Valeria terperangah mendengar ucapan Revan di depannya. Matanya mengerjap beberapa kali, apa ia tidak salah dengar? Apa Revan baru saja memintanya untuk makan siang bersama?
"Apa Pak?""Bangun, temani saya makan siang."Valeria ternganga mendengar hal itu, ternyata benar, Revan memang mengajaknya makan siang bersama."Tapi Pak, pekerjaan saya–""Itu bisa ditunda, ayo pergi."Tanpa mendengar jawaban Valeria, Revan terlihat bergerak. Valeria berdecak lalu bangkit, kenapa atasannya selalu saja seenaknya sendiri?Namun, baru beberapa langkah ia mengikuti Revan, tatapan ingin tahu para rekan kerjanya terlihat mengikuti mereka berdua, bahkan bukan hanya itu beberapa dari mereka memberikan tatapan sinisnya."Lihat itu, bukankah itu pegawai yang terlambat kemarin?""Kenapa mereka berjalan berdampingan ya? Mereka mau kemana sebenarnya?""Padahal Pak Revan orang yang keras, jangan-jangan dia menggoda Pak Revan dengan licik.""Wajahnya saja yang polos ternyata."Valeria seketika menghentikan langkah mendengar bisik-bisik di sekitar. Ia memang takut dan segan dengan Revan, tapi ia lebih takut lagi menjadi musuh semua orang di kantor ini."Pak, saya rasa saya tidak lapar. Jadi maaf, Bapak makan siang sendiri saja.""Tidak lapar? Tapi saya tidak melihat kamu memakan sesuatu sejak tadi pagi.""Ah itu, saya memang orangnya tidak mudah lapar. Saya minta maaf tapi–"KruuuuyuukValeria berdecak saat mendengar suara perutnya yang berbunyi dengan kuat di hadapan Revan. Ia merutuk keras di dalam hati, bagaimana bisa perutnya sendiri mengkhianatinya seperti ini? Wajahnya seketika memerah, ia sungguh merasa malu dengan hal ini."Kamu yakin tidak lapar? Lalu itu bunyi apa?""Itu tadi–""Sebenarnya kenapa kamu tidak ingin makan bersama saya? Kamu menghindari saya?"Valeria menelan ludahnya dengan gugup. Sial, ia sudah terjebak, "Tidak Pak,""Ini bukan sebuah permintaan, tapi perintah dari saya, Valeria. Apa kamu ingin melanggar perintah dari saya lagi?"Mendengar ucapan Revan yang begitu tajam, Valeria segera menggeleng, "Tidak Pak, sungguh.""Kalau begitu, ayo pergi jika kamu tidak ingin saya menambah tugas kamu lagi."Valeria hanya bisa mengikuti langkah Revan dengan lunglai. Tatapan sinis itu semakin mengikuti mereka hingga mereka sampai di area luar. Valeria hanya bisa mendesah pasrah. Sirna sudah impiannya mendapatkan kehidupan pekerjaan yang santai dan tidak terlibat masalah rumit apapun. Sejak awal, kenapa Tuhan menakdirkannya terlibat dengan Revan Mahendra hingga semuanya menjadi seperti ini?****Mobil akhirnya sampai di depan suatu restoran. Valeria merasa sangat gugup hingga ia hanya terdiam mengikuti langkah Revan. Namun, baru saja mereka sampai di depan pintu, ponsel Revan terdengar berdering.Revan terlihat mengambil ponselnya dari arah saku, keningnya terlihat berkerut samar melihat layar ponselnya."Ada apa, Pak? Apa ada sesuatu yang penting?""Ah tidak, kamu masuk saja terlebih dulu, saya harus mengangkat panggilan ini, nanti saya menyusul."Meski merasa aneh dan penasaran karena Revan tidak ingin mengangkat panggilan itu di hadapannya, Valeria hanya mengangguk. Ia dapat melihat Revan bergerak menuju ke arah luar kembali lalu mengangkat panggilan itu. Sudahlah, itu bukan urusannya. Ia segera mencari posisi kursi yang nyaman lalu duduk di sana. Lebih baik ia menunggu Revan hingga kembali. Ia saja tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sini.Namun, baru saja ia menunggu beberapa menit suara melengking seseorang yang begitu dikenalnya membuat Valeria sangat terkejut."Wah siapa ini... Ternyata Kak Valeria? Ini suatu kejutan benar bukan, Sayang?"Valeria terhenyak saat melihat siapa yang berada di hadapannya, itu adalah Lucia dan Rionandra. Tangan Lucia terlihat memegang erat lengan Rionandra seolah sedari awal pria itu adalah miliknya. Valeria mendengus melihat pemandangan ini, apa mereka tidak tahu malu sama sekali?"Sungguh kejutan yang menyebalkan," ujar Valeria dingin, malas menanggapi sapaan ramah Lucia yang sengaja dibuat-buat."Sedang apa kamu di sini, Valeria?" Tanya Rio, terlihat masih merasa kesal karena Valeria memutuskan hubungan mereka begitu saja. Meski ia sudah berselingkuh dengan Lucia, tapi tidak seharusnya Valeria memutuskan hubungan mereka hanya karena kesalahan sepele seperti itu. Ia hanya bermain-main dengan Lucia, tapi Valeria menganggapnya mengkhianati cintanya hingga ia memilih putus."Apa aku harus menjawabnya?" balas Valeria dengan begitu sinis. Pemandangan saat Rio menyelingkuhi dirinya bersama Lucia di sebuah kamar masih terbayang di dalam benaknya. Valeria merutuk, kenapa ia harus bertemu kedua serigala berbulu domba ini di sini?"Astaga, Kak Val. Apa Kakak masih tidak bisa menerima perpisahan Kakak dengan Kak Rio hingga harus melakukan hal seperti ini?""Apa maksud kamu?""Aku jadi merasa sangat bersalah, Kakak pasti melakukan ini karena masih sangat mencintai Kak Rio. Maafkan aku, Kak,""Katakan sebenarnya apa maksudmu? Jangan bicara berputar-putar," ucap Valeria dengan geram mendengar nada bicara Lucia yang mulai menyebalkan."Kakak datang kemari untuk menguntit kami yang terlihat sangat bahagia, iya kan? Astaga Kakak... Apa Kakak harus melakukan ini untuk kembali mendapatkan perhatian Kak Rio?"Valeria terperangah mendengar ucapan Lucia, ia tidak menyangka Lucia akan bicara seperti itu. Menguntit katanya? Itu sungguh berlebihan."Benarkah itu Val? Benarkah kau menguntit kami?" timpal Rio dengan wajah penasaran."Jangan bicara sembarangan, untuk apa aku menguntit kalian? Aku datang kemari dengan seseorang." balas Valeria dengan cepat. Ia menolehkan kepalanya kesana kemari, sebenarnya kemana atasannya itu?"Dengan siapa? Aku tidak melihat siapapun di sekitar Kakak. Sudahlah Kak, jangan mengelak lagi. Kakak sudah ketahuan oleh kami,"Valeria berdecak, sungguh merasa kesal dengan Lucia yang begitu picik. Sialnya lagi, kemana Revan Mahendra saat ia membutuhkannya?"Lihat bukan? Kak Valeria tidak bisa membuktikannya. Dia memang menguntit kita, Sayang." ujar Lucia berapi-api ke arah Rio."Kau seharusnya tidak melakukan ini, Val. Aku jadi merinding mendengarnya. Itu menakutkan,"Valeria semakin terperangah. Sial, ia jadi terpojok oleh kedua orang gila ini. Memangnya ia tidak ada kerjaan lain? Untuk apa ia menguntit mereka?"Maaf kamu jadi menunggu lama, Val. Tadi aku pergi ke toilet terlebih dulu.Valeria terhenyak saat mendengar suara bariton dalam dari arah belakangnya, Revan terlihat menghampiri dirinya lalu merangkul bahunya dengan akrab. Sangat akrab hingga membuat kedua orang di hadapannya ikut terkejut."Ah ternyata Kakak memang datang dengan seseorang," gurau Lucia merasa malu."Siapa kau? Bagaimana bisa kau datang dengan Valeria kemari?" Tanya Rio dingin saat melihat kedatangan Revan yang tiba-tiba.Revan mengulas senyuman lebar lalu mengulurkan tangannya ke arah Rio, "Saya teman dekat Valeria saat ini, Revan Mahendra. Senang bertemu dengan kalian."Valeria tersentak mendengar ucapan Revan yang menyebut mereka sebagai teman dekat. Ia sudah hendak menjelaskan tentang Revan, namun Revan terlihat tersenyum ke arahnya lalu menggenggam tangannya."Teknisnya aku sedang mendekati wanita ini," lanjut Revan kembali membungkam mulut Valeria.Lucia dan Rionandra terlihat terperangah, Rio yang mulai merasa kesal karena ada pria lain yang dekat dengan Valeria ketika hubungan mereka belum lama berakhir segera mengepalkan sebelah tangan. Ia melepas genggaman tangan Lucia lalu maju mendekat dengan tatapan tajam."Teman dekat? Aku tidak pernah melihat orang sepertimu dekat dengan Valeria sebelumnya.""Sepertinya Valeria tidak banyak bercerita tentangku. Aku sungguh kecewa, Val. Padahal aku berharap kau memberi tahu siapapun tentangku."Valeria yang mendengar ucapan Revan hanya tersenyum canggung, entah apa sebenarnya yang dilakukan pria ini. Sementara tatapan Rio semakin tajam terhadap pria itu, ia sungguh tidak suka dengan Revan yang memanggil V
"Ah tunggu... Jangan di ruangan saya, kita bicara di balkon saja." ucap Revan selanjutnya mengingat bahwa Valeria masih ada di sana."Baik Pak, saya akan pergi menuju balkon sekarang."Revan segera keluar dari ruangannya, Valeria yang melihat Revan hendak bergegas segera bangkit berdiri, "Pak, Anda mau kemana?""Ada yang harus saya lakukan, kamu di sini saja."Meski merasa bingung dengan tindakan Revan, Valeria akhirnya mengangguk lalu duduk kembali di kursinya. Revan segera bergegas menuju balkon, ia harus tahu apakah Valeria dan wanita itu adalah orang yang sama atau bukan.Erik sudah menunggu di sana, ia menundukkan wajahnya saat melihat kedatangan Revan."Bagaimana hasil pencarian kamu tentang wanita itu, Erik?"Erik terlihat mengerutkan alis, "Wanita itu?""Wanita yang ku temui di bar Rodeo Angels, apa kamu melupakan tugas itu?"Erik segera menunduk kembali. Astaga, bukan ia melupakan tugas itu, tapi sungguh mencari keberadaan dan identitas wanita itu bagai mencari jarum dalam t
"Ah tentu saja," balas Valeria dengan canggung. Meski ia merasa aneh dengan permintaan Laura, namun tidak mungkin ia bisa menolak hal ini begitu saja. Ini hanya masalah soal parfum, tidak akan jadi masalah untuk ke depannya, bukan?Valeria segera mengambil ponsel lalu menunjukkan merek parfum yang ia gunakan ke arah Laura. Laura tersenyum dengan lebar melihat Valeria yang memberikan hal itu secara cuma-cuma."Aku akan langsung memesannya, kau benar-benar baik, Val. Setelah ini kita akan berteman baik,"Valeria hanya balas tersenyum dengan canggung. Ia mengangkat bahunya, mencoba tidak berburuk sangka kepada wanita yang berada di sampingnya. Mungkin Laura memang hanya menyukai parfum itu. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Berteman dengan Laura juga tidak ada salahnya, ia pegawai baru ia harus banyak membangun koneksi. Lagipula karena Revan, rekan kerja yang awalnya dekat dengannya kini seperti menghindar darinya.Mobil milik Laura pun mulai berjalan meninggalkan area kantor menuju fla
Revan sungguh tidak menyangka, tadinya ia sungguh yakin jika Valeria adalah wanita yang menghabiskan malam bersamanya saat itu. Tapi, tiba-tiba semua firasatnya terbantahkan oleh pengakuan Laura. Entah kenapa mengetahui bahwa wanita itu adalah Laura, ia sedikit kecewa.Revan segera melepaskan cengkeramannya pada Laura lalu berkata, "Baiklah aku mengerti."Laura terlihat terkejut melihat Revan yang kembali melepaskan dirinya, "Anda tidak ingin bicara atau membahas apapun tentang malam itu?""Kita bicarakan ini lagi nanti,"Laura hanya melongo mendengarnya. Apa-apaan ini? Kenapa semuanya sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan? Padahal ia sudah mengaku bahwa ia adalah wanita itu, tapi kenapa Revan sama sekali tidak terlihat senang?"Tapi Pak, saya–""Kita bicara lagi nanti, silahkan keluar."Laura seketika terperangah, namun melihat sorot mata Revan yang menusuk ia segera membuka pintu ruangan atasannya itu lalu beranjak pergi. Laura menggigiti jari jemarinya dengan seba
"Anda mengatakan sesuatu Pak?" tanya Valeria saat mendengar gumaman kecil Revan.Revan yang masih tersenyum seketika merubah wajah datarnya, kini ia sudah menemukan wanita itu, ia harus bisa mengkonfirmasinya dari mulut Valeria sendiri."Tidak, tidak ada. Sepertinya kamu salah dengar,""Ah begitu, saya akan membawa berkas-berkas ini.""Tunggu sebentar, Valeria."Valeria tersentak saat Revan tiba-tiba bangkit lalu mendekat ke hadapannya. Wajah mereka sangat dekat hingga membuat Valeria merasa gugup seketika."Ada apa, Pak?""Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku di luar kantor?"Mata Valeria melebar sempurna mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Revan. Apa Revan menyadarinya? Apa pria itu tahu bahwa mereka pernah bertemu di suatu bar?"Kenapa Anda bertanya seperti itu?" Tanya Valeria dengan gugup."Entah kenapa kamu terlihat mirip dengan seseorang yang saya temui di suatu bar."Mendengar hal itu Valeria segera mengibaskan tangannya dengan cepat, "Saya ini wanita rumahan Pak,
Jawab saya Valeria."Revan semakin mendekat, wajah mereka begitu dekat hingga Valeria menjadi semakin gugup."Jawab saya atau saya bisa melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan."Valeria kembali tersentak saat wajah mereka hanya berjarak tinggal beberapa inchi saja."Itu adalah milik saya!" Teriak Valeria kuat saat Revan terus menekan dirinya. Bibir Revan hampir saja menempel jika Valeria tidak segera bertindak. Valeria tersentak saat sebuah senyuman lebar terlihat di wajah Revan Mahendra."I got you. Akhirnya kamu mengaku."Mata Valeria melebar sempurna mendengar ucapan Revan, kepalanya mulai mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi."Bapak menjebak saya?""Saya harus melakukan itu karena kamu selalu menghindar."Valeria seketika terperangah, dengan kesal ia mendorong tubuh Revan dari hadapannya, "Bapak tidak perlu melakukan hal ini untuk membuat saya mengaku, saya pasti akan mengganti kemeja Bapak," lanjut Valeria dengan nafas terengah-engah."Apa?""Bapak membuat keributan k
Valeria yang melihat Laura yang ditarik oleh Erik segera menahan mereka."Ada apa ini?""Ini semua gara-gara kamu, Valeria! Gara-gara kamu!"Valeria terlihat mengerutkan dahinya mendengar teriakan Laura. Namun, belum sempat ia kembali bertanya, Erik terlihat menahan dirinya, "Sebaiknya kamu jangan terlibat, ini keputusan Pak Revan,"Valeria hanya bisa terperangah tidak mengerti. Belum selesai dengan kebingungannya, ponselnya yang berada di dalam saku bajunya bergetar dengan kuat. Valeria segera melihat pesan itu, matanya seketika melebar sempurna melihat siapa yang mengirimkannya, Revan Mahendra."Temui saya sepulang bekerja."Valeria menggigiti jari jemarinya lalu merutuk kuat. Gawat! Revan pasti akan kembali mengungkit pembicaraan mereka tadi. Apa yang harus ia lakukan?Maka sebelum Revan keluar dari ruangannya, Valeria segera melesat keluar dari bilik kerjanya lalu memasuki lift. Sesampainya di sana, Valeria terlihat menghela nafasnya panjang, berpikir bahwa Revan tidak mungkin men
Besoknya Valeria segera bergerak menuju ke ruangan Revan. Emosinya yang belum terkontrol oleh tindakan keluarganya membuat Valeria tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia segera mengetuk pintu ruangan Revan dengan terburu membuat Revan yang sedang melihat suatu berkas seketika mengangkat wajahnya."Saya ingin bicara soal penawaran Anda kemarin, Pak,""Setelah kau menghindariku berkali-kali ketika aku ingin bicara, sekarang kau yang menawarkan diri sendiri untuk bicara denganku. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa itu karena kejadian di restoran saat itu?"Valeria terhenyak mendengar ucapan Revan yang tepat sasaran. Tidak ingin menjelaskan lebih detail tentang Rio dan Lucia, Valeria segera berkata, "Itu tidak penting untuk kita bahas, yang pasti saya butuh Anda untuk datang ke acara pernikahan mereka yang sepertinya akan diadakan tidak lama lagi.""Wah... Jadi mereka sudah akan menikah? Sepertinya pria itu sudah mengambil keputusan untuk membuangmu. Sebenarnya apa hubunganmu dengannya? Apa
Melihat Barbara yang hanya terdiam, penjaga keamanan itu kembali mengulurkan tangannya, "Bu? Tolong kuncinya...""Yang benar saja, kamu lupa siapa saya?""Berikan kunci itu Barbara, mobil itu merupakan pemberianku!"Barbara berdecak saat Agung rupanya sudah menyusulnya keluar, dengan kesal ia mengembalikan kunci kepada penjaga keamanan itu, "Aku sama sekali tidak butuh mobil ini!" ujarnya dengan nada angkuh sambil melirik ke arah Agung.Setelah berkata seperti itu, Barbara segera menyetop taksi lalu masuk ke dalamnya. Ia sangat kesal dengan tindakan Agung yang seenaknya, seharusnya sejak dulu ia meninggalkan Agung agar ia tidak perlu bersusah payah seperti ini. Barbara segera meminta supir taksi untuk bergerak menuju ke alamat Revan. Ia harus segera kembali bersama Revan agar tua bangka itu tau rasa.Setelah sampai Barbara mengetuk pintu Revan dengan kuat."Revan buka! Tolong buka pintunya Revan!"Revan segera membuka pintu lalu terhenyak melihat Barbara di sana, "Barbara? Kenapa kau
"Revan!"Revan memutar matanya dengan jengah saat melihat Barbara ada di depan apartemennya. Setelah membuat dirinya dan Valeria bertengkar, bagaimana bisa Barbara masih memiliki muka untuk menemuinya?Revan memilih mengabaikan wanita itu lalu berjalan maju meninggalkannya."Revan, aku sedang bicara! Aku bahkan sudah jauh-jauh datang kemari, kenapa kamu malah mengabaikan ku?"Revan berdecak saat Barbara menarik lengannya dengan kuat. Ia menatap Barbara dengan raut wajah kesal, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang kemari, Barbara. Ada apa? Apa yang kau inginkan lagi sekarang?""Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku Revan? Aku kemari tentu saja untuk menemuimu."Revan menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Barbara, "Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau sudah berhasil membuat Valeria keluar dari rumah ini sekarang. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tolong berhenti menggangguku."Sepertinya Barbara sama sekali tidak mendengarkan nada bahasa Revan yang sama sekali ti
Agung Mahendra tidak menyangka jika Valeria akan mengajaknya bertemu hari ini. Meski entah apa yang sebenarnya ingin wanita muda itu katakan hingga menyebutkan nama Barbara dan Revan hanya agar ia tidak menolak pertemuan mereka.Agung mengepalkan sebelah tangannya, lihat saja jika wanita rendahan itu berkata hal yang konyol, ia sungguh tidak akan diam saja kali ini.Agung merapihkan jasnya sebelum ia menghampiri Valeria. Tatapannya angkuh menatap tajam ke arah Valeria yang sudah datang terlebih dulu di tempat pertemuan mereka."Akhirnya Anda datang," ujar Valeria dengan senyuman tipis.Agung sama sekali tidak menunjukkan keramahtamahannya, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Hubungan kita bukanlah sebagai mertua dan menantu yang baik hingga bisa berbincang seperti ini.""Bukankah Anda datang kemari karena penasaran dengan apa yang hendak saya katakan? Silahkan duduk terlebih dulu," ujar Valeria sambil mengulurkan tangannya meminta Revan untuk duduk di hadapannya.Agung berdeham se
Tadinya Revan hanya ingin mengikuti Valeria diam-diam tanpa diketahui oleh wanita itu. Setelah meninggalkan kediaman mereka semalam, Valeria sama sekali tidak mau mengangkat panggilannya. Wanita itu terus saja menghindar seolah ingin menjauh darinya setelah semua yang terjadi. Baru semalam Valeria meninggalkan rumah, tapi sungguh Revan sudah teramat kehilangannya. Jadi di sinilah ia sekarang menguntit wanita itu diam-diam demi untuk mengetahui kabarnya. Namun, siapa yang menyangka, Rionandra tiba-tiba muncul di sana memaksa Valeria entah untuk apa. Apa pria itu sengaja melakukan itu demi mendekati Valeria lagi?Revan segera mengambil langkah, tatapannya tajam mengarah ke arah tangan Valeria yang dicekal oleh Rionandra."Lepaskan dia, Pak Rionandra Mahendra."Mau tak mau Rio melepaskan pegangan tangannya, keduanya saling menatap tajam seolah sama-sama saling menantang."Sedang ada urusan apa Anda dengan istri saya?" tanya Revan dengan nada dominan.Rio terlihat mendengus, "Astaga, apa
Hari ini Rio sengaja mengajukan cuti demi bertemu Valeria. Ia berdiri di depan rumah mertuanya dengan bingung. Ia datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, alasan apa yang bisa ia berikan kepada mertuanya agar tidak menimbulkan rasa curiga. Ah sudahlah, ia bisa berpura-pura menanyakan masalah pekerjaan sambil menemui Valeria.Rio segera menekan bel pintu, asisten rumah tangga Yanuar yang sudah mengenalnya segera mempersilahkan dirinya untuk masuk.Setelah meminta menunggu sebentar, Kalina datang menyambutnya."Rio, kenapa datang kemari mendadak begini? Kamu sendirian?"Rio mengangguk kecil, "Ya, Rio sendiri, Ma. Kata Lucia, kalian juga akan bertemu nanti sore.""Ah ya Mama mau pergi dengan Lucia, sudah lama sekali Mama tidak jalan-jalan dengan anak Mama."Rio hanya tersenyum, ia melemparkan pandangannya ke seluruh rumah, mencari keberadaan Valeria. Melihat gerak gerik Rio, Kalina menjadi curiga, "Kamu kenapa datang kemari?"Mendapat teguran dari Kalina, Rio menyentuh tengkuknya
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika
Revan terperangah mendengar ucapan Valeria, ia sungguh terkejut, darimana Valeria bisa mengetahui dirinya bersama dengan Barbara selama semalam penuh?"Kau tahu?""Bukankah Anda sendiri yang memberi tahukannya, Pak Revan?"Raut wajah Revan segera menjadi resah mendengar sapaan Valeria kepadanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Valeria kembali menjaga jarak?"Valeria, aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, sungguh aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini?""Apa? Tidak mengerti?" Valeria seketika mendengus, rasanya ia ingin tertawa mendengarnya. Valeria segera mengambil ponselnya lalu menunjukkan pesan semalam yang ia terima dari Revan."Ini... Apakah Anda sengaja mengirim pesan ini agar saya melihatnya?"Revan terperangah, matanya melebar sempurna melihat foto yang diberikan oleh Valeria. Itu adalah fotonya, fotonya yang tengah tertidur sedang berdekatan dengan Barbara. Kening Revan berkerut dalam, kapan foto ini diambil? Apa Barbara yang mengambilnya? Sial,
Barbara mengerjapkan matanya saat mulai tersadar dari pingsannya. Ia tersenyum saat melihat Revan yang berada di hadapannya sedang tertidur dengan lelap. Hatinya bersorak dengan riang. Berhasil! Ia berhasil membuat Revan mengikuti apa yang ia katakan, hanya dengan sedikit ancaman dan juga trik mengambil simpatinya, Barbara dapat kembali menjerat Revan untuk berada di sampingnya.Barbara mengusap lembut wajah Revan sambil bergumam, "Kamu akan selalu menjadi milikku, Revan. Lihat saja." Inilah yang Barbara inginkan, Revan Mahendra yang muda dan tampan rupawan, bukannya Agung si tua Bangka.Tepat saat ia tengah menikmati ketampanan Revan, ponsel Revan terdengar bergetar di sakunya. Penasaran, Barbara segera mengambil benda elektronik tersebut dengan perlahan dari sana, sepertinya ada yang mengirim pesan pada Revan saat ini. Raut wajah Barbara seketika berubah saat melihat siapa yang berada di layar depan ponsel itu, Valeria Anderson... Pesan apa yang dikirim wanita itu sebenarnya?Demi m
Revan masuk ke dalam mobilnya dengan cepat, sebenarnya ia merasa tidak nyaman karena harus meninggalkan Valeria saat ini, tapi sepertinya ia harus pergi. Revan segera memakai penyuara telinga lalu mulai menjawab panggilan dari sana. Ia berdecak dengan kuat. Barbara selalu saja membuat onar yang tidak pernah Revan duga."Barbara, apa yang sebenarnya tengah kau katakan? Jernihkan pikiranmu!" Teriak Revan mulai emosional. Tadi ia tidak bisa melakukannya karena ada Valeria di sekitarnya, ia tidak menyangka jika Barbara menghubunginya hanya untuk berkata bahwa ia hendak bunuh diri. Dengan suara tangis yang menggema, Barbara mengancam Revan untuk segera menemuinya atau ia akan berbuat nekad.Rahang Revan bergemretak, tidak, ia menyusul Barbara bukan karena masih mencintainya, namun Jika Barbara benar-benar berbuat nekad maka ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah melukai orang lain."Aku hanya ingin kita kembali bersama, Revan. Aku hanya mencintaimu, jika kau memilih bersama o