Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.
Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.
Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.
“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”
Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.
Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya kuat-kuat supaya Evanna tak bisa membebaskan diri dari jeratnya.
Evanna menjerit saat pakaiannya dikoyak Khandra secara paksa. Ia ingin siapa pun yang ada di luar bisa mendengar teriakannya. Namun, sayang suaranya tak akan didengar oleh siapa pun.
Penthouse apartemen Khandra ada di lantai paling atas. Seluruh unit di lantai ini hanya dihuni oleh Khandra seorang. Sekencang apa pun Evanna berteriak tak akan ada yang bisa mendegarnya.
Evanna hanya bisa menangis tergugu dan mencoba melepaskan ikatan tangannya. Semakin keras Evanna menarik tangannya, semakin menyakitkan. Kedua pergelangan tangan Evanna seperti teriris.
Khandra tak memedulikan apa-apa lagi. Ia menggeram dan menundukkan kepalanya. Bibirnya menelusuri wajah, leher, hingga dada Evanna yang terbuka menantang kelelakiannya.
“Aku mohon, hentikan,” ratap Evanna di antara isak tangisnya.
Seumur hidup belum pernah ia diperlakukan seperti ini. Ia memang kerap dihina dan dicaci. Namun, tak pernah sekalipun ia dipermalukan seperti ini. Apalagi oleh seorang yang disebut sebagai suaminya.
Khandra tak mau mendengar apalagi peduli dengan tangis Evanna. Ia muak mendengar mulut manis perempuan. Sekali ia lengah, maka mereka akan semakin jumawa menginjak-injak harga dirinya, termasuk Evanna.
“Kenapa kau takut?” ejek Khandra terkekeh.
Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Evanna. Wajah galak yang tadi diperlihatkan Evanna pada Khandra sekarang sudah berubah 1800. Evanna seperti terpidana mati di depan algojonya, meratap supaya dibebaskan.
“Hentikan, jangan seperti ini!” ratap Evanna sekali lagi.
Evanna berharap suaminya itu masih memiliki nurani. Paling tidak laki-laki itu tahu bagaimana memperlakukan istrinya sendiri.
Evanna kembali memberontak saat tangan besar dan kekar Khandra menekan dadanya kasar. Evanna melolong kesakitan sambil menjerit.
Namun, apa yang dilakukan Evanna semakin membuat Khandra kesal. Evanna benar-benar perlu diberi pelajaran. Perempuan itu sudah tak punya kekuatan melawan, tapi masih saja berteriak keras yang membuat telinga Khandra berdengung menyakitkan.
Evanna semakin berteriak keras saat Khandra juga melepas rok yang dipakainya. Dengan sekali sentak rok satin abu-abu itu sudah teronggok di sudut kamar.
Khandra menjauhkan tubuhnya dan menjulang berlutut di atas tubuh Evanna. Dengan senyum miringnya ia tertawa mengejek Evanna yang penampilannya sudah tak keruan lagi.
“Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?” tanya Evanna lemah di antara isak tangisnya.
Khandra seharusnya tahu Evanna adalah istrinya dan memperlakukannya seperti ini membuat Evanna merasa ia sebagai budak Khandra, yang bisa diperlakukan semau tuannya.
“Karena kau harus diberi pelajaran supaya kau tahu posisimu. Aku tak akan pernah membiarkan perempuan sepertimu menghinaku seenak perutmu.”
“Aku istrimu,” teriak Evanna.
“Benar. Dan karena kau adalah istriku, aku bisa memperlakukanmu semauku. Kenapa kau menyesal sudah menjadi istriku? Hah, sudah terlambat! Aku bisa menikmatimu dengan cara apa pun dan kapan pun aku mau,” ucap Khandra dengan senyum licik di bibirnya.
Setelah berkata seperti itu, seperti kesetanan Khandra mengoyak pakaian terakhir Evanna yang tersisa. Di tengah jerit tangisnya, Evanna hanya bisa pasrah saat rasa sakit mengunjam tubuhnya.
٭٭٭
Angela tengah menata berkas-berkasnya di atas meja. Malam sudah semakin larut. Ia melirik jam tangan yang melingkari tangan kirinya. Sudah jam 10 malam.
Tubuhnya penat, terutama pikirannya. Melayani pasien gangguan jiwa dengan beragam masalah dan fase sangat menguras tenaganya.
Angela seorang psikiater. Ia memiliki klinik yang dikelolanya bersama beberapa rekannya sesama dokter. Kliniknya sudah sangat terkenal di seantero ibu kota, bahkan ada pasien dari luar kota yang rela mengantre untuk dapat berkonsultasi dengannya.
Angela mengambil tas hitamnya yang ada di atas meja. Ia hendak melangkah menuju pintu ruangan praktiknya saat pintu itu menjeblak terbuka.
“Berikan aku bupropion, Tante!”
Khandra masuk tanpa permisi dan langsung duduk di sofa panjang yang ada di dekat pintu masuk. Angela mengangkat alisnya heran saat melihat keponakannya itu yang datang dengan terengah-engah.
“Kenapa?” tanya Angela. Ia meletakkan kembali tasnya ke atas meja dan duduk di samping Khandra.
“Aku membutuhkannya. Sekarang!” ucap Khandra setengah berteriak.
Khandra merasa emosinya sudah naik ke ubun-ubun, napasnya cepat, dan ia merasa kepalanya sudah mau meledak.
“Aku tak bisa memberimu obat tanpa tahu apa yang terjadi. Nah, sekarang bilang padaku, ada apa?” tanya Angela lagi.
Khandra tidak menjawab. Ia malah menyandarkan kepalanya di sofa dan memejamkan matanya.
Terbayang lagi apa yang ia lakukan sebelum meninggalkan apartemen menuju klinik tantenya itu. Kelebat Evanna yang menangis dan berteriak kesakitan kembali terekam dalam memorinya.
Khandra tak pernah sebejat itu sebelumnya dan entah kenapa malam ini ia seperti kerasukan setan. Ia tak tahu iblis dari neraka bagian mana yang bisa membujuknya melakukan perbuatan laknat itu.
Terlebih lagi saat ia melihat ceceran darah yang terpercik di atas bed cover putih ranjangnya. Khandra menyesal saat mengetahui istrinya itu masih perawan dan ia memberikan yang terburuk bagi Evanna.
Khandra cepat-cepat mengenyahkan rasa penyesalan itu dari benaknya. Tidak itu bukan salahnya. Perempuan itu yang membuatnya melakukan hal itu. Ia tak perlu menyesal sudah melakukan semua itu. Evanna pantas mendapatkan hukuman darinya.
Kalau saja Evanna tidak mengungkit kembali kejadian memalukan yang ingin ia kubur dalam-dalam, Khandra tak mungkin akan terbawa emosi seperti itu. Ia sudah sangat terpuruk karena skandal itu. Dan Evanna dengan sesuka hatinya mengaduk-aduk lagi hal paling memalukan yang pernah Khandra lakukan.
Kalau saja Evanna tidak membuat emosinya naik sampai gelap mata, mana mungkin Khandra merudapaksanya. Perempuan seperti itu wajib diberi pelajaran supaya lebih tahu diri.
“Kau kenapa?” ucap Angela lembut, ”bukankah sudah sangat lama kau tidak memerlukan obat penenang?”
Sudah lebih dari tujuh tahun keponakannya itu terlepas dari obat-obat penenang. Dulu ia memang membutuhkan obat-obatan antidepresan karena kematian ibunya yang mengenaskan.
Namun, semakin ia bertambah dewasa, Khandra juga sudah bisa berpikir logis meskipun kadang keadaan membuatnya harus menguras emosi, tapi tak pernah ia sampai meminta obat penenang padanya.
“Bisakah Tante memberiku tanpa banyak bertanya?”
“Mana bisa. Meskipun kau keponakanku, sebagai psikiater, aku harus melakukan observasi terlebih dahulu sebelum memberi pasienku obat. Nah, sekarang apa masalahmu?” tolak Angela halus.
Khandra mengeluh putus asa. Ia ingin mendinginkan isi kepalanya saat ini juga. Dulu, ia terbiasa mengonsumsi obat penenang jika emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, Khandra merasa emosinya sedang tidak stabil.
“Tante tak bisa membiarkanmu ketergantungan lagi. Sudah cukup. Kondisimu sudah sangat baik dalam tujuh tahun terakhir. Percaya padaku, kau tidak membutuhkannya. Kau hanya perlu menenangkan dirimu dan semua akan baik-baik saja,” ujar Angela tegas.
“Gampang sekali Tante bicara. Lalu aku harus bagaimana sekarang?” tanya Khandra semakin frustrasi.
“Pulanglah. Ada yang menunggumu di rumah. Aku hanya bertemu sekali dengan istrimu, tapi aku yakin ia bisa membuat hidupmu lebih baik. Dia perempuan yang baik menurut penilaianku. Kalau kau memperlakukannya dengan baik, ia juga akan baik padamu,” bujuk Angela.
“Itu sangat tidak membantu. Tante tidak tahu kalau perempuan itu hanya benalu,” keluh Khandra.
“Benalu? Benalu bagaimana maksudmu? Tante tidak mengerti.”
“Iya, Tante. Dia hanya benalu. Oh, tidak, bukan hanya benalu. Dia malah seperti lintah. Ya, benar lintah adalah sebutan yang paling cocok untuknya. Sama seperti yang lain, ia tidak hidup untukku. Ia hidup hanya untuk uangku. Kenapa Tante menatapku begitu? Tante tidak percaya padaku?”
Bersambung
”Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kauucapkan,” tanya Angela sambil menggelengkan kepalanya.”Evanna itu sama seperti perempuan lain yang mendekatiku. Ia hanya menginginkan uangku. Tante tahu, dia anak di luar nikah. Anak haram hasil selingkuhan bapaknya. Dia sengaja mau menaikkan derajatnya, makanya dia setuju untuk menikah denganku,” jelas Khandra berapi-api.”Oh, ya, betulkah itu?” tanya Angela lagi.”Tante nggak percaya padaku? Aku sudah mengecek latar belakangnya dan menurutku nggak ada bagus-bagusnya. Kelakuan orang tuanya yang tukang selingkuh seperti itu, pasti akan menurun ke anaknya. Kita sudah lihat salah satu contoh nyatanya,” terang Khandra meyakinkan Angela.Angela tertawa sumbang mendengar argumentasi Khandra. Ia paham hidup keponakannya itu tidak mudah. Khandra ditinggal ibunya pergi untuk selamanya sejak usia dua belas tahun. Ia terpaksa menerima kehadiran ibu dan adik tirinya dua tahun kemudian. Satu hal lagi yang membuatnya sulit mempercayai orang lain adal
Evanna beringsut ketakutan sambil memegangi selimutnya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tatapan mata Khandra yang tajam tanpa kedip seperti mendominasinya.Evanna masih teringat peristiwa menyakitkan tadi dan ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.Evanna membeliak saat suaminya itu melangkah mendekatinya. Satu lututnya sudah ia tumpu di tepi ranjang. Sudah cukup, tubuh dan hatinya tak bisa lagi menerima perlakuan Khandra yang di luar batas perikemanusiaan seperti tadi.Perlahan Evanna menggeser tubuhnya hingga punggungnya membentur headbed yang dingin. Tangannya dikatupkan di depan dada dan memegang erat selimutnya. Bibirnya bergetar saat air mata kembali menitik melalui matanya yang sembab.Evanna kembali tersentak saat Khandra menarik selimutnya keras. Ia berusaha menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Tubuh polosnya sekali lagi terekspos di depan laki-laki yang tak ubahnya monster di mata Evanna."Kau mau apa lagi?" cicit Evanna, lemah dan ketakuta
”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Evanna menikmati makan singnya di kafe yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Iced cappuccino, chocolate mousse, dan muffin sudah terhidang manis di atas mejanya. Cokelat memang hal yang sempurna untuk mengembalikan mood dan suasana hati yang rusak.Di kursi sampingnya terdapat beberapa kantong belanjaan. Evanna menghabiskan hampir setengah hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan kamar barunya.Toko tempatnya berbelanja pernak-pernik kamar yang ditunjukkan Khandra padanya bersedia mengantarkan barang pesanannya sampai ke apartemen. Lumayanlah, Evanna tak harus kerepotan membawa barang-barang yang tak sedikit itu.Sebelum belanja, Evanna mampir ke mesin ATM utuk mengecek saldonya. Ia melotot tak percaya melihat nominal yang tertera yang jumlahnya hampir mencapai dua kali lipat uang kuliahnya selama satu semester.Tapi Evanna harus hati-hati menggunakan uang Khandra. Siapa tahu Khandra memberinya uang itu bukan untuk satu bulan, tapi sampai bercerai hanya itu uang yang
Evanna memasuki aparteman Rakha yang ukurannya jauh lebih kecil daripada penthouse yang ditinggalinya bersama Khandra. Interior apartemen ini juga lebih minimalis. Meskipun begitu, Rakha cukup pandai memilih warna, sehingga isi apartemennya tidak terkesan suram seperti milik Khandra.”Apartemenku lebih kecil kan dibandingkan dengan punya Khandra?” tanya Rakha saat Evanna memperhatikan seluruh isi ruangan apartemen miliknya.”Kau punya apartemen bagus begini, tapi tidak kautinggali. Lalu buat apa apartemen ini?” tanya Evanna sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa coklat susu.”Dari sini ke kantor lebih dekat. Kalau aku banyak kerjaan, aku lebih memilih tinggal di apartemen ini daripada pulang ke rumah,” jelas Rakha.Rakha berjalan ke arah jendela. Dibukanya tirai lebar-lebar juga pintu kaca yang mengarah ke balkon.”Kau mau minum apa? Kelihatannya masih ada beberapa softdrink di kulkas,” tawar Rakha lagi.Evanna menggelengkan kepalanya. Ia sudah minum cukup banyak waktu di kafe tad
”Tante Angela,” sapanya pada wanita ramah itu.Angela tersenyum lebar dan memeluk istri keponakannya itu. Ia melangkah memasuki aparteman yang biasanya seminggu sekali ia sambangi.Angela tampaknya sudah sangat hapal apartemen Khandra. Ia langsung menuju ruang santai dan meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas meja yang ada di ujung sofa.”Mumpung aku tidak terlalu sibuk, aku sempatkan mampir ke sini. Minggu kemarin aku luar biasa sibuk, bahkan satu jam sebelum pernikahan kalian ada pasien gawat yang membutuhkan pertolonganku segera. Makanya aku tidak bisa datang waktu kalian menikah,” ucap Angela sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa panjang yang didominasi warna dark grey itu.”Tampaknya tak ada perubahan sama sekali dengan apartemen ini. Kau dan Khandra apa tidak berniat mengganti furniture? Sejak lima tahun lalu Khandra menepati apartemen ini, isinya masih sama. warnanya pun terlalu monoton,” lanjut Angela.Evanna hanya tersenyum tipis mendengarnya. Mana berani ia mengubah
Khandra sampai ke apartemennya saat malam mulai menjelang. Sesampainya di apartemen, ia melangkah tergesa. Ia membuka pintu kamar Evanna tanpa permisi, lalu menjeblakkan pintunya kasar”Kenapa kau…?” pertanyaan Khandra menggantung di udara saat melihat Evanna tengah tertidur pulas.Khandra membuang napasnya kesal. Ia sudah siap dengan segudang petuah manis untuk istrinya itu. Tapi, saat melihat Evanna tengah tertidur damai, membuatnya tak bisa melanjutkan kata-katanya.Suasana kamar ini tampaknya sudah berubah dengan yang terakhir kali Khandra lihat. Warna krem dan peach mendominasi kamar yang sekarang dipakai Evanna. Warna-warna cerah yang memberikan kesan hangat.”Bangun!” Khandra menepuk bahu Evanna keras.Malam ini ada banyak hal yang harus ia konfirmasi dengan istrinya itu. Khandra bahkan rela melewatkan makan malam dengan ayahnya dan segera terbang pulang.Telepon dari Tante Angela kemarin malam membuatnya kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan tantenya yang memberondongn
Khandra terdiam. Saat ia mengajukan semua syarat pada Evanna, semuanya terlihat begitu mudah. Tapi saat orang lain tahu, Khandra merasa ia harus menyiapkan banyak alasan yang semakin memojokkan posisinya.”Apa kau takut membuka kembali hatimu karena masa lalumu bersama Maira?” tanya Angela hati-hati.Sejak pertunangan Khandra dengan Maira dibatalkan, keponakannya itu memang menutup dirinya dari perempuan. Ia tak mau lagi memiliki hubungan serius dengan perempuan mana pun.”Jangan mengingatkanku lagi padanya, Tante. Dia sudah bukan siapa-siapa bagiku,” jawab Khandra.”Mengapa tak kaucoba dengan Evanna. Dia sudah sah menjadi istrimu. Kalau tak kaucoba membuka hatimu sekarang, lalu kapan lagi? Apa menunggu sampai ada mujizat baru kau mau membuka hatimu untuk istrimu?” tanya Angela.Khandra terdiam. Sakitnya dikhianati orang yang sangat ia cintai masih ia rasakan sampai saat ini. Apalagi Maira mengkhianatinya dengan Rakha. Benar-benar pukulan telak bagi Khandra.Angela merenung sejenak. E
Diva masih terduduk di lantai di depan pintu apartemen Rakha. Tangisnya tak kunjung reda, namun ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Napasnya terengah-engah saat ia bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Dengan langkah terseok, ia menuju lift di ujung lorong. Air matanya mengalir deras, meskipun ia mencoba menyekanya.Tiba di depan lift, Diva memencet tombolnya dan menunggu. Suasana sunyi lorong hanya dihiasi suara isakannya yang tertahan. Pintu lift terbuka perlahan, dan saat itu juga dunia Diva serasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu.Di dalam lift, berdiri seorang wanita dengan gaun elegan berwarna merah tua. Wajahnya cantik, bersih, dan bercahaya seperti biasanya. Evanna, adik tirinya.Diva menelan ludah, tubuhnya seketika tegang. Ia buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, meskipun jejak tangis masih jelas terlihat di wajahnya. Evanna memandangnya, awalnya dengan kebingungan, tapi kemudian matanya menyipit, seolah ia ingin tahu apa yang sedang terjadi."Diva?" p
Wajah Diva berubah sendu. Apalagi saat ditatapnya wajah Rakha yang terlihat masam. Laki-laki itu tak terlihat bahagia saat bertemu dengannya. Rakha malah terlihat muak.Diva mengembuskan napas berat, seolah setiap pijakan adalah hukuman yang tak terhindarkan. Diva merasa aliran udara di kafe itu terasa seperti racun. Napasnya terasa semakin pendek dan dadanya terasa sesak."Aku nggak punya banyak waktu. Cepat katakan apa maumu," ucap Rakha dingin, suaranya datar, namun tajam.Senyum samar yang coba ditunjukkan Diva memudar sedikit, tapi ia tetap berusaha tenang meki batinyya bergemuruh."Kamu selalu buru-buru. Apa kita nggak bisa duduk santai sebentar? Aku mau bicara sesuatu yang penting.""Aku bilang cepat," potong Rakha tegas, membuat Diva tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali, tapi ia menelan semua protes yang hampir keluar dari mulutnya."Aku... aku butuh tempat yang lebih tenang. Ini penting banget, Rakha."Rakha mendesah panjang. Kesabarannya hampir habis. "Di sini cukup t
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva