Felix baru selesai mandi dan melilitkan perban ke perutnya sendiri tanpa meminta bantuan Susie atau Hvitserk. Sejak sore, Felix sibuk memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh Billy ke surelnya.
"Namanya Edward Suter, dia ingin bertemu dengan Anda, Mister." terngiang dalam kepala Felix akan perkataan Billy, penanggung jawab perusahaannya di Cape Town dan Somalia, yang menyampaikan melalui sambungan videocall jika ada seseorang ingin mengajukan kerjasama untuk project pertambangan di Somalia dengan Felix.
Baru saja Felix hendak menyalakan laptopnya untuk mencari tahu tentang Edward Suter, ponselnya sudah berdering panggilan telpon dari Hvitserk.
"Veronica di culik. Orang kita tidak bisa bertindak di sini ..."
"Tawarkan uang besar untuk para berandal jalanan!" potong Felix cepat dengan nada sangat dingin memberikan perintah. "Jika sampai Veronica terluka karena keengganan mereka bertindak, maka esok aku sendiri yang akan menghabisi mereka semuanya!" tambah Felix sambil memakai pakaian santai dari dalam lemari, bukan piyama tidur.
"Baik." Hvitserk menjawab cepat seperti keinginan Felix, lalu bertanya sebelum ia memutuskan sambungan telpon, "Apa kau ingin cari udara segar keluar sejenak?"
Tentu saja pertanyaan Hvitserk bukanlah benar-benar bermakna bertanya pada Felix yang ingin mencari udara segar, melainkan bertanya apakah sahabat sekaligus bosnya itu akan turut serta pergi menyelamatkan Veronica.
"Uhm! Perintahkan orang untuk menyiapkan mobilku!" jawab Felix tegas yang tangannya baru saja meraih pistol untuk dia selipkan ke balik pinggang serta tali panjang berujung jarum halus di bagian ujungnya yang ia masukkan ke dalam tas kecil, kini tergantung pada sisi pinggangnya.
Tidak lama kemudian, raungan suara mobil sport milik Felix sudah bergabung di jalanan. Hvitserk duduk pada kursi penumpang sambil terus memberikan perintah koordinasi dengan para anak buahnya yang sedang mengikuti Veronica.
Veronica di bawa ke sebuah rumah kosong yang diyakini jika wilayah tersebut milik Mussolini, wakil dari pejabat pemerintah yang memimpin Amalfi.
*****
"Uhmmm ..." Veronica menggeliat malas ketika merasakan tamparan pelan di wajahnya.
Veronica bukanlah wanita yang bisa dengan mudah terpengaruh oleh obat bius. Ia juga kebal terhadap berbagai macam jenis obat perangsang. Tetapi sepertinya tubuh dan pikirannya sedang lelah, sehingga tanpa sadar kini ia tertidur akibat dari semburan aroma parfum mengandung obat bius sewaktu memasuki taksi.
"Selena, aku masih mengantuk. Hari ini aku datang agak siang aja ya ke restoran." Veronica kembali berucap manja memalingkan wajahnya ke samping, namun ...
Kedua kelopak mata Veronica langsung terbuka lebar, menyadari dirinya ternyata diikat pada salah satu kursi kayu menggunakan tali berserat baja.
"Hallo ...Veronica!" Arkada menyeringaikan senyuman seraya menaikkan kedua alisnya ke atas seolah sangat menikmati keterkejutan Veronica.
Veronica memindai ruangan tempat ia berada. Di setiap sudut dan langit-langit ruangan terdapat lampu bercahaya benderang juga ada kamera mahal yang biasa digunakan untuk merekam adegan dengan sebuah titik berwarna merah terlihat menyala.
"Bagaimana? Masih ingat denganku?" Arkada bertanya setelah tatapan Veronica beralih memandangnya sinis. "Urusan kita belum selesai, hem?"
"Pengecut!" dengkus Veronica tidak gentar sedikitpun menatap tajam pada Arkada yang semakin menggetarkan tawa meledak.
Sekali lagi, Veronica bukanlah gadis penakut dan ia tidak dibesarkan untuk menjadi wanita yang penakut ataupun menghindari masalah. Meskipun kini tangannya di ikat ke belakang punggung dan kedua kakinya juga diikat dengan tali berserat baja, sulit untuk dilepaskan.
Veronica adalah tipikal wanita yang akan menantang apapun itu masalahnya hingga ia mengetahui jika tak perlu menghabiskan waktu untuk memikirkannya lagi di masa depan.
Arkada memberikan kode dengan siulan pada anak buahnya agar membawa masuk satu pitcher minuman untuk Veronica.
"Kau haus?"
Arkada mengambil gelas berisi air minuman yang telah dituangkan anak buahnya, kemudian mencengkeram dagu Veronica untuk meminumkan paksa air yang secara khusus telah anak buahnya campur dengan obat perangsang dosis tinggi.
Pria tampan berambut gondrong itu berniat akan melecehkan Veronica dan merekam kegiatan mereka untuk dia jadikan alat memeras wanita itu yang sudah membuatnya merasa tersentil ego kelelakiannya.
Veronica menyentakkan wajahnya ke samping, sehingga air dalam gelas di tangan Arkada tumpah ke pakaiannya.
"Menarik!" Arkada berujar sambil membelai leher dan bagian depan dada Veronica yang basah oleh air minuman.
Senyuman mesum semakin tercetak lebar pada wajah Arkada.
"Kau?!"
Veronica menggeram emosi dan tepat ketika kedua tangan Arkada menyentak kemeja yang Veronica pakai terbuka lebar, wanita muda itu juga menyemburkan air ludah dari mulutnya ke wajah Arkada.
"Oh, kau suka bermain kotor, hem?"
Arkata mengelap wajahnya dengan kasar, lalu dengan sebelah tangan, pria itu menyentak rambut panjang Veronica ke belakang, kemudian mendaratkan bibirnya membungkam mulut Veronica.
"Uhmmmm ...!"
Veronica menggeram marah, namun justru Arkada ingin melepaskan tautan bibirnya. Veronica benar-benar menggigit bibir Arkada hingga merasakan darah asin mengalir masuk ke dalam mulutnya.
Plakk!!
Telapak tangan Arkada melayang tinggi ke wajah Veronica yang langsung terpaling ke samping dan akhirnya gigitan wanita itu pun terlepas dari bibirnya yang sudah berdarah-darah dibuatnya.
Anak buah Arkada yang tetap berdiri tidak jauh di belakang pria itu, bergegas keluar ruangan untuk mengambil kotak obat.
"Ternyata kau suka bermain kasar!"
Arkada mendengkus, kembali mendaratkan tamparan keras ke pipi Veronica yang lain. Selama ini tidak ada wanita yang berani menolak keinginan Arkada, bahkan ketika dia meminta bercinta dengan gaya paling ekstrem sekalipun.
Baru Veronica yang berani menggigit bibirnya sampai berdarah dan kini terkulai dengan sangat tidak seksi pada wajah tampannya.
Arkada meremas kasar buah dada Veronica yang telah terpampang jelas karena pakaiannya sudah tersentak koyak olehnya sebelumnya.
"Kau pasti menyukai permainanku dan aku tidak keberatan mengikuti cara kasarmu!"
Veronica berusaha melepaskan ikatan tali pada pergelangan tangannya di balik punggung. Menyadari hal itu, Arkada semakin tertawa menyeringai kejam, merundukkan wajah untuk menggigit buah dada ranum Veronica.
Veronica menggigit bibirnya menahan perih pada kulitnya yang di balas digigit berdarah oleh Arkada, Kedua kelopak matanya terpejam rapat, memikirkan berbagai macam kemungkinan untuk melepaskan diri dari pria laknat yang sedang mengambil keuntungan dari dirinya saat ini.
"Bawakan tali ke sini!" Arkada memberikan perintah tanpa menoleh ke arah pintu ruangan yang terdengar terbuka di belakangnya.
Seseorang yang dikira Arkada adalah anak buahnya masuk ke dalam ruangan, berjalan sambil menyeret tubuh pria yang ia pegangi, lengannya dipelintir ke belakang punggung.
"Saya tidak menemukan talinya, Tuan Muda Mussolini." ucap sang pria seraya mendorong tubuh pria yang ia pegangi hingga terjatuh ke atas lantai di depan Arkada.
"Siapa kau?"
Arkada mengangkat wajah, menghentikan penyiksaannya pada dada Veronica, memandang pria yang baru saja mendorong anak buahnya terjatuh ke lantai.
John Dantes, anak buah Hvitserk asal Rusia memandang Arkada dengan seringai kejam, meraih pistol pada balik pinggangnya yang langsung ia arahkan ke kaki serta paha anak buah Arkada di lantai. Dor ...dor ...dorrr!! "Aow!!" Anak buah Arkada terkejut langsung menjerit mengaduh pilu. "Lepaskan wanita itu, dia milik kami!" tegas John memberikan perintah seraya menggerakkan dagunya pada Arkada yang melotot murka. Melihat Arkada bergeming menurutinya, John kembali mengangkat lengan untuk membidik pria itu dengan moncong pistolnya. "Kami tidak suka bernegosiasi dengan bocah labil Mussolini! Kau lepaskan wanita itu sekarang atau bapak tercintamu akan menemukan mayatmu di depan pintu rumahnya esok pagi!" "Dia milikku!" tegas Arkada sambil menarik pistol yang juga tersampir di sisi pinggangnya, memberikan tembakan yang berhasil dielakkan oleh John. Veronica berusaha menggoyangkan bangku ia duduki untuk menghindari dua orang pria yang kini saling balas menembak dalam ruangan, seakan tidak
Sekejam dan semanipulatif apapun Felix di luar rumah, ia akan selalu lembut juga terlihat sangat patuh jika berhadapan dengan Susie. "Ambu belum tidur?" Felix berbalik menghampiri Susie yang menatap lurus ke luka pada perutnya. "Lukamu berdarah lagi. Atau apakah adakah luka baru?" Susie menarik pelan pundak Felix untuk ia bawa duduk pada salah satu kursi. "Bisnis apa yang sebenarnya kau lakukan di sini, sampai kau tidak mempedulikan cidera tubuhmu sendiri?" Susie bertanya sambil mengambil kotak obat dari dalam ruangan kamar tidur Felix. "Apa kau ingin aku memanggil Zetha kemari untuk menasehatimu?" tanya Susie sambil menatap lekat ke dalam netra Felix yang membalasnya dengan senyuman lembut. "Aku tidak apa-apa, Ambu. Hanya luka kecil, tidak membahayakan nyawa ..." "Ku dengar dari Hvitserk, kau mengincar bisnis restoran di sini. Restoran apa?" Susie memotong perkataan Felix untuk bertanya to the point ke putranya itu yang pastinya tidak ingin memberitahunya. Felix menarik napas
Felix kembali sibuk dengan pekerjaannya, duduk di balkon hotel tempat ia dan Susie menginap. Hvitserk sudah berhasil berbicara langsung dengan pimilik rumah mewah pada tepi pantai Amalfi dan tentu saja tidak ada orang yang berani menolak uang besar dari keluarga Salvatore. Sebagai Ibu, dimana Susie akan selalu memilih perabotan, gorden serta seprai juga tetek bengek lainnya, sudah sangat antusias akan pergi bersama John beserta anak buah Hvitserk untuk berbelanja keperluan rumah baru yang telah menjadi milik Felix tersebut. Felix pun terlihat tersenyum cerah melihat antusias Susie yang sudah heboh bersiap-siap inigin pergi berbelanja sejak pagi.Sebenarnya mudah bagi Felix untuk meminta orang mendatangkan perabotan serta hal lainnya ke rumah baru mereka. Tapi ia tak akan melihat wajah antusias Susie yang bisa membuatnya geleng-geleng kepala tersenyum. "Ingat, jangan keluyuran kemana-mana! Perutmu bisa benar-benar infeksi jika kau banyak bergerak ..." Susie menyeduh sendiri kopi hita
Felix menyadari jika 'cakar' Mussolini cukup tajam mencengkeram di Amalfi. Keluarga Mussolini bahkan lebih dihormati dari pemimpin Amalfi yang sebenarnya, dimana Mussolini hanyalah seorang wakil pemimpin. Keluarga Mussolini sudah dianggap kaya raya sejak turun temurun, memiliki bisnis infotainment dan surat kabar terbesar yang bisa mengendalikan pemberitaan di Amalfi juga daerah sekitarnya. Tidak ada yang menduga jika Mussolini melakukan cara licik untuk memeras perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki progres bagus agar ia dan keluarganya tetap menjadi manusia terkaya di Amalfi Coast. Karena itu pula, nama Mussolini hanya ada sebagai penanggung jawab di belakang layar untuk berbagai jenis serta sektor perusahaan-perusahaan yang tentu saja ia meraup keuntungan besar dari tindakannya tersebut. "Bagaimana dengan restoran The Grill?" Felix mendapatkan laporan dari anak buahnya jika restoran milik Veronica sedang kewalahan mencocokkan harga jual untuk semua menu karena bahan baku ma
Alfred Mussolini menatap penuh harap pada Felix yang menyunggingkan senyuman tipis di wajah tampannya, tetapi tatapan mata pria Salvatore itu terlihat sangat dingin. "Bagaimana, Mister Salvatore?" tanya Alfred cukup berani dengan tawaran kerjasama bagi hasil 50:50 dengan Felix. Bisa bekerjasama dengan keluarga Salvatore adalah impian Alfred juga banyak pengusaha di dunia. Karena memang tidak sembarang orang bisa berhubungan langsung apalagi bekerjasama dalam bisnis dengan keluarga mafia Salvatore yang selain terkenal kaya raya juga bisnis mereka sangat solid berkembang terus. Felix menaikkan satu tungkai menumpuk pahanya yang lain, menyandarkan punggung santai ke sandaran sofa, seolah ruangan kerja tersebut adalah miliknya pribadi. "Tujuan saya datang kemari bukan berniat ingin melakukan kerjasama." Felix menjawab datar pertanyaan Alfred, sembari memandang lurus ke netra pria tua di depannya itu. "Saya sudah menyelidiki jika ada nama Alfred Mussolini di belakang semua bisnis-bisni
"Dasar Jalang! Kenapa kau begitu lemah, huh?!" Arkada memaki wanita yang baru saja ia masuki, tetapi sudah berdenyut mencapai pelepasannya. "M-maafkan saya, Tuan Muda. Milik Anda terlalu besar dan nikmat ...saya, tidak kuat ...ahh!" sang wanita memberikan alasan dengan wajah bersemu merah, namun sedetik kemudian tubuhnya disentak kasar oleh Arkada. "Hoh, baiklah kalau begitu! Aku akan menyiksamu dan jangan coba-coba menyerah sebelum aku puas!" Arkada menghentak mengeluar-masukkan batang jantannya dengan sangat kasar ke tubuh wanita yang menjerit pilu antara perih dan nikmat di bawah tubuhnya. "Ah ...ah ...ah ...Tuan Muda!" sang wanita kembali hendak mencapai pelepasan. Arkada buru-buru mencabut organ jantannya, berpindah ke mulut atas sang wanita yang dia sodok geram tanpa peduli jika sang wanita sangat kewalahan karena tersedak. Tok ...tok ...tok!!Terdengar suara ketukan pada pintu hotel tempat Arkada sedang memuaskan hasrat primitifnya. Berkali-kali suara ketukan pada daun pi
Veronica dan Selena turun tergesa dari lantai dua restoran, tempat ruangan kerja Veronica berada. "Halo, Nyonya Veronica ..." Hvitserk langsung berdiri, memindai dua orang wanita yang berdiri di hadapannya dengan senyuman tipis. "Saya Veronica." Veronica mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Hvitserk, diikuti Selena setelahnya yang memasang senyuman misterius melirik suaminya, Keanu. "Boleh saya meminta waktu Nyonya Veronica beberapa menit? Saya ingin ..." Hvitserk berkata dan bertanya hati-hati dimana matanya tidak lepas dari memperhatikan perubahan raut wajah Veronica yang sebelumnya terlihat terkejut melihatnya. "Oh, tentu. Mari, silakan duduk."Veronica membawa Hvitserk untuk duduk pada salah satu kursi yang terdapat di bagian pojok restoran dan ia mengambil posisi di depan pria itu. "Perkenalkan saya Hvitserk. Kedatangan saya kemari, ingin menawarkan kerjasama berkelanjutan dengan Nyonya ..." "Panggil saya Veronica aja." potong Veronica cepat. "Kerjasama dibidang apa
"Selena, sepertinya malam ini kita perlu menyetok susu domba segar lebih banyak ..." "Uhm, nanti pulang biar aku dan Keanu yang pergi membelinya." Selena menyahut spontan perkataan Veronica, tapi sedetik kemudian, gadis muda itu menatap saudarinya dengan tatapan tajam. "Apa kakak ikut saja pergi bersama kami? Ada security yang akan menjaga motor kakak." Veronica tersenyum menggelengkan kepalanya, "Ada yang perlu kakak beli di supermarket nanti. Jangan kuatir." sahut Veronica sambil bangkit berdiri dari duduknya untuk pergi memeriksa keadaan dapur restoran bersama Selena. "Tidak, biar Keanu saja yang pergi membeli susu domba segar. Aku akan pulang bersama kakak!" Veronica mencubit gemas pipi Selena yang langsung mengaduh manja. "Tidak perlu takut ataupun kuatir akan apapun. Karena ketakutan serta kekuatiran dalam pikiran bisa menjadi kenyataan di kehidupan." bisik Veronica lembut seraya membelai pipi Selena yang sebelumnya ia cubit. "Pergilah temani suamimu membeli susu domba, kal
Malam begitu sangat hening, hanya terdengar suara deburan ombak yang bagaikan musik alami dari kejauhan.Biasanya akan selalu ada orang berjaga dalam kamar Zeze dan malam ini Simon bersama Pierre di sana sementara Freyaa tidur di sebelah Zeze di atas ranjang. Namun entah kenapa, semakin malam, Pierre dan Simon tak bisa menahan kantuk yang datang tiba-tiba seiring malam semakin bertambah sunyi. Bukan hanya Simon dan Pierre yang terlelap pulas, Zetha dan Luciano yang terbiasa bangun di sepertiga malam untuk berdoa pun nyenyak dalam tidur. Bahkan bayi Lula sama sekali tidak terbangun untuk menyusu atau rewel karena pampersnya penuh. Begitu juga dua ekor serigala di kandang samping kediaman Salvatore, ikut merasakan angin kedamaian, membuat mereka sangat tenang. **Bahu Freyaa berguncang, menahan isak tangis tapi airmatanya mengalir turun ke wajah Zeze yang ia peluk erat di pangkuan. "Freyaa ..." Zeze bergumam, membuka kelopak mata, menatap Freyaa yang memeluk kepalanya sambil menangi
Meski tak turun salju lagi, tapi udara masih sangat dingin, apalagi kediaman Salvatore terletak di dataran tinggi dekat tepi laut.Matahari telah condong ke arah barat, menyisakan cahaya orange keemasan yang sangat megah di atas langit. Pierre merapatkan mantelnya, berjalan sendiri pergi ke makam Jonathan. Sebelumnya ia sudah mengajak Zeze berbincang dimana gadisnya masih belum memberikan respon apa-apa terhadap rangsangan kesadaran yang diberikan oleh Dimitri, Zetha juga Simon serta Ariana. "Mister Johnson ..." Pierre menyapa begitu ia berjongkok di depan makam Jonathan. Pierre masih teringat akan pesan Jonathan ketika di Andorra agar tetap menjadi dirinya sendiri serta tidak 'terlalu' tunduk mengalah terhadap Luca meskipun ia bekerja untuk pamannya Zeze tersebut di organisasi sosial penderita ODHA. "Luca sangat menyayangi Zeze dan ia akan melakukan apapun untuk keponakannya itu." ucap Jonathan berbisik pelan ketika Pierre tersenyum kecut melihat Luca sangat cemburu memandangnya s
Sudah sepuluh hari berlalu sejak kematian Jonathan, kediaman Salvatore akhirnya mulai kembali ceria, meski tetap ada yang rasanya berubah, tak seperti dahulu saat Jonathan masih hidup. Ibrahim dan Mohammad, serta Mike, Mawar beserta kedua anak mereka juga Fajri sekeluarga memutuskan esok akan kembali ke Dubai. Sementara Lucy beserta anak-anak mereka yang lain tetap tinggal di Palermo karena kuatir bayi Lula akan lelah dalam perjalanan. Lagi pula, pernikahan Zeze dengan Pierre, dua bulan lagi masih belum berubah dari rencana. Tentu saja, Lucy tak ingin melewatkan pesta pernikahan keponakannya tersebut. "Sudah sepuluh hari, apakah dia akan baik-baik aja?" tanya Zetha pelan pada Dimitri, setelah ia memeriksa bekas operasi pada tubuh putrinya sudah mengering sempurna. Anne dan Marcio sudah kembali ke Murcia untuk membuat ramuan racun yang baru guna kesembuhan Zeze. "Tadi pagi Daddy sudah coba merangsang kesadarannya, Pierre juga ada di sini mengajaknya mengobrol ...tapi belum
Luca menyerahkan posisi kemudi pada Effren yang memang bisa melajukan mobil menggila di jalanan, setelah mereka pulang dari rumah keluarga istrinya Alfonso yang kini telah rata dengan tanah dan api masih belum padam membakar puing-puingnya."Kita kembali ke hotel, ada yang perlu ku kerjakan." ucap Luca tanpa mengalihkan tatapannya dari monitor ponsel seakan ia sedang bermain game. "Siapa kau, beraninya memerintahku!" dengkus Effren menyahuti karena dianggap seperti 'sopir' oleh Luca. Luca menoleh sejenak melirik Effren, "Aku siapa? Bukankah aku putra bungsu Michael dengan Cella dan kau putra tertuanya Michael Salvatore. Apa aku salah?" tanyanya balik terdengar sangat polos. " ...atau apakah kau putra Ellio? Lalu kau tertukar dengan Sky?" Luca kini memiringkan posisi duduknya, mengamati Effren dari samping. Hatinya tergelitik ingin menggoda saudara tertuanya tersebut. "Kau tak ingin kembali ke hotel ...apakah kau benar-benar ingin mencari lubang sensasi kenyal?" Ciiiittttt ...! Mo
Istrinya Alfonso tercenung sejenak, berdiri mematung melihat adik perempuan dan seluruh anggota keluarganya tewas di depan mata, melalui tampilan layar proyeksi. Kini, tengkuk wanita tua tersebut di cekal kuat oleh Effren, belakang lututnya di tendang hingga tubuh besarnya terjatuh ke lantai dengan sangat keras. Vas bunga yang masih dipegang istrinya Alfonzo, tanpa sengaja terlempar ke arah samping kepala Sonny.Effren terkekeh rendah sangat geli melihat darah mengucur dari pelipis Sonny yang menggemeretakkan rahangnya mengencang kaku. "Katakan, siapa yang memerintahkan kalian mendatangi keluarga Salvatore?" Luca bertanya memindai Alfonso juga Sonny yang masih belum pulih dari terperanjatnya mendapat lembaran vas bunga serta Cecilia yang memandang Luca bengis. "Tidak mau bicara?" dengkus Luca tertawa lebar, menekan tombol pada ponselnya dan tampilan pada layar proyeksi pun berubah. Kedua bola mata Cecilia semakin membola terbeliak lebar. "Kenapa? Kau sebut aku iblis bukan? Apakah
Mendadak tawa bergema Luca dan Effren berhenti tiba-tiba. Menggunakan sebelah tangannya, Luca menerima ponsel Alfonso dari Effren sebelum saudara tertuanya tersebut berlalu secepat kilat ke bagian dalam rumah. "Kalian mau pergi, lalu untuk siapa makanan di atas meja ini disiapkan?" sapa Effren menghentikan pergerakan Sonny yang menggendong putrinya dan memapah wanita tua bersamanya, hendak keluar dari pintu belakang. Pada tangan sang wanita tua terdapat tas jinjing ukuran besar. "Jalan keluarnya bukan di sebelah sana. Kalian akan lelah berjalan nantinya sebelum mencapai jalan utama." Effren memegang lembut pundak wanita tua yang gemetar, tersenyum tipis namun matanya sangat sinis. Begitu sang wanita yang tak berdaya berbalik mengikuti Effren, suaminya Deristi tersebut langsung menark pistol dari belakang pinggang, lalu menempelkan ujung pistol tersebut ke belakang kepala putrinya Sonny. "Lama tak berjumpa, sungguh tak terduga ternyata kau sudah memiliki putri, Sonny." sapa Eff
"Uhm, mereka dahulunya berlawanan denganku dan James membunuh mereka." Effren berkata sedikit tergagap dipandangi tiga pasang mata saudaranya. "Kalau begitu, hubungi James sekarang juga, bagaimana dua manusia itu bisa ada di sini dan menabrak mobil Zee bersama Papa." cetus Luca dingin namun kali ini Effren mengangguk cepat tanpa adu argumen dengan adik bungsunya tersebut seperti biasanya. Effren gegas menghubung James dan tak menunggu lama, sambungan video pun telah terproyeksikan ke tengah ruangan kerja Gerardo. "Halo, Tutti." James langsung menyapa Gerardo, menganggukkan kepala, lalu melirik Luca, Felix dan Effren yang menatapnya tajam. "A-ada apa Bb ...?" belum sempat perkataan James tuntas, Effren sudah memotongnya cepat, "Kau mengkhianatiku, James?" "Tidak, sungguh! Aku masih sayang nyawaku, mengkhianatimu sama aja dengan mencari mati." James menjawab cepat tanpa ragu atau pun gagap. "Aku tidak mengenal orang yang hendak mencelakai Tutti. Sungguh, Tutti ...percayalah padaku.
Telah dua hari Jonathan pergi ...Semua anggota keluarga Salvatore masih berkumpul di kediaman, termasuk Anne, Marcio beserta pasukan ninja mereka membaur bersama pasukan khusus keluarga Salvatore. Ibrahim juga menyerahkan pekerjaan dan tugas-tugas istana pada Zaid, Salim, Solahuddin serta Babanya yang telah pensiun, kembali aktif menghadiri meeting bersama anggota dewan kerajaan. Ibrahim memilih menemani Lucy juga anak-anaknya yang masih ingin di Palermo. Pun Fajri dan istrinya serta Mike sekeluarga. Luca sedang duduk dalam ruangan kerja dalam kamar tidurnya, ia memutar rekaman dari dasbor mobil sport yang dikemudikan oleh Zeze, berakhir kecelakaan terjun ke jurang. "Kau belum makan siang, aku bawain camilan, cicipi sedikit ya." Michele datang membawa meja beroda terdapat makanan dan berbagai camilan kesukaan Luca ke kamar tidur mereka. Luca mendongakkan wajahnya, tersenyum sangat tipis dan Michele segera memberikan kecupan ke bibir seksi suaminya itu, "Kau harus sehat demi Demon
Mike yang baru tiba, meskipun tahu jika Jonathan telah pergi untuk selamanya, melihat Lucy yang histeris, tak bisa mengendalikan diri untuk ikut menangis pilu berpelukan bersama Mawar.Fernando bangkit menyambut dan memeluk Mike juga Mawar, menangis bersama. Kedua anak Mike dan Mawar juga anak-anak Lucy dan Ibrahim tidak satupun yang bisa menahan diri dari tangisan sedih.Semuanya mencintai dan menyayangi Jonathan yang memang selalu berusaha 'hadir' membersamai semua anak cucu keturunan Salvatore tanpa membedakan satu dengan yang lainnya.Rayya masuk ke pelukan Ibrahim, memberikan kecupan ke kening Jonathan, "Papa, aku janji akan jadi anak baik, tidak marah-marah lagi pada adik-adik. tolong ...adakah keajaiban, please hidup kembali, Papa Jona ..."Ibrahim merengkuh putrinya dan memeluk erat-erat, "Ikhlaskan, Papa pergi, Sayang." bisiknya serak.Ariana muncul di belakang punggung Felix yang masih terisak di sisi Jonatha