Khandra sampai ke apartemennya saat malam mulai menjelang. Sesampainya di apartemen, ia melangkah tergesa. Ia membuka pintu kamar Evanna tanpa permisi, lalu menjeblakkan pintunya kasar”Kenapa kau…?” pertanyaan Khandra menggantung di udara saat melihat Evanna tengah tertidur pulas.Khandra membuang napasnya kesal. Ia sudah siap dengan segudang petuah manis untuk istrinya itu. Tapi, saat melihat Evanna tengah tertidur damai, membuatnya tak bisa melanjutkan kata-katanya.Suasana kamar ini tampaknya sudah berubah dengan yang terakhir kali Khandra lihat. Warna krem dan peach mendominasi kamar yang sekarang dipakai Evanna. Warna-warna cerah yang memberikan kesan hangat.”Bangun!” Khandra menepuk bahu Evanna keras.Malam ini ada banyak hal yang harus ia konfirmasi dengan istrinya itu. Khandra bahkan rela melewatkan makan malam dengan ayahnya dan segera terbang pulang.Telepon dari Tante Angela kemarin malam membuatnya kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan tantenya yang memberondongn
Khandra terdiam. Saat ia mengajukan semua syarat pada Evanna, semuanya terlihat begitu mudah. Tapi saat orang lain tahu, Khandra merasa ia harus menyiapkan banyak alasan yang semakin memojokkan posisinya.”Apa kau takut membuka kembali hatimu karena masa lalumu bersama Maira?” tanya Angela hati-hati.Sejak pertunangan Khandra dengan Maira dibatalkan, keponakannya itu memang menutup dirinya dari perempuan. Ia tak mau lagi memiliki hubungan serius dengan perempuan mana pun.”Jangan mengingatkanku lagi padanya, Tante. Dia sudah bukan siapa-siapa bagiku,” jawab Khandra.”Mengapa tak kaucoba dengan Evanna. Dia sudah sah menjadi istrimu. Kalau tak kaucoba membuka hatimu sekarang, lalu kapan lagi? Apa menunggu sampai ada mujizat baru kau mau membuka hatimu untuk istrimu?” tanya Angela.Khandra terdiam. Sakitnya dikhianati orang yang sangat ia cintai masih ia rasakan sampai saat ini. Apalagi Maira mengkhianatinya dengan Rakha. Benar-benar pukulan telak bagi Khandra.Angela merenung sejenak. E
Khandra mengumpat dalam hati. Mengapa tahun ini kesialan kerap menghampirinya. Skandal video pribadinya yang tersebar ke seluruh jagad raya. Pernikahan yang tidak ia inginkan dengan Evanna. Dan sekarang Khandra harus bertemu kembali dengan seorang yang paling tidak ingin ia jumpai lagi seumur hidup.”Khandra!”Perempuan tinggi semampai dengan wajah ayu itu melepaskan tangannya dari lengan laki-laki yang menggandenganya dengan gugup. Ada tatapan terkejut dan gugup dalam sorot matanya pada saat yang bersamaan.”Ada apa?” tanya Evanna yang berhasil membuat Khandra mengendalikan dirinya kembali.“Oh, Sayang, kemarilah!” panggil Khandra pada Evanna dengan senyum tipis dan suara lembutnya.Mata Evanna membola saat memandang suaminya. Entah kesurupan jin mana Khandra malam itu sampai memanggilnya dengan kata sayang. Suaranya juga demikian lembutnya membuat Evanna terbuai sesaat.Lebih mengejutkan lagi saat Khandra menggamit pinggangnya dan menariknya mendekat. Suaminya itu mengeratkan peluka
”Kita bisa berpisah. Kau akan bebas, begitu pula dengan aku.”Khandra mengerem mobilnya dengan mendadak. Ia tak peduli umpatan dan klakson yang dibunyikan keras-keras oleh pengemudi lain yang ada di belakangnya. Baginya apa yang diucapkan Evanna padanya barusan sangat menjengkelkan dan membuatnya naik darah.”Apa yang kaulakukan? Kita ada di tengah jalan!” teriak Evanna panik.”Kaukira kau siapa bisa meminta pisah dariku seenaknya!” teriak Khandra tak kalah keras.Khandra meraih dagu Evanna dan menariknya mendekat supaya Evanna bisa melihat kemarahan yang terpancar jelas dari raut wajahnya.”Aku yang akan memutuskan kapan kita berpisah. Kita tak bisa bercerai hanya karena kau memintanya. Ingat surat perjanjian itu dan hapalkan baik-baik dalam otak bodohmu itu!” sembur Khandra yang semakin terbakar emosi.Evanna bergidik ngeri melihat reaksi Khandra yang sangat berlebihan itu. Ia tak mengira suaminya itu akan begitu murka dengan permintaannya barusan. Evanna menyesal telah mengatakanny
Pagi itu, Maira tengah duduk di lobi Imperium Royal Apartement. Tiga tahun lalu, hampir tiap hari ia menginap di sini. Maira sudah merasa apartemen ini seperti rumahnya sendiri. Ia bebas keluar masuk apartemen Khandra yang terletak di lantai paling atas.Khandra masih tinggal di apartemen ini. Namun, sayangnya Maira tak memiliki akses untuk memasuki apartemennya. Hanya beberapa orang yang diizinkan Khandra naik sampai ke apartemennya.Maira hanya bisa menunggu di lobi. Ia menolak saat front office apartemen menawarinya untuk menghubungi Khandra. Maira yakin ia akan diusir keluar secara paksa dari sini kalau sampai Khandra tahu.Terakhir kali Maira nekad memasuki apartemen untuk bertemu Khandra, ia diseret keluar secara tidak manusiawi oleh security. Khandra benar-benar tak mau bertemu dengannya apa pun alasannya.”Oh, hai, kita bertemu lagi!” seru Maira saat melihat seorang perempuan dengan rambut sepinggang berjalan melewatinya menuju lift.”Maira?” tanya Evanna tak percaya.”Kebetul
Dua sosok misterius berpakaian serba hitam itu tidak menjawab. Mereka hanya terus menatap Maira dengan sorot mata tajam, seakan tengah mengamati serta mengkalkulasi sesuatu dalam diri Maira. Membuat bulu kuduk Maira meremang.Secara spontan Maira melangkah mundur, mencoba mencari perlindungan dengan mendekat menuju ke pintu lobi apartemen. Namun, belum sempat Maira melakukan niatnya, sebuah blind van hitam sudah lebih dulu bergerak cepat ke arahnya dari belakang.Seseorang menarik tubuh Maira hingga masuk ke dalam van. Dua orang yang ada di pelataran tadi juga ikut masuk ke dalamnya.Sang sopir dengan secepat kilat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Maira meronta, namun satu pukulan di tengkuknya membuatnya kehilangan kesadaran.Entah berapa lama Maira pingsan. Saat tersadar ia ada di sebuah ruangan yang tak begitu luas. Maira terbaring di lantai yang dingin. Tangan dan kakinya yang terikat membuat Maira tak bisa bergerak. Mulutnya yang disumpal membuatnya tak bisa berteriak.
Evanna melihat kembali alamat yang diberikan Rakha padanya. Memang benar ini tempatnya. Namun, gedung dua lantai itu terlihat sangat sepi. Seperti tak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Evanna hendak menghubungi Rakha kembali, saat seorang satpam menghampirinya.”Cari siapa, Mbak?” tanya satpam bertubuh kurus itu pada Evanna.”Saya ada janji bertemu dengan Pak Laban,” jawab Evanna.Satpam itu memperhatikan Evanna dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Meskipun sederhana, tapi wanita di depannya itu terlihat cantik dengan kulit putih dan pipi kemerahan.”Oh, janji ketemu dengan Pak Laban. Beliau ada di kantornya. Mari saya antar,” tawar satpam itu ramah.Evanna berjalan mengikuti langkah satpam itu. Dari luar bangunan itu memang terlihat sepi, tapi saat masuk ke dalam, Evanna baru melihat beberapa mobil yang diparkir. Saat memasuki bagian dalam bangunan, Evanna baru tahu kalau di dalamnya cukup ramai.Satpam itu naik ke lantai dua. Terdapat beberapa lorong panjang dengan ruangan yang
”Kenapa begitu?” tanya Evanna tak mengerti.”Pak Calix itu sangat suka barang bagus. Kalau nggak cantik nggak mungkin akan didekati. Nggak semua karyawan perempuan di sini yang diajak makan siang bersama. Setahuku waktu Mbak Shana pertama kali bekerja di sini juga begitu. Sering diajak makan bareng. Tapi, sekarang tampaknya tidak lagi,” jelas Marwan.”Mungkin karena aku karyawan baru. Hanya untuk sekadar beramah tamah. Dengan Shana pun mungkin juga begitu hanya sekadar keramahan atasan pada bawahannya,” kilah Evanna lagi.”Hmm…tampaknya nggak begitu deh, Mbak,” bantah Marwan yang tampaknya senang sekali bergosip itu.”Udahlah, nggak perlu dipermasalahkan. Hak sepele saja, kok,” tukas Evanna mengakhiri Marwan yang hendak membuka mulutnya lagi.Evanna berjalan menuju meja kerjanya. Sudah ada setumpuk berkas yang tersusun rapi di atas mejanya. Ia menyalakan komputer dan memulai pekerjaannya.Marwan mengangkat bahu melihat Evanna yang sepertinya tidak terlalu tertarik dengan gosip tentang
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang