"Sial, aku terlambat!"
Valeria berlari kecil menuju kantornya dengan nafas tersengal. Akibat kejadian semalam, kini ia harus terlambat datang bekerja karena persiapannya yang kurang. Ia baru bekerja beberapa hari, namun kini ia datang terlambat. Gawat! Gawat sekali!Valeria ingin sekali berlari lebih kencang, namun area pahanya yang masih terasa sakit membuat langkahnya sedikit sulit. Jika saja area itu baik-baik saja, ia dapat berlari dengan kencang tanpa masalah.Valeria begitu terburu-buru hingga saat sampai di depan pintu perusahaan, kakinya tergelincir ke arah depan lalu bruuuk...Tubuh mungilnya menimpa tubuh atletis seorang pria. Valeria mengerjap beberapa kali saat melihat pria yang berada di hadapannya. Dada bidang ini... Wajah tampan rupawan ini... Bukankah pria ini adalah pria yang menghabiskan waktu dengannya semalam?Semua orang di sana terlihat terperangah melihat pemandangan itu. Begitu pula Erik yang berada di sampingnya, ia sangat terkejut melihat kesialan yang menimpa pegawai baru ini. Baru satu minggu bekerja di sini ia malah menabrak atasan garang mereka saat terlambat datang."Bisa kamu menyingkir dari tubuh saya?""Ah maaf."Valeria yang mendengar nada dingin itu segera menyadarkan dirinya lalu bangkit. Ia begitu terkejut dengan pertemuan mereka hingga tidak sadar hanya terdiam di atas tubuh pria itu. Valeria melirik diam-diam melihat pria yang sedang membersihkan debu-debu halus di kemejanya. Apa pria ini sama sekali tidak mengingat dirinya?"Anda baik-baik saja, Pak Revan?" Tanya Erik dengan nada cemas. Erik lalu mengalihkan pandangannya ke arah Valeria yang hanya tertegun, "Beliau adalah presdir di perusahaan kita, dimana mata kamu sebenarnya sampai menabrak Beliau? Bagaimana jika Beliau sampai terluka?"Mata Valeria sontak terbelalak lebar mendengar ucapan Erik. Jadi pria ini adalah atasan di kantornya? Bagaimana mungkin? Menghabiskan malam bersama dengan pria asing saja sudah cukup mengejutkan, apalagi mengetahui fakta bahwa pria itu adalah atasannya sendiri. Apa kehidupannya selalu sial seperti ini?"Dia atasan di sini? Astaga." gumam Valeria kecil.Nyatanya gumaman kecil Valeria terdengar oleh Revan, Revan terlihat menatap tajam ke arah Valeria lalu bertanya, "Apa ada yang salah karena saya menjadi atasan di sini?""Ti-tidak Pak," balas Valeria dengan tergeragap."Bagaimana sebenarnya kau melatih pegawai kita, Erik? Apa dia bekerja tapi tidak tahu siapa yang menggajinya?" tuduh Revan tajam.Erik terlihat menunduk kecil, "Maafkan saya, dia baru beberapa hari di sini jadi sepertinya belum terlalu mengenal keadaan seluruh kantor," Erik menatap Valeria kembali, "Bukankah sewaktu wawancara saya sudah mengatakan segalanya tentang perusahaan ini? Bagaimana kamu bisa lupa?"Valeria merutuk dirinya sendiri di dalam hati. Ketika wawancara itu ia sama sekali tidak memerhatikan dengan fokus wawancaranya karena sedang bertengkar dengan Rionandra. Valeria menundukkan wajah berkali-kali dengan gemetar ketakutan, "Maafkan saya, Pak. Sungguh maafkan saya."Tatapan intimidasi dari Revan sontak membuat wajah Valeria semakin menunduk. Sebenarnya ia sudah mendengar rumor beberapa kali bahwa atasannya ini merupakan pribadi yang tegas dan disiplin. Jika melihat suatu kelalaian yang dilakukan oleh pegawainya, Revan tidak segan-segan memberikan hukuman yang berat. Tamat sudah riwayatnya kali ini, sudah terlambat kini ia menabrak atasan pula."Siapa namamu?""Valeria. Valeria Anderson.""Ikut ke ruangan saya Nona Valeria Anderson."Valeria hanya bisa menelan ludah mendengar perkataan Revan yang terakhir, dengan langkah lunglai ia mengikuti langkah Revan dan Erik ke dalam ruangan Revan. Valeria masih menunduk takut-takut, Revan pasti sudah menandai dirinya sebagai pegawai yang teramat buruk di sini."Apa kamu tahu ini jam berapa, Nona Valeria Anderson?"Valeria mengangkat wajahnya, "Jam delapan lewat tiga puluh menit.""Sedangkan jam masuk kerja kita?""Jam delapan tepat, Pak." jawab Valeria semakin takut."Jadi selain tidak mengenal saya, apa lagi kesalahan kamu?"Valeria segera menegakkan tubuhnya, "Siap saya salah karena datang terlambat.""Jadi kenapa kamu datang terlambat hari ini?" Tanya Revan kembali dengan dingin.Valeria berdecak, rasanya ingin sekali ia menjawab bahwa itu gara-gara pria itu sendiri, namun melihat Revan sama sekali tidak mengingat kejadian semalam, mana mungkin ia berani melakukan itu?"Nona Valeria? Kamu mendengar saya?" Ulang Revan kembali."Maafkan saya Pak, saya bangun kesiangan," balas Valeria dengan lemah."Jadi, hanya itu alasan yang kamu pikirkan?""Saya minta maaf, Pak.""Kamu dipecat."Perkataan Revan yang terakhir sontak membuat mata Valeria membulat. Ia dipecat? Ia dipecat ketika baru beberapa hari bekerja di sini? Ia bekerja di sini karena ingin hidup mandiri tanpa bayang-bayang keluarganya yang selalu membanggakan Lucia, adik tirinya. Apa yang terjadi jika ia dipecat begitu saja? Bagaimana dengan cicilan sewa flatnya yang sudah menunggu di depan nanti?"Tapi Pak–""Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak disiplin seperti kamu, kamu dipecat.""Saya mohon Pak, jangan pecat saya," ucap Valeria sambil merapatkan tangannya di depan dada. Sungguh, ia tidak ingin dipecat seperti ini, ayahnya pasti akan merendahkannya lagi jika mengetahuinya."Saya tidak ingin mendengarkan apapun lagi. Kamu dipecat, jadi keluar dari ruangan saya.""Tolong Pak!""Keluar Nona Valeria!"Melihat Revan yang berkeras hati, Valeria segera menjatuhkan dirinya di hadapan pria itu. Sungguh ia lebih baik mati daripada harus kembali bergantung pada keluarga yang tidak mengharapkannya. Perusahaan ini adalah satu-satunya jalan yang ia pikirkan untuk terlepas dari sang ayah."Apa yang kamu lakukan? Bangun!""Saya akan melakukan apapun agar Bapak tidak memecat saya hari ini. Tolong buka hati nurani Bapak, saya pastikan ini tidak akan terjadi lagi."Revan terlihat mengerutkan keningnya, sebenarnya ia paling malas mendengarkan alasan orang yang tidak disiplin seperti Valeria. Baginya kedisiplinan dan tanggung jawab adalah nomor satu. Namun, melihat pandangan Valeria yang begitu sungguh-sungguh membuat Revan merasa tersentuh."Tolong Pak, jangan pecat saya." Sekali lagi Valeria merintih, memohon sebuah permohonan."Kamu benar-benar akan melakukan apapun agar saya tidak memecat kamu?""Ya Pak, apapun. Saya akan melakukan apapun yang Bapak perintahkan kepada saya.""Kalau begitu mulai besok kamu akan menjadi sekertaris saya. Saya sendiri yang akan mengawasi kinerja kamu mulai dari sekarang."Valeria terlihat melongo di tempat. Apa katanya tadi? Ia akan menjadi sekertaris Revan? Dengan kejadian semalam, bagaimana mungkin ia bisa fokus bekerja berada di bawah pengawasan pria itu?Melihat Valeria hanya terdiam, Revan kembali membuka mulutnya, "Kenapa? Kamu keberatan? Baiklah saya akan segera meminta Erik untuk memproses surat pemecatan kamu segera."Mendengar hal itu Valeria segera berteriak, "Jangan Pak! Baik, saya bersedia.""Ini adalah kesempatan terakhir yang bisa saya berikan mengingat kamu adalah pegawai baru di sini. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah saya berikan, Valeria."Valeria hanya mengangguk, "Kalau begitu saya permisi.""Ah satu hal lagi, Valeria. Erik selalu membangunkan saya setiap pagi sebelum berangkat kerja. Karena kamu yang akan menjadi sekertaris saya, kamu yang akan melakukan tugas itu besok. Semua perihal kunci ada pada Erik, kamu bisa bertanya padanya."Mata Valeria kembali membulat mendengar ucapan Revan. Apa katanya tadi? Dia harus membangunkan pria itu juga?Meski sepanjang jalan Valeria menggerutu karena harus berangkat lebih pagi lagi karena tugas Revan, namun Valeria tetap berjalan menuju kediaman pria itu. Ketika sampai, sejenak ia tertegun melihat penampakan apartemen mewah di hadapannya. Valeria menelan ludah, flat kecil yang ia sewa bahkan tidak ada setengah luasnya dari apartemen ini.Valeria segera menempelkan kartu akses di sana lalu masuk ke dalamnya. Ia melongokkan wajah, mencari keberadaan Revan. Nafas Valeria tercekat melihat penampakan Revan yang berada di atas ranjang dengan tubuh yang bertelanjang dada. Wajahnya seketika memerah teringat dengan malam panas mereka melihat postur tubuh yang begitu rupawan ini. Valeria seketika menggeleng dengan kuat. Fokus Valeria, ia hanya harus fokus bekerja.Valeria segera mendekatkan dirinya, ia menyentuh bahu Revan dengan perlahan lalu berkata, "Pak Revan bangun, sebentar lagi Anda harus mengikuti sebuah meeting."Melihat Revan tidak bergeming, Valeria berdecak. Pantas saja pagi itu Re
Valeria terperangah mendengar ucapan Revan di depannya. Matanya mengerjap beberapa kali, apa ia tidak salah dengar? Apa Revan baru saja memintanya untuk makan siang bersama?"Apa Pak?""Bangun, temani saya makan siang."Valeria ternganga mendengar hal itu, ternyata benar, Revan memang mengajaknya makan siang bersama."Tapi Pak, pekerjaan saya–""Itu bisa ditunda, ayo pergi."Tanpa mendengar jawaban Valeria, Revan terlihat bergerak. Valeria berdecak lalu bangkit, kenapa atasannya selalu saja seenaknya sendiri?Namun, baru beberapa langkah ia mengikuti Revan, tatapan ingin tahu para rekan kerjanya terlihat mengikuti mereka berdua, bahkan bukan hanya itu beberapa dari mereka memberikan tatapan sinisnya."Lihat itu, bukankah itu pegawai yang terlambat kemarin?""Kenapa mereka berjalan berdampingan ya? Mereka mau kemana sebenarnya?""Padahal Pak Revan orang yang keras, jangan-jangan dia menggoda Pak Revan dengan licik.""Wajahnya saja yang polos ternyata."Valeria seketika menghentikan lan
Valeria tersentak mendengar ucapan Revan yang menyebut mereka sebagai teman dekat. Ia sudah hendak menjelaskan tentang Revan, namun Revan terlihat tersenyum ke arahnya lalu menggenggam tangannya."Teknisnya aku sedang mendekati wanita ini," lanjut Revan kembali membungkam mulut Valeria.Lucia dan Rionandra terlihat terperangah, Rio yang mulai merasa kesal karena ada pria lain yang dekat dengan Valeria ketika hubungan mereka belum lama berakhir segera mengepalkan sebelah tangan. Ia melepas genggaman tangan Lucia lalu maju mendekat dengan tatapan tajam."Teman dekat? Aku tidak pernah melihat orang sepertimu dekat dengan Valeria sebelumnya.""Sepertinya Valeria tidak banyak bercerita tentangku. Aku sungguh kecewa, Val. Padahal aku berharap kau memberi tahu siapapun tentangku."Valeria yang mendengar ucapan Revan hanya tersenyum canggung, entah apa sebenarnya yang dilakukan pria ini. Sementara tatapan Rio semakin tajam terhadap pria itu, ia sungguh tidak suka dengan Revan yang memanggil V
"Ah tunggu... Jangan di ruangan saya, kita bicara di balkon saja." ucap Revan selanjutnya mengingat bahwa Valeria masih ada di sana."Baik Pak, saya akan pergi menuju balkon sekarang."Revan segera keluar dari ruangannya, Valeria yang melihat Revan hendak bergegas segera bangkit berdiri, "Pak, Anda mau kemana?""Ada yang harus saya lakukan, kamu di sini saja."Meski merasa bingung dengan tindakan Revan, Valeria akhirnya mengangguk lalu duduk kembali di kursinya. Revan segera bergegas menuju balkon, ia harus tahu apakah Valeria dan wanita itu adalah orang yang sama atau bukan.Erik sudah menunggu di sana, ia menundukkan wajahnya saat melihat kedatangan Revan."Bagaimana hasil pencarian kamu tentang wanita itu, Erik?"Erik terlihat mengerutkan alis, "Wanita itu?""Wanita yang ku temui di bar Rodeo Angels, apa kamu melupakan tugas itu?"Erik segera menunduk kembali. Astaga, bukan ia melupakan tugas itu, tapi sungguh mencari keberadaan dan identitas wanita itu bagai mencari jarum dalam t
"Ah tentu saja," balas Valeria dengan canggung. Meski ia merasa aneh dengan permintaan Laura, namun tidak mungkin ia bisa menolak hal ini begitu saja. Ini hanya masalah soal parfum, tidak akan jadi masalah untuk ke depannya, bukan?Valeria segera mengambil ponsel lalu menunjukkan merek parfum yang ia gunakan ke arah Laura. Laura tersenyum dengan lebar melihat Valeria yang memberikan hal itu secara cuma-cuma."Aku akan langsung memesannya, kau benar-benar baik, Val. Setelah ini kita akan berteman baik,"Valeria hanya balas tersenyum dengan canggung. Ia mengangkat bahunya, mencoba tidak berburuk sangka kepada wanita yang berada di sampingnya. Mungkin Laura memang hanya menyukai parfum itu. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Berteman dengan Laura juga tidak ada salahnya, ia pegawai baru ia harus banyak membangun koneksi. Lagipula karena Revan, rekan kerja yang awalnya dekat dengannya kini seperti menghindar darinya.Mobil milik Laura pun mulai berjalan meninggalkan area kantor menuju fla
Revan sungguh tidak menyangka, tadinya ia sungguh yakin jika Valeria adalah wanita yang menghabiskan malam bersamanya saat itu. Tapi, tiba-tiba semua firasatnya terbantahkan oleh pengakuan Laura. Entah kenapa mengetahui bahwa wanita itu adalah Laura, ia sedikit kecewa.Revan segera melepaskan cengkeramannya pada Laura lalu berkata, "Baiklah aku mengerti."Laura terlihat terkejut melihat Revan yang kembali melepaskan dirinya, "Anda tidak ingin bicara atau membahas apapun tentang malam itu?""Kita bicarakan ini lagi nanti,"Laura hanya melongo mendengarnya. Apa-apaan ini? Kenapa semuanya sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan? Padahal ia sudah mengaku bahwa ia adalah wanita itu, tapi kenapa Revan sama sekali tidak terlihat senang?"Tapi Pak, saya–""Kita bicara lagi nanti, silahkan keluar."Laura seketika terperangah, namun melihat sorot mata Revan yang menusuk ia segera membuka pintu ruangan atasannya itu lalu beranjak pergi. Laura menggigiti jari jemarinya dengan seba
"Anda mengatakan sesuatu Pak?" tanya Valeria saat mendengar gumaman kecil Revan.Revan yang masih tersenyum seketika merubah wajah datarnya, kini ia sudah menemukan wanita itu, ia harus bisa mengkonfirmasinya dari mulut Valeria sendiri."Tidak, tidak ada. Sepertinya kamu salah dengar,""Ah begitu, saya akan membawa berkas-berkas ini.""Tunggu sebentar, Valeria."Valeria tersentak saat Revan tiba-tiba bangkit lalu mendekat ke hadapannya. Wajah mereka sangat dekat hingga membuat Valeria merasa gugup seketika."Ada apa, Pak?""Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku di luar kantor?"Mata Valeria melebar sempurna mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Revan. Apa Revan menyadarinya? Apa pria itu tahu bahwa mereka pernah bertemu di suatu bar?"Kenapa Anda bertanya seperti itu?" Tanya Valeria dengan gugup."Entah kenapa kamu terlihat mirip dengan seseorang yang saya temui di suatu bar."Mendengar hal itu Valeria segera mengibaskan tangannya dengan cepat, "Saya ini wanita rumahan Pak,
Jawab saya Valeria."Revan semakin mendekat, wajah mereka begitu dekat hingga Valeria menjadi semakin gugup."Jawab saya atau saya bisa melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan."Valeria kembali tersentak saat wajah mereka hanya berjarak tinggal beberapa inchi saja."Itu adalah milik saya!" Teriak Valeria kuat saat Revan terus menekan dirinya. Bibir Revan hampir saja menempel jika Valeria tidak segera bertindak. Valeria tersentak saat sebuah senyuman lebar terlihat di wajah Revan Mahendra."I got you. Akhirnya kamu mengaku."Mata Valeria melebar sempurna mendengar ucapan Revan, kepalanya mulai mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi."Bapak menjebak saya?""Saya harus melakukan itu karena kamu selalu menghindar."Valeria seketika terperangah, dengan kesal ia mendorong tubuh Revan dari hadapannya, "Bapak tidak perlu melakukan hal ini untuk membuat saya mengaku, saya pasti akan mengganti kemeja Bapak," lanjut Valeria dengan nafas terengah-engah."Apa?""Bapak membuat keributan k
"Apa maksud?"Melihat Barbara yang menatapnya dengan raut wajah tidak mengerti membuat Revan seketika mendengus, "Rupanya kau benar-benar tidak tahu. Baiklah akan ku beritahu yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini karena kekacauan yang kita buat. Aku dipecat oleh ayahku."Barbara tersentak mendengar ucapan Revan, "Apa?""Ya aku baru saja dipecat secara tidak hormat oleh ayahku kemarin. Semua pemilik saham mengambil keputusan agar aku dikeluarkan dari perusahan. Jadi ya sekarang, aku tidak memiliki apa-apa. Aku bahkan berniat menjual apartemen ini nanti,"Mata Barbara seketika melebar, ia mundur beberapa langkah dari pegangan Revan. Kata-kata Revan sekarang seolah tidak bisa dipercaya, "Kau bercanda, bukan?""Astaga, untuk apa aku bercanda? Jadi kau benar-benar ingin bersamaku. Kalau begitu pertama kita jual tas mewahmu ini!"Revan seketika bergerak ke arah Barbara hendak merampas tasnya. Melihat tindakan Revan, Barbara semakin terkejut ia menepis tangan Revan dengan panik, "Apa yang
Melihat Revan yang masih saja terdiam saat ia mengulurkan berkas perceraian itu, Valeria seketika menghela nafas. Ia segera menyimpan berkas itu di atas meja lalu berkata, "Jika Anda masih tidak mau menerimanya terserah. Saya akan menyimpan berkas itu di sini. Anda harus menandatanganinya segera.""Lalu bagaimana dengan anak kita?" Tanya Revan lirih. Penyesalan yang ia rasakan semakin dalam. Ia sudah hancur lebur saat ini dan kehancurannya semakin terasa menyakitkan karena harus berpisah dengan Valeria."Saya yang akan merawatnya sendirian.""Tapi aku ayahnya, Valeria. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan lagi? Setidaknya untuk anak kita?""Saya yang akan mengurusnya, Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa melakukan apapun yang Anda mau tanpa harus terbebani dengan janin yang sedang saya kandung ini."Satu air mata seketika jatuh dari kelopak mata Revan. Merasa sangat terpukul karena ia sama sekali tidak berdaya. Kesalahannya terhadap wanita yang dicintainya ini memang sungguh tidak b
"Ada pengumuman mendadak yang diselenggarakan oleh Pak Agung dan seluruh pemilik anggota saham hari ini, Pak. Anda harus datang,"Revan menghela nafasnya panjang setelah mendapat pesan dari Erik beberapa menit yang lalu. Sudah ia duga ayahnya tidak akan menunggu lama untuk menyelesaikan masalah mereka. Tepat setelah hubungan masa lalu dirinya dan juga Barbara terbongkar, ayahnya segera bertindak.Revan segera masuk ke dalam ruang meeting yang sudah diisi oleh anggota pemilik saham dan juga ayahnya sendiri. Masalahnya dengan Barbara pasti akan ayahnya gunakan untuk menyingkirkannya dari perusahaan ini."Rupanya kamu masih punya muka untuk datang ke perusahaan,"Revan hanya terdiam mendengar sindiran sang ayah sebelum rapat berlangsung. Kali ini ia memilih untuk tidak mendebat pria paruh baya yang sedarah dengannya itu. Ia yakin setelah mengetahui sifat Barbara, ayahnya sama terlukanya dengan dirinya."Rasakan sendiri akibat dari perbuatanmu, Revan. Aku akan mendepakmu dari perusahaan k
Melihat Barbara yang hanya terdiam, penjaga keamanan itu kembali mengulurkan tangannya, "Bu? Tolong kuncinya...""Yang benar saja, kamu lupa siapa saya?""Berikan kunci itu Barbara, mobil itu merupakan pemberianku!"Barbara berdecak saat Agung rupanya sudah menyusulnya keluar, dengan kesal ia mengembalikan kunci kepada penjaga keamanan itu, "Aku sama sekali tidak butuh mobil ini!" ujarnya dengan nada angkuh sambil melirik ke arah Agung.Setelah berkata seperti itu, Barbara segera menyetop taksi lalu masuk ke dalamnya. Ia sangat kesal dengan tindakan Agung yang seenaknya, seharusnya sejak dulu ia meninggalkan Agung agar ia tidak perlu bersusah payah seperti ini. Barbara segera meminta supir taksi untuk bergerak menuju ke alamat Revan. Ia harus segera kembali bersama Revan agar tua bangka itu tau rasa.Setelah sampai Barbara mengetuk pintu Revan dengan kuat."Revan buka! Tolong buka pintunya Revan!"Revan segera membuka pintu lalu terhenyak melihat Barbara di sana, "Barbara? Kenapa kau
"Revan!"Revan memutar matanya dengan jengah saat melihat Barbara ada di depan apartemennya. Setelah membuat dirinya dan Valeria bertengkar, bagaimana bisa Barbara masih memiliki muka untuk menemuinya?Revan memilih mengabaikan wanita itu lalu berjalan maju meninggalkannya."Revan, aku sedang bicara! Aku bahkan sudah jauh-jauh datang kemari, kenapa kamu malah mengabaikan ku?"Revan berdecak saat Barbara menarik lengannya dengan kuat. Ia menatap Barbara dengan raut wajah kesal, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang kemari, Barbara. Ada apa? Apa yang kau inginkan lagi sekarang?""Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku Revan? Aku kemari tentu saja untuk menemuimu."Revan menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Barbara, "Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau sudah berhasil membuat Valeria keluar dari rumah ini sekarang. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tolong berhenti menggangguku."Sepertinya Barbara sama sekali tidak mendengarkan nada bahasa Revan yang sama sekali ti
Agung Mahendra tidak menyangka jika Valeria akan mengajaknya bertemu hari ini. Meski entah apa yang sebenarnya ingin wanita muda itu katakan hingga menyebutkan nama Barbara dan Revan hanya agar ia tidak menolak pertemuan mereka.Agung mengepalkan sebelah tangannya, lihat saja jika wanita rendahan itu berkata hal yang konyol, ia sungguh tidak akan diam saja kali ini.Agung merapihkan jasnya sebelum ia menghampiri Valeria. Tatapannya angkuh menatap tajam ke arah Valeria yang sudah datang terlebih dulu di tempat pertemuan mereka."Akhirnya Anda datang," ujar Valeria dengan senyuman tipis.Agung sama sekali tidak menunjukkan keramahtamahannya, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Hubungan kita bukanlah sebagai mertua dan menantu yang baik hingga bisa berbincang seperti ini.""Bukankah Anda datang kemari karena penasaran dengan apa yang hendak saya katakan? Silahkan duduk terlebih dulu," ujar Valeria sambil mengulurkan tangannya meminta Revan untuk duduk di hadapannya.Agung berdeham se
Tadinya Revan hanya ingin mengikuti Valeria diam-diam tanpa diketahui oleh wanita itu. Setelah meninggalkan kediaman mereka semalam, Valeria sama sekali tidak mau mengangkat panggilannya. Wanita itu terus saja menghindar seolah ingin menjauh darinya setelah semua yang terjadi. Baru semalam Valeria meninggalkan rumah, tapi sungguh Revan sudah teramat kehilangannya. Jadi di sinilah ia sekarang menguntit wanita itu diam-diam demi untuk mengetahui kabarnya. Namun, siapa yang menyangka, Rionandra tiba-tiba muncul di sana memaksa Valeria entah untuk apa. Apa pria itu sengaja melakukan itu demi mendekati Valeria lagi?Revan segera mengambil langkah, tatapannya tajam mengarah ke arah tangan Valeria yang dicekal oleh Rionandra."Lepaskan dia, Pak Rionandra Mahendra."Mau tak mau Rio melepaskan pegangan tangannya, keduanya saling menatap tajam seolah sama-sama saling menantang."Sedang ada urusan apa Anda dengan istri saya?" tanya Revan dengan nada dominan.Rio terlihat mendengus, "Astaga, apa
Hari ini Rio sengaja mengajukan cuti demi bertemu Valeria. Ia berdiri di depan rumah mertuanya dengan bingung. Ia datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, alasan apa yang bisa ia berikan kepada mertuanya agar tidak menimbulkan rasa curiga. Ah sudahlah, ia bisa berpura-pura menanyakan masalah pekerjaan sambil menemui Valeria.Rio segera menekan bel pintu, asisten rumah tangga Yanuar yang sudah mengenalnya segera mempersilahkan dirinya untuk masuk.Setelah meminta menunggu sebentar, Kalina datang menyambutnya."Rio, kenapa datang kemari mendadak begini? Kamu sendirian?"Rio mengangguk kecil, "Ya, Rio sendiri, Ma. Kata Lucia, kalian juga akan bertemu nanti sore.""Ah ya Mama mau pergi dengan Lucia, sudah lama sekali Mama tidak jalan-jalan dengan anak Mama."Rio hanya tersenyum, ia melemparkan pandangannya ke seluruh rumah, mencari keberadaan Valeria. Melihat gerak gerik Rio, Kalina menjadi curiga, "Kamu kenapa datang kemari?"Mendapat teguran dari Kalina, Rio menyentuh tengkuknya
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika