Khandra mengumpat dalam hati. Mengapa tahun ini kesialan kerap menghampirinya. Skandal video pribadinya yang tersebar ke seluruh jagad raya. Pernikahan yang tidak ia inginkan dengan Evanna. Dan sekarang Khandra harus bertemu kembali dengan seorang yang paling tidak ingin ia jumpai lagi seumur hidup.”Khandra!”Perempuan tinggi semampai dengan wajah ayu itu melepaskan tangannya dari lengan laki-laki yang menggandenganya dengan gugup. Ada tatapan terkejut dan gugup dalam sorot matanya pada saat yang bersamaan.”Ada apa?” tanya Evanna yang berhasil membuat Khandra mengendalikan dirinya kembali.“Oh, Sayang, kemarilah!” panggil Khandra pada Evanna dengan senyum tipis dan suara lembutnya.Mata Evanna membola saat memandang suaminya. Entah kesurupan jin mana Khandra malam itu sampai memanggilnya dengan kata sayang. Suaranya juga demikian lembutnya membuat Evanna terbuai sesaat.Lebih mengejutkan lagi saat Khandra menggamit pinggangnya dan menariknya mendekat. Suaminya itu mengeratkan peluka
”Kita bisa berpisah. Kau akan bebas, begitu pula dengan aku.”Khandra mengerem mobilnya dengan mendadak. Ia tak peduli umpatan dan klakson yang dibunyikan keras-keras oleh pengemudi lain yang ada di belakangnya. Baginya apa yang diucapkan Evanna padanya barusan sangat menjengkelkan dan membuatnya naik darah.”Apa yang kaulakukan? Kita ada di tengah jalan!” teriak Evanna panik.”Kaukira kau siapa bisa meminta pisah dariku seenaknya!” teriak Khandra tak kalah keras.Khandra meraih dagu Evanna dan menariknya mendekat supaya Evanna bisa melihat kemarahan yang terpancar jelas dari raut wajahnya.”Aku yang akan memutuskan kapan kita berpisah. Kita tak bisa bercerai hanya karena kau memintanya. Ingat surat perjanjian itu dan hapalkan baik-baik dalam otak bodohmu itu!” sembur Khandra yang semakin terbakar emosi.Evanna bergidik ngeri melihat reaksi Khandra yang sangat berlebihan itu. Ia tak mengira suaminya itu akan begitu murka dengan permintaannya barusan. Evanna menyesal telah mengatakanny
Pagi itu, Maira tengah duduk di lobi Imperium Royal Apartement. Tiga tahun lalu, hampir tiap hari ia menginap di sini. Maira sudah merasa apartemen ini seperti rumahnya sendiri. Ia bebas keluar masuk apartemen Khandra yang terletak di lantai paling atas.Khandra masih tinggal di apartemen ini. Namun, sayangnya Maira tak memiliki akses untuk memasuki apartemennya. Hanya beberapa orang yang diizinkan Khandra naik sampai ke apartemennya.Maira hanya bisa menunggu di lobi. Ia menolak saat front office apartemen menawarinya untuk menghubungi Khandra. Maira yakin ia akan diusir keluar secara paksa dari sini kalau sampai Khandra tahu.Terakhir kali Maira nekad memasuki apartemen untuk bertemu Khandra, ia diseret keluar secara tidak manusiawi oleh security. Khandra benar-benar tak mau bertemu dengannya apa pun alasannya.”Oh, hai, kita bertemu lagi!” seru Maira saat melihat seorang perempuan dengan rambut sepinggang berjalan melewatinya menuju lift.”Maira?” tanya Evanna tak percaya.”Kebetul
Dua sosok misterius berpakaian serba hitam itu tidak menjawab. Mereka hanya terus menatap Maira dengan sorot mata tajam, seakan tengah mengamati serta mengkalkulasi sesuatu dalam diri Maira. Membuat bulu kuduk Maira meremang.Secara spontan Maira melangkah mundur, mencoba mencari perlindungan dengan mendekat menuju ke pintu lobi apartemen. Namun, belum sempat Maira melakukan niatnya, sebuah blind van hitam sudah lebih dulu bergerak cepat ke arahnya dari belakang.Seseorang menarik tubuh Maira hingga masuk ke dalam van. Dua orang yang ada di pelataran tadi juga ikut masuk ke dalamnya.Sang sopir dengan secepat kilat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Maira meronta, namun satu pukulan di tengkuknya membuatnya kehilangan kesadaran.Entah berapa lama Maira pingsan. Saat tersadar ia ada di sebuah ruangan yang tak begitu luas. Maira terbaring di lantai yang dingin. Tangan dan kakinya yang terikat membuat Maira tak bisa bergerak. Mulutnya yang disumpal membuatnya tak bisa berteriak.
Evanna melihat kembali alamat yang diberikan Rakha padanya. Memang benar ini tempatnya. Namun, gedung dua lantai itu terlihat sangat sepi. Seperti tak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Evanna hendak menghubungi Rakha kembali, saat seorang satpam menghampirinya.”Cari siapa, Mbak?” tanya satpam bertubuh kurus itu pada Evanna.”Saya ada janji bertemu dengan Pak Laban,” jawab Evanna.Satpam itu memperhatikan Evanna dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Meskipun sederhana, tapi wanita di depannya itu terlihat cantik dengan kulit putih dan pipi kemerahan.”Oh, janji ketemu dengan Pak Laban. Beliau ada di kantornya. Mari saya antar,” tawar satpam itu ramah.Evanna berjalan mengikuti langkah satpam itu. Dari luar bangunan itu memang terlihat sepi, tapi saat masuk ke dalam, Evanna baru melihat beberapa mobil yang diparkir. Saat memasuki bagian dalam bangunan, Evanna baru tahu kalau di dalamnya cukup ramai.Satpam itu naik ke lantai dua. Terdapat beberapa lorong panjang dengan ruangan yang
”Kenapa begitu?” tanya Evanna tak mengerti.”Pak Calix itu sangat suka barang bagus. Kalau nggak cantik nggak mungkin akan didekati. Nggak semua karyawan perempuan di sini yang diajak makan siang bersama. Setahuku waktu Mbak Shana pertama kali bekerja di sini juga begitu. Sering diajak makan bareng. Tapi, sekarang tampaknya tidak lagi,” jelas Marwan.”Mungkin karena aku karyawan baru. Hanya untuk sekadar beramah tamah. Dengan Shana pun mungkin juga begitu hanya sekadar keramahan atasan pada bawahannya,” kilah Evanna lagi.”Hmm…tampaknya nggak begitu deh, Mbak,” bantah Marwan yang tampaknya senang sekali bergosip itu.”Udahlah, nggak perlu dipermasalahkan. Hak sepele saja, kok,” tukas Evanna mengakhiri Marwan yang hendak membuka mulutnya lagi.Evanna berjalan menuju meja kerjanya. Sudah ada setumpuk berkas yang tersusun rapi di atas mejanya. Ia menyalakan komputer dan memulai pekerjaannya.Marwan mengangkat bahu melihat Evanna yang sepertinya tidak terlalu tertarik dengan gosip tentang
”Bagaimana?’ tanya Rakha pada Maira yang baru saja menutup teleponnya.”Semua beres. Tinggal menunggu saat yang tepat,” jawab Maira sambil tersenyum.”Mereka bisa dipercaya, kan? Maksudku Laban dan Calix. Aku tak mau uangku keluar sia-sia,” tanya Rakha memastikan.Maira menghampiri Rakha dan duduk di sampingnya. Diusapnya lengan partner in crime-nya itu dengan lembut.”Tenanglah, Sayang. Laban dan Calix sudah sering bekerja sama denganku sebelumnya. Mereka orang-orang yang sudah lama aku kenal dan bisa diandalkan. Asalkan ada uang, mereka akan melakukannya dengan senang hati," ujar Maira meyakinkan.Rakha mengangguk pelan, wajahnya masih tampak sedikit cemas. Rakha tahu ia tak bisa percaya 100 persen dengan orang seperti Maira.”Aku hanya tidak ingin rencanaku kali ini gagal seperti yang sudah-sudah. Kau tahu berapa banyak kerugian yang aku derita kalau sampai semua ini gagal?"Tangan kekar Rakha mengepal erat mengingat kegagalannya menjatuhkan Khandra beberapa bulan lalu. Gagal membu
”Oh, ya, Evanna, apa akhir pekan nanti kau ada acara?” tanya Calix yang membuat Evanna tertegun seketika.Evanna teringat ucapan Shana sebelumnya bahwa ia harus bersikap hati-hati terhadap Calix. Mendengar pertanyaan Calix itu, Evanna merasa ia tidak hanya harus berhati-hati, namun juga waspada.Evanna meletakkan garpu dan pisaunya perlahan. Ia menatap Calix dengan tatapan tenang meski jantungnya berdegup sedikit lebih kencang.”Sepertinya saya ada acara dengan keluarga, Pak. Kenapa memangnya?” tanya Evanna balik dengan nada setenang mungkin.Calix tersenyum mendengar jawaban Evanna. Senyumnya bahkan terlihat sedikit mencurigakan di mata Evanna.”Ah, sayang sekali! Padahal aku ingin mengajakmu melihat pertunjukan di Black Diamond malam minggu nanti. Ada pertunjukan eksklusif penari dari Thailand akhir pekan nanti,” ujar Calix dengan nada kecewa yang kentara.Evanna mengernyitkan dahinya curiga. Entah mengapa ia merasa ajakan Calix itu tidak sesederhana kelihatannya. Dugaannya semakin m
Nisya menggertakkan gigi saat mendengar gedoran pintu kamarnya yang berulang kali. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Dia baru saja bersiap tidur, dan Beni, suaminya, sedang membaca buku di sampingnya. Gedoran itu kembali terdengar, lebih keras dan mendesak."Siapa sih?" desis Nisya sambil menyibakkan selimut. Beni mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat."Biar aku saja," tawar Beni, tapi Nisya sudah terlanjur bangkit dengan wajah masam."Tidak perlu. Pasti Khandra lagi," ucapnya dingin.Khandra, anak tiri Nisya, memang selalu menjadi duri dalam dagingnya. Setidaknya, begitulah yang selalu dirasakan Nisya.Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Di hadapannya berdiri Khandra dengan wajah tegang dan di belakangnya, Evanna, menantunya tampak berdiri dengan wajah tegang."Apa-apaan ini? Jam segini menggedor pintu kamar orang seperti orang kesetanan!" Nisya memandang tajam kedua orang di di depannya itu.Khandra menarik napas dalam. Matanya yang bias
Sudah beberapa hari Diva menghilang dan tidak dapat dihubungi. Orang tuanya, terutama Reni, ibunya sudah mulai khawatir. Tidak biasanya ia seperti itu. Reni sudah bertanya pada kenalan, saudara, dan teman-teman Diva, tapi tak ada seorang pun yang tahu ke mana Diva.Begitu juga dengan Rasena, ayah Diva. Selama beberapa hari ia kalang kabut mencari putri sulungnya itu. Setelah tak membuahkan hasil, Rasena pun mencoba peruntungannya dengan menghubungi Evana meski tak yakin kalau Evanna tahu keberadaan Diva.Malam itu Rasena menelepon putri bungsunya itu. Nada bicara Rasena terdengar sangat khawatir. Rasena bertanya pada Evanna apakah tahu ke mana Diva berada meskipun ia tak yakin mengingat hubungan Diva dan Evanna tak pernah baik.Seperti dugaan Rasena, Evanna tak tahu ke mana Diva. Terakhir kali Evanna bertemu dengannya saat di apartemen Evanna."Kamu yakin tidak tahu apa-apa ke mana Diva, Evanna?" tanya Rasena dengan nada mendesak.Evanna sebenarnya tahu masalah yang dihadapi Diva tapi
Diva tertegun, kedua kakinya seolah terpaku ke aspal. Di hadapannya berdiri Rakha, pria yang selama ini mengingkari keberadaan nyawa yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Sorot mata Rakha sedingin es, sangat berbeda dari tatapan lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta."Rakha?" Diva terengah-engah, masih berusaha menormalkan napasnya. Darah mengalir dari luka gores di lengan dan pipinya akibat ranting-ranting tajam yang menyayat kulitnya selama berlari menembus hutan."Diva," suara Rakha terdengar datar, tanpa emosi. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini."Di kejauhan, Diva masih bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Pria yang mengejarnya tadi belum menyerah. Dalam keputusasaan, Diva berlari ke arah Rakha."Tolong aku," pintanya dengan suara gemetar. "Ada seseorang yang mengejarku di hutan. Dia—dia mencoba menyakitiku."Rakha tidak bergeming. Tatapannya masih dingin, seolah Diva hanyalah orang asing yang tidak berarti."Masuklah," ujar Rak
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha
Diva menyusut air mata yang menganak sungai di pipinya dengan kasar. Tak mudah bagi Diva untuk menerima kenyataan dirinya sekarang. Ego dan harga dirinya yang tinggi membuatnya enggan menerima apa pun perkataan Evanna.Diva yang selalu menjadi yang pertama dan utama tak bisa menerima begitu saja nasibnya yang malang. Ia tak mau terlihat tak berdaya di depan Evanna.Diva menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mengepal di atas pahanya. Ia menatap Evanna dengan mata yang penuh dengan bara kemarahan dan tekad yang menyla-nyala. Bibirnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan emosi yang nyaris meluap tak terkendali."Aku tidak akan membiarkan Rakha lolos begitu saja," gumamnya, suaranya bergetar. "Dia pikir aku akan menerima begitu saja perlakuannya? Aku bukan perempuan bodoh yang bisa dipermainkan, Evanna!"Evanna menarik napas dalam. Ia sudah menduga reaksi ini, tapi melihat langsung betapa Diva diliputi oleh amarah dan kekecewaan membuatnya sadar bahwa kakak tirinya benar-ben
Khandra pulang kantor menjelang malam. Mood-nya sangat buruk hari itu. Lebih-lebih dengan kekacauan yang terjadi akibat ulah Rakha, adik tiri sialannya itu.Khandra melihat Evanna tengah duduk di ruang santai lantai dua. Khnadra mengempaskan tubuh penatnya di sofa dengan wajah gelap. Membuat Evanna yang tengah menonton acara televisi berjengit kaget.."Ada apa?" tanya Evanna, menyadari ekspresi suaminya yang jelas-jelas sedang kesal.Khandra menghela napas panjang, meraih cangkir teh Evanna yang masih mengepulkan uap dan menyeruput isinya."Kakak tirimu, Diva, datang ke kantorku tadi pagi."Evanna tertegun, ia menatap wajah Khandra lekat-lekat, "Oh? Untuk apa dia ke sana?"Khandra menatap istrinya seolah mencari informasi yang Evanna ketahui tentang Diva. Nada suaranya tegas saat menjawab pertanyaan Evanna."Dia datang dengan membawa masalah pribadinya. Tentang Rakha. Dia pikir aku bisa menyelesaikan kekacauan yang mereka buat."Evanna mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi it
Pagi itu, Diva melangkah memasuki gedung kantor Khandra. Sekarang atau tidak sama sekali. Diva tak mau hanya meratapi nasib dan merasa kalah telak dari Evanna.Gaun hitam di atas lutut yang ia kenakan tampak rapi, meski raut wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang entah mengapa kini semakin merayapi hatinya.Memasuki lobi kantor, ia melihat para pegawai yang berlalu-lalang. Tak ada yang meliriknya. Mereka hanya berlalu dan memasuki pintu lift yang akan membawa mereka ke ruangan yang dituju.Diva melangkah menuju meja front office untuk menyampaikan maksud tujuannya. Dan berbekal hubungan keluarga yang ditegaskannya berulang kali, akhirnya Diva dapat sampai di depan pintu ruangan Khandra. Sekretaris yang seusia dengannya mempersilakan ia masuk setelah memperoleh persetujaun Khandra.Diva menyiapkan senyum paling manis yang selalu dapat memikat kaum Adam. Dilihatnya, Khandra yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya mendongak dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka d
Diva masih terduduk di lantai di depan pintu apartemen Rakha. Tangisnya tak kunjung reda, namun ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Napasnya terengah-engah saat ia bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Dengan langkah terseok, ia menuju lift di ujung lorong. Air matanya mengalir deras, meskipun ia mencoba menyekanya.Tiba di depan lift, Diva memencet tombolnya dan menunggu. Suasana sunyi lorong hanya dihiasi suara isakannya yang tertahan. Pintu lift terbuka perlahan, dan saat itu juga dunia Diva serasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu.Di dalam lift, berdiri seorang wanita dengan gaun elegan berwarna merah tua. Wajahnya cantik, bersih, dan bercahaya seperti biasanya. Evanna, adik tirinya.Diva menelan ludah, tubuhnya seketika tegang. Ia buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, meskipun jejak tangis masih jelas terlihat di wajahnya. Evanna memandangnya, awalnya dengan kebingungan, tapi kemudian matanya menyipit, seolah ia ingin tahu apa yang sedang terjadi."Diva?" p