”Kenapa begitu?” tanya Evanna tak mengerti.”Pak Calix itu sangat suka barang bagus. Kalau nggak cantik nggak mungkin akan didekati. Nggak semua karyawan perempuan di sini yang diajak makan siang bersama. Setahuku waktu Mbak Shana pertama kali bekerja di sini juga begitu. Sering diajak makan bareng. Tapi, sekarang tampaknya tidak lagi,” jelas Marwan.”Mungkin karena aku karyawan baru. Hanya untuk sekadar beramah tamah. Dengan Shana pun mungkin juga begitu hanya sekadar keramahan atasan pada bawahannya,” kilah Evanna lagi.”Hmm…tampaknya nggak begitu deh, Mbak,” bantah Marwan yang tampaknya senang sekali bergosip itu.”Udahlah, nggak perlu dipermasalahkan. Hak sepele saja, kok,” tukas Evanna mengakhiri Marwan yang hendak membuka mulutnya lagi.Evanna berjalan menuju meja kerjanya. Sudah ada setumpuk berkas yang tersusun rapi di atas mejanya. Ia menyalakan komputer dan memulai pekerjaannya.Marwan mengangkat bahu melihat Evanna yang sepertinya tidak terlalu tertarik dengan gosip tentang
”Bagaimana?’ tanya Rakha pada Maira yang baru saja menutup teleponnya.”Semua beres. Tinggal menunggu saat yang tepat,” jawab Maira sambil tersenyum.”Mereka bisa dipercaya, kan? Maksudku Laban dan Calix. Aku tak mau uangku keluar sia-sia,” tanya Rakha memastikan.Maira menghampiri Rakha dan duduk di sampingnya. Diusapnya lengan partner in crime-nya itu dengan lembut.”Tenanglah, Sayang. Laban dan Calix sudah sering bekerja sama denganku sebelumnya. Mereka orang-orang yang sudah lama aku kenal dan bisa diandalkan. Asalkan ada uang, mereka akan melakukannya dengan senang hati," ujar Maira meyakinkan.Rakha mengangguk pelan, wajahnya masih tampak sedikit cemas. Rakha tahu ia tak bisa percaya 100 persen dengan orang seperti Maira.”Aku hanya tidak ingin rencanaku kali ini gagal seperti yang sudah-sudah. Kau tahu berapa banyak kerugian yang aku derita kalau sampai semua ini gagal?"Tangan kekar Rakha mengepal erat mengingat kegagalannya menjatuhkan Khandra beberapa bulan lalu. Gagal membu
”Oh, ya, Evanna, apa akhir pekan nanti kau ada acara?” tanya Calix yang membuat Evanna tertegun seketika.Evanna teringat ucapan Shana sebelumnya bahwa ia harus bersikap hati-hati terhadap Calix. Mendengar pertanyaan Calix itu, Evanna merasa ia tidak hanya harus berhati-hati, namun juga waspada.Evanna meletakkan garpu dan pisaunya perlahan. Ia menatap Calix dengan tatapan tenang meski jantungnya berdegup sedikit lebih kencang.”Sepertinya saya ada acara dengan keluarga, Pak. Kenapa memangnya?” tanya Evanna balik dengan nada setenang mungkin.Calix tersenyum mendengar jawaban Evanna. Senyumnya bahkan terlihat sedikit mencurigakan di mata Evanna.”Ah, sayang sekali! Padahal aku ingin mengajakmu melihat pertunjukan di Black Diamond malam minggu nanti. Ada pertunjukan eksklusif penari dari Thailand akhir pekan nanti,” ujar Calix dengan nada kecewa yang kentara.Evanna mengernyitkan dahinya curiga. Entah mengapa ia merasa ajakan Calix itu tidak sesederhana kelihatannya. Dugaannya semakin m
Menjelang petang Evanna sudah berada di dalam mobil Calix menuju Quantum Hotel. Evanna sudah hampir menangis karena Calix memaksanya berganti pakaian sebelum berangkat. Terpaksa Evanna memakai pakaian yang disodorkan Calix padanya. Laki-laki itu tampaknya sudah mempersiapkan semuanya, termasuk gaun untuk Evanna.Gaun ketat merah maroon itu sangat menyiksa Evanna. Panjangnya sepuluh senti di atas lutut. Apalagi potongan leher v-neck rendahnya membuat Evanna malu memakainya. Dia merasa seperti wanita penghibur. Terlebih lagi saat tatapan nakal Calix yang terus mengerling ke arah paha dan belahan dadanya.Sepanjang perjalanan menuju Quantum Hotel, Evanna hanya bisa menunduk malu dengan tangan menutupi pahanya seerat mungkin. Tangannya sesekali juga membenahi leher gaunnya. Evanna merasa sangat tidak nyaman dengan balutan ketat gaun mini yang dipaksakan Calix untuk ia pakai.Pandangan Evanna sesekali melirik ke arah Calix yang menyetir dengan tenang. Namun tatapan atasannya itu seringkali
”Sebenarnya siapa Evanna?” tanya Calix melalui panggilan telepon pada Maira. Malam ini Calix tak bisa tidur. Setelah membuntuti mobil yang ditumpangi Khandra dan Evanna menuju apartemen, Calix semakin penasaran dengan Evanna. Ia sudah mengeluarkan semua pesona yang dimilikinya pada Evanna, tapi gadis itu tampaknya tidak tertarik padanya. Padahal sebelumnya Calix yakin bisa membuat Evanna bertekuk lutut dalam tempo satu minggu. Namun, setelah hampir satu bulan tak memberikan hasil seperti yang diinginkannya, membuat Calix hampir merasa putus asa. Ia sudah menyiapkan jurus terakhirnya. Namun, ia kalah kelak dari Khandra Anantara. Evana pun tampaknya tak menolak saat diajak pergi laki-laki sialan itu. ”Kan aku sudah bilang kalau ia perempuan kaya yang perlu kau rayu, kau taklukkan, lalu kaukuras habis harta bendanya. Apa aku kurang memberimu informasi?” tanya Maira. ”Kalau begitu informasimu kurang akurat. Evanna tampaknya sulit ditaklukkan,” keluh Calix. Maira tertawa keras mendeng
Evanna keluar dari toilet setelah menenangkan hatinya. Ia kecewa pada atasannya sendiri. Benar kata Shana bahwa Evanna harus mewaspadai Calix.”Ini.”Evanna terkejut saat mengetahui Shana sudah menunggunya di depan pintu toilet. Ia mengulurkan tissue pada Evanna untuk menyeka mata dan pipinya.”Kau tak apa-apa?” tanya Shana khawatir.Hari ini Shana sengaja datang lebih pagi supaya bisa cepat pulang. Namun, ia malah mendengar suara orang bertengkar dari dalam ruang kantor Calix.Evanna menerima tisue dari Shana dengan tangan sedikit gemetar. Ia mengusap sisa-sisa air mata di pipinya sembari menghela napas panjang.”Aku tidak apa-apa, hanya sedikit terguncang saja,” ujar Evanna parau.Shana mengangguk paham. Tentu saja Evanna masih syok dengan pertengkarannya barusan dengan Calix. Shana bisa menebak apa penyebabnya, saat melihat raut kacau di wajah Evanna.”Kita masuk ke ruang istirahat dulu. Kau terlihat butuh waktu untuk menenangkan diri,” ujar Shana lembut.Evanna hanya menurut tanpa
Masih ada dua minggu lebih sebelum Evanna dan Shana menjalankan rencana mereka. Calix adalah laki-laki licik. Evanna dan Shana harus sangat berhati-hati dan merencanakan semuanya dengan matang.Sepulang bekerja petang ini, Evanna berdiri di depan mini bar milik Khandra. Selama tinggal di apartemennya, Evanna tak pernah menengok isi mini bar itu. Baru kali ini ia penasaran isinya dan setelah lama memperhatikan isinya ia malah bingung sendiri.Ada berbagai macam botol dengan ukuran dan warna yang berbeda. Evanna mengenal beberapa di antaranya seperti anggur dan wiski meskipun belum pernah mencicipinya.Dalam pesta Halloween pasti akan disajikan minuman beralkohol. Evanna perlu mencoba beberapa di antaranya supaya ia bisa memprediksi reaksi tubuhnya terhadap alkohol. Akan aneh kalau ia bersama Calix tanpa menyentuh minuman sama sekali.”Kau sedang apa?” tanya Khandra yang sudah berdiri di belakang Evanna.”Oh, hanya sedikit ingin tahu tentang alkohol,” jawab Evanna yang membuat Khandra me
”Kau tahu? Sepertinya aku mulai merasa jatuh cinta. Padamu.”Khandra tertegun mendengar ucapan Evanna. Ia menatap Evanna yang masih memeluknya. Matanya sayu dan wajahnya sudah terlihat memerah karena mabuk.Evanna mengangkat wajahnya. Dagunya ia sandarkan pada dada Khandra. Kemudian ia berjinjit dan mencium bibir Khandra. Khandra terkesiap. Tak pernah mengira Evanna akan berbuat sejauh itu. Namun Khandra tak menolaknya. Ia membalasnya dan melumat bibir Evanna dengan hangat. Napasnya terengah ketika ia melepaskan ciumannya.”Rasanya manis. Bibirmu juga manis,” ucap Evanna lirih, lalu tersenyum.Khandra tertegun mendengar ucapan Evanna. Laki-laki itu berdeham untuk menetralisir kegugupannya.”Sudah cukup. Kau mabuk berat,” ujar Khandra sambil menyeret langkah Evanna ke kamarnya.Namun gadis itu malah memeluk Khandra erat, seolah tak ingin dilepaskan. ”Tidak mau... Aku masih ingin minum lagi bersamamu,” rengeknya manja.Khandra menghela napas panjang. Evanna benar-benar sudah kehilanga
Malam semakin larut. Hampir jam satu dini hari, tetapi Nisya tak mampu memejamkan mata. Teleponnya yang kesepuluh kali ke nomor Rakha masih belum mendapat jawaban. Layar ponselnya menampilkan foto Rakha, pemuda berusia dua puluh lima tahun itu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Foto setahun lalu, sebelum semua kekacauan ini dimulai."Ayo, angkat teleponnya, Nak," bisik Nisya, berjalan mondar-mandir di kamarnya.Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ditemani detak jam dan deru pendingin udara. Beni, suaminya, tak ada di rumah. Begitu pula dengan Khandra dan Evanna.Mereka memilih pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Bukan hanya meninggalkan rumah malam ini, tapi juga meninggalkan Rakha dalam masalahnya. Nisya masih tak percaya suaminya tega melakukan itu pada anak kandungnya sendiri." Rakha harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Beni sebelum pergi, wajahnya mengeras oleh amarah. "Rakha mencoba membunuh seseorang. Diva hilang, dan semua bukti mengarah padanya!"N
Nisya menggertakkan gigi saat mendengar gedoran pintu kamarnya yang berulang kali. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Dia baru saja bersiap tidur, dan Beni, suaminya, sedang membaca buku di sampingnya. Gedoran itu kembali terdengar, lebih keras dan mendesak."Siapa sih?" desis Nisya sambil menyibakkan selimut. Beni mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat."Biar aku saja," tawar Beni, tapi Nisya sudah terlanjur bangkit dengan wajah masam."Tidak perlu. Pasti Khandra lagi," ucapnya dingin.Khandra, anak tiri Nisya, memang selalu menjadi duri dalam dagingnya. Setidaknya, begitulah yang selalu dirasakan Nisya.Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Di hadapannya berdiri Khandra dengan wajah tegang dan di belakangnya, Evanna, menantunya tampak berdiri dengan wajah tegang."Apa-apaan ini? Jam segini menggedor pintu kamar orang seperti orang kesetanan!" Nisya memandang tajam kedua orang di di depannya itu.Khandra menarik napas dalam. Matanya yang bias
Sudah beberapa hari Diva menghilang dan tidak dapat dihubungi. Orang tuanya, terutama Reni, ibunya sudah mulai khawatir. Tidak biasanya ia seperti itu. Reni sudah bertanya pada kenalan, saudara, dan teman-teman Diva, tapi tak ada seorang pun yang tahu ke mana Diva.Begitu juga dengan Rasena, ayah Diva. Selama beberapa hari ia kalang kabut mencari putri sulungnya itu. Setelah tak membuahkan hasil, Rasena pun mencoba peruntungannya dengan menghubungi Evana meski tak yakin kalau Evanna tahu keberadaan Diva.Malam itu Rasena menelepon putri bungsunya itu. Nada bicara Rasena terdengar sangat khawatir. Rasena bertanya pada Evanna apakah tahu ke mana Diva berada meskipun ia tak yakin mengingat hubungan Diva dan Evanna tak pernah baik.Seperti dugaan Rasena, Evanna tak tahu ke mana Diva. Terakhir kali Evanna bertemu dengannya saat di apartemen Evanna."Kamu yakin tidak tahu apa-apa ke mana Diva, Evanna?" tanya Rasena dengan nada mendesak.Evanna sebenarnya tahu masalah yang dihadapi Diva tapi
Diva tertegun, kedua kakinya seolah terpaku ke aspal. Di hadapannya berdiri Rakha, pria yang selama ini mengingkari keberadaan nyawa yang tengah tumbuh dalam rahimnya. Sorot mata Rakha sedingin es, sangat berbeda dari tatapan lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta."Rakha?" Diva terengah-engah, masih berusaha menormalkan napasnya. Darah mengalir dari luka gores di lengan dan pipinya akibat ranting-ranting tajam yang menyayat kulitnya selama berlari menembus hutan."Diva," suara Rakha terdengar datar, tanpa emosi. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini."Di kejauhan, Diva masih bisa mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Pria yang mengejarnya tadi belum menyerah. Dalam keputusasaan, Diva berlari ke arah Rakha."Tolong aku," pintanya dengan suara gemetar. "Ada seseorang yang mengejarku di hutan. Dia—dia mencoba menyakitiku."Rakha tidak bergeming. Tatapannya masih dingin, seolah Diva hanyalah orang asing yang tidak berarti."Masuklah," ujar Rak
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha
Diva menyusut air mata yang menganak sungai di pipinya dengan kasar. Tak mudah bagi Diva untuk menerima kenyataan dirinya sekarang. Ego dan harga dirinya yang tinggi membuatnya enggan menerima apa pun perkataan Evanna.Diva yang selalu menjadi yang pertama dan utama tak bisa menerima begitu saja nasibnya yang malang. Ia tak mau terlihat tak berdaya di depan Evanna.Diva menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mengepal di atas pahanya. Ia menatap Evanna dengan mata yang penuh dengan bara kemarahan dan tekad yang menyla-nyala. Bibirnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan emosi yang nyaris meluap tak terkendali."Aku tidak akan membiarkan Rakha lolos begitu saja," gumamnya, suaranya bergetar. "Dia pikir aku akan menerima begitu saja perlakuannya? Aku bukan perempuan bodoh yang bisa dipermainkan, Evanna!"Evanna menarik napas dalam. Ia sudah menduga reaksi ini, tapi melihat langsung betapa Diva diliputi oleh amarah dan kekecewaan membuatnya sadar bahwa kakak tirinya benar-ben
Khandra pulang kantor menjelang malam. Mood-nya sangat buruk hari itu. Lebih-lebih dengan kekacauan yang terjadi akibat ulah Rakha, adik tiri sialannya itu.Khandra melihat Evanna tengah duduk di ruang santai lantai dua. Khnadra mengempaskan tubuh penatnya di sofa dengan wajah gelap. Membuat Evanna yang tengah menonton acara televisi berjengit kaget.."Ada apa?" tanya Evanna, menyadari ekspresi suaminya yang jelas-jelas sedang kesal.Khandra menghela napas panjang, meraih cangkir teh Evanna yang masih mengepulkan uap dan menyeruput isinya."Kakak tirimu, Diva, datang ke kantorku tadi pagi."Evanna tertegun, ia menatap wajah Khandra lekat-lekat, "Oh? Untuk apa dia ke sana?"Khandra menatap istrinya seolah mencari informasi yang Evanna ketahui tentang Diva. Nada suaranya tegas saat menjawab pertanyaan Evanna."Dia datang dengan membawa masalah pribadinya. Tentang Rakha. Dia pikir aku bisa menyelesaikan kekacauan yang mereka buat."Evanna mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi it
Pagi itu, Diva melangkah memasuki gedung kantor Khandra. Sekarang atau tidak sama sekali. Diva tak mau hanya meratapi nasib dan merasa kalah telak dari Evanna.Gaun hitam di atas lutut yang ia kenakan tampak rapi, meski raut wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang entah mengapa kini semakin merayapi hatinya.Memasuki lobi kantor, ia melihat para pegawai yang berlalu-lalang. Tak ada yang meliriknya. Mereka hanya berlalu dan memasuki pintu lift yang akan membawa mereka ke ruangan yang dituju.Diva melangkah menuju meja front office untuk menyampaikan maksud tujuannya. Dan berbekal hubungan keluarga yang ditegaskannya berulang kali, akhirnya Diva dapat sampai di depan pintu ruangan Khandra. Sekretaris yang seusia dengannya mempersilakan ia masuk setelah memperoleh persetujaun Khandra.Diva menyiapkan senyum paling manis yang selalu dapat memikat kaum Adam. Dilihatnya, Khandra yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya mendongak dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka d