Gelisah masih melanda Adrienne setelah pemeriksaan tadi. Otaknya terus berusaha memikirkan rangkaian kalimat apa yang akan ia sampaikan pada Drew setelah ini andaikata pria itu menanyakan hasil pemeriksaannya, bahkan bisa jadi pula Drew akan menanyakan apakah dirinya telah hamil kah belum. Manik hitam Adrienne terus menatap pada birunya langit nan amat cerah, kontras pun dengan suasana hatinya yang amat tak menentu. Cemas semakin merundung, semakin menjalar seiring dengan laju mobil yang melesat dengan kecepatan cukup cepat karena ia tak kunjung menemukan jawaban yang sekiranya dapat dipercaya Drew. “Maaf, Nyonya. Anda baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu atau kabar buruk dari hasil pemeriksaan Anda?” tanya Anna yang terlihat ikut penasaran akan kegelisahan Adrienne. Adrienne terkesiap. Ia mengedipkan mata, lalu menggeleng. “Tidak ada. Kukatakan aku baik-baik saja. Bisakah kita berhenti sebentar? Aku cukup lapar,” pinta Adrienne sembari membenahi posisi duduknya. “Baik, Nyonya,
Adrienne terhenyak mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Drew. Matanya nyaris membelalak, tetapi berhasil ia kendalikan agar tak membuat Drew curiga padanya.Wanita itu cukup gelagapan, otaknya kembali terpacu untuk memikirkan jawaban yang harus disampaikan pada Drew. Namun, kembali Adrienne harus merutuk ketika ia tak menemukan jawaban apapun.“Kenapa kau diam? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?” Drew memicingkan mata, menyelidik Adrienne yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.Adrienne berdehem pelan. “Tidak ada yang menarik dari hasil pemeriksaan. Hasilnya sama seperti sebelum-sebelumnya.” Ia terus berusaha bersikap senormal mungkin agar Drew tak semakin curiga. Bahkan Adrienne berjuang mati-matian menahan suaranya agar tak gemetar.Alih-alih menjawab dengan jujur bahwa dirinya tengah mengandung anak dari pria matang di depannya, Adrienne justru menciptakan scenario baru. Benar, dirinya belum siap untuk memberitahu Drew akan kehamilannya di tengah kondisi hubungan mereka
Drew menarik wajah, ia melepaskan pagutan. Di sana Adrienne tertegun hebat. Ia meluruh ke lantai, lalu tangisnya pecah sejadi-jadinya. Jiwanya terguncang hebat, sungguh demi apapun, sakit yang ia rasakan bukan main.Menggigil sekujur tubuh Adrienne, bergetar saking hebatnya rasa yang menggelogak di dalam sana. Segala emosi yang terpendam kini ia luapkan sepenuhnya. Belum lagi dengan kenyataan yang baru saja Drew sampaikan. Entah bagaimana kini wujud mental Adrienne jika saja tampak mata. Hancur lebur tak tersisa. Bercecer, berserakan tak lagi sudi ada orang yang memungutnya sampai sampah pun agaknya tampak jauh lebih baik untuk dipungut.“Kau jahat, Drew. Kau jahat sekali padaku, sungguh.” Lirih, Adrienne berucap sambil membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya. Adrienne benci terlihat lemah, tetapi sungguh, kali ini ia tak mampu menahan sesak yang mendera kuat jiwanya sampai-sampai Adrienne terisak-isak di hadapan Drew. Ia menangis. Benar-benar menangis hingga ingusnya meler-m
“Jika ya, aku akan melakukannya setiap hari agar kau bisa cepat hamil, Rien.”Mengira Drew mengatakan itu pada Adrienne? Tentu saja tidak! Kalimat itu hanya tertanam dalam benak Drew. Ingin dia ucapkan tetapi urung dilakukan. Drew sungguh ingin Adrienne cepat hamil agar Dalton Hidalgo bisa segera menobatkan dirinya sebagai kepala keluarga Hidalgo. Bukan pada Gunnar Jasper Hidalgo yang beberapa bulan lagi genap memasuki batas usia paling minim untuk menjadi pemimpin.“Kau ingin apa dariku, Drew?” Redup sekarat Adrienne memandang Drew. Nanar matanya menyorot sendu pria matang tersebut sambil mencoba menebak apa yang Drew inginkan darinya. Dia tahu, dia tahu bahwa Drew menginginkan sesuatu darinya. Namun, Adrienne tak mengetahui pasti apa itu!Drew mendengus, ia menoyor kepala Adrienne sampai wanita itu terhuyung kepalanya ke belakang. “Kau ingin bahagia tapi otak bodoh kau selalu berpikir negative. Kau memperburuk suasana hatimu sendiri.”“Yang kutau pria takkan membuat hati wanitanya s
Drew mengerutkan kening mendengar keinginan Adrienne. “Kau sakit?” tanyanya. “Bukankah hasil pemeriksaan kau sehat-sehat saja?” “Tidak apa jika kau tak mau,” balas Adrienne serak. Dia ingin, dia ingin Drew merasakan kehadiran anaknya tanpa perlu Adrienne beritahu. Dia ingin sekali saja Drew menyambut anaknya. Adrienne ingin mengakui dan berteriak di wajah Drew bahwa dirinya tengah mengandung, tetapi lagi dan lagi sosok Allena membuat Adrienne mengurungkan niatnya begitu saja. Biarlah, biarlah luka dan derita ini dia yang menanggung. Biarlah lara ini dia yang merasakan tanpa ada yang menemani ketika ia merasakan morning sickness, tanpa ada yang memapah tubuhnya ketika kaki terasa tak berpijak pada lantai setelah ia muntah-muntah dengan tubuh basah oleh keringat. “Di sini?” Wanita itu tertegun hebat, tubuhnya membeku seperti tengah berada dalam kolam air es dengan suhu amat rendah ketika telapak tangan Drew berangsur, mendarat di perut Adrienne. Ketahuilah bahwa tak hanya A
“Benar. Aku tak tau apapun tentang kalian. Tapi itu dulu, tidak sekarang.” Adrienne tertawa hambar. Air matanya semakin deras bercucuran. Tak henti-henti hatinya berdenyut sakit, lirih merintih perih di dalam sana. Berbanding terbalik dengan mereka yang akan dimanjakan oleh suaminya ketika hamil, dirinya justru mendapatkan tembakan luka berkali-kali. Dihantam habis-habisan. Tak berjeda barang sedikitpun. Dikatakan waras pun Adrienne seperti sudah tak memiliki kewarasan yang tersika. Gila kini dirinya, saking gilanya dia sampai turut membuat orang menjadi gila dengan ia terus berpura-pura baik-baik saja. Ia seka air matanya. Ia tatap Drew sekali lagi dengan sinar matanya yang amat kecewa, tetapi bibirnya mengulas senyum manis sampai lesung pipitnya terlihat. “Tidak ada seorang ibu yang mau dipisahkan dengan anaknya, Drew. Tak ada. Tapi kenapa kau setega ini? Bahkan kalian sudah membahas hal tersebut ketika bahkan aku belum mengandung anakmu? Jika begitu, kenapa kau tak adopsi anak
Berlari membawa segudang luka yang tak mampu Adrienne tahan rasa sakitnya. Apatah lagi sakit yang belum Adrienne rasakan? Tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayah kandung. Hidup bagai terlunta-lunta walau ada figur Bondar dalam hidupnya. Kehilangan ibunda yang menjadi pundak untuk ia bersandar walau tak sepenuhnya dia mendapatkan curahan kasih sayang dari wanita yang telah melahirkan dirinya. Dijual. Dijadikan alat tukar. Dijadikan alat pemuas hasrat. Lalu kini, dia dihadapkan fakta bahwa kelak ia akan dipisahkan oleh anak kandungnya. Adakah mereka yang sanggup menanggung derita seperti Adrienne? Sungguhlah ia tak meminta kebahagiaan yang muluk-muluk. Hanya meminta untuk diberikan kehidupan yang layak tanpa harus lagi dia berada di sekeliling iblis berkedok manusia. “Kau di mana, Ayah? Kau di mana? Adakah kau masih hidup? Atau justru kau sudah menghadap padaNya? Tak bisakah kau datang menemuiku, membawaku pergi dari sini. Aku lelah, aku lelah sekali, sungguh!” Itu monolog te
“Anda benar-benar tidak bahagia dengannya?”Adrienne bergeming mendengar pertanyaan yang terucap dari mulut dokter tersebut. Dia tak pernah menceritakan pada siapapun tentang deritanya, bahkan tak ada yang tahu jika ia dan Drew hanya menjalin ikatan pernikahan penuh manipulasi selain para pekerja di mansion Drew.Namun, darimana dokter ini tahu bahwa ia memang tak pernah merasakan bahagia dengan Drew? Seketika Adrienne menangkap satu sinyal yang membuat matanya terbelalak, baru sadar akan sesuatu setelah sekian lamanya. “Anda sudah sangat lama bekerja dengan keluarga Hidalgo. Tak mungkin tidak mengetahui apa yang ada dalam benakku saat ini!”Melihat tatapan sinis bercampur marah Adrienne, helaan napas berat si dokter sontak terlolos begitu saja sambil pria itu membetulkan letak kacamatanya. “Kami tidak bisa melakukan apa-apa saat tau beliau memutuskan untuk menikahi Anda. Bahkan Mr. Edgar dan Mrs. Emily pun tak bisa menentang keputusan Mr. Hidalgo pertama. Sebab itu saya mengerti kena