Evanna terperangah mendengarnya. Tunggu dulu, apa ia tidak salah dengar? Benarkah laki-laki yang berdiri angkuh di sampingnya ini yang akan menjadi suaminya? Kalau begitu calon suami Evanna bukan laki-laki tua itu?
“Tu..tunggu dulu! Jadi, bukan Fandy yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni terbata-bata.
Diva yang berdiri di belakang ibunya, malah tampak lebih syok lagi.
Bagaimana tidak, sudah sejak bulan lalu ia mengejek Evanna tentang calon suaminya yang tua bangka. Ia kerap kali menghina Evanna dan paling suka melihat adik tirinya itu terpuruk.
Namun, sekarang yang berdiri di samping Evanna bukan laki-laki setengah baya dengan rambut beruban dan kaca mata tebal. Yang berdiri di samping Evanna adalah laki-laki tampan dengan badan tegap dan tinggi menjulang. Matanya yang tajam dibingkai alis lebat. Wajahnya seperti pahatan patung dewa Yunani dengan dagu terbelah.
“Mama,” bisik Diva pelan di telinga ibunya,”ini benar calon suami Evanna. Apa enggak salah?” lanjutnya.
Mata Diva menatap iri pada keberuntungan Evanna. Kalau tahu begini jadinya tentu ia akan menerima lamaran laki-laki tua itu.
“Mana Mama tahu? Pasti ada yang tidak beres ini,” jawab Reni pada Diva.
“Ini benar calon suami Evanna?” tanya Reni yang tampaknya tidak percaya dengan omongan Elfandy.
“Memang benar. Ini Khandra, putra tertua Tuan Alcantara, pemilik Imperium Holding Company. Dan ini Rakha, adiknya,” sahut Elfandy mengenalkan kedua pemuda itu kepada keluarga Evanna.
Evanna juga tak bisa berpikir jernih sekarang. Otaknya tak bisa dipakainya untuk bepikir. Begitu banyak hal yang menggelayuti benaknya membuat Evanna tak bisa memakai logikanya. Satu hal yang pasti, suaminya bukanlah seorang lelaki tua.
“Ah, ya, saya tentu mengenal Tuan Alcantara,” ujar Rasena sambil menyalami Khandra dan Rakha.
“Jadi, ini calon kakak iparku. Halo, Kakak Ipar, senang akhirnya aku bisa berjumpa denganmu!” ujar Rakha yang meraih tangan kanan Evanna dan mencium jemarinya sambil tersenyum kocak, ”semoga kau betah menjadi istri kakakku ini.”
Evanna mengerutkan keningnya mendengar ucapan Rakha padanya. Elfandy yang tahu gelagat yang kurang baik segera menarik tangan Rakha untuk berdiri dekat dengannya.
“Semua sudah siap?” tanya Khandra sambil menatap Elfandy.
“Para tamu sudah menunggu di dalam ballroom dari tadi. Pernikahan sudah bisa dimulai,” ujar Elfandy.
Khandra berjalan mendekati Evanna dengan tatapan mata yang membuat Evanna merinding menatapnya. Tak ada kesan lembut dari manik matanya. Hanya ada aura dingin dan angkuh dalam sorot mata itu.
Khandra menyorongkan lengannya dan Evanna dengan ragu menyambutnya. Evanna melingkarkan tangan kanannya di lengan Khandra dan mereka pun berjalan pelan memasuki ballroom.
Hadirin berdiri menyambut kedua mempelai yang memasuki ballroom dengan iringan Wedding March. Evanna takjub melihat venue pernikahannya yang dipenuhi bunga putih dan lampu menyerupai lilin yang tinggi menjulang.
“Aku baru tahu kalau akan menikahi anak bungsu keluarga Rasena. Aku kira dengan yang sulung,” ucap Khandra pelan, namun masih bisa didengar Evanna.
Siapa pun yang tahu anak gadis keluarga Rasena pasti akan menyebut nama Diva. Evanna maklum karena memang ia bukan siapa-siapa. Tapi dibandingkan-bandingkan dengan Diva di saat seperti ini membuat hatinya kecewa.
“Tentu saja anak kesayangan tak akan diizinkan menikahi bajingan sepertiku. You’re just the blacksheep of the family, eh?” ujar Khandra kembali.
Evanna mengerutkan dahinya. Ia tak paham apa yang diucapkan Khandra barusan. Ia terang-terangan menyebut dirinya bajingan. Membuat Evanna berpikir keras seperti apa sosok Khandra sebenarnya.
“Apa maksudmu?” tanya Evanna. Tapi Khandra tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya berjalan dan menatap ke depan.
Mereka tiba di bagian depan ballroom tempat di mana mereka akan mengucapkan janji pernikahan sehidup semati hingga maut memisahkan. Pemuka agama yang mengesahkan pernikahan mereka memberikan sepasang cincing untuk dipakaikan pada kedua mempelai.
Khandra mengambil cincin pengantin bermata safir dan menyematkannya di jari manis Evanna. Evanna pun melakukan hal yang sama.
Setelah kedua mempelai dikenalkan sebagai Tuan dan Nyonya Anantara, hadirin yang menjadi saksi pun bertepuk tangan. Dan di antara riuhnya tepuk tangan itu, Khandra meraih pinggang Evanna, lalu menariknya mendekat padanya. Ia menatap wajah Evanna beberapa saat dan mulai mendekatkan wajahnya. Dan tanpa ragu Khandra pun mencium bibir Evanna.
٭٭٭
Acara pernikahan yang melelahkan. Berdiri di pelaminan selama lebih dari tiga jam dan menyalami tamu-tamu yang hanya sebagian kecil Evanna kenal sangat melelahkan. Belum lagi harus memasang senyum palsu sepanjang resepsi.
Evanna kembali ke kamar hotelnya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Ranjang besar di tengah ruangan telah ditutup dengan bed cover putih dan merah maroon. Bunga-bunga segar ditata di atas bedside tables. Ornamen sapasang angsa diletakkan di tengah ranjang.
Evanna meletakkan buketnya di atas meja rias. Ia melepas veilnya dan menggantungnya. Ia duduk di sofa dan memandang keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota dengan lampu warna-warni.
Beberapa jam yang lalu ia resmi menjadi nyonya Khandra Anantara. Seorang istri dari laki-laki yang tidak ia kenal. Laki-laki yang menyebut dirinya sendiri sebagai bajingan. Entah apa sebabnya.
Evanna mengembuskan napasnya kasar. Ia beranjak dari atas sofa dan melangkah menuju kamar mandi. Ia harus terlihat layak di depan suaminya. Bagaimana pun juga ini adalah malam pengantinnya.
Mau tidak mau ia harus melayani suaminya. Ia berniat membersihkan tubuhnya sebelum suaminya kembali ke kamar.
Satu jam, dua jam, Evanna duduk terpekur di atas sofa. Rambut basahnya sudah mulai kering, tetapi suaminya tak juga kembali ke kamar.
Evanna melirik ponselnya. Sudah hampir tengah malam. Evanna menguap. Ia mengantuk sekali. Evanna menyerah. Matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Tak lama setelah ia merebahkan tubuh penatnya ke atas ranjang, Evanna sudah terbang ke alam mimpi.
٭٭٭
”Kenapa kau tak pernah bilang kalau bukan Fandi yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni geram saat ia dan suaminya ada di dalam kamar hotel tempat mereka menginap.
Sejak resepsi pernikahan Khandra dan Evanna yang tak ubahnya bencana baginya tadi hati Reni sudah dibakar api. Tapi suaminya ini malah berakrab-akrab dengan menantu dan adiknya itu. Tatapan matanya juga memancarkan rasa bangga karena bisa menjadi bagian dari keluarga Alcantara.
Reni yang semula ingin menjerumuskan Evanna malah balik dipermalukan. Ia tak habis pikir, bagaimana gadis kampungan seperti Evanna bisa mendapatkan rembulan jatuh hanya dalam sekejap.
”Aku juga baru tahu kalau ternyata Khandra yang akan menikah dengan Anna,” jawab Rasena membela diri.
Meskipun tak berani menunjukkan di depan istrinya secara langsung, Rasena merasa lega. Ia sudah menilai teman lamanya itu yang tidak-tidak. Ia bahkan sudah menyebut sahabat baiknya sendiri sebagai penyuka daun muda.
Kalau dipikir-pikir lagi Fandi tidak pernah mengucapkan kalau ia akan menikahi salah satu anaknya. Ia hanya bilang Rasena harus memberikan salah satu anaknya padanya. Pernikahan antara Fandi dengan salah satu putrinya hanya asumsinya belaka yang ternyata keliru.
Siapa yang tak mengenal Khandra Anantara, pewaris tahta Imperium Holding Company, yang salah satu anak perusahaannya menjadi penyokong dana utama bagi proyek-proyek yang dikerjakan Rasena. Meskipun tidak pernah berhadapan secara langsung, tapi Rasena sering mendengar namanya.
”Kau pasti sudah tahu rencana sebenarnya. Tapi, kau menutupinya dariku. Pasti kau dan anak harammu itu sudah bersekongkol di belakangku. Aku tahu kalau kau masih mengingat perempuan laknat yang sudah mati itu. Makanya kau mati-matian membuat anaknya menikah dengan konglomerat. Supaya apa? Supaya bisa naik derajatnya?” seru Reni dalam kemarahannya yang makin tak terkendali.
Kalau ia tahu Khandra yang akan menjadi menantu mereka, sudah pasti ia akan menyetujui Diva yang menikah dengannya. Saat suaminya mengatakan padanya, Reni langsung mengajukan Evanna sebagai syarat pelunasan utang. Ia tidak berpikir dua kali saat itu. Sekarang dia menyesal karena telah menolak permata yang tak ternilai harganya.
”Aku tidak bohong, Ma. Aku juga benar-benar baru tahu malam ini,” ucap Rasena meyakinkan istrinya.
”Tidak mungkin kalau kau atau anakmu itu tidak tahu. Kau dan Fandy juga sudah kenal sejak lama, apa masuk akal kalau peristiwa besar seperti penikahan ini ada yang disembunyikan? Aku yakin ada yang tidak beres dan aku tidak tahu,” kejar Reni yang masih tidak bisa menerima kenyataan.
”Jangan berburuk sangka begitu! Tak ada yang kusembunyikan darimu. Kau juga lihat sendiri kalau Evanna pun terkejut saat tahu ia menikah dengan Khandra,” ingat Rasena pada istrinya itu.
”Kalian berdua memang pandai bersandiwara. Kau dan anakmu itu sama saja. Aku yang terlalu bodoh karena mempercayai semua kata-katamu. Kalau kau dulu bisa menipuku, tentu anakmu itu juga bisa mengikuti jejakmu. Sekali penipu, tetap penipu,” sentak Reni.
”Aku tidak menipumu. Aku tahu kesalahanku dahulu dan aku juga menyesalinya. Aku selalu berusaha jujur padamu meskipun, yah, kau selalu menganggapku sebagai penipu. Tapi kali ini percayalah, aku tidak membohongimu!” ujar Rasena meyakinkan istrinya.
Reni terdiam namun dadanya masih turun naik menandakan emosinya yang tak jua mereda. Hatinya masih terbakar amarah karena keberuntungan Evanna. Ia tidak rela kalau anak haram seperti Evanna bisa merasa bahagia, apalagi kalau kebahagiannya melebihi Diva.
Tahu begitu, Diva yang akan disuruhnya menerima syarat pelunasan utang Rasena. Diva tentunya lebih pantas bersanding dengan Khandra. Anaknya cantik dan wanita berkelas. Diva juga lebih sering bergaul dengan kalangan kelas atas. Jauh berbeda dengan Evanna yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Diva.
”Aku mau tidur. Besok pagi aku mau ke Imperium, sekalian bertemu dengan Fandi. Aku harus minta maaf padanya karena sudah menganggapnya yang bukan-bukan selama ini,” ucap Rasena sambil beranjak ke tempat tidur.
Reni menatap suaminya sengit. Selalu saja begitu. Suaminya itu lebih memilih tidur atau berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya daripada meladeni keluh kesahnya.
‘Dasar, ayah dan anak sama saja,’ rutuk Reni dalam hati, “tunggu saja aku tak akan tinggal diam. Aku pasti akan membalas kalian.’
Bersambung
Evanna menguap pagi itu. Ia menjangkau ponselnya yang terletak di atas meja. Sudah hampir pukul tujuh. Evanna menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia melirik ke samping tempat tidurnya yang kosong. Suaminya itu semalaman tak kembali ke kamar, entah ke mana dia.Sekarang sudah hari ketiga setelah ia menyandang gelar istri. Dan selama itu pula, suaminya tidak pernah menjenguknya di kamar.Evanna seperti orang bodoh. Ia hanya berdiam di kamarnya. Evanna tak tahu harus berbuat apa atau menghubungi siapa. Menghubungi keluarganya jelas tak mungkin. Diva dan Reni pasti akan tertawa mengejeknya. Mana ada istri yang ditinggalkan suaminya setelah pesta pernikahan.Menghubungi Khandra lebih mustahil lagi. Evanna tak tahu nomor telepon suaminya itu. Apa ia benar-benar dibuang setelah pernikahan? Apakah Khandra langsung akan menceraikannya setelah menikah. Kalau seperti itu, lalu untuk apa menggelar pesta pernikahan di hotel mewah? Sungguh tak masuk akal.Evanna tersadar dari lamunannya saa
Evanna sudah bangun tidur beberap menit yang lalu, tapi ia masih tetap bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia segan bangun dan keluar kamar. Kalau hanya untuk bertatap muka dengan monster menyeramkan seperti semalam, ia lebih memilih sembunyi di bawah selimutnya. Tanpa sadar Evanna bergidik kalau mengingat kejadian semalam. Khandra jelas tidak menyukainya. Atau lebih tepatnya Khandra membencinya. Evanna tak tahu apa sebabnya. Ia merasa tak pernah menyinggungnya dalam hal apa pun. Apa karena Khandra sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, lalu ia melampiaskan kemarahannya pada Evanna. Evanna menguap lebar dan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Setelah ini apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus angkat kaki dari sini dan pergi menjauh? Kalau harus pergi di mana ia akan tinggal? Evanna tak pernah mempunyai banyak uang. Kalau ia harus mencari tempat tinggal sendiri, tentu akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Kembali ke rumah orang tuanya? Hell, mending ia tin
“Oh, kau belum tahu? Padahal skandalnya menjadi berita besar tiga bulan lalu. Skandal itu bahkan menjadi topik utama berita nasional, bahkan akun-akun gosip pun juga membuat beritanya semakin heboh,” jelas Rakha penuh semangat.Evanna berpikir keras sampai dahinya berkerut. Tapi, tak sekilas pun ia bisa mengingat tentang skandal yang melibatkan Khandra Anantara. Atau jangan-jangan memang dia yang kurang update tentang berita mengenai skandal dan selebritis.“Skandal apa? Nampaknya ada berita besar yang terlewat olehku,” ucap Evanna akhirnya setelah menyerah mengorek memori otaknya.“Ke mana saja kau ini, Kakak Ipar? Pantas saja, Khandra nggak pernah protes lagi setelah menikah denganmu. Ternyata kau memang tinggal di dalam gua sebelum ini sampai-sampai tak tahu berita heboh seperti itu,” seloroh Rakha sambil tertawa keras sampai-sampai pengunjung di sekelilingnya menatap ke arah meja mereka.“Tiga bulan yang lalu aku masih sibuk dengan ujian skripsiku, mana sempat memperhatikan berita
Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya
”Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kauucapkan,” tanya Angela sambil menggelengkan kepalanya.”Evanna itu sama seperti perempuan lain yang mendekatiku. Ia hanya menginginkan uangku. Tante tahu, dia anak di luar nikah. Anak haram hasil selingkuhan bapaknya. Dia sengaja mau menaikkan derajatnya, makanya dia setuju untuk menikah denganku,” jelas Khandra berapi-api.”Oh, ya, betulkah itu?” tanya Angela lagi.”Tante nggak percaya padaku? Aku sudah mengecek latar belakangnya dan menurutku nggak ada bagus-bagusnya. Kelakuan orang tuanya yang tukang selingkuh seperti itu, pasti akan menurun ke anaknya. Kita sudah lihat salah satu contoh nyatanya,” terang Khandra meyakinkan Angela.Angela tertawa sumbang mendengar argumentasi Khandra. Ia paham hidup keponakannya itu tidak mudah. Khandra ditinggal ibunya pergi untuk selamanya sejak usia dua belas tahun. Ia terpaksa menerima kehadiran ibu dan adik tirinya dua tahun kemudian. Satu hal lagi yang membuatnya sulit mempercayai orang lain adal
Evanna beringsut ketakutan sambil memegangi selimutnya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tatapan mata Khandra yang tajam tanpa kedip seperti mendominasinya.Evanna masih teringat peristiwa menyakitkan tadi dan ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.Evanna membeliak saat suaminya itu melangkah mendekatinya. Satu lututnya sudah ia tumpu di tepi ranjang. Sudah cukup, tubuh dan hatinya tak bisa lagi menerima perlakuan Khandra yang di luar batas perikemanusiaan seperti tadi.Perlahan Evanna menggeser tubuhnya hingga punggungnya membentur headbed yang dingin. Tangannya dikatupkan di depan dada dan memegang erat selimutnya. Bibirnya bergetar saat air mata kembali menitik melalui matanya yang sembab.Evanna kembali tersentak saat Khandra menarik selimutnya keras. Ia berusaha menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Tubuh polosnya sekali lagi terekspos di depan laki-laki yang tak ubahnya monster di mata Evanna."Kau mau apa lagi?" cicit Evanna, lemah dan ketakuta
”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Evanna menikmati makan singnya di kafe yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Iced cappuccino, chocolate mousse, dan muffin sudah terhidang manis di atas mejanya. Cokelat memang hal yang sempurna untuk mengembalikan mood dan suasana hati yang rusak.Di kursi sampingnya terdapat beberapa kantong belanjaan. Evanna menghabiskan hampir setengah hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan kamar barunya.Toko tempatnya berbelanja pernak-pernik kamar yang ditunjukkan Khandra padanya bersedia mengantarkan barang pesanannya sampai ke apartemen. Lumayanlah, Evanna tak harus kerepotan membawa barang-barang yang tak sedikit itu.Sebelum belanja, Evanna mampir ke mesin ATM utuk mengecek saldonya. Ia melotot tak percaya melihat nominal yang tertera yang jumlahnya hampir mencapai dua kali lipat uang kuliahnya selama satu semester.Tapi Evanna harus hati-hati menggunakan uang Khandra. Siapa tahu Khandra memberinya uang itu bukan untuk satu bulan, tapi sampai bercerai hanya itu uang yang
Suara sirine ambulans meraung-raung memecah keheningan pagi itu. Langit kelabu seolah ikut berkabung. Mobil sport mewah berwarna merah itu kini tak lebih dari rangkaian besi yang remuk, terpelanting beberapa meter dari tepi jurang. Asap masih mengepul dari mesinnya yang hancur, sementara beberapa petugas kepolisian sibuk mengamankan TKP."Bagaimana hasilnya?" tanya Inspektur Made kepada seorang petugas forensik yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan awal."Korban tewas seketika, Pak. Benturan sangat keras, kemungkinan besar mobil melaju dengan kecepatan di atas 120 kilometer per jam. Korban atas nama Rakha Jumantara, buronan yang kita cari."Inspektur Made menghela napas panjang. Ironis memang. Rakha Jumantara, pria yang menjadi buronan utama kepolisian dalam kasus pembunuhan Diva, kini tewas dalam kecelakaan tunggal. Lolos dari hukuman manusia, tetapi tidak dari hukuman Ilahi."Beritahu tim, kita perlu pengamanan ekstra. Media pasti akan membuat ini jadi berita besar," perintah
Matahari terbenam di ufuk barat Pulau Bali, memoles langit dengan warna jingga yang memesona. Namun bagi Rakha Jumantara, keindahan senja itu tak lagi berarti apa-apa. Pikiran dan jiwanya kini dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan yang mendalam.Dua hari yang lalu, ia tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai tanpa menyadari bahwa setiap langkahnya telah diawasi ketat oleh pihak kepolisian. Nama Rakha Jumantara kini menjadi buronan utama, tersangka dalam kasus pembunuhan.Ia berbaring di tempat tidur kamar hotelnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Bayangan masa lalu berputar-putar di benaknya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa kesalahannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban.Rakha Jumantara menatap layar televisi di kamar hotelnya. Berita tentang dirinya sudah menyebar ke seluruh negeri. Wajahnya terpampang jelas di layar, dengan tulisan besar: "PUTRA KONGLOMERAT, OTAKI KASUS PEMBUNUHAN."Ia mengacak rambutnya kasar, lalu menyesap kopi hitamnya yan
Polisi bergerak cepat. Laporan dari Diva dan bukti yang dibawa Maira menjadi landasan kuat untuk segera bertindak. Mereka tahu waktu adalah hal yang paling krusial dalam kasus ini.Deki bukanlah sosok yang asing dalam catatan kepolisian. Seorang residivis dengan berbagai kasus kejahatan yang belum pernah terungkap sepenuhnya. Ia ibarat bayangan yang selalu lolos dari jerat hukum, dengan kemampuan menyembunyikan bukti yang luar biasa.Kurang dari dua kali 24 jam, tim khusus berhasil melacak pergerakan Deki. Polisi mendapatkan informasi bahwa Deki terlihat di sekitar Pelabuhan Bakauheni. Rencananya untuk melarikan diri melalui Bakauheni harus segera digagalkan.Tim penyelidik khusus sudah mempersiapkan sejak malam. Koordinasi antara unit mobil dan tim di lapangan berjalan ketat. Setiap pergerakan Deki sudah dipetakan, setiap rute pelarian sudah diblokir.Deki bergerak gesit, memanfaatkan setiap celah dan koneksi yang ia miliki. Ia menggunakan jaringan bawah tanah yang selama ini membuat
Malam semakin larut. Hampir jam satu dini hari, tetapi Nisya tak mampu memejamkan mata. Teleponnya yang kesepuluh kali ke nomor Rakha masih belum mendapat jawaban. Layar ponselnya menampilkan foto Rakha, pemuda berusia dua puluh lima tahun itu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Foto setahun lalu, sebelum semua kekacauan ini dimulai."Ayo, angkat teleponnya, Nak," bisik Nisya, berjalan mondar-mandir di kamarnya.Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ditemani detak jam dan deru pendingin udara. Beni, suaminya, tak ada di rumah. Begitu pula dengan Khandra dan Evanna.Mereka memilih pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Bukan hanya meninggalkan rumah malam ini, tapi juga meninggalkan Rakha dalam masalahnya. Nisya masih tak percaya suaminya tega melakukan itu pada anak kandungnya sendiri." Rakha harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Beni sebelum pergi, wajahnya mengeras oleh amarah. "Rakha mencoba membunuh seseorang. Diva hilang, dan semua bukti mengarah padanya!"N
Nisya menggertakkan gigi saat mendengar gedoran pintu kamarnya yang berulang kali. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Dia baru saja bersiap tidur, dan Beni, suaminya, sedang membaca buku di sampingnya. Gedoran itu kembali terdengar, lebih keras dan mendesak."Siapa sih?" desis Nisya sambil menyibakkan selimut. Beni mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat."Biar aku saja," tawar Beni, tapi Nisya sudah terlanjur bangkit dengan wajah masam."Tidak perlu. Pasti Khandra lagi," ucapnya dingin.Khandra, anak tiri Nisya, memang selalu menjadi duri dalam dagingnya. Setidaknya, begitulah yang selalu dirasakan Nisya.Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Di hadapannya berdiri Khandra dengan wajah tegang dan di belakangnya, Evanna, menantunya tampak berdiri dengan wajah tegang."Apa-apaan ini? Jam segini menggedor pintu kamar orang seperti orang kesetanan!" Nisya memandang tajam kedua orang di di depannya itu.Khandra menarik napas dalam. Matanya yang bias
Sudah beberapa hari Diva menghilang dan tidak dapat dihubungi. Orang tuanya, terutama Reni, ibunya sudah mulai khawatir. Tidak biasanya ia seperti itu. Reni sudah bertanya pada kenalan, saudara, dan teman-teman Diva, tapi tak ada seorang pun yang tahu ke mana Diva.Begitu juga dengan Rasena, ayah Diva. Selama beberapa hari ia kalang kabut mencari putri sulungnya itu. Setelah tak membuahkan hasil, Rasena pun mencoba peruntungannya dengan menghubungi Evana meski tak yakin kalau Evanna tahu keberadaan Diva.Malam itu Rasena menelepon putri bungsunya itu. Nada bicara Rasena terdengar sangat khawatir. Rasena bertanya pada Evanna apakah tahu ke mana Diva berada meskipun ia tak yakin mengingat hubungan Diva dan Evanna tak pernah baik.Seperti dugaan Rasena, Evanna tak tahu ke mana Diva. Terakhir kali Evanna bertemu dengannya saat di apartemen Evanna."Kamu yakin tidak tahu apa-apa ke mana Diva, Evanna?" tanya Rasena dengan nada mendesak.Evanna sebenarnya tahu masalah yang dihadapi Diva tapi
Diva tertegun, kedua kakinya seolah terpaku ke aspal. Di hadapannya berdiri Rakha, pria yang selama ini mengingkari keberadaan nyawa yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Sorot mata Rakha sedingin es, sangat berbeda dari tatapan lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta."Rakha?" Diva terengah-engah, masih berusaha menormalkan napasnya. Darah mengalir dari luka gores di lengan dan pipinya akibat ranting-ranting tajam yang menyayat kulitnya selama berlari menembus hutan."Diva," suara Rakha terdengar datar, tanpa emosi. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini."Di kejauhan, Diva masih bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Pria yang mengejarnya tadi belum menyerah. Dalam keputusasaan, Diva berlari ke arah Rakha."Tolong aku," pintanya dengan suara gemetar. "Ada seseorang yang mengejarku di hutan. Dia—dia mencoba menyakitiku."Rakha tidak bergeming. Tatapannya masih dingin, seolah Diva hanyalah orang asing yang tidak berarti."Masuklah," ujar Rak
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha