Mengusik Allena? Sungguh kurang kerjaan sekali bukan jika Adrienne melakukannya? Lagipula takkan ia mengusik Allena jika wanita itu tak lebih dulu memulai perkara dengnnya.Malas berdebat dengan Drew, Adrienne memilih untuk mengistirahatkan diri dengan tubuh yang terasa lelah pun pikiran nan kacau balau, serta hatinya yang turut menjerit sakit. Lagi dan lagi, Drew lebih mengutamakan Allena ketimbang dirinya.Lengang jalanan kini tampak ramai lalu-lalang kendaraan seiring dengan matahari yang menaiki singgasananya dengan agung, cahayanya masuk melalui celah-celah jendela kamar Adrienne. Perlahan, kelopak mata wanita itu mulai bergerak, ia membuka mata.“Hari yang sama,” gumam Adrienne lalu menyibak selimut yang membungkus tubuhnya.Hari ini, Adrienne harus melakukan tes kesehatan rutin sesuai dengan perintah Drew semalam tepat sebelum dirinya terlelap. Seperti biasa, Drew akan absen menemani Adrienne periksa, pria itu hanya bisa menyuruhnya saja. Entah kapan Drew akan menemani wanita it
Gelisah masih melanda Adrienne setelah pemeriksaan tadi. Otaknya terus berusaha memikirkan rangkaian kalimat apa yang akan ia sampaikan pada Drew setelah ini andaikata pria itu menanyakan hasil pemeriksaannya, bahkan bisa jadi pula Drew akan menanyakan apakah dirinya telah hamil kah belum. Manik hitam Adrienne terus menatap pada birunya langit nan amat cerah, kontras pun dengan suasana hatinya yang amat tak menentu. Cemas semakin merundung, semakin menjalar seiring dengan laju mobil yang melesat dengan kecepatan cukup cepat karena ia tak kunjung menemukan jawaban yang sekiranya dapat dipercaya Drew. “Maaf, Nyonya. Anda baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu atau kabar buruk dari hasil pemeriksaan Anda?” tanya Anna yang terlihat ikut penasaran akan kegelisahan Adrienne. Adrienne terkesiap. Ia mengedipkan mata, lalu menggeleng. “Tidak ada. Kukatakan aku baik-baik saja. Bisakah kita berhenti sebentar? Aku cukup lapar,” pinta Adrienne sembari membenahi posisi duduknya. “Baik, Nyonya,
Adrienne terhenyak mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Drew. Matanya nyaris membelalak, tetapi berhasil ia kendalikan agar tak membuat Drew curiga padanya.Wanita itu cukup gelagapan, otaknya kembali terpacu untuk memikirkan jawaban yang harus disampaikan pada Drew. Namun, kembali Adrienne harus merutuk ketika ia tak menemukan jawaban apapun.“Kenapa kau diam? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?” Drew memicingkan mata, menyelidik Adrienne yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.Adrienne berdehem pelan. “Tidak ada yang menarik dari hasil pemeriksaan. Hasilnya sama seperti sebelum-sebelumnya.” Ia terus berusaha bersikap senormal mungkin agar Drew tak semakin curiga. Bahkan Adrienne berjuang mati-matian menahan suaranya agar tak gemetar.Alih-alih menjawab dengan jujur bahwa dirinya tengah mengandung anak dari pria matang di depannya, Adrienne justru menciptakan scenario baru. Benar, dirinya belum siap untuk memberitahu Drew akan kehamilannya di tengah kondisi hubungan mereka
Drew menarik wajah, ia melepaskan pagutan. Di sana Adrienne tertegun hebat. Ia meluruh ke lantai, lalu tangisnya pecah sejadi-jadinya. Jiwanya terguncang hebat, sungguh demi apapun, sakit yang ia rasakan bukan main.Menggigil sekujur tubuh Adrienne, bergetar saking hebatnya rasa yang menggelogak di dalam sana. Segala emosi yang terpendam kini ia luapkan sepenuhnya. Belum lagi dengan kenyataan yang baru saja Drew sampaikan. Entah bagaimana kini wujud mental Adrienne jika saja tampak mata. Hancur lebur tak tersisa. Bercecer, berserakan tak lagi sudi ada orang yang memungutnya sampai sampah pun agaknya tampak jauh lebih baik untuk dipungut.“Kau jahat, Drew. Kau jahat sekali padaku, sungguh.” Lirih, Adrienne berucap sambil membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya. Adrienne benci terlihat lemah, tetapi sungguh, kali ini ia tak mampu menahan sesak yang mendera kuat jiwanya sampai-sampai Adrienne terisak-isak di hadapan Drew. Ia menangis. Benar-benar menangis hingga ingusnya meler-m
“Jika ya, aku akan melakukannya setiap hari agar kau bisa cepat hamil, Rien.”Mengira Drew mengatakan itu pada Adrienne? Tentu saja tidak! Kalimat itu hanya tertanam dalam benak Drew. Ingin dia ucapkan tetapi urung dilakukan. Drew sungguh ingin Adrienne cepat hamil agar Dalton Hidalgo bisa segera menobatkan dirinya sebagai kepala keluarga Hidalgo. Bukan pada Gunnar Jasper Hidalgo yang beberapa bulan lagi genap memasuki batas usia paling minim untuk menjadi pemimpin.“Kau ingin apa dariku, Drew?” Redup sekarat Adrienne memandang Drew. Nanar matanya menyorot sendu pria matang tersebut sambil mencoba menebak apa yang Drew inginkan darinya. Dia tahu, dia tahu bahwa Drew menginginkan sesuatu darinya. Namun, Adrienne tak mengetahui pasti apa itu!Drew mendengus, ia menoyor kepala Adrienne sampai wanita itu terhuyung kepalanya ke belakang. “Kau ingin bahagia tapi otak bodoh kau selalu berpikir negative. Kau memperburuk suasana hatimu sendiri.”“Yang kutau pria takkan membuat hati wanitanya s
Drew mengerutkan kening mendengar keinginan Adrienne. “Kau sakit?” tanyanya. “Bukankah hasil pemeriksaan kau sehat-sehat saja?” “Tidak apa jika kau tak mau,” balas Adrienne serak. Dia ingin, dia ingin Drew merasakan kehadiran anaknya tanpa perlu Adrienne beritahu. Dia ingin sekali saja Drew menyambut anaknya. Adrienne ingin mengakui dan berteriak di wajah Drew bahwa dirinya tengah mengandung, tetapi lagi dan lagi sosok Allena membuat Adrienne mengurungkan niatnya begitu saja. Biarlah, biarlah luka dan derita ini dia yang menanggung. Biarlah lara ini dia yang merasakan tanpa ada yang menemani ketika ia merasakan morning sickness, tanpa ada yang memapah tubuhnya ketika kaki terasa tak berpijak pada lantai setelah ia muntah-muntah dengan tubuh basah oleh keringat. “Di sini?” Wanita itu tertegun hebat, tubuhnya membeku seperti tengah berada dalam kolam air es dengan suhu amat rendah ketika telapak tangan Drew berangsur, mendarat di perut Adrienne. Ketahuilah bahwa tak hanya A
“Benar. Aku tak tau apapun tentang kalian. Tapi itu dulu, tidak sekarang.” Adrienne tertawa hambar. Air matanya semakin deras bercucuran. Tak henti-henti hatinya berdenyut sakit, lirih merintih perih di dalam sana. Berbanding terbalik dengan mereka yang akan dimanjakan oleh suaminya ketika hamil, dirinya justru mendapatkan tembakan luka berkali-kali. Dihantam habis-habisan. Tak berjeda barang sedikitpun. Dikatakan waras pun Adrienne seperti sudah tak memiliki kewarasan yang tersika. Gila kini dirinya, saking gilanya dia sampai turut membuat orang menjadi gila dengan ia terus berpura-pura baik-baik saja. Ia seka air matanya. Ia tatap Drew sekali lagi dengan sinar matanya yang amat kecewa, tetapi bibirnya mengulas senyum manis sampai lesung pipitnya terlihat. “Tidak ada seorang ibu yang mau dipisahkan dengan anaknya, Drew. Tak ada. Tapi kenapa kau setega ini? Bahkan kalian sudah membahas hal tersebut ketika bahkan aku belum mengandung anakmu? Jika begitu, kenapa kau tak adopsi anak
Berlari membawa segudang luka yang tak mampu Adrienne tahan rasa sakitnya. Apatah lagi sakit yang belum Adrienne rasakan? Tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayah kandung. Hidup bagai terlunta-lunta walau ada figur Bondar dalam hidupnya. Kehilangan ibunda yang menjadi pundak untuk ia bersandar walau tak sepenuhnya dia mendapatkan curahan kasih sayang dari wanita yang telah melahirkan dirinya. Dijual. Dijadikan alat tukar. Dijadikan alat pemuas hasrat. Lalu kini, dia dihadapkan fakta bahwa kelak ia akan dipisahkan oleh anak kandungnya. Adakah mereka yang sanggup menanggung derita seperti Adrienne? Sungguhlah ia tak meminta kebahagiaan yang muluk-muluk. Hanya meminta untuk diberikan kehidupan yang layak tanpa harus lagi dia berada di sekeliling iblis berkedok manusia. “Kau di mana, Ayah? Kau di mana? Adakah kau masih hidup? Atau justru kau sudah menghadap padaNya? Tak bisakah kau datang menemuiku, membawaku pergi dari sini. Aku lelah, aku lelah sekali, sungguh!” Itu monolog te
Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya
“Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te
Drew menatap pemandangan kota dari jendela kantornya dengan perasaan campur aduk. Suara hiruk-pikuk dari jalanan yang biasanya memberinya sedikit ketenangan kini justru terasa mengganggu. Segala sesuatu di luar sana terlihat normal, sementara di dalam dirinya, segala sesuatunya berantakan. Ia merasakan tekanan yang terus meningkat dari berbagai sisi: perusahaan yang sedang diguncang serangan siber, desakan dari ayahnya untuk segera memiliki anak, dan ketegangan yang terus memuncak dalam rumah tangganya dengan Adrienne.Dia tahu, untuk menjaga segalanya tetap berjalan, dia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Namun, setiap kali dia berpikir tentang situasi di rumah—tentang Adrienne dan apa yang diharapkan darinya—Drew merasa seperti berada di ambang ledakan. Ini bukan hanya tentang pewaris keluarga atau mempertahankan kendali atas perusahaan. Ini adalah tentang menjaga fasad yang selama ini dia bangun; bahwa dirinya adalah pria yang memegang kendali penuh, baik dalam bis
Drew terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Adrienne. Napasnya yang tadi memburu perlahan mulai mereda, namun tatapannya tetap tajam. Dia melepaskan cengkeramannya dari rahang Adrienne tanpa melepas penyatuan keduanya. “Kau pikir kau bisa mengaturku?” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman yang jelas.Adrienne mendorong perut Drew, mencoba menciptakan jarak sejauh mungkin dari Drew. Matanya masih dipenuhi ketakutan, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Dia harus kuat, untuk dirinya sendiri.“Aku hanya ingin kau memilih, Drew. Aku istrimu,” katanya dengan suara serak. “Bukan alat untuk melahirkan anak saat kau mau.”Drew mendengus, semakin kesal hatinya hingga ia kembali bergerak. Memenui Adrienne sedalam mungkin dan lingkar mata Adrienne semakin memerah. “Jangan berpikir kau bisa mengatur hidupku. Anak itu harus ada, dan kau yang akan memberikannya padaku.”Adrienne menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia tahu percuma berdebat sekarang. Drew akan selalu men
Keesokan harinya, Adrienne dikejutkan dengan kedatangan ayah mertuanya di mansion secara tiba-tiba. Dalton Hidalgo bertolak bersama kedua ajudan yang setia berjalan di belakangnya. Adrienne yang belum siap dengan kehadiran Dalton, langsung buru-buru memastikan penampilannya agar tak buruk sekali di hadapan paruh baya itu. Sementara Drew yang sedang berkutat dengan layar monitor dengan kepala berdenyut sakit, turut terkejut karena Dalton tidak mengabarinya sama sekali. Ia bergegas keluar menghampiri ayahnya. “Selamat datang, Dad,” sapa Drew berpelukan singkat dengan Dalton. Singkat Dalton menepuk punggung Drew. “Mana menantuku?” tanyanya. “Aku membuatnya kelelahan hingga pagi buta. Rien masih di kamar,” balas Drew dengan tenang. Seolah jawaban dari pertanyaan Dalton sudah direncanakan. Begitulah piciknya Drew. “Sopan bicara seperti itu sama orang tua?” Drew terkekeh rendah melihat mata Dalton yang memicing sinis. Ia mengajak Dalton ke ruang kerja setelah meminta maid agar menyiap
Adrienne memutuskan untuk pergi ke ruang santai dan mencoba mengalihkan perasaannya dengan hal lain. Setibanya di ruang bersantai, ia meraih remote televisi dan menyalakan layar, meskipun dia tidak benar-benar tertarik pada apa yang sedang terpampang di layar televisi kini. Dia hanya butuh sesuatu untuk membuat pikirannya tetap sibuk. Namun, suara dari televisi justru terasa samar, tidak bisa menandingi kegelisahan yang terus mengganggu pikirannya.Tak lama kemudian, suara langkah Drew terdengar mendekat. Adrienne segera berusaha mengatur ekspresinya, berusaha agar terlihat biasa saja. Drew masuk datang dengan rambut setengah basah, mengenakan kaos polo putih dan celana santai krem.“Kau di sini,” kata Drew datar sambil sesekali menatap layar ponsel.“Iya,” jawab Adrienne singkat, tanpa menoleh ke arahnya.Drew tidak banyak bicara, lalu duduk di sofa, tak jauh dari tempat Adrienne berada. Suasana di antara mereka terasa sedikit canggung, tetapi Adrienne berusaha mengabaikannya.Drew
Allena mendengus lalu terkekeh di seberang telepon. Ia tak memikirkan perasaan Adrienne sama sekali, tak peduli bahwa seharusnya sesama perempuan turut merasakan sakit ketika diperlakukan tidak adil. “Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, meskipun caramu sering membuatku kesal.”Drew terkekeh pelan. “Setidaknya aku tahu bagaimana membuatmu senang,” jawab Drew dengan nada ringan, meski pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai masalah.“Kenapa tidak kembali ke apartemen? Kau senang sekali berdua bersamanya daripada denganku?” Allena mengubah topik, suaranya terdengar sangat menyebalkan. Drew membuang napas panjang seraya memijat kening pelan. Ia sendiri tak tahu mengapa ingin sekali kembali ke mansion. Bisa dikatakan bahwa dirinya akan selalu pulang menemui Allena jika fisik dan otaknya tengah benar-benar lelah, lalu berakhir kelelahan berdua dengan Allena. Menyatu dan saling berbagi keringat. “Nanti aku bertolak setelah urusan di kantor selesai. Uang yang kukirim s
Keesokan paginya, Adrienne terbangun lebih awal dari biasanya. Dia merasa sedikit lebih segar setelah tidur malam yang panjang, meskipun pikiran tentang sikap Drew dan masalah di perusahaan suaminya itu masih membayangi.Saat sedang menyiapkan sarapan ringan di dapur, Adrienne mendengar pintu depan terbuka. Ia menoleh dan melihat Drew masuk dengan wajah sangat kusut dan kelelahan. Kantung mata Drew menghitam, dan bahunya sedikit turun, jelas bahwa Drew melalui banyak waktu dengan penuh tekanan dan kerja keras.Drew memberikan jas pada maid seperti biasa, lalu berjalan menuju meja makan, di mana Adrienne sudah menyiapkan secangkir kopi untuknya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil cangkir itu dan menghirup kopi panasnya, mencoba menghilangkan rasa lelah yang menumpuk.Adrienne memperhatikan Drew dengan cermat. “Bagaimana situasinya?” tanya Adrienne berinisiatif dengan nada tenang, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya dari penampilan Drew saat ini.Drew mengangguk pelan, meletakkan
“Drew, ini masalah besar,” kata Adrienne, suaranya mantap. “Kau harus kembali ke Toronto dan mengurus ini langsung. Jangan memaksakan diri untuk tetap di sini.”Drew memandang Adrienne, ragu. “Aku tak ingin menghancurkan kesenanganmu. Kita bisa tetap berlibur di sini, dan aku bisa bekerja dari sini sementara.” Adrienne menggeleng. “Ck, jangan jadi atasan yang hanya tau kesenangannya sendiri, Drew. Kau perlu berada di sana. Perusahaanmu butuh kehadiranmu!” Drew terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Adrienne. Ia tahu bahwa Adrienne benar, dan masalah di perusahaan tidak bisa ditunda. Hanya dengan berada di Toronto, ia bisa mengatasi situasi dengan cepat.“Baiklah,” kata Drew akhirnya. “Kita akan kembali ke Toronto malam ini.”Adrienne mengangguk. “Aku akan segera mengemas barang-barang kita.” Drew menghubungi Walter lagi, memberi tahu bahwa ia akan segera kembali ke Toronto. Sementara itu, Adrienne mulai mengemas barang-barang mereka di villa begitu sampai. Meskipun ada rasa kec