"Ah tunggu... Jangan di ruangan saya, kita bicara di balkon saja." ucap Revan selanjutnya mengingat bahwa Valeria masih ada di sana.
"Baik Pak, saya akan pergi menuju balkon sekarang."Revan segera keluar dari ruangannya, Valeria yang melihat Revan hendak bergegas segera bangkit berdiri, "Pak, Anda mau kemana?""Ada yang harus saya lakukan, kamu di sini saja."Meski merasa bingung dengan tindakan Revan, Valeria akhirnya mengangguk lalu duduk kembali di kursinya. Revan segera bergegas menuju balkon, ia harus tahu apakah Valeria dan wanita itu adalah orang yang sama atau bukan.Erik sudah menunggu di sana, ia menundukkan wajahnya saat melihat kedatangan Revan."Bagaimana hasil pencarian kamu tentang wanita itu, Erik?"Erik terlihat mengerutkan alis, "Wanita itu?""Wanita yang ku temui di bar Rodeo Angels, apa kamu melupakan tugas itu?"Erik segera menunduk kembali. Astaga, bukan ia melupakan tugas itu, tapi sungguh mencari keberadaan dan identitas wanita itu bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ia sudah mencari ke seluruh area bar dan juga karyawan di sana, namun tidak ada satupun yang tahu siapa wanita itu. Lagipula kenapa atasannya begitu terobsesi dengan wanita itu?"Maafkan saya Pak, saya belum bisa menemukannya.""Sebenarnya apa saja yang kau lakukan? Bagaimana mungkin sampai sekarang kau tidak bisa menemukannya, padahal aku sudah memberikan clue padamu tentang anting itu."Sekali lagi Erik menundukkan wajahnya, "Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya akan mencarinya lagi."Revan terlihat berdecak, ia merasa sangat frustasi karena tidak ada satupun hasil yang menunjukan tentang wanita itu."Kalau begitu kau harus mengawasi Valeria Anderson."Dahi Erik berkerut dalam, "Valeria? Kenapa dengan Valeria?""Aku mencium aroma parfum yang sama dari Valeria mengenai wanita itu," jelas Revan."Tapi, masalah parfum yang sama, bukankah bisa saja hal itu terjadi pada banyak orang? Bisa saja parfum yang digunakan wanita itu merupakan parfum yang awam digunakan oleh orang lain, Pak." sergah Erik yang masih merasa keterangan Revan tidak masuk di akalnya.Raut wajah Revan seketika berubah dingin mendengar Erik yang membantahnya, "Saya sangat tahu soal itu, Erik. Tapi karena kamu tidak mendapatkan petunjuk apapun tentang wanita itu, bukankah kita harus menghubungkan apapun yang sudah kita dapatkan di depan mata?"Mendengar ucapan Revan yang menusuk, Erik segera menunduk takut-takut, seharusnya tadi ia tidak banyak bicara, raut wajah Revan saat ini seolah hendak menelannya hidup-hidup, "Baik Pak, maafkan saya.""Pokoknya cari tahu apakah Valeria memang berhubungan dengan wanita itu atau tidak, segera kabari saya. Jangan mengecewakan saya lagi, Erik.""Saya mengerti.""Kalau begitu saya akan kembali ke ruangan saya."Erik hanya bisa menundukkan kepalanya kembali sesaat setelah Revan berlalu dari hadapannya. Ia menghela nafasnya dengan lega, syukurlah... Nyawanya masih bisa terselamatkan setelah bertemu dengan Presdir garangnya itu. Setelah mengambil nafas, Erik mengikuti langkah Revan beranjak dari balkon.Sepeninggal Erik, seorang wanita yang bersembunyi di balik pintu balkon karena hendak merokok seketika keluar dari persembunyiannya. Laura segera menyimpan rokoknya lalu tersenyum. Sebagai seorang manager yang sudah sering kali berinteraksi dengan Revan, tidak pernah satu kali pun Revan terlihat tertarik padanya. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian atasannya itu, tapi malah Revan selalu menghindar. Ia sungguh merasa kesal melihat Valeria karyawan yang baru bekerja beberapa hari itu malah yang bisa menarik perhatian Revan.Namun, pembicaraan ini sungguh menguntungkan baginya sekarang. Revan sedang mencari informasi mengenai wanita yang ia temui di bar. Senyum Laura semakin melebar, bagaimana jika ia yang menjadi wanita itu? Bukankah itu akan mempermudah Revan untuk mencarinya? Revan, atasannya yang tampan rupawan pasti tertarik padanya setelah ia mengatakan hal itu.Ah, tapi tunggu sebentar, ia harus membuat Revan percaya pada semua omong kosongnya ini. Ia harus mendekati Valeria.****"Valeria?"Valeria terlihat mengerutkan dahinya mendengar panggilan seseorang dari arah belakangnya. Ia terlihat terkejut melihat Laura, manager yang selama ini terlihat tidak menyukainya tiba-tiba bersikap ramah padanya. Apa karena kini ia menjadi sekertaris Revan, jadi wanita ini sedang berusaha dekat padanya?"Ah Bu Siska, ada yang bisa saya bantu?""Apa kamu akan pulang?"Valeria terlihat tertegun sejenak, tadinya sebenarnya ia hendak menemui Revan dan menanyakan tentang tubuhnya yang terkena oleh lemari, namun panggilan Laura malah mendahuluinya membuat ia tidak sempat bertanya pada Revan."Ah ya, saya akan pulang.""Bagaimana jika saya mengantar kamu?"Valeria terlihat terhenyak mendengarnya, cukup terkejut. Padahal Laura sering kali memberikan tatapan sinis padanya, bagaimana bisa seseorang berubah secara drastis seperti ini?"Tidak apa-apa, saya tidak ingin merepotkan." Balas Valeria sambil mengibaskan tangannya.Namun Laura sepertinya enggan ditolak, ia segera menarik lengan Valeria lalu berkata, "Ayolah, saya antar. Kita ini rekan kerja, bukankah kita harus menjadi teman selama di sini?"Valeria terlihat mengangkat alis. Teman? Apa kepala wanita ini terbentur? Seingatnya wanita ini bilang bahwa dia merasa jijik padanya ketika awal-awal ia masuk."Kamu mau kan berteman denganku?""Eh? Ma-mau," balas Valeria enggan membuat masalah. Meski ia enggan berteman dengan wanita ini, namun bagaimana lagi? Tidak mungkin ia menolaknya, bukan?"Ah itu mobilku,"Valeria hanya bisa mengikuti langkah Laura yang mengajaknya masuk ke dalam mobilnya. Mobil pun bergerak meninggalkan area parkir, meski merasa agak janggal dengan tingkah Laura, tapi tidak apa-apa setidaknya ia bisa menghemat ongkos bisnya hari ini."Ngomong-ngomong Valeria, kamu memakai parfum apa? Wanginya benar-benar enak,"Valeria yang sedang melihat keluar jendela seketika mengalihkan pandangannya, "Benarkah? Saya hanya memakai parfum biasa saja koq," balas Valeria merasa malu."Ya benar, wanginya benar-benar enak. Aku jadi ingin membelinya. Apa mereknya?""Ah itu hanya parfum murah,""Tidak apa-apa, aku ingin tahu."Alis Valeria seketika terangkat melihat sikap wanita ini, kenapa Laura terlihat sangat antusias dengan parfum yang ia gunakan?Melihat Valeria yang hanya terdiam, Laura kembali melanjutkan, "Aku benar-benar suka dengan wanginya, apa kau tidak ingin berbagi tentang itu? Bukankah kita sudah berteman? Sesama teman tidak apa-apa jika kita berbagi aroma parfum, bukan?"Valeria semakin bingung dengan tingkah managernya ini. Kenapa dia terlihat seakan mendesaknya saat ini?"Ah tentu saja," balas Valeria dengan canggung. Meski ia merasa aneh dengan permintaan Laura, namun tidak mungkin ia bisa menolak hal ini begitu saja. Ini hanya masalah soal parfum, tidak akan jadi masalah untuk ke depannya, bukan?Valeria segera mengambil ponsel lalu menunjukkan merek parfum yang ia gunakan ke arah Laura. Laura tersenyum dengan lebar melihat Valeria yang memberikan hal itu secara cuma-cuma."Aku akan langsung memesannya, kau benar-benar baik, Val. Setelah ini kita akan berteman baik,"Valeria hanya balas tersenyum dengan canggung. Ia mengangkat bahunya, mencoba tidak berburuk sangka kepada wanita yang berada di sampingnya. Mungkin Laura memang hanya menyukai parfum itu. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Berteman dengan Laura juga tidak ada salahnya, ia pegawai baru ia harus banyak membangun koneksi. Lagipula karena Revan, rekan kerja yang awalnya dekat dengannya kini seperti menghindar darinya.Mobil milik Laura pun mulai berjalan meninggalkan area kantor menuju fla
Revan sungguh tidak menyangka, tadinya ia sungguh yakin jika Valeria adalah wanita yang menghabiskan malam bersamanya saat itu. Tapi, tiba-tiba semua firasatnya terbantahkan oleh pengakuan Laura. Entah kenapa mengetahui bahwa wanita itu adalah Laura, ia sedikit kecewa.Revan segera melepaskan cengkeramannya pada Laura lalu berkata, "Baiklah aku mengerti."Laura terlihat terkejut melihat Revan yang kembali melepaskan dirinya, "Anda tidak ingin bicara atau membahas apapun tentang malam itu?""Kita bicarakan ini lagi nanti,"Laura hanya melongo mendengarnya. Apa-apaan ini? Kenapa semuanya sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan? Padahal ia sudah mengaku bahwa ia adalah wanita itu, tapi kenapa Revan sama sekali tidak terlihat senang?"Tapi Pak, saya–""Kita bicara lagi nanti, silahkan keluar."Laura seketika terperangah, namun melihat sorot mata Revan yang menusuk ia segera membuka pintu ruangan atasannya itu lalu beranjak pergi. Laura menggigiti jari jemarinya dengan seba
"Anda mengatakan sesuatu Pak?" tanya Valeria saat mendengar gumaman kecil Revan.Revan yang masih tersenyum seketika merubah wajah datarnya, kini ia sudah menemukan wanita itu, ia harus bisa mengkonfirmasinya dari mulut Valeria sendiri."Tidak, tidak ada. Sepertinya kamu salah dengar,""Ah begitu, saya akan membawa berkas-berkas ini.""Tunggu sebentar, Valeria."Valeria tersentak saat Revan tiba-tiba bangkit lalu mendekat ke hadapannya. Wajah mereka sangat dekat hingga membuat Valeria merasa gugup seketika."Ada apa, Pak?""Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku di luar kantor?"Mata Valeria melebar sempurna mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Revan. Apa Revan menyadarinya? Apa pria itu tahu bahwa mereka pernah bertemu di suatu bar?"Kenapa Anda bertanya seperti itu?" Tanya Valeria dengan gugup."Entah kenapa kamu terlihat mirip dengan seseorang yang saya temui di suatu bar."Mendengar hal itu Valeria segera mengibaskan tangannya dengan cepat, "Saya ini wanita rumahan Pak,
Jawab saya Valeria."Revan semakin mendekat, wajah mereka begitu dekat hingga Valeria menjadi semakin gugup."Jawab saya atau saya bisa melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan."Valeria kembali tersentak saat wajah mereka hanya berjarak tinggal beberapa inchi saja."Itu adalah milik saya!" Teriak Valeria kuat saat Revan terus menekan dirinya. Bibir Revan hampir saja menempel jika Valeria tidak segera bertindak. Valeria tersentak saat sebuah senyuman lebar terlihat di wajah Revan Mahendra."I got you. Akhirnya kamu mengaku."Mata Valeria melebar sempurna mendengar ucapan Revan, kepalanya mulai mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi."Bapak menjebak saya?""Saya harus melakukan itu karena kamu selalu menghindar."Valeria seketika terperangah, dengan kesal ia mendorong tubuh Revan dari hadapannya, "Bapak tidak perlu melakukan hal ini untuk membuat saya mengaku, saya pasti akan mengganti kemeja Bapak," lanjut Valeria dengan nafas terengah-engah."Apa?""Bapak membuat keributan k
Valeria yang melihat Laura yang ditarik oleh Erik segera menahan mereka."Ada apa ini?""Ini semua gara-gara kamu, Valeria! Gara-gara kamu!"Valeria terlihat mengerutkan dahinya mendengar teriakan Laura. Namun, belum sempat ia kembali bertanya, Erik terlihat menahan dirinya, "Sebaiknya kamu jangan terlibat, ini keputusan Pak Revan,"Valeria hanya bisa terperangah tidak mengerti. Belum selesai dengan kebingungannya, ponselnya yang berada di dalam saku bajunya bergetar dengan kuat. Valeria segera melihat pesan itu, matanya seketika melebar sempurna melihat siapa yang mengirimkannya, Revan Mahendra."Temui saya sepulang bekerja."Valeria menggigiti jari jemarinya lalu merutuk kuat. Gawat! Revan pasti akan kembali mengungkit pembicaraan mereka tadi. Apa yang harus ia lakukan?Maka sebelum Revan keluar dari ruangannya, Valeria segera melesat keluar dari bilik kerjanya lalu memasuki lift. Sesampainya di sana, Valeria terlihat menghela nafasnya panjang, berpikir bahwa Revan tidak mungkin men
Besoknya Valeria segera bergerak menuju ke ruangan Revan. Emosinya yang belum terkontrol oleh tindakan keluarganya membuat Valeria tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia segera mengetuk pintu ruangan Revan dengan terburu membuat Revan yang sedang melihat suatu berkas seketika mengangkat wajahnya."Saya ingin bicara soal penawaran Anda kemarin, Pak,""Setelah kau menghindariku berkali-kali ketika aku ingin bicara, sekarang kau yang menawarkan diri sendiri untuk bicara denganku. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa itu karena kejadian di restoran saat itu?"Valeria terhenyak mendengar ucapan Revan yang tepat sasaran. Tidak ingin menjelaskan lebih detail tentang Rio dan Lucia, Valeria segera berkata, "Itu tidak penting untuk kita bahas, yang pasti saya butuh Anda untuk datang ke acara pernikahan mereka yang sepertinya akan diadakan tidak lama lagi.""Wah... Jadi mereka sudah akan menikah? Sepertinya pria itu sudah mengambil keputusan untuk membuangmu. Sebenarnya apa hubunganmu dengannya? Apa
"Mana mungkin, sepertinya Kak Rio salah memberikan kartu kepadaku. Sebentar aku akan bertanya padanya." balas Lucia.Valeria mengangguk, ia terdiam di samping Lucia menunggu adik tirinya itu menelpon Rio. Saat samar-samar ia mendengar suara operator yang mengangkat panggilan Lucia, Valeria hampir saja tergelak. Lucia terlihat menggerutu dengan kesal karena panggilannya terabaikan. Lihat, bukan? Baik Lucia ataupun Rionandra sepertinya mereka banyak beromong besar saja."Bagaimana, Lucia sayang?" ujar Valeria dengan nada sindiran yang masih melekat."Kak Rio sepertinya sedang meeting penting di kantor, aku tidak seharusnya menggangu. Aku akan membeli gaun ini lain kali," balas Lucia dengan tergeragap.Mendengar ucapan Lucia, pegawai yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Lucia yang angkuh segera berkata, "Tidak bisa, Anda sudah berjalan kesana kemari dengan gaun itu sejak Anda mencobanya, saya khawatir gaun itu akan kotor,""Saya akan membelinya sebentar lagi, kenapa harus ribut sih?
Mata Valeria seketika melebar sempurna mendengar ucapan Revan di hadapannya. Cium? Gila! Kenapa harus ada pilihan seperti itu?"Bapak jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan ya!" tukas Valeria tidak senang.Revan terlihat mengulas senyumnya, "Kenapa? Bukankah kita pernah melakukan hal yang lebih dari ini? Kau tidak mau mengulanginya?"Wajah Valeria sudah memerah. Memang mereka pernah melakukan hal yang lebih dari itu sebelum ini, namun itu saat ia sedang mabuk. Sekarang, ia merasa sadar sepenuhnya, bagaimana mungkin mereka bisa mengulangi hal-hal yang begitu intim seperti itu dengan atasannya sendiri?"Tidak, sama sekali tidak!""Kau mau atau tidak, aku akan tetap melakukannya."Valeria seketika tersentak mendengar ucapan Revan. Ia memejamkan matanya dengan cepat ketika wajah Revan semakin mendekat kepadanya.Melihat Valeria yang terpejam, Revan tertegun melihatnya. Wajah cantik itu membuatnya benar-benar gemas.Tuk!"Aww!"Valeria meringis saat merasakan pukulan kecil di keningn
Melihat Barbara yang hanya terdiam, penjaga keamanan itu kembali mengulurkan tangannya, "Bu? Tolong kuncinya...""Yang benar saja, kamu lupa siapa saya?""Berikan kunci itu Barbara, mobil itu merupakan pemberianku!"Barbara berdecak saat Agung rupanya sudah menyusulnya keluar, dengan kesal ia mengembalikan kunci kepada penjaga keamanan itu, "Aku sama sekali tidak butuh mobil ini!" ujarnya dengan nada angkuh sambil melirik ke arah Agung.Setelah berkata seperti itu, Barbara segera menyetop taksi lalu masuk ke dalamnya. Ia sangat kesal dengan tindakan Agung yang seenaknya, seharusnya sejak dulu ia meninggalkan Agung agar ia tidak perlu bersusah payah seperti ini. Barbara segera meminta supir taksi untuk bergerak menuju ke alamat Revan. Ia harus segera kembali bersama Revan agar tua bangka itu tau rasa.Setelah sampai Barbara mengetuk pintu Revan dengan kuat."Revan buka! Tolong buka pintunya Revan!"Revan segera membuka pintu lalu terhenyak melihat Barbara di sana, "Barbara? Kenapa kau
"Revan!"Revan memutar matanya dengan jengah saat melihat Barbara ada di depan apartemennya. Setelah membuat dirinya dan Valeria bertengkar, bagaimana bisa Barbara masih memiliki muka untuk menemuinya?Revan memilih mengabaikan wanita itu lalu berjalan maju meninggalkannya."Revan, aku sedang bicara! Aku bahkan sudah jauh-jauh datang kemari, kenapa kamu malah mengabaikan ku?"Revan berdecak saat Barbara menarik lengannya dengan kuat. Ia menatap Barbara dengan raut wajah kesal, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang kemari, Barbara. Ada apa? Apa yang kau inginkan lagi sekarang?""Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku Revan? Aku kemari tentu saja untuk menemuimu."Revan menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Barbara, "Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau sudah berhasil membuat Valeria keluar dari rumah ini sekarang. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tolong berhenti menggangguku."Sepertinya Barbara sama sekali tidak mendengarkan nada bahasa Revan yang sama sekali ti
Agung Mahendra tidak menyangka jika Valeria akan mengajaknya bertemu hari ini. Meski entah apa yang sebenarnya ingin wanita muda itu katakan hingga menyebutkan nama Barbara dan Revan hanya agar ia tidak menolak pertemuan mereka.Agung mengepalkan sebelah tangannya, lihat saja jika wanita rendahan itu berkata hal yang konyol, ia sungguh tidak akan diam saja kali ini.Agung merapihkan jasnya sebelum ia menghampiri Valeria. Tatapannya angkuh menatap tajam ke arah Valeria yang sudah datang terlebih dulu di tempat pertemuan mereka."Akhirnya Anda datang," ujar Valeria dengan senyuman tipis.Agung sama sekali tidak menunjukkan keramahtamahannya, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Hubungan kita bukanlah sebagai mertua dan menantu yang baik hingga bisa berbincang seperti ini.""Bukankah Anda datang kemari karena penasaran dengan apa yang hendak saya katakan? Silahkan duduk terlebih dulu," ujar Valeria sambil mengulurkan tangannya meminta Revan untuk duduk di hadapannya.Agung berdeham se
Tadinya Revan hanya ingin mengikuti Valeria diam-diam tanpa diketahui oleh wanita itu. Setelah meninggalkan kediaman mereka semalam, Valeria sama sekali tidak mau mengangkat panggilannya. Wanita itu terus saja menghindar seolah ingin menjauh darinya setelah semua yang terjadi. Baru semalam Valeria meninggalkan rumah, tapi sungguh Revan sudah teramat kehilangannya. Jadi di sinilah ia sekarang menguntit wanita itu diam-diam demi untuk mengetahui kabarnya. Namun, siapa yang menyangka, Rionandra tiba-tiba muncul di sana memaksa Valeria entah untuk apa. Apa pria itu sengaja melakukan itu demi mendekati Valeria lagi?Revan segera mengambil langkah, tatapannya tajam mengarah ke arah tangan Valeria yang dicekal oleh Rionandra."Lepaskan dia, Pak Rionandra Mahendra."Mau tak mau Rio melepaskan pegangan tangannya, keduanya saling menatap tajam seolah sama-sama saling menantang."Sedang ada urusan apa Anda dengan istri saya?" tanya Revan dengan nada dominan.Rio terlihat mendengus, "Astaga, apa
Hari ini Rio sengaja mengajukan cuti demi bertemu Valeria. Ia berdiri di depan rumah mertuanya dengan bingung. Ia datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, alasan apa yang bisa ia berikan kepada mertuanya agar tidak menimbulkan rasa curiga. Ah sudahlah, ia bisa berpura-pura menanyakan masalah pekerjaan sambil menemui Valeria.Rio segera menekan bel pintu, asisten rumah tangga Yanuar yang sudah mengenalnya segera mempersilahkan dirinya untuk masuk.Setelah meminta menunggu sebentar, Kalina datang menyambutnya."Rio, kenapa datang kemari mendadak begini? Kamu sendirian?"Rio mengangguk kecil, "Ya, Rio sendiri, Ma. Kata Lucia, kalian juga akan bertemu nanti sore.""Ah ya Mama mau pergi dengan Lucia, sudah lama sekali Mama tidak jalan-jalan dengan anak Mama."Rio hanya tersenyum, ia melemparkan pandangannya ke seluruh rumah, mencari keberadaan Valeria. Melihat gerak gerik Rio, Kalina menjadi curiga, "Kamu kenapa datang kemari?"Mendapat teguran dari Kalina, Rio menyentuh tengkuknya
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika
Revan terperangah mendengar ucapan Valeria, ia sungguh terkejut, darimana Valeria bisa mengetahui dirinya bersama dengan Barbara selama semalam penuh?"Kau tahu?""Bukankah Anda sendiri yang memberi tahukannya, Pak Revan?"Raut wajah Revan segera menjadi resah mendengar sapaan Valeria kepadanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Valeria kembali menjaga jarak?"Valeria, aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi, sungguh aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini?""Apa? Tidak mengerti?" Valeria seketika mendengus, rasanya ia ingin tertawa mendengarnya. Valeria segera mengambil ponselnya lalu menunjukkan pesan semalam yang ia terima dari Revan."Ini... Apakah Anda sengaja mengirim pesan ini agar saya melihatnya?"Revan terperangah, matanya melebar sempurna melihat foto yang diberikan oleh Valeria. Itu adalah fotonya, fotonya yang tengah tertidur sedang berdekatan dengan Barbara. Kening Revan berkerut dalam, kapan foto ini diambil? Apa Barbara yang mengambilnya? Sial,
Barbara mengerjapkan matanya saat mulai tersadar dari pingsannya. Ia tersenyum saat melihat Revan yang berada di hadapannya sedang tertidur dengan lelap. Hatinya bersorak dengan riang. Berhasil! Ia berhasil membuat Revan mengikuti apa yang ia katakan, hanya dengan sedikit ancaman dan juga trik mengambil simpatinya, Barbara dapat kembali menjerat Revan untuk berada di sampingnya.Barbara mengusap lembut wajah Revan sambil bergumam, "Kamu akan selalu menjadi milikku, Revan. Lihat saja." Inilah yang Barbara inginkan, Revan Mahendra yang muda dan tampan rupawan, bukannya Agung si tua Bangka.Tepat saat ia tengah menikmati ketampanan Revan, ponsel Revan terdengar bergetar di sakunya. Penasaran, Barbara segera mengambil benda elektronik tersebut dengan perlahan dari sana, sepertinya ada yang mengirim pesan pada Revan saat ini. Raut wajah Barbara seketika berubah saat melihat siapa yang berada di layar depan ponsel itu, Valeria Anderson... Pesan apa yang dikirim wanita itu sebenarnya?Demi m
Revan masuk ke dalam mobilnya dengan cepat, sebenarnya ia merasa tidak nyaman karena harus meninggalkan Valeria saat ini, tapi sepertinya ia harus pergi. Revan segera memakai penyuara telinga lalu mulai menjawab panggilan dari sana. Ia berdecak dengan kuat. Barbara selalu saja membuat onar yang tidak pernah Revan duga."Barbara, apa yang sebenarnya tengah kau katakan? Jernihkan pikiranmu!" Teriak Revan mulai emosional. Tadi ia tidak bisa melakukannya karena ada Valeria di sekitarnya, ia tidak menyangka jika Barbara menghubunginya hanya untuk berkata bahwa ia hendak bunuh diri. Dengan suara tangis yang menggema, Barbara mengancam Revan untuk segera menemuinya atau ia akan berbuat nekad.Rahang Revan bergemretak, tidak, ia menyusul Barbara bukan karena masih mencintainya, namun Jika Barbara benar-benar berbuat nekad maka ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena telah melukai orang lain."Aku hanya ingin kita kembali bersama, Revan. Aku hanya mencintaimu, jika kau memilih bersama o