bingung karena pengantin wanita masih tidur di kamarnya. Serra sangat terkejut ketika Jane mengatakan pernikahan Naina batal atas permintaan Naina sendiri.Jane melirik tajam ke arah suaminya hingga pria pria itu berkali kali menghela nafas. Dari awal dia tahu janjinya akan menjadi buah simalakama untuknya."Ada saatnya aku katakan pada kalian," ujar Erick tenang, dia akan mengatakan semuanya jika hasil pemeriksaan Naina di Amerika sudah keluar. Dan dia sangat berharap jika 'putri bungsunya' baik baik saja. "Tidak...tidak akan ada rahasia disini," Serra segera beranjak dan berjalan menuju kamar Naina. Serra berpikir jika Naina tak perlu menyembunyikan apapun darinya ataupun seluruh anggota keluarga. Ketika membuka pintu kamar teryata gadis itu sudah berpenampilan rapi, sepertinya tahu jika Serra dan semua anggota keluar
Mata Naina nanar ketika melihat Bryan sudah berdiri di depan pintu kamarnya yang memang terbuka. Mata pria itu sendu menatapnya, Naina tidak suka itu. Sorot itu memancarkan rasa kasihan di dalamnya dan itu yang sangat ia hindari. Naina tak ingin sebuah hubungan yang hanya dilandasi rasa kasihan."Ibu sebaiknya kita pergi, biarkan mereka bicara," ujar Serra ingin sepasang kekasih itu berbicara dari hati ke hati."Kenapa kalian harus pergi? Tak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami sudah putus. Dia yang memintaku pergi," Naina membuang pandangannya karena tak ingin menyerah dalam pesona pria yang berdiri selurusan dengannya.Keputusannya sudah bulat untuk membebaskan Bryan dari rasa tanggung jawab padanya. Dokter mengatakan jika sel kanker benar benar tumbuh lagi di kepalanya maka harapan hidupnya akan sangat tipis. Dia akan bertahan hidup dari obat dan semua tindakan medis."Kakak tidak memaksamu untuk bisa bersatu lagi dengannya, tapi setidaknya utarakan apa yang ada disini. Kau buka
"Jadi kau yang minta Tuan Erick menyembunyikan ini pada dari kami semua? Pantas saja tidak ada satupun penjaga berani melapor padaku saat kau pingsan dan dibawa ke rumah sakit," ujar Bryan tanpa melepaskan rengkuhannya pada pinggang ramping gadisnya."Dulu Kak Serra melakukan apapun untuk biaya pengobatanku, jadi aku tak..." "Jika bukan karena hal itu maka dia tak akan pernah bertemu dengan kakak iparmu. Semua yang terjadi sudah digariskan sayang. Andai kau mau lebih terbuka maka semuanya akan menjadi lebih mudah, banyak sekali orang yang menyayangimu.""Besok aku berangkat ke Amerika, jangan khawatir Uncle Erick sudah mengurus semua disana. Doakan saja semoga semua hasil pemeriksaan bagus agar aku cepat kembali. Jika tidak maka mungkin aku akan menjalani pengobatan lanjutan dua sampai tiga bulan kedepan. Jangan melihat wanita lain jika aku pergi dan jangan menangis jika nyawaku tidak tertolong lagi. Emmpptthh..."Naina memukul mukul dada Bryan ketika tiba tiba pria itu membungkam bi