“Ayah!” seru Melvin terkejut.
“Sayang!” seru Claudia.
Mr. Jona menggeram.
“Jangan kau teruskan permainanmu itu, Melvin!”
“Ayah, jangan bercanda. Aku mohon, ayah!”
Melvin akhirnya benar-benar panik. Sepertinya ayahnya benar-benar marah! Dia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Dia harus membujuk ayahnya.
“Aku mendekati Miss Rissa tanpa ada rencana apa pun, ayah! Murni karena aku menyukainya!”
Ya, berbohong saja, Melvin. Lakukan semua yang bisa kau lakukan demi mengamankan posisimu, pikirnya.
Ayahnya kembali menggeram.
“Bukankah sudah ayah katakan kalau Ayah menginginkan dia sebagai calon istri Aidan? Tidakkah itu sudah cukup jelas, Melvin?” gertaknya.
“Tapi bagaimana jika aku menyukainya, ayah?” kata Melvin dengan nada yang diusahakannya sememelas mungkin. Tapi ayahnya hanya memandanginya dengan keras.
“Apa?
“Aduh.”Melvin memegang kepalanya. Dia membuka matanya. Dan ... tak melihat apa-apa.Dia sedang berada di sebuah tempat yang sangat gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Sekelilingnya juga sangat hening. Dia seperti berada di tempat di mana tidak ada cahaya dan tidak ada suara. Hanya kekosongan yang melingkupinya.Ketika dia membuka mulutnya untuk bersuara, dia segera menyadari bahwa suaranya bergaung di tempat aneh itu.“Halo?” katanya.Halo ... lo ... lo ...Suaranya kembali bergaung. Dia mencoba berdiri dan mengulurkan tangan, meraba-raba sekelilingnya, berusaha menemukan tanda apa pun tentang tempat di mana dia berada. Kenapa sangat gelap? Kenapa sangat sepi? Di mana semua orang? Semua pikiran itu berkecamuk dalam benaknya.Dia mencoba berteriak, tapi yang kembali padanya hanyalah suaranya sendiri. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.Apa ini? Di mana dia? Kenapa di
BRAKKK!Rissa lalu menutup pintu dengan keras. Dia gemetar ketakutan. Dia teringat ancaman terakhir Melvin. Bisa-bisanya pria itu mengancamku! pikirnya dengan marah sekaligus takut. Dia pikir siapa dia? Apakah dia berpikir Rissa bisa dikendalikannya seperti boneka? Tidak! Dia, Clarissa Chandra, tidak akan takut!Ya, dia berencana akan mengadukan hal ini pada Mr. Jona. Atasannya itu harus tahu kelakuan anaknya dan apa yang mungkin akan dilakukannya padanya.Rissa kembali ke kamarnya. Tadi dia sedang membaca buku ketika bel pintu berbunyi. Kini ketenangan dan hasratnya untuk membaca sudah hilang, berganti kecemasan dan ketakutan.Dia harus melapor pada Mr. Jona. Tapi kenapa dia mendadak merasa ragu dan takut? Apakah seharusnya dia tidak melakukan itu?Tapi itu tidak akan adil! Melvin tidak boleh dibiarkan lolos dari perbuatannya! Besok sore dia akan melapor pada Mr. Jona, tekadnya dalam hati.Tapi keeso
Sisa malam itu berakhir dengan menyenangkan. Sebelum pulang Mrs. Claudia “menginterogasi” Rissa.“Anda pintar sekali bermain piano! Dan lagunya ... itu salah satu lagu favorit saya! Saya hampir menangis ketika mendengarkannya!” pujinya bertubi-tubi.Rissa tersenyum dan menjaga ekspresi wajahnya agar tidak terlalu salah tingkah.“Ayah saya guru musik. Dan kami punya piano di rumah. Bukan yang mewah, yang biasa saja. Ayah saya lalu mengajari saya main piano,” katanya.Mrs. Claudia terlihat kagum.“Benarkah! Berarti Anda memiliki guru yang luar biasa!” serunya.Rissa kembali tersenyum.“Ayah pasti senang jika mendengar pujian Anda,” katanya dengan rendah hati.Mrs. Claudia tersenyum. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. Mrs. Claudia mendesah.“Sayang sekali Anda harus sudah pulang. Kapan-kapan, Anda bisa ke sini lagi dan me
“Haaah,” keluh Rissa. Dia sedang malas naik lift dan memilih naik tangga. Dia naik sambil terus menundukkan kepala. Sepertinya dengan naik tangga dia bisa menikmati kesedihannya sepuasnya dan selama yang dia inginkan tanpa harus berhenti di tiap lantai jika naik lift. Lagipula dia sedang tidak ingin berpapasan dengan karyawan lainnya. Bisa malu dia. Rissa sampai di kantor sore itu dengan murung. Semalaman dia menghabiskan waktu dengan menangis dan besoknya dia sama sekali melewatkan sarapan dan makan siang. Dia bahkan hanya sekali minum satu botol kecil darah, sama sekali tidak membantu mengatasi rasa hausnya. Tapi dia sedang tidak berselera untuk makan ataupun minum. Kata-kata Aidan terus terngiang di benaknya. Betapa dalamnya kata-kata itu menusuk hingga ke relung hatinya yang terdalam, bagaimana Aidan mengingatkan bahwa dia tak bisa dimiliki olehnya, dan bagaimana lelaki itu meninggalkannya tiba-tiba dengan perasaan hancur. Aidan jelas-jelas
PLAKKK! Suara tamparan itu rasanya bergaung di seluruh halaman belakang. Semua hadirin langsung terperangah. Beberapa wanita malah langsung menjerit. Mr. Jona menampar Aidan lagi. Gianna yang menyaksikannya menjerit kecil dan langsung mendapat tatapan tajam dari Mr. Jona. Aidan segera tampak terkejut atas tindakan ayahnya. "Sayang!" Terdengar suara Claudia yang buru-buru mendekati mereka. Dia tampak luar biasa terkejut dan ketakutan. Dia tak menduga suaminya akan menampar Aidan di depan umum! Betapa memalukan dan mengerikannya! “Pergi! Pergi kau dasar wanita ******!” Aidan langsung sadar dari keterkejutannya. “Ayah! Jangan hina Gianna!” "Minta maaf, Ayah! Minta maaf pada Gianna sekarang juga!" lanjutnya dengan wajah penuh kemarahan. Mr. Jona tampak seakan ingin menamparnya lagi. “Kau memilih wanita itu dibanding ayahmu? Dibanding keluargamu?!” serunya. Aidan tampak terluka. “Siapa
“Aaargh!!!”Aidan rasanya ingin marah-marah terus. Dia teringat kata-kata kasar ayahnya pada Gianna dan dia masih tidak terima. Kenapa ayahnya tak merestui hubungannya dengan Gianna? Dia menanyakan pertanyaan itu berulang kali dalam hatinya walaupun dia tahu bahwa dia sebenarnya mengetahui jawabannya. Ya, ini karena ayahnya dan pendiri Huang Company adalah musuh.Dia tahu dalam perseteruan keduanya sebenarnya ayahnya tidak sepenuhnya salah. Semuanya sejak awal hanyalah masalah kesalahpahaman dan ketidakpercayaan antar satu sama lain. Mr. Jona dan Mr. Samuel Huang dulunya adalah sahabat. Sebenarnya mereka ingin mendirikan perusahaan impian mereka berdua. Mr. Jona ingin perusahaannya berkembang dan menguasai banyak pasar, seperti sekarang yang mana mereka mulai merambah bisnis fashion, Sementara Mr. Huang sendiri lebih suka fokus pada satu pasar, yaitu bisnis makanan. Mereka tidak pernah bisa sepaham dan akhirnya pecah kongsi.Mr. Jona me
“Akan kubalas kalian semua.”“Kalian tak akan bisa lolos. Jika kalian sudah menikah pun akan aku buat kalian berpisah.”Mr. Jona mengatakan kalimat itu berulang kali seolah agar kata-kata itu terus terpatri di benaknya dan tidak dilupakannya. Dia menggeram, semarah binatang buas. Wajahnya yang tampan terlihat kaku dan keras seperti batu.Dia turun dari mobilnya di depan sebuah gerbang yang menjulang tinggi dan kelihatan megah sekaligus kuno lima menit yang lalu. Tapi sampai sekarang dia masih berjalan menuju tujuannya. Sekelilingnya adalah pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi hingga jauh di atasnya. Dia seolah berjalan di sebuah hutan, tapi sebenarnya bukan.“Kamu tunggu di sini, Alfred,” kata Mr. Jona pada sopirnya.“Aku akan masuk sendiri,” lanjutnya.Sang sopir mengangguk.“Baik, Mr. Jona.”Malam sudah menyapa, dan keheningan menyeruak di mana-mana.
“Kau bersedia?” Mr. Johann tersenyum lebar pada Mr. Jona. Dia ingin memastikan dan membuktikan apakah Mr. Jona benar-benar serius dengan tawaran yang diberikannya. Dia ingin melihat bahwa Mr. Jona serius juga dengan ambisinya untuk memusnahkan keluarga Huang. Mr. Jona mengangguk. Ya, tentu saja! Apa pun asal permintaannya dipenuhi. Apa pun akan dia berikan sebagai gantinya demi melenyapkan musuhnya yang satu itu ... “Tentu saja, Master. Asal Master mengabulkan keinginan saya,” katanya dengan mantap. Mr. Johann menatapnya lalu tertawa terbahak-bahak lagi. “Bagus, bagus! Aku senang mendengar ketegasanmu, Jonathan! Ini membuktikan bahwa kau bersedia berkorban sedikit demi keinginnanmu! Aku suka, suka sekali! Ha ha ha!” katanya dengan puas. Mr. Jona memucat. Apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat? Maafkan aku, Miss Rissa... Sebuah pikiran lalu terbentuk di otaknya. Lalu bagaimana dia akan membawa Rissa ke kedi