Evanna terperangah mendengarnya. Tunggu dulu, apa ia tidak salah dengar? Benarkah laki-laki yang berdiri angkuh di sampingnya ini yang akan menjadi suaminya? Kalau begitu calon suami Evanna bukan laki-laki tua itu?
“Tu..tunggu dulu! Jadi, bukan Fandy yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni terbata-bata.
Diva yang berdiri di belakang ibunya, malah tampak lebih syok lagi.
Bagaimana tidak, sudah sejak bulan lalu ia mengejek Evanna tentang calon suaminya yang tua bangka. Ia kerap kali menghina Evanna dan paling suka melihat adik tirinya itu terpuruk.
Namun, sekarang yang berdiri di samping Evanna bukan laki-laki setengah baya dengan rambut beruban dan kaca mata tebal. Yang berdiri di samping Evanna adalah laki-laki tampan dengan badan tegap dan tinggi menjulang. Matanya yang tajam dibingkai alis lebat. Wajahnya seperti pahatan patung dewa Yunani dengan dagu terbelah.
“Mama,” bisik Diva pelan di telinga ibunya,”ini benar calon suami Evanna. Apa enggak salah?” lanjutnya.
Mata Diva menatap iri pada keberuntungan Evanna. Kalau tahu begini jadinya tentu ia akan menerima lamaran laki-laki tua itu.
“Mana Mama tahu? Pasti ada yang tidak beres ini,” jawab Reni pada Diva.
“Ini benar calon suami Evanna?” tanya Reni yang tampaknya tidak percaya dengan omongan Elfandy.
“Memang benar. Ini Khandra, putra tertua Tuan Alcantara, pemilik Imperium Holding Company. Dan ini Rakha, adiknya,” sahut Elfandy mengenalkan kedua pemuda itu kepada keluarga Evanna.
Evanna juga tak bisa berpikir jernih sekarang. Otaknya tak bisa dipakainya untuk bepikir. Begitu banyak hal yang menggelayuti benaknya membuat Evanna tak bisa memakai logikanya. Satu hal yang pasti, suaminya bukanlah seorang lelaki tua.
“Ah, ya, saya tentu mengenal Tuan Alcantara,” ujar Rasena sambil menyalami Khandra dan Rakha.
“Jadi, ini calon kakak iparku. Halo, Kakak Ipar, senang akhirnya aku bisa berjumpa denganmu!” ujar Rakha yang meraih tangan kanan Evanna dan mencium jemarinya sambil tersenyum kocak, ”semoga kau betah menjadi istri kakakku ini.”
Evanna mengerutkan keningnya mendengar ucapan Rakha padanya. Elfandy yang tahu gelagat yang kurang baik segera menarik tangan Rakha untuk berdiri dekat dengannya.
“Semua sudah siap?” tanya Khandra sambil menatap Elfandy.
“Para tamu sudah menunggu di dalam ballroom dari tadi. Pernikahan sudah bisa dimulai,” ujar Elfandy.
Khandra berjalan mendekati Evanna dengan tatapan mata yang membuat Evanna merinding menatapnya. Tak ada kesan lembut dari manik matanya. Hanya ada aura dingin dan angkuh dalam sorot mata itu.
Khandra menyorongkan lengannya dan Evanna dengan ragu menyambutnya. Evanna melingkarkan tangan kanannya di lengan Khandra dan mereka pun berjalan pelan memasuki ballroom.
Hadirin berdiri menyambut kedua mempelai yang memasuki ballroom dengan iringan Wedding March. Evanna takjub melihat venue pernikahannya yang dipenuhi bunga putih dan lampu menyerupai lilin yang tinggi menjulang.
“Aku baru tahu kalau akan menikahi anak bungsu keluarga Rasena. Aku kira dengan yang sulung,” ucap Khandra pelan, namun masih bisa didengar Evanna.
Siapa pun yang tahu anak gadis keluarga Rasena pasti akan menyebut nama Diva. Evanna maklum karena memang ia bukan siapa-siapa. Tapi dibandingkan-bandingkan dengan Diva di saat seperti ini membuat hatinya kecewa.
“Tentu saja anak kesayangan tak akan diizinkan menikahi bajingan sepertiku. You’re just the blacksheep of the family, eh?” ujar Khandra kembali.
Evanna mengerutkan dahinya. Ia tak paham apa yang diucapkan Khandra barusan. Ia terang-terangan menyebut dirinya bajingan. Membuat Evanna berpikir keras seperti apa sosok Khandra sebenarnya.
“Apa maksudmu?” tanya Evanna. Tapi Khandra tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya berjalan dan menatap ke depan.
Mereka tiba di bagian depan ballroom tempat di mana mereka akan mengucapkan janji pernikahan sehidup semati hingga maut memisahkan. Pemuka agama yang mengesahkan pernikahan mereka memberikan sepasang cincing untuk dipakaikan pada kedua mempelai.
Khandra mengambil cincin pengantin bermata safir dan menyematkannya di jari manis Evanna. Evanna pun melakukan hal yang sama.
Setelah kedua mempelai dikenalkan sebagai Tuan dan Nyonya Anantara, hadirin yang menjadi saksi pun bertepuk tangan. Dan di antara riuhnya tepuk tangan itu, Khandra meraih pinggang Evanna, lalu menariknya mendekat padanya. Ia menatap wajah Evanna beberapa saat dan mulai mendekatkan wajahnya. Dan tanpa ragu Khandra pun mencium bibir Evanna.
٭٭٭
Acara pernikahan yang melelahkan. Berdiri di pelaminan selama lebih dari tiga jam dan menyalami tamu-tamu yang hanya sebagian kecil Evanna kenal sangat melelahkan. Belum lagi harus memasang senyum palsu sepanjang resepsi.
Evanna kembali ke kamar hotelnya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Ranjang besar di tengah ruangan telah ditutup dengan bed cover putih dan merah maroon. Bunga-bunga segar ditata di atas bedside tables. Ornamen sapasang angsa diletakkan di tengah ranjang.
Evanna meletakkan buketnya di atas meja rias. Ia melepas veilnya dan menggantungnya. Ia duduk di sofa dan memandang keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota dengan lampu warna-warni.
Beberapa jam yang lalu ia resmi menjadi nyonya Khandra Anantara. Seorang istri dari laki-laki yang tidak ia kenal. Laki-laki yang menyebut dirinya sendiri sebagai bajingan. Entah apa sebabnya.
Evanna mengembuskan napasnya kasar. Ia beranjak dari atas sofa dan melangkah menuju kamar mandi. Ia harus terlihat layak di depan suaminya. Bagaimana pun juga ini adalah malam pengantinnya.
Mau tidak mau ia harus melayani suaminya. Ia berniat membersihkan tubuhnya sebelum suaminya kembali ke kamar.
Satu jam, dua jam, Evanna duduk terpekur di atas sofa. Rambut basahnya sudah mulai kering, tetapi suaminya tak juga kembali ke kamar.
Evanna melirik ponselnya. Sudah hampir tengah malam. Evanna menguap. Ia mengantuk sekali. Evanna menyerah. Matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Tak lama setelah ia merebahkan tubuh penatnya ke atas ranjang, Evanna sudah terbang ke alam mimpi.
٭٭٭
”Kenapa kau tak pernah bilang kalau bukan Fandi yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni geram saat ia dan suaminya ada di dalam kamar hotel tempat mereka menginap.
Sejak resepsi pernikahan Khandra dan Evanna yang tak ubahnya bencana baginya tadi hati Reni sudah dibakar api. Tapi suaminya ini malah berakrab-akrab dengan menantu dan adiknya itu. Tatapan matanya juga memancarkan rasa bangga karena bisa menjadi bagian dari keluarga Alcantara.
Reni yang semula ingin menjerumuskan Evanna malah balik dipermalukan. Ia tak habis pikir, bagaimana gadis kampungan seperti Evanna bisa mendapatkan rembulan jatuh hanya dalam sekejap.
”Aku juga baru tahu kalau ternyata Khandra yang akan menikah dengan Anna,” jawab Rasena membela diri.
Meskipun tak berani menunjukkan di depan istrinya secara langsung, Rasena merasa lega. Ia sudah menilai teman lamanya itu yang tidak-tidak. Ia bahkan sudah menyebut sahabat baiknya sendiri sebagai penyuka daun muda.
Kalau dipikir-pikir lagi Fandi tidak pernah mengucapkan kalau ia akan menikahi salah satu anaknya. Ia hanya bilang Rasena harus memberikan salah satu anaknya padanya. Pernikahan antara Fandi dengan salah satu putrinya hanya asumsinya belaka yang ternyata keliru.
Siapa yang tak mengenal Khandra Anantara, pewaris tahta Imperium Holding Company, yang salah satu anak perusahaannya menjadi penyokong dana utama bagi proyek-proyek yang dikerjakan Rasena. Meskipun tidak pernah berhadapan secara langsung, tapi Rasena sering mendengar namanya.
”Kau pasti sudah tahu rencana sebenarnya. Tapi, kau menutupinya dariku. Pasti kau dan anak harammu itu sudah bersekongkol di belakangku. Aku tahu kalau kau masih mengingat perempuan laknat yang sudah mati itu. Makanya kau mati-matian membuat anaknya menikah dengan konglomerat. Supaya apa? Supaya bisa naik derajatnya?” seru Reni dalam kemarahannya yang makin tak terkendali.
Kalau ia tahu Khandra yang akan menjadi menantu mereka, sudah pasti ia akan menyetujui Diva yang menikah dengannya. Saat suaminya mengatakan padanya, Reni langsung mengajukan Evanna sebagai syarat pelunasan utang. Ia tidak berpikir dua kali saat itu. Sekarang dia menyesal karena telah menolak permata yang tak ternilai harganya.
”Aku tidak bohong, Ma. Aku juga benar-benar baru tahu malam ini,” ucap Rasena meyakinkan istrinya.
”Tidak mungkin kalau kau atau anakmu itu tidak tahu. Kau dan Fandy juga sudah kenal sejak lama, apa masuk akal kalau peristiwa besar seperti penikahan ini ada yang disembunyikan? Aku yakin ada yang tidak beres dan aku tidak tahu,” kejar Reni yang masih tidak bisa menerima kenyataan.
”Jangan berburuk sangka begitu! Tak ada yang kusembunyikan darimu. Kau juga lihat sendiri kalau Evanna pun terkejut saat tahu ia menikah dengan Khandra,” ingat Rasena pada istrinya itu.
”Kalian berdua memang pandai bersandiwara. Kau dan anakmu itu sama saja. Aku yang terlalu bodoh karena mempercayai semua kata-katamu. Kalau kau dulu bisa menipuku, tentu anakmu itu juga bisa mengikuti jejakmu. Sekali penipu, tetap penipu,” sentak Reni.
”Aku tidak menipumu. Aku tahu kesalahanku dahulu dan aku juga menyesalinya. Aku selalu berusaha jujur padamu meskipun, yah, kau selalu menganggapku sebagai penipu. Tapi kali ini percayalah, aku tidak membohongimu!” ujar Rasena meyakinkan istrinya.
Reni terdiam namun dadanya masih turun naik menandakan emosinya yang tak jua mereda. Hatinya masih terbakar amarah karena keberuntungan Evanna. Ia tidak rela kalau anak haram seperti Evanna bisa merasa bahagia, apalagi kalau kebahagiannya melebihi Diva.
Tahu begitu, Diva yang akan disuruhnya menerima syarat pelunasan utang Rasena. Diva tentunya lebih pantas bersanding dengan Khandra. Anaknya cantik dan wanita berkelas. Diva juga lebih sering bergaul dengan kalangan kelas atas. Jauh berbeda dengan Evanna yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Diva.
”Aku mau tidur. Besok pagi aku mau ke Imperium, sekalian bertemu dengan Fandi. Aku harus minta maaf padanya karena sudah menganggapnya yang bukan-bukan selama ini,” ucap Rasena sambil beranjak ke tempat tidur.
Reni menatap suaminya sengit. Selalu saja begitu. Suaminya itu lebih memilih tidur atau berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya daripada meladeni keluh kesahnya.
‘Dasar, ayah dan anak sama saja,’ rutuk Reni dalam hati, “tunggu saja aku tak akan tinggal diam. Aku pasti akan membalas kalian.’
Bersambung
Evanna menguap pagi itu. Ia menjangkau ponselnya yang terletak di atas meja. Sudah hampir pukul tujuh. Evanna menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia melirik ke samping tempat tidurnya yang kosong. Suaminya itu semalaman tak kembali ke kamar, entah ke mana dia.Sekarang sudah hari ketiga setelah ia menyandang gelar istri. Dan selama itu pula, suaminya tidak pernah menjenguknya di kamar.Evanna seperti orang bodoh. Ia hanya berdiam di kamarnya. Evanna tak tahu harus berbuat apa atau menghubungi siapa. Menghubungi keluarganya jelas tak mungkin. Diva dan Reni pasti akan tertawa mengejeknya. Mana ada istri yang ditinggalkan suaminya setelah pesta pernikahan.Menghubungi Khandra lebih mustahil lagi. Evanna tak tahu nomor telepon suaminya itu. Apa ia benar-benar dibuang setelah pernikahan? Apakah Khandra langsung akan menceraikannya setelah menikah. Kalau seperti itu, lalu untuk apa menggelar pesta pernikahan di hotel mewah? Sungguh tak masuk akal.Evanna tersadar dari lamunannya saa
Evanna sudah bangun tidur beberap menit yang lalu, tapi ia masih tetap bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia segan bangun dan keluar kamar. Kalau hanya untuk bertatap muka dengan monster menyeramkan seperti semalam, ia lebih memilih sembunyi di bawah selimutnya. Tanpa sadar Evanna bergidik kalau mengingat kejadian semalam. Khandra jelas tidak menyukainya. Atau lebih tepatnya Khandra membencinya. Evanna tak tahu apa sebabnya. Ia merasa tak pernah menyinggungnya dalam hal apa pun. Apa karena Khandra sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, lalu ia melampiaskan kemarahannya pada Evanna. Evanna menguap lebar dan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Setelah ini apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus angkat kaki dari sini dan pergi menjauh? Kalau harus pergi di mana ia akan tinggal? Evanna tak pernah mempunyai banyak uang. Kalau ia harus mencari tempat tinggal sendiri, tentu akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Kembali ke rumah orang tuanya? Hell, mending ia tin
“Oh, kau belum tahu? Padahal skandalnya menjadi berita besar tiga bulan lalu. Skandal itu bahkan menjadi topik utama berita nasional, bahkan akun-akun gosip pun juga membuat beritanya semakin heboh,” jelas Rakha penuh semangat.Evanna berpikir keras sampai dahinya berkerut. Tapi, tak sekilas pun ia bisa mengingat tentang skandal yang melibatkan Khandra Anantara. Atau jangan-jangan memang dia yang kurang update tentang berita mengenai skandal dan selebritis.“Skandal apa? Nampaknya ada berita besar yang terlewat olehku,” ucap Evanna akhirnya setelah menyerah mengorek memori otaknya.“Ke mana saja kau ini, Kakak Ipar? Pantas saja, Khandra nggak pernah protes lagi setelah menikah denganmu. Ternyata kau memang tinggal di dalam gua sebelum ini sampai-sampai tak tahu berita heboh seperti itu,” seloroh Rakha sambil tertawa keras sampai-sampai pengunjung di sekelilingnya menatap ke arah meja mereka.“Tiga bulan yang lalu aku masih sibuk dengan ujian skripsiku, mana sempat memperhatikan berita
Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya
”Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kauucapkan,” tanya Angela sambil menggelengkan kepalanya.”Evanna itu sama seperti perempuan lain yang mendekatiku. Ia hanya menginginkan uangku. Tante tahu, dia anak di luar nikah. Anak haram hasil selingkuhan bapaknya. Dia sengaja mau menaikkan derajatnya, makanya dia setuju untuk menikah denganku,” jelas Khandra berapi-api.”Oh, ya, betulkah itu?” tanya Angela lagi.”Tante nggak percaya padaku? Aku sudah mengecek latar belakangnya dan menurutku nggak ada bagus-bagusnya. Kelakuan orang tuanya yang tukang selingkuh seperti itu, pasti akan menurun ke anaknya. Kita sudah lihat salah satu contoh nyatanya,” terang Khandra meyakinkan Angela.Angela tertawa sumbang mendengar argumentasi Khandra. Ia paham hidup keponakannya itu tidak mudah. Khandra ditinggal ibunya pergi untuk selamanya sejak usia dua belas tahun. Ia terpaksa menerima kehadiran ibu dan adik tirinya dua tahun kemudian. Satu hal lagi yang membuatnya sulit mempercayai orang lain adal
Evanna beringsut ketakutan sambil memegangi selimutnya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tatapan mata Khandra yang tajam tanpa kedip seperti mendominasinya.Evanna masih teringat peristiwa menyakitkan tadi dan ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.Evanna membeliak saat suaminya itu melangkah mendekatinya. Satu lututnya sudah ia tumpu di tepi ranjang. Sudah cukup, tubuh dan hatinya tak bisa lagi menerima perlakuan Khandra yang di luar batas perikemanusiaan seperti tadi.Perlahan Evanna menggeser tubuhnya hingga punggungnya membentur headbed yang dingin. Tangannya dikatupkan di depan dada dan memegang erat selimutnya. Bibirnya bergetar saat air mata kembali menitik melalui matanya yang sembab.Evanna kembali tersentak saat Khandra menarik selimutnya keras. Ia berusaha menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Tubuh polosnya sekali lagi terekspos di depan laki-laki yang tak ubahnya monster di mata Evanna."Kau mau apa lagi?" cicit Evanna, lemah dan ketakuta
”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Evanna menikmati makan singnya di kafe yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Iced cappuccino, chocolate mousse, dan muffin sudah terhidang manis di atas mejanya. Cokelat memang hal yang sempurna untuk mengembalikan mood dan suasana hati yang rusak.Di kursi sampingnya terdapat beberapa kantong belanjaan. Evanna menghabiskan hampir setengah hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan kamar barunya.Toko tempatnya berbelanja pernak-pernik kamar yang ditunjukkan Khandra padanya bersedia mengantarkan barang pesanannya sampai ke apartemen. Lumayanlah, Evanna tak harus kerepotan membawa barang-barang yang tak sedikit itu.Sebelum belanja, Evanna mampir ke mesin ATM utuk mengecek saldonya. Ia melotot tak percaya melihat nominal yang tertera yang jumlahnya hampir mencapai dua kali lipat uang kuliahnya selama satu semester.Tapi Evanna harus hati-hati menggunakan uang Khandra. Siapa tahu Khandra memberinya uang itu bukan untuk satu bulan, tapi sampai bercerai hanya itu uang yang
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang